Mobil pengantin berhenti di depan gerbang besar kediaman Castellvain. Gerbang besi itu terbuka pelan dengan suara derit berat, seakan menjadi peringatan untuk Selina yang baru saja resmi menjadi menantu keluarga ini.
Gedung megah gaya eropa di depan sana benar-benar menakjubkan. Mobil melewati taman yang tertata rapi menjadi pemanis tambahan rumah mewah itu.
Namun, Selina tak memperlihatkan rasa kagum sedikit pun. Dia duduk tenang di balik jendela mobil, seolah kemewahan itu hanya sekadar ornamen kosong.
Saat pintu mobil terbuka, dia turun dengan anggun. Masih dalam gaun pengantin putih, langkahnya mantap menghampiri Sabrina, Ibu Mertuanya yang berdiri dengan senyum hangat di depan pintu utama.
"Selamat datang di kediaman Castellvain, Selina!" ucap Sabrina ramah.
Mobil Sabrina duluan pulang di tengah acara. Katanya agar bisa menyambut kedatangan Selina di kediaman itu. Wanita paruh baya itu tak ingin mengecewakan menantunya jika datang ke sana tanpa sambutan.
Selina memperhatikan sekitar mansion mewah itu. Meski begitu besar, kediaman itu tampak sunyi seolah ada aura hitam yang menyelimuti.
Selina membungkuk sopan kepada Sabrina. "Terima kasih Nyonya atas sambutannya. Tapi terus terang saya merasa tidak pantas berada di sini," ujarnya.
"Astaga, Nak... jangan panggil saya begitu. saya ini mertuamu sekarang. Panggil saja Mama atau Ibu, senyamannya kamu."
Sabrina menggenggam tangan Selina lembut, seolah ingin menunjukkan bahwa keluarga ini tak mempermasalahkan derajat seseorang.
Selina mengangguk kecil dengan senyum tipis. “Ba-baik!”
Tindakannya barusan hanya ingin menguji karakter dari Ibu Mertuanya. Melihat sikap Sabrina yang ramah dan lemah lembut, dia mengambil kesimpulan bahwa wanita paruh baya itu adalah orang baik.
Zander yang sejak tadi berdiri di belakang Selina hanya melirik sekilas. Tanpa sepatah kata, Zander melangkah duluan, membuka pintu rumahnya meninggalkan semua orang. Selina hanya memperhatikan punggung Zander yang menjauh.
'Dia beneran marah, ya?’
Sabrina menghela napas pelan karena tindakan Zander barusan. Dia tak enak hati kepada menantunya yang tidak dihargai Zander.
Dia mengisyaratkan pada Kepala Pelayan, "Herry, antarkan Menantuku ke kamarnya!"
"Baik Nyonya! Silahkan Nona!"
Herry, Kepala Pelayan kediaman Castellvain mempersilahkan Selina untuk duluan, sementara dia berjalan di belakang. Begitu masuk, rumah itu terasa seperti museum. Mewah nan berkelas, tapi dingin dan tak bernyawa.
Selina memperhatikan setiap sudut rumah itu. Banyak kamera pengawas terpasang. Juga pelayan yang lalu lalang, fokus pada pekerjaan. Meski terlihat banyak pekerja, tak ada yang menyambut kedatangan Selina.
Suara hak tinggi Selina bergema di lantai marmer. Dia terus berjalan dengan mengikuti instruksi Kepala Pelayan. Untuk mencapai kamarnya, mereka harus menaiki lift menuju lantai 3. Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang ada di antara mereka. Herry hanya fokus pada tugasnya dan Selina yang malas membuka suara.
Hingga mereka tiba di depan sebuah pintu ukiran mahal, Herry mengetuknya. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Zander berdiri di baliknya, tatapannya tajam menusuk.
Selina menahan napas karena merasa terintimidasi dengan aura Zander. Hanya dengan tatapan, dia merasa seperti dikuliti hidup-hidup.
"Maaf, Tuan. Nyonya menyuruh saya mengantarkan istri Anda ke kamar ini," jelas Herry.
Wajah Zander hanya datar. Dia melirik Selina sekilas.
