Bab 6
"Hai cantik, boleh kenalan? Aku Zarek," ucap Zarek dengan senyum buaya sembari mengulurkan tangan. "Nur," balas Nur menyambut uluran tangan lelaki di depannya. Excel tak suka dengan tragedi di depannya, ia segera menarik tangan sang istri agar terlepas dari Zarek. "Lepasin, Za. Enggak semua cewek bisa kamu modusin," ucap Excel kesal. Zarek adalah teman sekolah SMA-nya dulu, meski mereka tidak terlalu dekat, tetapi Excel hapal sifat Zarek yang suka mempermainkan wanita bahkan tak segan-segan memanfaatkan wanitanya. Sebab itulah Excel tak mau berteman dekat dengan Zarek. "Ya elah. Santai aja, Bro, sikap posesif kamu enggak berkurang ya. Hati-hati kalau istri kamu justru enggak betah sama sikap kamu itu," ledak Zarek dengan tersenyum sinis. Zarek memang tidak menghadiri pernikahan Excel, dan ia juga tidak di undang Excel juga maka dari itu ia memilih untuk tidak hadir. "Ayo, Nur, kita pergi!" tanpa merespon apa yang di ucapkan Zarek, Excel menarik tangan sang istri untuk meninggalkan tempat tersebut. Sesampainya di dalam mobil, Nur melihat sang suami dengan wajah kesal sembari menyetir. "Om, yang tadi teman kamu ya?" tanya Nur mencoba mencairkan suasana. "Bukan," balas Excel datar. "Iya juga, kalau teman pasti dia hadir di acara kemarin kan. Tapi, kayaknya dia enggak tahu dengan kejadian kemarin. Berarti bukan teman, Om, deh," ucap Nur sambil mangut-mangut. "Makanya kamu tuh jangan manggil suamimu Om. Om Om mulu, emang aku om-mu apa?!" seru Excel kesal. "Lah terus maunya di panggil apa, Om," balas Nur menatap Excel. Matanya mengisyaratkan tantangan. "Serah!" balas Excel. "Eum, apa ya." Nur mengalihkan pandangan, berusaha keras untuk menemukan panggilan yang tepat. Ia berpura-pura berpikir serius, jarinya menempel di dagu sambil mangut-mangut. "Gimana kalau Kakak, Kak Excel?" ucap Nur antusias, wajahnya berseri. Excel mengangkat alis, sedikit terkejut, tetapi jawaban Nur membuatnya tidak bisa menahan senyum, namun begitu ia tetap mempertahankan wajah datarnya. "Serah," seru Excel lagi. "Dih, serah mulu. Keknya BT-nya ngalahin cewek yang lagi PMS deh," goda Nur sambil tertawa, suaranya ceria dan menular. "Serah!" kata Excel, kali ini dengan sedikit nada lebih ringan. "Tuh, serah lagi. Emang serah apaan, Om, serah jabatan?" Nur menantangnya, matanya bersinar nakal. "Tuh kan Om lagi," jawab Excel sambil memutar matanya. "Iya deh, Kak Excel yang tampan. Upps." Nur merasa keceplosan, tangannya menutup mulutnya seolah-olah bisa menyembunyikan kata-kata yang baru saja keluar. "Kan, emang aku ganteng. Ngapain, malu ngakuin? Kamu enggak ngakuin aja aku udah tahu kalau aku emang tampan," ucapnya dengan percaya diri sambil tersenyum lebar, merasakan bangga. "Dih, GR." Nur mengerucutkan bibirnya pura-pura merasa kesal , melihat wajah Excel yang penuh percaya diri, membuat suasana di antara mereka nampak hangat dan akrab. Excel mengusap lembut kepala sang istri, membuat Nur merasa hangat dan tenang. Tanpa mereka sadari sentuhan lembut itu memberikan rasa nyaman pada diri Nur. "Yang penting kamu hati-hati sama Zarek, dia buaya darat dan orangnya sangat licik," pesan Excel membuat Nur mengangguk. Tak berapa lama mobil mereka sampai di halaman rumah. Mereka masuk ke dalam rumah dengan wajah ceria. Keadaan