Javier duduk di kursi kulit empuk ruangannya yang mewah, tapi tidak ada satu pun kenyamanan yang berhasil menenangkannya hari ini. Tangannya menopang dagu, sementara jemarinya mengetuk meja dengan perasaan yang gelisah. Layar komputer menyala, dokumen-dokumen menumpuk, namun pikirannya kosong.
Ken, asisten sekretaris Javier itu masuk membawa laporan, namun langsung merasa ada yang berbeda dari aura Javier hari ini. “Apakah ada hal serius yang mengganggu Anda, Tuan? Apa saya harus melakukan sesuatu yang lain lebih dulu?” tanya Ken hati-hati, menatap Javier dengan penuh perhatian. Javier awalnya hanya menghela napas. Tatapannya kosong mengarah ke luar jendela, namun akhirnya dia memutar kursinya, menatap Ken penuh perasaan ragu, lalu berkata dengan suara pelan tapi juga serius. “Menurutmu... apakah wajahku tidak cukup menarik? Maksudku, cukup untuk... membuat seorang wanita menyukaiku?” Ken nyaris menjatuhkan tablet di tangaAnaya melangkah pelan mendekati tempat tidur, memastikan langkahnya tidak menimbulkan suara. Javier tertidur pulas, wajahnya tenang seolah tidak terjadi apa-apa sejak semalam. Rambutnya sedikit berantakan, dan dadanya naik turun perlahan. Anaya berdiri di sisi tempat tidur, memandang pria itu cukup lama. Senyuman lembut muncul di wajahnya. “Kak Javier…” bisiknya pelan, nyaris tidak terdengar. Tangannya terulur, mengusap lembut wajah Javier. Jemarinya menyentuh garis rahang pria itu, bergerak pelan ke pipi yang halus. “Wajahmu selalu saja terlihat luar biasa…” gumamnya. Dia benar-benar mengagumi setiap detail pada diri Javier, mulai dari matanya yang dalam, hidungnya yang tegas, hingga postur tubuhnya yang gagah dan memikat. Tidak heran banyak wanita terpikat padanya. Dan Anaya, dia sudah terlalu jauh jatuh cinta. Perlahan, Anaya mulai menunduk, lalu mengecup lembut pipi Javier.
Jenn mengerutkan keningnya. “Barusan dia bilang apa, sih?” Javier sudah mulai tertidur. “Ah, terserah dia sama lah. Intinya, aku harus cari cara supaya dia sendiri yang memutuskan kontrak di antara kita berdua.” Jenn pun kembali melihat Javier. Pria itu masih menggunakan sepatu, jas, dan dasi sehingga terpaksa dia melepaskan semua itu lebih dulu. Begitu urusan sepatu selesai, Jenn kini bersiap membukakan dasi. Tapi, baru juga menyentuh dasi itu, Javier mencengkram tangan Jenn kuat-kuat. Jenn terkejut. “Tuan, lepaskan! Anda ini—” “Ayah... kau tidak boleh melakukan itu. Jangan... jangan lakukan itu, aku tidak punya siapapun lagi. Aku mohon... jangan tinggalkan aku...” Jenn pun terdiam mendengar itu. Dia juga melihat bagimana Javier yang nampak gelisah, dan berkeringat dingin. Pria yang selalu berekspresi dingin di hadapannya itu ternyata bisa terlihat sangat ketakutan seperti ini. Je
Pagi itu, setelah Javier bersiap dia langsung pergi ke kantor, meninggalkan Jenn di kamar begitu saja. Jenn sendiri merasa begitu kesal, tapi ingin melampiaskan amarah juga percuma karena orangnya tidak ada lagi di rumah. Tubuhnya remuk redam, kakinya gemetar saat berdiri. “Gila... penyiksaan macam apa ini? Apa makhluk bernama pria itu memang seperti ini? Setiap kali kesal langsung saja menyetubuhi wanita?” Jenn tertatih saat menuju ke kamar mandi. Padahal dia sudah mandi, tapi harus mandi lagi gara-gara Javier. Hari ini, Jenn benar-benar akan terus berada di dalam kamar untuk istirahat. Makan juga akan dia minta dengan pelayan rumah. “Harus memulihkan tenaga,” gumam Jenn. Benar saja, seharian Jenn benar-benar berada di dalam kamar. Makan siang pun menjelang sore. Ia meminta pelayan rumah untuk mengantarkan padanya. Beberapa jam kemudian. Malam itu suasana rumah terasa tenang… hingga suara mobil Javier terdengar memasuki halaman. Anaya yang sudah menunggu
