Amora telah sampai di rumahnya dengan keadaan hati masih kacau. Berkali-kali ia mengatur napas, namun rasa sesak atas ciuman Aksen itu benar-benar membuatnya hilang kendali.Amora benci dirinya. Benci hatinya yang masih saja bisa terbuka untuk pria brengsek seperti Aksen. Padahal sudah beberapa kali Aksen menyakiti hatinya, mengecewakan harapannya.Amora mencoba memejamkan matanya beberapa kali untuk menghilangkan ingatan peristiwa yang baru saja terjadi antara ia dan Aksen. Amora ingin sekali menghapus ingatannya yang dimana ia terlihat bodoh tadi itu.“Nona, kau baik-baik saja?” ucap seorang pelayan yang terlihat cemas dengan keadaan majikannya saat ini.Amora membuka matanya. “Aku perlu mandi,” ujarnya kemudian berlalu dari pelayan itu.Sebelum ke kamar mandi, Amora membuka terlebih dahulu ponselnya sebentar. Terdapat beberapa pesan dari Aksen yang belum ia baca. Juga beberapa panggilan terlewat dari pria itu.Bagaimana tidak, Amora tadi langsung pergi begitu saja setelah mengatak
Aksen sudah sampai di kediaman Amora. Ia segera keluar tak menunda waktu lebih lama lagi. Namun nampak dari luar, rumah itu sangat sepi. Tapi Aksen tidak memedulikan itu, ia akan mencoba memastikan Amora ada di rumah.“Permisi, mbak.” Aksen menyapa salah seorang pelayan yang sedang menyapu di luar rumah. Rumah Amora memang menyediakan beberapa pelayan. Sebenarnya Amora sendiri tidak begitu butuh, tapi mereka adalah orang yang direkrut Arta untuk mengurus rumahnya yang sangat besar waktu itu. Jika Amora memecat pun, ia akan lebih dulu mencarikan pekerjaan untuk mereka sebelum memecatnya.“Eh, Pak Aksen. Ada apa pak?” Nampaknya Aksen memang dikenali di rumah Artawijaya.“Apa Amora ada di rumah?” tanyanya langsung ke inti.“Nona sedang pergi, Pak.” Jawabnya.“Pergi kemana?”“Untuk hal itu, saya kurang mengetahuinya Pak. Tapi, nona memang berniat pergi lama,” ujar pelayan itu membuat Aksen sangat kecewa.“Apa sebelumnya tidak memberitahu, Pak?” tanya pelayan itu kemudian.“Ah, sepertinya
Laki-laki berjaket hitam dengan bandana hitam pula di kepalanya itu masuk ke dalam sebuah gedung seraya mengamati keadaan sekitar untuk memastikan tidak ada yang mengikuti jejaknya ataupun memastikan tidak ada yang melihat pergerakanya.Diego mendapat kabar dari orang kepercayaannya bahwa musuh terbesarnya itu berada di gedung sepi tersebut. Mungkin saja kabar itu benar, karena setelah Diego lihat-lihat ternyata gedung tua itu sudah tidak berpenghuni.Aurelia pasti tinggal di tempat seperti itu setelah melarikan diri dari istana ternyamannya karena menjadi buronan. Mungkin rasa sesal telah Aurelia dapatkan saat ini, jika saja ia bermain jujur kesialan yang terjadi saat ini tidak akan menimpa dirinya.Diego begitu menyimpan dendam dan amarah terhadap perempuan Aurelia ini. Selain karena kasus tentang kematian pacarnya, ia juga amat marah kala mendengar Aurelia menyakiti sahabatnya, Amora.Diego bersumpah demi apapun akan menangkap perempuan itu dengan keadaan masih hidup ataupun tingga
Aksen mengusap wajahnya kasar. Tak bisa disangka jika selama ini dia adalah orang yang tergila-gila kepada musuh dalam selimut. Aksen merasa dirinya sangat bodoh dan tak berguna.Namun lihatlah, setelah ini Aksen berjanji akan membuat balasan yang setimpal sesuai apa yang telah dilakukan Aurelia kepadanya dan juga kepada Amora, istrinya.Jika saja ia tahu dari awal siapa Aurelia sebenarnya, tak mungkin ia akan membelanya mati-matian saat itu. Saat dimana wanita itu selalu dalam masalah, Aksen yang akan menjadi garda terdepan untuk membelanya.Tapi tidak untuk hari ini dan selanjutnya, Aksen bahkan akan menjadi garda terdepan untuk menangkap Aurelia bagaimanapun kondisi dan keadaannya. Bersama Diego, ia kini bersekutu untuk mengurung orang yang sama.“Tapi Aurelia kau biarkan kabur, bagaimana kita bisa menangkapnya?” Aksen menatap Diego yang tengah berfikir santai.“Kau fikir aku bodoh? Aku tidak pernah menyia-nyiakan satu kesempatan pun dalam hidupku, apalagi bertemu musuh seperti tad