rumah terasa sepi, Nur dan Excel langsung menuju kamar. Sesampainya di dalam kamar, Nur meletakkan paper bag lalu ia membawa baju daster ke dalam in closet untuk berganti pakaian. Setelah selesai Nur keluar sambil mengikat rambutnya dengan asal, Excel yang tiduran di atas kasur seketika ekor matanya melihat Nur ala rumahan. Excel menelan ludah dengan susah payah. Ada rasa aneh yang tiba-tiba muncul di dada, meski ia berusaha keras untuk tidak terlalu memperhatikannya. Tapi, entah kenapa, wajah Nur yang sederhana itu kini terasa lebih menarik di matanya. Excel merapikan posisi tidurnya, berusaha menenangkan diri, meski pikirannya mulai melayang ke arah hal-hal yang tak biasa. Sedangkan Nur merasa tak acuh, dan memilih untuk segera membuka paper bag dan mencoba laptop barunya. "Om, eh, Kak Excel, ajarin cara makai laptop dong," ujar Nur tanpa menatap ke arah sang suami. Nur mencoba membuka laptop lalu menyalakan nya. Karena Excel tak kunjung mendekat ia mencoba memanggilnya lagi. "Kak, buruan. Aku udah enggak sabar pengen nyoba nih," panggil Nur. Kali ini ia menoleh ke arah sang suami dengan kedipan mata danr senyuman. Bagi Nur itu hanya senyuman biasa namun berhasil membuat gairah Excel semakin memuncak. "Eh, i-iya," balas Excel gelagapan. Ia segera bangkit dari ranjang menghampiri Nur yang duduk di depan rias. Excel berusaha mengatur napasnya agar tidak tampak gugup di depan Nur. Ia berjongkok di sampingnya, mencoba fokus pada laptop yang tergeletak di atas meja rias, meski matanya lebih sering melirik ke arah Nur. Senyum gadis itu, yang tampaknya begitu polos, terus mengganggu ketenangannya. Excel memberanikan diri untuk menjelaskan langkah-langkah dasar, meskipun belakangnya, hatinya berdebar lebih kencang daripada biasanya. "Jadi, pertama, kamu tinggal tekan tombol ini untuk nyalain laptop," ucap Excel menjelaskan sambil menunjuk tombol power di sudut kanan atas. Tangannya agak gemetar saat menunjuk. Nur menatapnya sekilas, lalu mengikuti petunjuk Excel. “Oke, udah nyala,” katanya singkat. Excel mengangguk, lalu melanjutkan, “Sekarang, kamu harus masuk ke akun kamu. Kamu bisa pakai nama pengguna dan kata sandi yang ada di email hp-mu?” Nur mengangguk pelan, matanya tetap terpaku pada layar. Namun, Excel mulai merasakan ada yang aneh. Ada keheningan yang menggelitik, seolah-olah sesuatu yang lebih dari sekadar pelajaran laptop tengah mengisi udara di antara mereka. "Eh, Kak Excel, kamu kenapa?" tanya Nur tanpa menoleh, seolah merasakan perubahan dalam sikap suaminya yang mulai kaku dan canggung. "Ah... enggak, aku cuma... mikir," jawab Excel terbata-bata, berusaha menjaga jarak dengan kenyataan yang mulai melangkah lebih jauh dari yang ia inginkan. Nur menyandarkan tubuhnya ke belakang, senyum kecil masih menghiasi wajahnya. "Kamu aneh deh, Kak. Kayak lagi bingung sama sesuatu." Excel mengalihkan pandangannya, berusaha menenangkan pikirannya. "Enggak kok, aku cuma... capek," ujarnya, mencoba terdengar santai. Namun, hatinya semakin terasa berat. Apakah ini hanya perasaan canggung biasa, atau ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai mengganggu dirinya? Tiba-tiba, lengan Nur tanpa sengaja menyenggol bagian tubuh Excel yang cukup sensitif, membuatnya mengaduh pelan. "Aduh...!" Excel