Jenn menarik napas pelan, jemarinya gemetar saat membuka satu per satu kancing kemeja Javier yang basah karena keringat dingin dan tetesan air dari kain kompres yang menyeka titik tubuhnya. Lelaki itu masih dalam keadaan setengah sadar, tubuhnya panas seperti bara api yang tertahan terlalu lama. Padahal, Jenn sudah mencoba mengompres dengan benar. ‘Apa aku harus membawa Tuan Javier ke rumah sakit?’ batin Jenn. Kain tipis di dahi Javier mulai mengering. Jenn menggantinya dengan yang baru, matanya sempat terhenti di dada Javier yang kini mulai terbuka sebagian. Sebuah tato kecil di sisi kiri dadanya mencuri perhatiannya. Hanya satu huruf saja di sana ‘A’. Terlukis sederhana, tanpa hiasan. Tapi entah mengapa, huruf kecil itu seperti membawa beban emosional yang sangat besar untuk Javier. Jenn tidak menyentuhnya. Ia hanya diam menatapnya sejenak, lalu membatin dalam hati, ‘Mungkin... wanita yang dia cintai berinisial A. Wanita itu pasti takut. Bagaimanapun, Tuan Javie
Jenn perlahan membuka matanya saat merasakan ngilu di bagian telinga yang terus tertindih semalaman. “Akh....” lenguhnya pelan. Kepalanya berat, lehernya kaku, dan tubuhnya seperti tidak punya tenaga. Ia mencoba bergerak, tapi yang terasa justru nyeri di pundak dan punggungnya. Matanya mengerjap beberapa kali, lalu menatap jam kecil di meja sudut ruangan. Sudah pukul enam pagi. Udara di kamar masih dingin, menggigit kulit. Meski sudah berselimut, dingin dari pendingin ruangan tetap terasa seperti menembus hingga ke tulang. Ia bersyukur semalam sempat mengambil selimut cadangan dari lemari, kalau tidak... ia mungkin saja terbangun dalam keadaan menggigil, parahnya beku. Dengan perlahan Jenn mulai bangkit dari sofa. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Sunyi. Tidak ada lagi suara. Hanya denting jarum jam dan dengungan samar dari mesin AC. Pandangannya lalu beralih ke tempat tidur, dan di sana, Javier masih terlelap. Pria itu masih mengenakan kemeja semalam y
Lampu utama pun menyala. Cahaya menyapu seisi kamar, memperjelas sosok Javier yang masih berdiri goyah di ambang pintu. Matanya merah, dasinya terjuntai sembarangan, dan beberapa kancing kemejanya terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang naik turun karena napas berat. Jenn berdiri terpaku di dekat ranjang, tangannya dengan refleks menarik selimut, mencoba menutupi tubuhnya yang hanya dibalut lingerie tipis yang dirasa sangat memalukan itu. Tatapan Javier langsung tertuju padanya. Lelaki itu menyeringai miring, senyum mabuk yang menggoda sekaligus menyakitkan itu, seolah mengejek sesuatu yang tidak bisa Jenn lawan. “Cukup patuh juga kau, ya…” gumamnya pelan namun tidak terlalu jelas. Jenn menunduk. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena campuran marah, takut, dan bingung. Dia tidak tahu apa yang ada di kepala Javier malam ini, apalagi pria itu sedang tidak dalam keadaan yang sadar sepenuhnya. Namun sebelum Jenn sempat membuka mulut, Javier sudah melangkah pe
Pria itu masih berdiri kokoh di antara mereka, menepis kasar tangan Anastasia. Wajahnya dingin, tajam, penuh ketegasan. Mata elangnya menatap lurus ke arah Anastasia, nyaris seperti ingin menembus isi kepala wanita itu. “Apa kau tidak dengar apa yang aku katakan barusan?” tanyanya pelan tapi menusuk. “Menyentuh seseorang di bawah atapku, tanpa izin. Apa kau cukup yakin bisa menerima resikonya?” Anastasia terkejut. Wajahnya yang semula keras, kini mulai memucat. Tangan yang tadi terangkat kini turun perlahan, gemetar. Tatapan Javier bukan tatapan marah biasa. Itu peringatan yang sangat tajam, sangat jelas. “Tu-Tuan Javier, saya hanya sedang mencoba untuk—” “Aku tidak tertarik mendengar alasanmu,” potong Javier cepat. “Cepat pergi dari sini. Jangan paksa aku untuk mengulang kalimat ini lagi.” Anastasia menelan ludah. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada kata yang k
Membaca pesan itu, rasanya Jenn seperti tersambar petir. “Apa-apaan? Kenapa aku melakukan semua ini? Tuan Javier, dia benar-benar serius...?” Jenn sangat tidak paham, kenapa Javier bahkan mau melakukan hal itu dengan seorang pelayan. “Hah...” Jenn menggelengkan kepalanya. “Aku akan mendapatkan banyak uang. Dia pasti tidak mau rugi juga, kan?” Ia pun berniat melanjutkan langkah kakinya. Jenn baru saja hendak membuka pintu kamar ketika sebuah suara memanggil pelan dari ujung lorong ruangan. “Jenn, eh... maksudnya, Nyonya Jenn…” Jenn berbalik. Seorang pelayan berdiri setengah membungkuk, ragu-ragu menatap wajah Nyonya mudanya yang satu ini. Ia tahu betul, menyampaikan pesan seperti ini bisa membuat situasi jadi rumit. “Ada… seorang wanita di depan. Dia bilang dia kakak Anda. Menunggu di depan gerbang rumah ” Sejenak, dunia Jenn seperti membeku seketika. Wajahnya langsung berubah. Mata yang tadinya hanya lelah, kini menjadi suram. Nafasnya tertahan, dan tangannya yang
Sebelum Neneknya benar-benar keluar dari ruangan itu, Javier yang tidak menyukai perkataan Nyonya besar pun membalas, “Wanita sama artinya dengan pakaian untukku. Kalaupun pengantinnya tidak berubah saat itu, hasil akhirnya pun akan sama.” Nyonya besar mematung. Tangannya yang menyentuh handle pintu, bahkan juga sudah mulai terbuka itu tak bergerak untuk beberapa saat. “Javier, tidak semua wanita seperti yang kau pikirkan. Nenek mengatakan ini bukan hanya karena gadis itu tidak pantas secara latar belakang, tapi gadis itu juga tidak bersalah.” Javier hanya tersenyum sinis, tidak ada balasan kata-kata. Tanpa mereka sadari, Jenn mendengar pembicaraan itu. Ditangannya ada nampan dengan dua cangkir teh. Hatinya sakit mendengar ucapan Javier. Tapi, dia juga cukup sadar diri bahwa kenyataan dia adalah seorang pelayan jelas tidak akan cocok untuk Javier. Hanya saja, Jenn sendiri juga tidak menginginkan posisi, dan status sebagai Nyonya Javier. Sadar kalau Nyonya besar akan k