“Kak Jenn!” teriak Anaya yang tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka barusan. “Jadi... jadi kalian berdua bersekongkol untuk menyingkirkan ku?!” Nyonya besar hanya membuang napas, tidak peduli dengan Anaya. Jenn agak terkejut, tapi dia juga tidak banyak bereaksi karena begitu mengatakan itu, Anaya langsung berlari. Entah pergi ke mana, Jenn juga tidak ingin terlalu peduli. Lihatlah... kartu yang berisi uang masih tergeletak di meja, siapa yang tidak mau ambil? Jenn bersiap mengulurkan tangan, tapi belum juga tergapai, Anaya sudah kembali datang. Kali ini membawa Javier. Terpaksa Jenn menarik tangannya, berat hati sekali. “Lihat, kak. Kartu itu masih di meja!” tunjuk Anaya pada kartu itu. Jenn pun menghela napas menahan kesal. Padahal sedikit lagi dia bisa menambah uangnya. “Mereka benar-benar ingin bekerja sama untuk menyingkirkan ku dari rumah ini!”
Anaya masuk ke kamarnya dengan langkah yang terasa berat. Begitu pintu tertutup, dia bersandar di baliknya dan menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak, pikirannya penuh sesak oleh suara yang masih terngiang, suara Javier dari dalam kamar bersama Jenn menggema di kepalanya. Dia tidak butuh imajinasi untuk tahu apa yang sedang terjadi di balik dinding itu. Dan itu membuat darahnya seolah mendidih dan tubuhnya gemetar. Anaya menatap bayangan dirinya di cermin. Ia mencoba tersenyum... senyum sinis yang langsung memudar karena matanya mulai merah dan berkaca-kaca. “Aku pikir... aku yang paling dia sayangi,” gumamnya lirih, lalu menunduk menatap tangannya yang mengepal. “Ternyata, Kak Javier juga bisa membaik kasih sayang dengan perempuan lain?” Ia duduk di tepi ranjang, mengingat-ingat semua kenangan manis antara dirinya dan Javier sejak mereka bertemu dulu. Betapa perhatian pria itu padanya. Hadiah-hadiah yang diberikan. Ucapan lembut, pelukan hangat, bahkan sikap prot
Anaya terkejut tetapi tetap diam saat melihat Javier membawa Jenn pergi. Pria itu nampak tidak sabaran membawa Jenn menaiki anak tangga, mengarah ke kamar mereka. Ada perasaan tidak bisa dijelaskan melalui kata-kata yang kini dirasakan oleh Anaya.Nyonya besar diam-diam tersenyum miring. Dia cukup menikmati apa yang dia lihat barusan. Walaupun memang benar dia masih tidak akan pernah mungkin menyetujui hubungan Jenn dan juga Javier, tapi penting sekali menyingkirkan Anaya untuk saat ini. Sesampainya di kamar, Javier menghempaskan tubuh Jenn dengan kasar. Hampir saja Jenn jatuh, untuk dia berpegangan pada sisi tempat tidur. Javier langsung mengunci pintu kamar. Setelah itu berjalan mendekati Jenn yang hanya berdiri diam dengan ekspresi yang tidak terbaca. Grep!Javier mencengkram lengan Jenn kuat. “Akhh...” pekik Jenn, suaranya kecil. Dengan tatapan matanya yang marah, Javier pun berkata, “Berani