Helaan napas berat terdengar dari seorang wanita dengan gaun pernikahan. Selina, wanita berusia 24 tahun itu mulai melangkah, menapaki karpet putih menuju altar pernikahan. Gaun putihnya menjuntai anggun dengan train panjang yang langsung disambut desir angin lembut. Veil tipis menutupi wajahnya, namun tatapannya lesu, menyimpan ribuan rasa yang tak bisa diungkapkan.
Denting piano lembut mengiringi deru napasnya yang terasa berat. Altar megah yang berdiri tegak di tengah dengan pilar-pilar yang dihiasi bunga lili putih, mawar merah muda serta dedaunan hijau segar, sama sekali tak menggugah rasa bahagia Selina.
Dia menoleh ke samping, ada Suyitno Adinata, ayah angkat Selina, menggandeng tangannya, menuntun wanita itu menuju mempelai pria yang sudah menunggu di depan sana. Wajah pria paruh baya itu terlihat sumringah, seolah menjadi orang paling bahagia mengantarkan Putrinya ke Altar pernikahan. Namun apa yang ada di dalam hati Ayah angkatnya itu, Selina yang paling tahu.
“Jangan merusak acara sakral ini dengan raut wajahnya yang masam itu. Awas saja jika Tuan Besar tidak mau menikahimu!” ancam Suyitno dengan mendelik galak.
Selina menghela napas. “Pa, ini tidak akan berhasil. Tuan Besar itu pasti marah jika tahu aku bukan-”
“Diam!” sentak Suyitno. “Pokoknya kamu harus berusaha bagaimana pun caranya supaya Tuan Besar mau denganmu!”
Terpaksa Selina menutup mulutnya. Dia kembali diseret Suyitno untuk melanjutkan langkahnya. Semua orang langsung berdiri saat menyadari kedatangan mempelai wanita. Kilatan flash kamera dan musik orkestra mulai mengiringi setiap langkah Selina.
Di depan altar, seorang pendeta tua berjanggut putih berdiri tenang, mengenakan jubah upacara berwarna gading. Di sampingnya, berdiri seorang pria dengan tuxedo hitam berpotongan rapi, wajahnya sebagian tertutup topeng hitam yang elegan.
Dialah Zander Castellvain, sosoknya memancarkan kekuasaan dan ancaman. Luka di lehernya yang tak tertutup jadi bukti betapa menyeramkannya rumor tentang pria itu. CEO Castellvain, si Iblis bertopeng.
Selina tak bisa menahan rasa gugupnya. Dia tahu, sosok Zander begitu menakutkan. Sementara dia sendiri hanyalah anak Angkat keluarga Adinata yang sudah di usir 7 tahun lalu, Selina dijemput paksa bukan untuk mendengarkan permintaan maaf mereka, melainkan mereka tak ingin Putri kandung mereka jatuh ke tangan iblis berhati dingin seperti Zander.
"Maafkan kami, Tuan Zander," ucap Pak Suyitno dengan nada manis. "Pengantin wanita butuh waktu lebih lama berdandan, karena dia sangat gugup."
Zander tak menjawab. Dia hanya menatap tajam, lalu menoleh pada ibunya, Sabrina Castellvain, yang duduk di deretan depan kursi yang tersusun rapi di pinggir karpet. Wanita paruh baya itu menatap Zander dengan wajah penuh harap agar Zander mau memaklumi masalah keterlambatan keluarga Adinata.
Namun dengusan sinis dari Zander membuat semua orang menegang. "Sedikit?"
Satu alis Zander naik, tak menyangka keluarga Adinata benar-benar meremehkannya. Sudah hampir 1 jam dia menunggu di atas Altar. Sungguh sebuah penghinaan baginya karena tak dihargai oleh keluarga calon istrinya.
Pak Suyitno tersenyum kikuk. Tatapan tajam Zander membuatnya mati kutu. Selina tersenyum maklum karena dia tahu CEO kejam itu akan marah.
‘Biarlah dia marah. Asal pernikahan ini bisa dibatalkan. Aku yakin CEO Castellvain itu tak ingin diremehkan seperti ini.’
Selina menunduk dalam. Dapat Dia rasakan tatapan menusuk dari Zander di atas sana. Dia dengar sebelumnya, Perusahaan Adinata sudah di ujung tanduk dan tak akan lama lagi bangkrut. Zander bagaikan seorang malaikat yang turun ke bumi saat menawarkan merger perusahaan pada Suyitno.
Akan tetapi, syarat yang diajukan Zander membuat keluarga Adinata kaget bukan kepalang. Zander meminta Putri Pak Suyitno, Alenka Adinata untuk menjadi istrinya.
Dengan reputasi Zander yang terkenal sebagai CEO kejam buruk rupa, mereka tidak ingin menyerahkan Putri kandung mereka pada pernikahan bagai gerbang menuju neraka itu. Makanya Selina yang sudah lama dicampakan malah dipaksa menggantikan anak semata wayang mereka.