“Oke," kata Zander lalu berbalik.
Herry langsung membukuk 90 derajat. "Baik Tuan, saya permisi!"
Herry segera masuk ke dalam lift lagi. Meninggalkan Selina yang berkedip bingung. Bagaimana mereka bisa saling berkomunikasi hanya dengan satu jawaban singkat itu?
Pria itu sudah mengatakan ‘Oke’ berarti Selina tidak akan disalahkan jika dia lancang mengikuti langkah Zander ke dalam kamar, kan?
Dengan ragu Selina mengikuti langkah Zander. Pintu kamar otomatis tertutup membuat Selina sedikit tersentak. Sunyi menyelimuti kamar itu.
Ruangan dengan dominasi warna abu-abu gelap, membuat suasana semakin tak nyaman untuk Selina. Berbeda dengan pemilik kamar yang nampak sangat nyaman dengan kamarnya.
Selina bergidik ngeri karena selera Zander terlalu gelap menurutnya. Lantaran tak memperhatikan langkahnya, Selina tak menyadari Zander telah menghentikan langkah.
"Ouchhh!" Selina menabrak punggung kekar Zander. Sontak dia melangkah mundur sambil mengusap hidungnya yang terasa mau patah.
Zander menoleh perlahan. Tatapannya tajam, langsung menusuk Selina. Namun pria itu kembali melanjutkan langkahnya. Menuju sebuah nakas di sebelah ranjang yang ternyata berisi berbagai macam topeng seperti yang dia kenakan sekarang.
‘Aku dengar wajahnya terluka makanya ditutupi dengan topeng. Seberapa parah lukanya itu?’ batin Selina penasaran.
Selina menajamkan pengelihatannya saat Zander mulai membuka topengnya. Namun belum sempat topeng itu terlepas, tiba-tiba dering ponsel menggema dari saku Zander.
“Hallo?” Zander memasang kembali topengnya. Lalu mengangkat telepon sambil melangkah keluar kamar
Melihat dirinya akan ditinggal oleh Zander. Tanpa sadar Selina langsung menghentikan dan menahan lengan Zander.
“Tunggu Tuan!”
Tatapan tajam pria itu langsung menghujam dada. Selina dengan kikuk mengangkat tangannya.
“Ah, maaf Tuan. Apakah Tuan ingin keluar? Bolehkah saya mengajukan beberapa pertanyaan sebelum Tuan keluar?” pinta Selina.
Dia ingin tahu apa tujuan Zander menyetujui pernikahan mereka itu. Apakah ada kontrak pernikahan dan sebagainya yang harus dia lakukan? Supaya Selina tahu tindakan selanjutnya yang harus dia lakukan selama di kediaman ini.
Kening Zander berkerut, tanda dia tak suka karena Selina mengusiknya. Telepon Zander masih terhubung, terdengar orang di seberang kembali berbicara, meski tak terlalu kedengaran oleh Selina.
“Nanti saja!” ujar Zander.
Setelah itu Zander pergi dari kamar, meninggalkan Selina yang melongo di tempat. Dia dicuekin oleh suaminya? Wanita itu hanya bisa menunduk dengan sedih.
'Lebih baik aku menunggu dia kembali.’
Selina mengangkat gaunnya agar memudahkan langkahnya menuju ranjang. Dia duduk di pinggir ranjang. Dalam diam mengamati sekelilingnya. Kamar yang sangat rapi namun terlalu gelap.
Entah sudah berapa lama dia duduk di sana tanpa berani bergerak sedikit pun. Hingga…
Tok Tok Tok
Selina tersentak saat pintu kamar diketuk dari luar. Segera dia merapat ke pintu. Memperbaiki sedikit penampilannya sebelum membuka pintu. Ternyata ada Herry yang kembali lagi dengan beberapa pelayan.
“Nona, ini barang-barang Anda!” kata Herry memperlihatkan koper berisi barang pribadi Selina.
Selain itu, masih ada 2 pelayan lain yang membawa setumpuk pakaian serta barang lain. Menyadari raut wajah Selina yang penuh tanya, Herry langsung menjelaskan, “Ini piyama baru untuk Anda, Nona. Juga untuk Tuan Zander.”
