Selina telah meninggalkan kafe dengan langkah tergesa. Tangisnya tak bisa dia bendung lagi. Lumi menatap kepergian sahabatnya itu dengan amarah yang semakin menumpuk di dada. Dia melirik tajam kepada Zander, lalu menyambar tasnya di atas meja, hendak pergi menyusul sahabatnya.Namun langkah Lumi terhenti saat seseorang menghalangi pintu keluar. Lumi berbelok ke kiri, orang itu mengikuti, dia berbelok ke kanan juga diikuti. Dengan menahan kesal, Lumi mengalah untuk memberi jalan.“Kalau mau lewat, silahkan lewat! Jangan berdiri di depan pintu dengan badan sebesar Gapura Kabupaten itu!” cibir Lumi tanpa rem.Ternyata Pria itu tak lain adalah Aswin. Mendapat penghinaan dari Lumi, Aswin hanya menghela napas dalam. Aswin berdehem pelan, menatap Lumi dengan serius.“Mohon maaf, Nona. Tuan ingin berbicara sebentar kepada Anda,” ujar Aswin dengan menunduk hormat dan satu tangan di dada.Satu alis Lumi terangkat. Pria di depannya ini terlihat seperti Pelayan setia dari seorang bangsawan sepert
Selina masih terduduk di kursinya dengan wajah pucat pasi. Tangannya bergetar hebat, menahan luapan emosi yang meledak di dadanya. Rasa marah, trauma, dan sakit hati bercampur menjadi satu, menyesakkan rongga dadanya hingga sulit bernapas.Selama ini… Zander tahu. Dia pria itu. Pria yang telah merenggut kehormatannya tujuh tahun lalu. Pria yang menjadi mimpi buruk terburuk dalam hidupnya, kini menjadi suaminya sendiri.Air matanya menetes tanpa henti. Napasnya terengah dalam isak yang tertahan.‘Pantas saja…Pantas saja dia tidak pernah mempermasalahkan ketidaksucianku di malam pernikahan itu. Karena dia tahu… dia pelakunya…’ pikirnya getir.Selina menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan isak keras yang nyaris pecah. Dunia seolah runtuh menimpanya, menelan habis semua kepercayaannya pada orang yang sempat memberinya rasa aman.Saat itulah, dering ponselnya bergetar. Dengan tangan gemetar, Selina menatap layar yang menampilkan nama Zander Castellvain. Napasnya tercekat. Dia tak sa
Selina menatap kotak salep kecil di tangannya. Napasnya bergetar pelan saat taksi berhenti di depan sebuah bangunan putih elegan bertuliskan SkinMed Derma & Research Clinic.Dia menarik napas dalam sebelum melangkah masuk. Aroma antiseptik bercampur lavender menyambutnya, menenangkan pikirannya yang kalut. Para perawat yang lalu-lalang menyapanya hangat, menimbulkan rasa rindu akan masa lalunya di tempat itu.“Selina! Sudah lama tak ke sini,” sapa seorang perawat berambut bob dengan senyum cerah.Selina membalas senyum itu. Saat perawat itu memeluknya singkat, Selina merasakan kehangatan yang sempat hilang dari hidupnya. Dia melepas pelukan itu perlahan, menatap mata perawat yang dulu menemaninya lembur berjaga di klinik itu. “Apa Madam ada di ruangannya?” tanyanya pelan.“Ya, beliau baru selesai operasi laser jam sepuluh tadi. Silakan masuk, Selin!”Selina mengangguk sopan dan melangkah menuju ujung koridor. Pintu kaca buram bertuliskan Prof. Dr. Natasya Widjaya, Sp.DV berdiri kokoh
Keesokan harinya, sinar matahari menembus tirai tipis kamar apartemen Zander, menorehkan semburat hangat di dinding putih. Selina perlahan membuka matanya. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas, dan detak jantungnya berdegup tak beraturan.Dia mengerjap pelan, menatap langit-langit putih di atasnya dengan pandangan kosong. Bau antiseptik samar tercampur aroma wangi khas pengharum ruangan mahal, menusuk inderanya yang masih setengah sadar. Ketika dia hendak bangun, tangan yang dia pakai untuk menopang tubuh terasa berdenyut nyeri. Selina baru sadar ada bekas infus yang tertutup perban di sana. ‘Semalam…, apa yang terjadi?’Samar-samar, ucapan Zander semalam kembali menampar pikirannya. Ucapan dengan nada tajam penuh emosi yang membingungkan.“Bodoh! Kenapa kau selalu terjebak dalam lubang yang sama?”Selina menggigit bibir bawahnya, menahan perih di dadanya. Apa maksud Zander? Kenapa dia menyinggung jebakan yang sama? Mungkinkah dia sudah tahu… tentang tragedi yang membuatnya kehila
“Aswin, pastikan tak ada satu pun media atau staf kantor tahu tentang ini,” perintah Zander dingin tanpa menoleh. “Aku tak mau Mama atau siapa pun melihat kondisinya sekarang.”“Baik, Tuan.”Setelah itu, Zander membawa Selina ke mobil. Kali ini dia sendiri yang mengemudi. Selina diletakkan dengan hati-hati di kursi depan.Saat akan memasangkan sabuk pengaman, Selina malah mengalungkan lengannya ke leher Zander. Dengan manja dia mendusel ke leher hangat suaminya. “Panas…, Mas!” keluh Selina.Zander mengerem kesal karena lehernya terasa geli dengan kelakuan Selina yang tak sadar itu. Untuk itu, dia mendorong kepala Selina agar menjauh darinya. “Duduk diam! Jangan macam-macam!” ancam Zander entah Selina bisa mengerti atau tidak. Mobil hitam itu segera melaju menembus malam menuju apartemen pribadi milik Zander di pusat kota. Mata Selina setengah tertutup, napasnya berat dan tak teratur. Tubuhnya panas, berkeringat, dan sesekali terdengar erangan kecil meluncur dari bibirnya.Zander me
Kesadaran Selina perlahan kembali, menembus kabut tebal di kepalanya. Kelopak matanya terasa berat saat berusaha membuka, menatap langit-langit kamar berwarna putih krem dengan lampu gantung bergaya klasik.Dia mengerjap, napasnya terengah. Bau karpet mahal dan wangi parfum pria menusuk hidungnya. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia mencoba menggerakkan tangan, namun hanya sedikit yang mampu bergerak. Kakinya bahkan nyaris mati rasa.‘Di mana ini?’Detak jantung Selina berpacu cepat ketika pandangannya menangkap dua sosok pria paruh baya sedang berdiri di depan ranjang. Keduanya mengenakan jas mahal yang tadi dia lihat di restoran. Pak Herman dan Pak Gunawan. Namun kali ini, tak ada lagi topeng ramah di wajah mereka. Yang ada hanyalah tatapan buas, seperti serigala lapar yang menatap mangsanya.“Lihat betapa cantiknya dia….” gumam Pak Herman, menurunkan dasinya perlahan sambil mendekat ke arah ranjang. “CEO Castellvain benar-benar beruntung punya sekretaris semanis ini.”Pak Gunawan t