Dia hanyalah anak yang diadopsi saat pasangan itu tak kunjung memiliki anak. Namun saat mereka mendapatkan anak 2 tahun kemudian, Selina menjadi anak yang diabaikan. Kasih sayang pasangan Adinata itu hanya tercurahkan pada Alenka, putri kandung mereka.
Saat Selina masih terpaku pada pikirannya, Zander melangkah turun dari altar. Selina yang terkejut langsung menegakkan punggungnya. Dia sudah siap dengan ledakan yang akan terjadi. Sepatu hitam berkilat Zander sudah terlihat 2 meter di depan Selina.
Zander mengamati pengantinnya. Namun dia merasa ada sesuatu yang salah. Pengantin wanita di hadapannya mempunyai fisik yang berbeda dengan calon istrinya. Tubuh wanita di depannya ini terlihat begitu kurus dan lebih pendek ketimbang sebelumnya.
'Aku yakin tubuh Alenka Adinata itu sedikit lebih tinggi dan lebih berisi. Kenapa sekarang nampak beda?'
"Tuan Adinata, aku tidak suka dibohongi," ujar Zander dingin saat sadar telah dibodohi.
Jantung Selina ikut berdebar kencang mendengar suara bariton Zander yang seksi tapi juga penuh ancaman. Pak Suyitno melirik ke arah istrinya yang duduk di deretan kursi terdepan bagian pengantin wanita.
Istrinya, Dian Adinata mulai gelisah. Apalagi Zander melangkah maju, berdiri di hadapan calon pengantin wanita, lalu tanpa ragu menyingkap veil-nya.
"Tunggu Tuan-" seru Dian yang panik, namun semuanya sudah terlambat.
Seluruh tamu yang hadir terdiam. Suara bisik-bisik mulai terdengar. Wajah Selina yang muncul di balik veil mengejutkan semua orang. Wajah asing. Bukan wajah wanita yang dikenalkan pada saat lamaran.
“Itu bukan Alenka!” seru salah satu kerabat Castellvain.
Ibu Zander yang duduk di barisan depan untuk keluarga mempelai pria langsung berdiri. "Kalian mempermainkan kami?! Apa maksudnya ini?" sentaknya kecewa.
Selina hanya bisa menunduk sambil menghela napas berat. Tatapan dari semua tamu seolah tengah menghakiminya. Sampai-sampai dia tak berani mengangkat wajahnya untuk bertatapan dengan hadirin di sana.
Kemudian, Dian menghampiri Selina dan meraih tangannya untuk dibawa ke hadapan Nyonya Sabrina Castellvain. Selina sampai meringis karena lengannya dicengkram kasar oleh Dian.
Dengan menunjukkan wajah sedih yang dibuat-buat Dian mulai menjelaskan, "Ini putri pertama kami Nyonya. Menurut tradisi keluarga, tidak baik jika Adik melompati Kakaknya untuk pernikahan. Maka dari itu, kami mengusulkan putri pertama kami untuk pernikahan ini,” jelas Dian.
“Kalau begitu, kenapa tidak sejak lamaran kalian kenalkan dia? Kenapa baru sekarang kalian tiba-tiba menggantikan pengantin wanita dengan anak pertama? Kalian mencoba menipu kami, hah?” hardik Sabrina dengan mata bekilat marah.
Dian nampak gelagapan saat pertanyaan itu diajukan. Para tamu yang lain pun ikut mempertanyakan pergantian mempelai wanita. Suasana mendadak menjadi ricuh.
“Be-begini Nyonya, Putri kami ini kuliah di luar negeri. Dia baru pulang beberapa hari yang lalu. Makanya kami belum sempat memperkenalkan dia pada Anda,” kata Dian, berharap keluarga Castellvain menerima alasannya.
Zander memperhatikan punggung Selina. Dia belum menamatkan wajah pengganti ini karena keburu ditarik ke arah Sabrina.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Zander dingin.
Selina tersentak dengan pertanyaan Zander. Lidahnya mendadak Kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan yang begitu mudah itu. Dian sampai mencengkram lengannya lebih keras sambil memberikan isyarat agar Selina segera menjawab pertanyaan Zander.
Akhirnya, Selina menoleh ke Zander di bawah tekanan ibu angkatnya. Dia memaksa bibirnya untuk tersenyum tipis.
“Saya Selina Adinata, Tuan,” cicit Selina namun cukup jelas untuk didengar oleh orang lain.
Zander terpaku sejenak. Mata mereka terkunci beberapa detik. Lalu, Zander menghampiri Selina.
Tanpa berkata apa pun, Zander langsung menggandeng tangan Selina dan membawanya ke depan altar. Semua orang menahan napas, tak menyangka pernikahan akan tetap dilanjutkan.