“Dan, saya akan membantu Nona mandi. Sesuai tradisi keluarga ini, Pengantin baru harus melakukan ritual pembersihan sebelum melepaskan keperawanan,” jelas salah satu pelayan wanita.
Mata Selina langsung membola. Astaga, dia melupakan satu hal yang penting itu. Dia sudah tidak perawan!
Kesuciannya hilang bukan karena dia nakal. Selina tak terlalu ingat apa yang terjadi, namun dia sangat yakin ada yang telah menjebaknya.
Meski mulai panik, Selina buru-buru mengendalikan ekspresinya agar tak ketahuan. Dia tersenyum lembut.
“Maaf, apakah boleh aku mandi sendiri? Soalnya aku malu jika harus dilihat orang lain. Kalian jelaskan saja apa yang harus aku lakukan selama mandi? Nanti aku akan mengurusnya,” pinta Selina.
Para pelayan menahan senyum. Mereka paham jika Nona Muda ini pasti malu.
“Baiklah Nona. Demi kenyamanan Anda. Namun sebelum itu, tolong jawab pertanyaan saya!” kata Herry dengan nada mengintimidasi.
Selina menelan saliva kasar. Dia tahu arah pertanyaan Herry. Tetapi dia harus tetap tenang.
“Apa Nona masih perawan?” tanya Herry.
“Tentu saja!” jawab Selina tanpa ragu. Seolah tak ada kebohongan di dalam matanya.
“Syukurlah kalau begitu Nona. Karena Tuan akan murka jika Anda sudah kehilangan kesucian. Mungkin..., nyawa Anda bisa melayang jika berani menipunya,” jelas Herry seakan memberikan peringatan untuk Selina.
“Tenang saja! Aku tak akan menipu Tuan kalian. Kalau begitu, berikan barang-barang itu. Aku akan mandi sekarang,” balas Selina.
Para pelayan segera meletakkan barang-barang itu di dalam kamar. Lalu mereka pamit pergi, meninggalkan Selina sendirian. Seketika Selina ambruk di lantai.
‘Astaga, bagaimana ini? Zander terkenal sangat kejam terutama dengan pengkhianatan. Aku harus lakukan sesuatu!’
Matahari baru setengahnya keluar dari tempat persembunyian, tapi dapur kediaman Castellvain sudah dipenuhi dengan aroma harum kopi dan roti panggang. Para pelayan berbisik-bisik heran melihat seorang gadis muda dengan celemek dapur tengah sibuk membuat sarapan dengan gerakan cekatan. "Apakah itu..., Nyonya muda?" bisik salah satu asisten rumah tangga."Astaga, biasanya keluarga Castellvain bangun tinggal sarapan, ini malah Nyonya mudanya sendiri yang masak," sahut lain dengan kagum.Selina berkutat di dapur, memasak sesuai kemampuannya. Hidup mandiri beberapa tahun belakangan membuatnya sedikit banyak bisa menyajikan hidangan-hidangan yang layak dimakan. Para pelayan bergegas mendekat untuk melihat hasil karya Selina. Mereka terpana melihat berbagai hidangan untuk sarapan. Ada roti panggang selai, omelet keju, dan salad segar. Mereka benar-benar kalah cepat dengan Nona muda itu. "Nona, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya salah satu asisten rumah tangga di sana.Selina menoleh dan
Zander sadar dengan ketakutan di wajah Selina. Segera dia tutupi wajahnya yang luka dengan satu tangan. Lalu turun dari ranjang. Pria itu meninggalkan Selina ke ruang ganti.Membiarkan Selina terbaring dengan napas terengah. Tangannya masih bergetar. Sentuhan Zander membuatnya hampir kelepasan. "Aku harus tenang! Aku harus bisa mengendalikan traumaku terhadap pria. Dia sepertinya marah karena sikapku barusan.”Selina memilih bangkit untuk bersandar di kepala ranjang. Dia menunggu Zander keluar dari ruang ganti. Karena mulai saat ini, dia harus mulai menarik hati Zander agar keberadaannya di kediaman Castellvain tak hanya sebagai istri pajangan.10 menit kemudian, Zander keluar dari ruang ganti dengan piyama tidur yang sama dengan milik Selina. Satu alis Zander terangkat melihat Selina masih duduk bersandar tersenyum kepadanya.Satu alis Zander terangkat. Entah kenapa dia tak nyaman jika ditatap lama oleh Selina. "Tuan, saya minta maaf karena tadi tak sengaja membentak Anda tadi," uj