Aksen nampak menghela napas lega setelah melakukan panggilan telepon bersama anak buahnya di seberang sana. Mereka mengatakan jika Aurelia sudah tertangkap begitu pula dengan satu orang pesuruhnya. Senyumnya begitu sinis menatap layar ponsel yang menampilkan beberapa foto mengenaskan Aurelia. Sepertinya ia sudah mirip psikopat sekarang, dimana ia merasa senang jika musuhnya sudah ada dalam kendalinya.Spontan Aksen meletakkan ponselnya ketika Amora datang dengan kotak P3K di tangannya. Wanita itu duduk di sebelah Aksen tanpa ekspresi sama sekali. Bahkan matanya tidak begitu ramah.Namun berbeda dengan Aksen, pria itu tak sejenak pun matanya beralih menatap ke arah lain. Fokusnya tetap pada mata istrinya, mengamati setiap gerakan Amora yang sedang menyiapkan alat dan bahan untuk mengobati luka di tangan Aksen.“Kemarikan tanganmu,” ucap pelan Amora kepada Aksen. Aksen menggerakkan tangan berdarahnya seraya meringis pelan. Ia meletakkan tangannya itu di atas perlak yang berada di atas
Aksen terbangun ketika hidungnya mencium aroma masakan yang tak asing. Sudah lama ia tidak mencium wanginya masakan Amora yang dulu tiap hari ia pasti menciumnya. Bruk“Argh!” Aksen meringis pelan kala tangannya yang luka hampir ketindih oleh tubuhnya yang baru saja ambruk dari sofa. Semalam Aksen akhirnya tidur di sofa ruang tamu sendirian. Amora tidak mengizinkannya masuk dan tidur bersamanya, padahal jika mau Aksen bisa saja masuk pakai kunci cadangan karena itu adalah kamarnya.Tapi Aksen mengalah, ia tidak mau menimbulkan keributan yang akan menyebabkan Amora akan lebih membencinya. Yang lebih ia takutkan, bagaimana jika Amora akan mengusirnya. Lebih baik Aksen memilih jalan aman.Aksen berdiri dengan nyawa yang belum terkumpul sempurna. Ia berjalan sempoyongan menuju dapur mengikuti arah bau masakan yang menyeruak memenuhi rongga hidungnya.Di depan kompor, seorang wanita dengan dress putih sedang mengotak-atik pisau, memotong bahan-bahan masakan dengan telaten. Tubuh yang mun
“Apakah merebut kebahagiaan orang lain adalah hobimu?” Aksen membuka pintu kamarnya dengan sarkas. Di kamarnya kini dia tak sendiri. Seorang wanita terduduk lemas di atas ranjang dengan gaun pernikahan berwarna putih yang masih melekat pada tubuhnya. Dia Amora, wanita yang baru saja sah menjadi istrinya. Wanita yang selalu terlihat rendah dan menjijikan di matanya. Padahal Amora adalah wanita yang sangat mencintainya dari dulu. Tapi, otak dan hatinya sama sekali tak pernah menerima kehadiran Amora di dunia ini. “Apa maksudmu?” Amora menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. Brugh!Amora memejamkan matanya kaget ketika suara keras pintu yang dibanting oleh Aksen mampu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Aksen berjalan pelan menuju ke arahnya seraya menatap tajam.“Kenapa kau menggantikan Aurel menjadi pengantinku?” tekan Aksen dengan tatapan tajamnya. Amora sudah menduga ini akan terjadi. Dari dulu, Aksen hanya menginginkan sepupu
“Maaf, aku mengganggu malam pertamamu,” ucap Frans diakhiri dengan kekehan renyah setelah menyelesaikan ucapannya. Amora berdecak sebal. Temannya ini selalu mengejeknya tentang perasaan tak berbalas Amora kepada Aksen. Frans tahu pasti semuanya tentang Aksen dan Amora. Dia pendengar sejati setiap curahan hati Amora yang begitu menyedihkan.“Tak usah mengejekku!” ketus Amora memandang sebal lawan bicaranya. Frans kembali terkekeh geli mendengar ucapan Amora yang terlihat sangat tidak menyukai pembahasan yang tengah mereka bahas sekarang ini. “Apa dia mengatakan sesuatu padamu?” tanya Frans penasaran dengan keadaan pasangan suami istri yang baru menikah itu. Pasalnya, dia sangat tahu seluk beluk masalah yang terjadi antara keluarga Artawijaya dan keluarga Pratama, meskipun ia bukan bagian dari salah satu keluarga tersebut. “Seperti biasanya.” Amora menyandarkan punggungnya ke sofa. Mereka kini tengah berada di ruangan Frans. Mengobrol santai set