Jenn berdiri mematung, jantungnya berdegup begitu keras hingga rasanya menggema ke seluruh kepalanya.
Di hadapannya, Javier masih menyodorkan gaun pengantin itu dengan tangan yang tegas, seolah memaksa. “Tuan... anda tadi,—” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Pakai aku bilang,” kata Javier dengan nada dingin, datar, tapi penuh tekanan. Jenn coba mengerjapkan matanya beberapa kali, berharap bahwa ia salah dengar. “M-Maaf, Tuan?” Tatapan Javier menusuk lurus ke dalam matanya, tajam dan penuh desakan. “Apa telingamu tuli, Jenn?” bentaknya, suaranya naik satu oktaf. “Aku bilang, pakai gaun ini. Jangan membuatku bicara berkali-kali dengan kalimat yang sama!” Jenn mundur setengah langkah, tubuhnya bergetar. “Tapi saya... saya tidak berani, Tuan. Saya—” “Tidak ada waktu untuk menjelaskan,” potong Javier dengan tajam. Ia menarik napas panjang, lalu berkata lebih tenang namun tetap tegas, “Cassandra jelas tidak akan muncul di altar. Tapi pernikahan ini harus tetap berjalan seperti yang sudah direncanakan.” Jenn memandang gaun sudah berpindah di tangannya. Kain putihnya berkilau lembut, anggun, sempurna, dan sangat tidak pantas baginya. Jari-jarinya mulai gemetar saat menyentuh bahan yang begitu asing itu. Ketika ia masih diam dalam kebingungan, Javier mengeluarkan ponselnya dan menekan tombol cepat. Suaranya terdengar tajam saat bicara, seperti tidak ingin ada ruang untuk bantahan apapun lagi. “Eva, bawa tim tata rias ke kamar pengantin sekarang. Kau punya sepuluh menit untuk membuat Jenn terlihat seperti mempelai. Tutupi wajahnya dengan veil penuh. Kau paham?” Jenn menoleh kaget. “Tuan… ini tidak jelas benar…” “Yang tidak benar,” kata Javier perlahan, menatap langsung ke matanya, “adalah kenyataan bahwa kau hanya seorang pelayan yang aku bayar. Jadi, tutuplah mulutmu rapat-rapat dan ikuti semua yang aku perintahkan.” Dan dengan satu isyarat tangan, pintu kembali terbuka. Beberapa orang berseragam hitam dan membawa kotak-kotak rias memasuki ruangan, mengapit Jenn seperti boneka yang akan didandani. Mereka cepat dan kompak. Jenn hanya bisa berdiri di sana, seperti ditarik ke dalam permainan besar yang tidak ia mengerti kurasa apapun mencoba untuk memikirkannya. Tapi satu hal pasti, kedepannya akan banyak sekali masalah yang datang, mengusik ketenangan nya. Beberapa saat kemudian. Langkah kaki Jenn terasa berat saat menyusuri lorong altar, gaun putih panjang menyapu lantai marmer dengan bunyi halus namun terasa menghantuinya. Di tangannya, buket bunga yang awalnya ingin ia serahkan kini justru tergenggam erat seolah menjadi satu-satunya pegangan untuk tetap berdiri di tengah altar. Jemarinya meremas bunga itu kuat-kuat, tidak peduli jika tangkainya menusuk kulitnya. Tubuhnya gemetaran di balik lapisan gaun pengantin milik orang lain. Di balik veil yang menutupi wajahnya, pandangan Jenn buram oleh kabut bingung dan ketakutan yang mendalam. ‘Ini bukan tempatku yang seharusnya,’ hatinya berteriak. ‘Aku datang hanya untuk mengantar buket ini. Bukan… untuk main nikah-nikahan.’ Tapi semua itu seakan tidak berarti saat ia melihat altar di ujung sana, tempat Javier berdiri seolah tengah menunggunya. Pria itu mengenakan setelan hitam mewah, tubuhnya tegap seperti patung, namun sorot matanya begitu dingin, keras, tanpa kenal ampun. Seolah ini bukan pernikahan, tapi sebuah pengorbanan. Orang-orang yang hadir di ruangan itu tersenyum, berbisik pelan, menganggap semuanya seperti yang seharusnya. Tidak ada yang tahu bahwa pengantin sebenarnya telah menghilang, bahwa wanita di balik veil itu bukanlah Cassandra. Jenn menatap ke arah altar, di mana seorang pria tua yang adalah kakek Javier, pria itu jelas menyadarinya. Parahnya, pria tua itu seolah tengah menyalahkannya. Padahal Jenn sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini. Siapa Cassandra sebenarnya? Kenapa dia menghilang? Bodoh atau gila karena lari dari pernikahan mewah ini? Padahal, Javier adalah orang terkaya di kota ini. Pertanyaan-pertanyaan itu berdengung di kepalanya, seperti potongan puzzle yang berserakan. Tapi untuk saat ini, Jenn tidak punya pilihan selain menyelesaikan ‘permainan’ yang telah dimulai bahkan tanpa seizinnya. Javier mengulurkan tangan saat ia sampai di altar. Dengan gemetar, Jenn meletakkan tangannya di atas tangan pria itu sambil berharap agar dia tidak melakukan kesalahan. Dan upacara pernikahan itu pun dimulai. Dengan setiap kata suci yang diucapkan, Jenn merasa semakin jauh dari kenyataan. Dia hanya bisa tertunduk tanpa tahu harus bagaimana. Dan ia mulai sadar bahwa setelah ini, tidak akan ada jalan kembali. “Angkat wajahmu! Jangan berani beraninya menunjukkan ekspresi seperti itu di hadapan semua orang,” peringat Javier dengan berbisik.Karina melangkah masuk ke ruang tengah dengan aura yang nampak angkuh, namun ketika pintu menutup rapat di belakangnya, hanya tersisa ia dan Nyonya Besar saja. Udara seakan mengeras, ketegangan lama yang tidak pernah reda langsung menguasai ruangan itu. Nyonya Besar duduk tegak di kursinya, sorot matanya tajam menusuk. “Ternyata kau memang masih berani menginjakkan kaki ke rumah ini, Karina?” suaranya dingin, penuh rasa muak yang menahun. Karina terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis dengan nada meremehkan. “Aku datang bukan untuk minta restu dari anda lagi, kenapa saya tidak berani datang? Lagi pula, aku dagang juga karena pesan anda, bukan? Lago pula rumah ini adalah rumah dari anak kandung ku, tentu saja bukan masalah jika aku datang ke tempat ini. Aku tetap ibunya, apa pun yang sudah pernah terjadi.” Nyonya Besar mendengus kasar, lalu melemparkan sebuah map ke meja kaca di antara mereka. Lembaran kertas berhamburan, itu adalah neraca transaksi, bu
Jenn baru saja menyesap cappuccino-nya ketika suara hak tinggi menghentak cepat di lantai kafe mendekat ke arah mereka. Javier mendongak, wajahnya berubah datar begitu melihat siapa yang datang menghampirinya. “Selamat pagi, Tuan Javier,” sapa Cecilia dengan senyum manis yang dibuat-buat. Nada suaranya seolah-olah ia sekadar asisten pribadi yang kebetulan bertemu atasannya. “Saya tidak menyangka bertemu Anda dan Nona Jenn di sini.” Javier hanya mengangguk singkat, dingin. “Pagi juga.” Ia kembali menunduk ke arah Jenn, berusaha melanjutkan sarapan tanpa menaruh perhatian lebih. Sementara itu, Jenn sendiri nampak tak terlalu ingin peduli. Penampilan Cecilia yang rapih tapi modis, berbanding terbalik dengannya, sama sekali tidak membuatnya iri. Tapi Cecilia tidak berhenti di situ. Dengan santai, ia menarik kursi di meja mereka. “Boleh saya duduk bersama anda berdua sebentar? Kebetulan saya juga belum sara