‘Apa maksud pria ini? Bukankah ini waktu yang tepat untuk membatalkan semuanya?’
Selina bingung dengan tindakan Zander yang di luar dugaannya. Seharusnya, Zander marah dengan pergantian pengantin ini. Seharusnya dia murka dan menolak Selina. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Karena sudah diganti, lanjutkan saja!” kata Zander.
Selina mengerjap bingung. Sekarang dia sudah di atas altar bersama Zander. Buru-buru dia menarik tangannya yang masih dipegang Zander. Wanita itu mulai menggigit bawah bibirnya. Dia melihat ke arah ibu Zander, berharap wanita paruh baya itu menghentikan pernikahan ini.
Sabrina sendiri hanya menghela napas. “Terserah padamu, Zander! Mama mendoakan kebahagiaan untuk pernikahanmu,” ujar Sabrina pelan, lantas kembali duduk.
Meski marah dan kecewa, Sabrina tak ingin kehilangan kesempatan menikahkan anaknya. Sudah banyak pengantin yang kabur dan menolak menikah dengan Zander karena kondisi wajah Zander itu. Sepertinya..., menerima pengantin pengganti itu bukanlah akhir yang buruk.
Wajah Selina menegang. Bagaimana bisa Zander tidak marah saat harga dirinya dicoreng keluarga Adinata? Bahkan, masih bisa berdiri dengan tenang di hadapannya.
Pendeta mulai berbicara, mengucapkan kata-kata sakral untuk memulai ikatan suci itu. Tak menunggu Selina yang masih terguncang.
"Hari ini, kita berkumpul untuk menyatukan dua insan dalam janji suci pernikahan. Sebelum Tuhan dan semua saksi di ruangan ini, saya bertanya kepada kalian."
Pendeta menatap Zander.
"Tuan Zander Castellvain, bersediakah Anda menerima Selina Adinata sebagai istri Anda? Menyayanginya, menjaganya dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, dalam segala keadaan, sampai maut memisahkan?"
Zander menatap Selina, lalu menjawab mantap, "Aku bersedia."
Seluruh ruangan terdiam. Wajah-wajah terkejut dan cemas bertebaran. Pendeta beralih kepada Selina.
"Nona Selina Adinata, bersediakah Anda menerima Zander Castellvain sebagai suami Anda? Menyayanginya, menjaganya, dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, dalam setiap keadaan, sampai maut memisahkan?"
Selina menelan saliva dengan susah payah. Dia mengalihkan pandangan ke sekelilingnya. Dia menatap binar bahagia dari Tuan dan Nyonya Adinata karena Zander menyetujui pernikahan itu. Juga … di barisan paling belakang, Alenka berdiri sambil menyembunyikan senyum penuh kemenangan.
Selina meremat bunga di tangan hingga beberapa tangkainya patah.. Yang sudah terjadi, maka terjadilah! Dia juga yakin tak akan bisa lari dari pernikahan ini. Maka dari itu, dengan segenap keberanian Selina menatap Zander.
"Aku... bersedia."
Suara itu sedikit bergetar lantaran terintimidasi dari tatapan tajam Zander. Meski setengah wajah Zander tertutup topeng, Selina tak dapat menampik tekanan yang dia rasakan darinya.
“Dengan demikian, atas nama Tuhan, aku menyatakan kalian sah sebagai suami dan istri. Anda boleh memasangkan cincin.”
Pendeta mengisyaratkan pada pemegang cincin agar membawa kotak cincin ke altar. Zander mengambil satu dan menyematkannya di jari Selina. Begitu pas, seperti memang dibuat untuknya.
Selina membalas, meski hatinya getir. Cincin bertahtakan berlian itu terasa seperti jerat tak kasat mata untuknya. Namun dia tak bisa mundur sekarang.
“Sekarang, Anda boleh mencium pengantin wanita Anda.”
Mata Selina melebar. Tunggu dulu!
Dia belum siap dengan hal itu. Namun waktu tak memberinya jeda.
Zander menyentuh pipinya dengan satu tangan, lembut namun mendominasi. Lalu dia menunduk, bukan untuk mencium bibir, tapi untuk menyentuh dahinya dengan kecupan pelan yang mampu membakar ingatan terdalam Selina.
Mendadak tubuh Selina gemetar hebat. Dia ingin mendorong Zander menjauh karena dia benar-benar belum siap.
‘Tidak! Seberapa keras aku menguatkan diri, aku belum bisa!’ pekik Selina dalam hati.
Ada secercah rasa trauma yang masih membayangi Selina. Sebuah rasa ketakutan besar akibat kejadian di masa lalu yang membuatnya begitu takut jika disentuh lawan jenisnya.
