Jenn menelan ludahnya. ‘Suamiku’, matanya? Ah, lidahnya tiba-tiba kelu.
Javier mengusap pipi Jenn, menatapnya semakin dalam. “Jenn... apa kau tidak dengar?” Jenn hanya bisa terdiam. Javier merasa kecewa, tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Tanpa menyingkirkan inginnya untuk melanjutkan aksinya, Javier pun memancing dengan cara itu. Dia memberikan sentuhan yang membuat Jenn merasakan sensasi yang tidak biasa. Sambil memberikan kecupan di titik sensitif pada tubuh wanita itu, Javier memiliki niat yang cukup mendalam. Jenn memejamkan matanya. Dia ingin melepaskan diri, tapi tangannya berada di bawah kuasa Javier. Apa yang dilakukan oleh pria itu benar-benar membuat Jenn sulit untuk menahannya. Rasa geli tapi juga nikmat menjadi satu, lenguhan kecil pun tanpa sadar lolos dari bibir indah Jenn. Semakin lama, gerakan itu semakin menjadi-jadi membuat Jenn semakin tidak bisa menahan lagi. “Akhh...!Malam itu, di kediaman Ludrent Klorn. Thomas baru saja kembali setelah perjalanan jauh untuk menemui Valerie. Masih tetap dia rahasiakan keberadaan Valerie, tetapi dia juga tahu kalau diam-diam Sofia menugaskan orang untuk memata-matai. Keberadaan Valerie pasti akan terungkap cepat atau lambat, dan Thomas juga sudah bersiap untuk itu. Begitu kakinya menginjak lantai di ruang tamu, Sofia nampaknya sudah menunggu dengan tidak sabaran. Lebih dari pada itu, wanita itu seolah siap untuk menerjang kemarahannya. “Sudah satu Minggu tidak pulang ke rumah, syukurlah kau masih ingat untuk pulang,” ucap Sofia, suaranya yang penuh tekanan itu jelas memancing Thomas untuk mengatakan kalimat balasan. Namun, Thomas cukup lelah. Dia ingin istirahat sebentar dengan mengabaikan Sofia. Sadar kalau Thomas ingin menghindarinya, Sofia pun langsung mencegah langkah Thomas yang akan semakin menjauh. “Thomas, dari
Jenn pun tersenyum. Memiliki rasa sakit hati untuk semua yang Karina katakan adalah hal yang percuma, sehingga melawan Karina adalah satu-satunya cara agar Karina paham bahwa Jenn juga bukan orang yang akan bisa diam jika terus ditindas. “Nyonya Karina, sebenarnya memaki dan mencaci ku apakah menyenangkan untukmu?” tanyanya, dia benar-benar terlihat santai dan tidak begitu menuntut jawaban. Namun, Karina justru merasa dipermalukan dengan pertanyaan dari Jenn. “Apa kau sedang menyepelekan ku, hah?” balas Karina. Jenn membuang napas, tapi senyum di bibirnya itu tak pudar. “Nyonya Karina, posisiku saat ini tidak aneh jika bisa menyepelekan anda, kan? Tetapi apa yang aku katakan sebelumnya bukan karena ingin merendahkan anda, tapi memang aku sangat penasaran.”“Juga, apakah anda pernah berpikir bahwa... mungkin saja orang yang sering anda maki pada akhirnya akan merasa muak? Apa anda pernah menonton berita pembunuhan? Ada beberapa
Esok harinya, Jenn kembali ke kampus untuk kuliah. Pertemuan kembali dengan Rena terasa agak kaku, canggung, dan aneh. Namun, Jenn bersikap seolah tidak terjadi apapun, begitu juga dengan Rena. “Jenn, siang nanti kita coba menu baru di kantin, yuk!” ajak Rena, berharap masih bisa terus nyaman sebagaimana mestinya. Dengan cepat Jenn mengangguk. “Oke. Aku juga agak penasaran bagaimana rasanya salmon di kantin.” Rena tersenyum, begitu juga dengan Jenn. Beberapa saat kemudian, mereka pun berada di kantin kampus. Sambil menikmati makanan, Rena akhirnya memulai pembicaraan. “Jenn, soal apa yang aku katakan kemarin, tolong jangan membuat mu terpengaruh ya. Jujur saja, aku sendiri sama sekali tidak pernah bertemu dengan maksud spesial dengan suamimu. Tentang perjodohan yang aku katakan itu cuma pembahasan antara kedua orang tuaku dan Neneknya Kak Javier,” ucap Rena, dia terlihat tidak nyaman,
Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Jenn langsung membuka pintu sebelum Javier sempat mematikan mesin sepenuhnya. Javier pun hanya bisa menggelengkan kepalanya, heran. Ia berlari melewati taman depan dengan langkah ringan, gaun kampusnya berkibar, sementara suara tawa kecilnya menggema di antara hembusan angin sore. Sudah tidak sabar untuk bertemu Jack. “Sayang, hati-hati!” seru Javier dari belakang, tapi ia hanya menggeleng kecil, tidak sanggup menahan senyum. Begitu Jenn memasuki rumah, suara Liliana terdengar dari arah kamar bayi. “Eh, Jenn! Jack baru saja bangun!” Tanpa menjawab, Jenn segera menuju kamar itu. Dan di sanalah, di atas ranjang kecil yang dikelilingi mainan lembut dan aroma bayi, Jack terbaring dengan mata bulat menatap langit-langit. Begitu mendengar langkah kaki ibunya, bayi itu menoleh dan tersenyum dengan lebar. “Jack, kesayangan Ibu…” suara Jenn bergetar pelan saat ia meraihnya ke dalam pel
Hari pertama kuliah berjalan jauh lebih baik dari yang Jenn bayangkan kala itu. Rena, dengan sikapnya yang ceria dan ramah, berhasil membuat suasana kaku di antara mereka mencair begitu saja. Mereka menghabiskan waktu istirahat dengan berbincang di taman belakang kampus, membicarakan hal-hal ringan, dari dosen pertama yang terlalu perfeksionis, teman sekelas yang sangat suka mengomel, sampai makanan kantin yang katanya lebih cocok disebut ‘percobaan kimia’. Jenn tertawa kecil. Tidak menyangka kalau kehidupan di kampus juga cukup menyenangkan. Rena mengangkat alis puas. “Nah, akhirnya aku berhasil bikin kau tertawa juga hanya karena hal remeh! Wajahmu saat pagi tadi kayak mau ikut ujian hidup, tahu nggak?” Jenn menggeleng, masih tersenyum. “Aku cuma belum terbiasa aja. Lagi pula, setiap datang ke kampus aku jadi agak sedih karena harus jauh dari keluargaku, yah... walaupun hanya untuk beberapa jam saja.”Jenn sengaja tidak memberi
Pagi itu langit tampak cerah, seakan seluruh udara di sekitar rumah ikut menyambut babak baru dalam hidup Jenn yang akan penuh dengan tantangan baru. Mobil hitam panjang khusus keluarga berhenti di depan gerbang besar sebuah universitas ternama, tempat di mana hanya mereka yang berasal dari kalangan terpandang atau berprestasi luar biasa yang bisa menapakkan kaki dengan leluasa. Jenn duduk di kursi belakang bersama Javier. Di depan, Thomas dan Valerie berbincang pelan dengan nada lembut. Mereka tampak bahagia, akhirnya Jenn bisa melanjutkan pendidikan sebagaimana mestinya, dan tidak sepenuhnya kehilangan masa mudanya. Namun, di balik ketenangan itu, Jenn memegang erat jemarinya sendiri. Dia gugup sekali. Ia masih belum sepenuhnya yakin. Mendaftar kuliah di tempat elit seperti ini terasa seperti mimpi, tapi juga tekanan yang berat karena takut akan mengecewakan. “Aku benar-benar masih tidak yakin ini ide yang tepat,” ucapnya lirih