Mag-log inTatapan Javier pun mengeras. “Aku tidak berniat memberi uang dan status, sementara aku sendiri tidak mendapat manfaat apa pun dari pernikahan ini. Sudah mengerti?”
Jenn menunduk, wajahnya memerah menahan malu dan marah yang bercampur. Tapi ia tahu, tawaran ini bukan sesuatu yang bisa ditawar. Ini sebuah ultimatum, sama sekali bukan permintaan. Dalam hati ia bertanya, ‘apakah ia sanggup menjalani satu tahun penuh sebagai istri dari pria yang memperlakukannya seperti kesepakatan bisnis…?’ Sangat tidak masuk akal. Setelah pembicaraan itu, Javier meninggalkan rumah. Pada akhirnya, malam pertama setelah tanda tangan perjanjian itu, Jenn terbaring di tempat tidur yang telah disiapkan untuknya di sebuah kamar yang asing. Kamar itu cukup besar, dengan dinding berwarna abu-abu muda yang sejuk dan jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumah Javier. Namun, meskipun segala sesuatunya tampak rapi dan nyaman, Jenn merasa begitu asing. Ini seperti penjara yang indah, tapi tanpa oksigen. Dia mengamati setiap sudut kamar yang terang benderang, mencoba menenangkan dirinya. Namun meskipun ruangan itu tenang, pikirannya justru semakin bergejolak tidak karuan. Perasaan gugup dan gelisah yang tidak terucapkan melilit dadanya. Ada rasa cemas yang menggelora, tapi tidak bisa ia ungkapkan. Dia mengingat kembali kata-kata Javier yang jelas terdengar tegas di telinganya sebelum dia pergi, “Kau akan tinggal di kamarku, dan kau harus tahu apa tugasmu. Jangan membuatku mengulang ucapan.” Jenn tahu benar bahwa meskipun ia tinggal di kamar ini, pernikahan mereka adalah sesuatu yang lebih dari sekadar sekat fisik. Itu adalah sebuah kontrak. Semua perasaan dan harapan pribadi harus ia kubur jauh-jauh. Tetapi bagaimana mungkin? Bagaimana bisa ia hidup nyaman setelah semua ini? Ah, tapi uang ditawarkan padanya juga tidak main-main banyaknya. Jenn melirik ke meja samping tempat tidurnya, di mana sebuah surat perjanjian terlipat rapi menunggu. Angin malam masuk melalui celah jendela, dan ia menutup mata sejenak, seolah mencoba meredakan kegelisahannya yang terus bergejolak. “Mau bagaimana lagi? Aku memang harus menjalani ini. Tidak ada pilihan, aku juga tidak punya keluarga yang bisa diandalkan. Lagi pula, aku akan pergi membawa banyak uang setelah satu tahun.” Ia pun membuang napasnya. “Semua akan baik-baik saja, Jenn. Setidaknya, kau bisa pergi dengan masa depan yang terjamin, tidak kelaparan, meskipun tidak lagi utuh.” Jenn berbalik di tempat tidur, menatap langit-langit dengan pikiran yang kini mulai sedikit demi sedikit menjadi tenang. Tanpa sadar, kasur yang nyaman dan empuk itu membuat Jenn tertidur pulas. Pagi datang perlahan, sinar matahari yang lembut menerobos celah tirai dan menerangi kamar yang sunyi. Jenn membuka matanya, terkejut dan kebingungan. Ia mengerutkan keningnya, mencoba menyesuaikan pandangan dengan cahaya yang masuk. Dan kemudian, matanya pun terpaku. Javier terbaring di sampingnya, tidur dengan begitu tenang. Tubuhnya yang kekar dan wajahnya yang jarang terlihat lepas dari ketegangan, kini tampak begitu tidak terganggu dalam tidurnya. Jenn seketika menelan ludah, kegelisahan menyelubungi hatinya. Tubuhnya terasa kaku, dan perasaan gugup serta ngeri bercampur aduk dalam dadanya. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah bagian dari perjanjian yang sudah ditandatangani, hanya sebuah rutinitas yang tidak perlu dipikirkan terlalu dalam. Namun, kenyataannya lebih sulit dari sekadar perjanjian saja. Pelan-pelan, Jenn berusaha bangkit, merasakan setiap detik detak jantungnya yang semakin cepat. Ia tidak ingin membangunkan Javier, namun gerakannya yang sedikit saja seolah menyadarkan tidur Javier. Dengan mata yang masih terpejam, suara Javier terdengar pelan, namun tegas. “Jangan bergerak begitu banyak,” katanya, suaranya berat, seperti baru bangun tidur. “Itu menggangguku dan berisik.” Jenn berhenti sejenak, napasnya serasa terhenti. Ia menunduk, terperangkap dalam ketegangan yang tiba-tiba muncul. Perlahan, ia kembali duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan diri. “Ma-maaf, Tuan...” katanya lirih, suaranya hampir tidak terdengar. Javier tidak mengubah posisinya, tetap terbaring dengan tenang. “Jika kau sudah selesai...,” ujarnya, suaranya datar, “kau bisa keluar untuk menyiapkan sarapan untuk ku.” Jenn mengangguk pelan, mencoba menguasai diri. Ia mengalihkan pandangan dari Javier yang masih terlelap, berusaha menenangkan pikiran yang semakin kacau. Dengan hati-hati, Jenn beranjak dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membuat suara lebih dari yang perlu. Saat melangkah keluar kamar, ia merasa udara di sekitar tubuhnya terasa lebih berat. Seperti ada sesuatu yang tidak terucapkan, yang terus membayangi. Tepat saat Jenn akan meraih handel pintu, tiba-tiba saja ketukan terdengar jelas. Tok Tok! Jenn terkejut. Javier membuka matanya dengan malas. “Siapa?” ucap Javier, serak khas bangun tidur. “Maaf mengganggu, Tuan. Di bawah Nyonya besar menunggu,” ucap salah satu pelayan rumah itu. Jenn membeku dalam Keterkejutannya. ‘Gila...! Ini terlalu cepat. Bagaimana aku akan menghadapi Nyonya besar?’Pada pemeriksaan lanjutan itu, suasana ruang dokter terasa lebih ringan dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Javier duduk tegak, tidak lagi tampak tegang seperti saat awal menjalani terapi, sementara Jenn duduk di sampingnya, jemarinya menggenggam tangan Javier dengan tenang dan berharap itu dapat menguatkan. Dokter membuka berkas hasil evaluasi paling baru, meninjau catatan demi catatan lalu mengangguk dengan puas. “Tuan Javier,” ucapnya dengan senyum profesional, “perkembangan Anda sangat signifikan. Respons kognitif membaik, konsentrasi stabil, dan gejala pascatrauma juga jauh berkurang dari prediksi awal.” Jenn tampak menahan napas, menunggu dengan berdebar kalimat berikutnya. “Namun,” lanjut dokter sambil menutup berkas, “meski kondisi Anda sudah jauh lebih baik, saya tetap menyarankan untuk melakukan kontrol rutin minimal enam bulan sekali. Ini penting untuk memastikan tidak ada regresi atau masalah baru yang akan muncul.”
Sejak hari itu, semuanya benar-benar berubah. Javier kembali mengambil alih perusahaan seperti sebelumnya, bersama Ken. Langkahnya tegas, tatapannya dingin, wibawanya muncul kembali seakan empat tahun terakhir tak pernah menggerogoti dirinya. Di bawah kepemimpinan Javier, perusahaan perlahan kembali stabil, bahkan orang-orang yang sebelumnya meremehkan Jenn kini tertunduk tanpa suara saat Javier berada di ruangan CEO. Sementara itu… tugas Jenn jadi berubah total. “Sayang, mulai hari ini,” Javier pernah berkata sambil merapikan rambut Jenn, “pekerjaan wajib mu hanya satu saja, memanjakan diri sendiri.” Jenn tertawa waktu itu, mengira Javier hanya sedang bercanda. Tapi ternyata tidak sama sekali. Setiap pagi, Javier selalu mengirim pesan sebelum berangkat, “Ingat pesan ku. Hari ini dan seterusnya kau harus senang. Tidak boleh stres.” “Kalau kau pergi keluar rumah, aku ingin foto buktinya. Biar