meringis kesakitan, matanya terpejam sejenak. "Kakak, kenapa?" tanya Nur, terlihat bingung. Ia merasa baru saja menyenggol sesuatu yang tidak sengaja. "Em... enggak apa-apa," jawab Excel terbata-bata, mencoba menutupi kegugupannya. Namun, ia bisa merasakan ketegangan yang mulai membesar di antara mereka. Nur, yang awalnya tidak terlalu memperhatikan, kini menatap dengan lebih fokus ke arah bawah perut Excel yang tampak sedikit berbeda. Senyum nakalnya semakin lebar. "Kayaknya, ada yang tegak, tapi bukan karena keadilan, deh. Kira-kira apaan tuh," goda Nur sambil menatap celana Excel yang mulai terasa agak menonjol. Excel terkejut, wajahnya langsung memerah, dan kedua matanya menatap sang istri dengan melotot. "Nur..."Sementara itu, di rumah Heri, Nur sedang sibuk menata buku-bukunya di meja belajar. Ia baru saja menyelesaikan tugas kuliah yang cukup berat. Pikirannya sesekali melayang ke Excel, tetapi ia segera mengalihkan fokusnya. Nur tahu, ia harus tetap kuat dan menjaga keputusannya.Lia masuk ke kamar Nur sambil membawa secangkir teh hangat. "Nur, istirahat dulu. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."Lia tahu, Nur selalu belajar dengan giat. Jadi wajar adiknya itu bisa masuk ke universitas ternama di Jakarta meski belum bisa mencapai beasiswa. Saat sekolah SD-SMK Nur selalu mendapat peringkat 3 besar dan memenangkan banyak lomba bersama teman-temannya. Nur tersenyum kecil. "Suwun, Mbak'e. Aku cuma mau memastikan semua tugasku selesai tepat waktu."Lia duduk di tepi tempat tidur, menatap adiknya dengan penuh sayang. "Aku bangga sama kamu, Nur. Kamu udah melalui banyak hal, tapi tetap kuat. Aku yakin kamu akan jadi orang yang sukses."Nur men
Nur mengamati pesan itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Kata-kata Excel mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan, namun ada bagian kecil dari hatinya yang masih merasakan getaran dari kenangan itu. Tetapi, tekadnya sudah bulat. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam luka yang sama.Ponselnya tiba-tiba berdering, nomor baru yang sama menghubunginya. Nur terdiam, menatap layar dengan tatapan bimbang. Tetapi ia memutuskan untuk tidak menjawab. Panggilan itu akhirnya terputus dengan sendirinya, dan tanpa ragu Nur memblokir nomor baru Excel."Ini harus berakhir," gumamnya pelan. Dia bertekad untuk melupakan Excel sepenuhnya dan fokus pada masa depannya.Seminggu kemudian, Bambang dan Isna, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman mereka. Musim panen padi sudah tiba, dan mereka ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebelum pergi, mereka memastikan Nur baik-baik saja.Nur mengantarkan kedua orang tuanya ke terminal. Dalam perjalanan,
Malam Semakin LarutSetelah beberapa jam bekerja dengan serius, akhirnya tugas mereka mendekati selesai. Suasana menjadi lebih santai, diselingi candaan dan tawa."Rino, kamu serius banget sih dari tadi. Santai dikit dong," goda Latifa sambil mengulurkan segelas es jus untuk pemuda berkulit kuning langsat.Rino hanya tersenyum kecil. "Kalau nggak serius, tugasnya nggak selesai-selesai, Fa."Dika, yang sejak tadi memperhatikan Nur, merasa ini adalah kesempatan untuk mendekatinya lebih jauh. Saat yang lain sibuk membereskan alat, ia menghampiri Nur yang sedang duduk sendirian di sudut ruangan."Nur, kamu hebat banget tadi. Pekerjaan kita cepat selesai berkat kamu," puji Dika, duduk di sebelahnya."Terima kasih, Dik," jawab Nur singkat, mencoba menjaga jarak.Ketika tugas benar-benar selesai, satu per satu teman-teman mereka mulai pulang. Latifa pergi bersama Rino, sementara Sera pulang lebih dulu diantar Adi. Nur, yang menunggu Pak Supri menjemput, memilih tetap duduk di ruang tengah be