Selina duduk di tepi ranjang, jemarinya mencengkeram ujung piyama tidur yang tak nyaman. Ruangan megah ini terasa seperti penjara baginya. Setiap sudut rumah keluarga Castellvain dijaga. Pintu depan dijaga. Bahkan lorong menuju taman pun tak pernah benar-benar sepi.Setelah mendapatkan barang-barang dari pelayan, Selina segera mandi. Dia memilih berendam di Bathup sampai tak sadar sudah terlelap. Bangun-bangun ketika air hangat yang dia pakai sudah dingin. Selina segera beranjak dari kamar mandi.Usai berganti, kamar itu masih saja kosong. Entah kemana perginya Zander tadi. Selina mendadak gelisah. Bagaimana dengan masalah keperawanannya?Waktu itu dia dijebak saat mengikuti sebuah acara party teman SMA. Selina diberikan obat perangsang dan bangun-bangun berada di kamar hotel seseorang. Karena panik, Selina kabur dari sana dan malah terjebak dengan pria tak dikenal. Dia kehilangan keperawanan. Kejadian itu menjadi hal paling buruk yang menimpanya.“Bagaimana jika dia mencari tahu ten
Mobil pengantin berhenti di depan gerbang besar kediaman Castellvain. Gerbang besi itu terbuka pelan dengan suara derit berat, seakan menjadi peringatan untuk Selina yang baru saja resmi menjadi menantu keluarga ini.Gedung megah gaya eropa di depan sana benar-benar menakjubkan. Mobil melewati taman yang tertata rapi menjadi pemanis tambahan rumah mewah itu.Namun, Selina tak memperlihatkan rasa kagum sedikit pun. Dia duduk tenang di balik jendela mobil, seolah kemewahan itu hanya sekadar ornamen kosong.Saat pintu mobil terbuka, dia turun dengan anggun. Masih dalam gaun pengantin putih, langkahnya mantap menghampiri Sabrina, Ibu Mertuanya yang berdiri dengan senyum hangat di depan pintu utama."Selamat datang di kediaman Castellvain, Selina!" ucap Sabrina ramah.Mobil Sabrina duluan pulang di tengah acara. Katanya agar bisa menyambut kedatangan Selina di kediaman itu. Wanita paruh baya itu tak ingin mengecewakan menantunya jika datang ke sana tanpa sambutan.Selina memperhatikan seki
Helaan napas berat terdengar dari seorang wanita dengan gaun pernikahan. Selina, wanita berusia 24 tahun itu mulai melangkah, menapaki karpet putih menuju altar pernikahan. Gaun putihnya menjuntai anggun dengan train panjang yang langsung disambut desir angin lembut. Veil tipis menutupi wajahnya, namun tatapannya lesu, menyimpan ribuan rasa yang tak bisa diungkapkan. Denting piano lembut mengiringi deru napasnya yang terasa berat. Altar megah yang berdiri tegak di tengah dengan pilar-pilar yang dihiasi bunga lili putih, mawar merah muda serta dedaunan hijau segar, sama sekali tak menggugah rasa bahagia Selina. Dia menoleh ke samping, ada Suyitno Adinata, ayah angkat Selina, menggandeng tangannya, menuntun wanita itu menuju mempelai pria yang sudah menunggu di depan sana. Wajah pria paruh baya itu terlihat sumringah, seolah menjadi orang paling bahagia mengantarkan Putrinya ke Altar pernikahan. Namun apa yang ada di dalam hati Ayah angkatnya itu, Selina yang paling tahu.“Jangan meru