“Akan aku keluarkan di luar... akhhh... seperti kemarin. Tenang saja, sayang...” jawab Javier yang beberapa kali tersendat oleh napasnya yang memburu. Beberapa saat kemudian, masih di dalam kamar yang remang itu, kehangatan tubuh mereka masih terasa meski udara malam cukup dingin. Jenn berbaring dengan kepala di atas lengan Javier, selimut tebal menutupi tubuh polos mereka berdua. Sesekali Jenn mengedipkan mata, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih menempel, tapi pikirannya justru melayang pada satu nama yang mengganggunya. “Javier…” suara Jenn pelan, seolah ragu apakah pertanyaannya akan menyulut amarah pria yang moodnya itu kadang tidak bisa di tebak. “Hm?” Javier menoleh sedikit, menatap wajah Jenn yang kini mendongak padanya. “Bagaimana sebenarnya hubunganmu dengan Tuan Victor itu? Aku hanya… penasaran saja,” ucap Jenn akhirnya, matanya menatap langit-langit kamar agar tidak terlalu terbebani dengan tatapan Javi
Pertanyaan Jenn membuat Javier terdiam sesaat. Dia menghela napas, paham benar apa yang dipikirkan Jenn selama ini saat melihat inisial ‘A’ di dadanya. Tidak terlihat marah, Javier justru tersenyum dan meledek, “Apa kau sedang cemburu?” Seketika itu Jenn tercengang. Matanya memutar dengan ekspresi yang jengah. “Kau bilang apa barusan...? Aku cemburu? Hah! Yang benar saja.” Javier tersenyum. Entahlah... rasanya, apapun yang Jenn lakukan belakangan ini selalu sukses membuat hatinya makin merasakan kejelasan rasa cinta itu. Walaupun perasaan ini asing, tapi Javier mulai menerima dengan bahagia atas perasaan yang tumbuh subur di hati dan perasaannya. “Jenn,” katanya lembut. Ia pun meraih tangan Jenn, membiarkan jari jari gadis itu menyentuh permukaan kulit yang diberikan tato. “Apa permukaannya halus dan rata?” Saat menyentuh tato itu, dahi Jenn mengkerut. “Ini... apa ini bekas luka? Atau, memang seperti ini setelah menggunakan tat
Javier pergi ke lantai bawah, tempat untuk olah raga saat Jenn tidur siang. Setelah selesai berolahraga, tubuh Javier tampak dipenuhi keringat, kaus hitamnya melekat erat di kulit. Ia segera membuka pintu kamar dengan langkah ringan. Begitu masuk, ia melihat Jenn yang sudah duduk di ranjang sambil menyisir rambutnya, bahkan sudah berganti pakaian juga. “Sudah bangun?” suara Javier terdengar lebih lembut dari biasanya, bahkan disertai senyum tipis. “Apa sudah dari tadi?” Jenn hanya menoleh sekilas, sedikit tertegun melihat wajah Javier yang berkeringat dan rambutnya yang basah karena keringat. “Belum lama ini… kau baru selesai olah raga?” “Hmm,” gumam Javier singkat sambil melepas kausnya. Gerakan itu begitu natural, memperlihatkan otot dadanya yang terlatih. Jenn spontan menundukkan kepala, jari-jarinya semakin cepat menggerakkan sisir seolah pura-pura fokus, padahal wajahnya memanas walaupun melihat Javier telanjang
Pagi itu, Javier memutuskan untuk menolak semua rapat dan pertemuan penting untuk menggantikan hari sebelumnya. Ia hanya memikirkan satu hal, membawa Jenn ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan lengkap. Rose ikut mendampingi, wajahnya masih diliputi rasa bersalah yang berat. Jenn duduk di kursi tunggu rumah sakit, wajahnya masih agak pucat tapi tetap tenang. Javier duduk di sampingnya, sesekali menggenggam tangan Jenn seolah takut ada hal yang tidak seharusnya terjadi. Rose berdiri tidak jauh, diam menunduk. “Apa tidak masalah mau mengantar ku dan tidak ke kantor?” Javier tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Tidak ada yang penting di kantor, santai saja.” Setelah beberapa saat, dokter keluar dari ruang pemeriksaan membawa berkas hasil awal. “Tuan Javier, Nyonya Jenn,” katanya serius, “hasil pemeriksaan menunjukkan adanya indikasi gangguan akibat konsumsi obat penunda kehamilan dengan dosis yang sangat tinggi. D