Latifa berbisik pada Sera dengan nada penuh semangat. "Sera, bayangin deh, kita kerja kelompok bareng mereka. Ini kesempatan emas!"Sera hanya mendesah pelan. "Emas buat kamu. Aku sih enggak ya. Kalau alatnya lengkap dan tugasnya cepat selesai, aku sih nggak masalah. Tapi kayaknya Nur agak keberatan deh."Latifa menepuk bahu Nur. "Nur, santai aja. Kita kan kerja kelompok. Nggak akan ada yang aneh-aneh kok."Setelah jam kuliah selesai, rombongan kelompok mereka bersiap menuju rumah Dika untuk memulai pengerjaan tugas. Nur, meski masih merasa kurang nyaman, akhirnya menerima tawaran Dika untuk memboncengnya dengan motor."Yuk, Nur. Motor udah siap di parkiran," kata Dika dengan senyuman yang terasa dipaksakan di mata Nur.Latifa, yang sudah sejak tadi tak bisa menyembunyikan senyumnya, langsung menghampiri Rino. "Aku bareng kamu aja, ya?" tanyanya penuh semangat.Rino, yang sedikit terkejut tapi tidak keberatan, hanya mengangguk. "
Tak ingin berlama-lama dilumpuhkan oleh emosinya, Excel masuk kembali ke dalam mobil. Tanpa berpikir panjang, ia menginjak pedal gas dalam-dalam, membiarkan mobilnya melaju liar di jalanan. Kecepatan tinggi dan suara mesin menderu menjadi pelariannya. Ia tak peduli pada bahaya atau rambu-rambu yang ia langgar.Namun kali ini, pelariannya berakhir tragis. Di sebuah tikungan tajam, mobilnya kehilangan kendali dan menghantam pembatas jalan dengan keras. Suara benturan menggema, diikuti suara kaca yang pecah berantakan.Saat tubuhnya terkulai di balik kemudi, kepala Excel berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya terasa buram, tapi ingatan demi ingatan menyeruak di benaknya.Excel melihat Vero yang tengah mencoba gaun pengantin putih. Senyum manis yang dulu pernah ia cintai kini terasa seperti belati yang menusuk dadanya. Kenangan itu terasa begitu nyata, hingga tiba-tiba bayangan itu memudar, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghantamnya tanpa ampun.
Di Tepi Kehancuran Juanda menghela napas berat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan hubungan mereka, tetapi ia tak bisa lagi menyembunyikannya.“Ver, kamu ingat malam itu... waktu kita pulang dari pesta ulang tahun Clara? Kamu mabuk berat, Ver. Dan aku tahu, kamu belum minum pil dan aku sengaja melakukannya malam itu. Aku tahu, jika kamu mabuk, kamu tidak akan menolak.”Vero membelalakkan matanya, perasaan tidak percaya menyeruak di wajahnya. “Kamu... sengaja? Kamu mengambil keuntungan dari aku yang tidak sadar?!”“Aku tahu ini egois, tapi aku ingin kamu menjadi milikku. Aku sudah lama mencintaimu, Ver. Aku pikir, dengan adanya anak, kita bisa lebih dekat. Kita bisa menjadi keluarga sungguhan.”Vero mencengkeram baju Juanda, matanya berkilat marah. “Kamu menghancurkan hidupku! Apa kamu tahu berapa tahun aku berjuang untuk sampai ke titik ini? Model