Jack akhirnya tertidur pulas di pangkuan Javier setelah bermain sepanjang sore. Tubuh kecil itu naik turun perlahan seiring napasnya yang tenang. Javier mengusap rambut Jack pelan-pelan dan lembut, memastikan anak itu benar-benar nyaman sebelum ia mengalihkan pandangannya kepada Jenn. Jenn duduk sedikit lebih dekat, mengelus lengan Javier. “Apa yang ingin kau bicarakan? Kelihatannya sangat serius saat kau bicara,” tanyanya lembut. Javier terdiam. Ia menelan napas, pandangannya jatuh ke wajah Jack sebelum akhirnya kembali kepada Jenn. Ada sebuah keraguan, bahkan rasa takut, di mata pria itu. “Sayang…” ucapnya akhirnya, suaranya rendah dan berat. “Aku sudah memikirkannya sejak kejadian di kantor tadi. Keadaanmu… sudah sangat berbahaya untuk keselamatan mu.” Jenn mengerutkan dahi. “Maksudmu bagaimana?” “Ada banyak oknum, banyak pihak yang punya kepentingan kotor saat ini. Mereka tidak hanya
Javier terkekeh geli melihat mata Jenn membulat penuh kekesalan. “Oke oke, Sayang. Kau cuma mau bilang kalau aku ingin memijat mu sebentar. Tapi... sepertinya kau berpikir lain, ya?” Mendengar itu, Jenn pun terperangah tak percaya. “Jangan bohong! Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, hah?!”Javier menanggapi semua itu dengan tawa renyah. Setelah itu, mereka pun memutuskan untuk pergi ke ruang pertemuan guna mengakhiri konflik secara tuntas untuk hari ini. Beberapa saat kemudian, di ruangan itu. “Urusan kantor sudah selesai untuk hari ini jangan dibuat rusuh lagi,” ucap Javier akhirnya, suaranya tenang namun berat seperti palu godam. Ia menoleh kepada Jenn, yang berdiri di sisinya, masih terlihat gugup meskipun kini sudah mengenakan pakaian yang lebih rapi. Javier meraih tangannya dengan lembut. “Kita pulang sekarang,” katanya singkat. Jenn mengangguk kecil, memandang Javier yang begitu tegas begitu berbeda dari beberapa hari terakhir, dan hatinya mencelos oleh ra
Javier mencium bibir Jenn. Ciuman yang begitu hangat perlahan menjadi panas. Kerinduan yang terlalu besar, seperti bendungan jebol yang sulit untuk ditahan lagi. Sosok Javier yang dulu telah kembali, Javier yang tidak akan mungkin menahan diri untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan pada Jenn. Sejenak Javier menghentikan ciuman bibirnya, menatap Jenn dengan sorot mata yang begitu dalam. “Sayang, aku sangat merindukan mu...” Jenn hanya bisa terdiam. Entah kenapa mulutnya seperti terkunci, dia hanya ingin memeluk pria itu terus. Meski begitu, Javier juga bisa merasakan kerinduan yang sama, yang Jenn rasakan. “Sayang...” Javier kembali mencium bibir Jenn. Tubuh Jenn reflek mundur, Javier mengangkat tubuh kurus itu hingga duduk di meja kerjanya. Tangannya juga sudah menyingkirkan barang yang mengganggu. Semakin dalam ciuman itu, maka semakin sulit bagi Javier
Setelah memberi peringatan keras, Javier tidak memberi kesempatan siapa pun untuk berbicara lagi. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat pada Ken untuk mengambil dokumen di tangannya. Ken segera maju dan mengambil, meletakkan map tebal di atas meja rapat. “Ini,” ujar Javier dengan suara datar namun penuh tekanan, “adalah seluruh bukti yang membantah setiap tuduhan yang kalian lemparkan kepada istri dan asisten sekretaris kepercayaan ku.” Beberapa direktur menelan ludah, sementara yang lain tampak mulai panik. Javier memilih untuk membuka map itu, mengeluarkan beberapa lembar dokumen, rekaman, serta laporan investigasi. “Ini yang pertama…” Ia menekan tombol remote, menampilkan rekaman CCTV serta data lokasi ponsel di layar besar. “Istriku dan Ken tidak pernah berada di lokasi yang sama seperti yang diberitakan dalam rumor hubungan gelap itu.” Ia menunjuk timestamp rekaman. “S