Namun kekuatan Zander lebih besar ketimbang Selina. Detik berikutnya, Zander menyatukan bibir mereka ke dalam ciuman dalam.
Tepuk tangan meriah mengiringi ciuman sakral itu. Di antara mereka, tak ada yang lebih bahagia dari pasangan Adinata. Mereka lega..., akhirnya tak perlu menyerahkan Putri kandung mereka untuk Pria kejam dan buruk rupa seperti Zander.
Saat penyatuan itu terlepas, Selina meraup udara sebanyak-banyaknya. Sesekali dia memukul dadanya yang terasa sesak. Air mata membasahi pipi bersamaan dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya, Diliriknya Zander yang hanya menatap datar ke arahnya.
‘Astaga..., apa dia marah karena aku terlalu jelas dalam menolaknya?’
Siang telah berganti malam saat mobil Zander berhenti di pelataran depan kediaman Castellvain. Lampu-lampu eksterior menyala redup, menyambut dalam keheningan yang pekat. Aswin turun lebih dulu, membukakan pintu untuk Tuannya. Lalu dengan sangat hati-hati Zander mengangkat tubuh Selina yang masih terlelap. Gadis itu menggeliat pelan dalam pelukannya, tapi tak benar-benar bangun. Langkah Zander pelan dan pasti. Ia masuk ke dalam rumah, naik ke lantai atas menuju kamar mereka. Sesampainya di kamar, ia menurunkan tubuh Selina perlahan di atas ranjang. Dilepaskannya sepatu Selina satu per satu, lalu menarik selimut hingga menutup tubuh mungil itu sampai dada. Zander duduk di tepi ranjang, mengusap lembut rambut istrinya yang masih basah oleh sisa tangis. “Tidurlah... sekarang kau aman,” bisiknya lirih, hampir seperti doa. Beberapa detik kemudian, terdengar ketukan pelan di ambang pintu. Sabrina berdiri di sana, raut wajahnya cemas. “Zander...” panggilnya pelan. “Apa yang terjadi pa
Pagi menyambut dengan cahaya suram yang merambat pelan di sela tirai kamar tamu. Selina duduk memeluk lutut di sudut ranjang, mengenakan kaus lengan panjang yang kebesaran, wajahnya pucat dan sembab. Matanya nyaris tak tidur semalam. Di hadapannya, Madam berdiri sambil membawa secangkir teh hangat yang kini sudah mendingin. “Zander sudah datang,” ucap Madam pelan. Selina tak menjawab. Madam menunggu, namun yang terdengar hanya helaan napas tertahan. Selina menggigit bibir bawahnya. “Aku... Tidak bisa menemuinya.” “Selina—” “Aku benar-benar tidak bisa, Madam!” tangis Selina pecah, mendadak. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku tak sanggup. Aku bahkan tak tahu harus bilang apa padanya...” Madam duduk di sisi ranjang. “Bilang yang sebenarnya.” “Aku sudah mengecewakannya...” gumam Selina. “Zander mungkin menginginkan anak... keluarga... masa depan. Tapi aku? Aku bahkan tak yakin masih bisa memberikannya apa-apa!” Tangisnya makin keras. Bahunya berguncang. “Saat dokter
“Selina?” panggil Zander dari balik pintu kamar mereka yang terlihat sepi.Tak ada jawaban. Kamar itu kosong dan sunyi. Zander melangkah masuk, matanya menyapu sekeliling ruangan. Selimut masih berantakan, pakaian tidur Selina tergantung rapi di sisi lemari. Kening Zander mengkerut. Kemana perginya Selina?Satu persatu sudut kamar mulai dia periksa. Dari kamar mandi, ruang ganti, hingga ke balkon kamar. Tak ditemukan keberadaan Selina. Ada perasaan tak enak terbesit di pikiran Zander. Dia mengambil ponselnya, bermaksud menghubungi istrinya. Akan tetapi, dering telepon menggema di atas nakas. "Ponselnya di sini?!" Hati Zander mencelos. Kondisi kamar itu terlihat jelas Selina belum lama berada di dalam sana. Dia berjalan cepat keluar kamar dan turun ke lantai satu. Zander segera menyusuri seluruh sudut rumah. Ia membuka pintu dapur—kosong. Ia melangkah ke taman belakang—juga tak ada siapa-siapa. Kolam kecil di sisi selatan, balkon lantai dua, ruang baca, ruang ganti, bahkan kamar
Zander melangkah pulang dengan hati berkecamuk. Dia sedang mencari celah… untuk menenangkan hatinya yang mulai runtuh oleh banyaknya rahasia. Namun setibanya di ruang tamu, ia tak disambut kehangatan. Yang menantinya adalah ibunya, Sabrina Castellvain, berdiri di ruang tengah dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya yang biasanya lembut kini tegang, memegang lembaran cetakan laporan. Entah dari mana ia mendapatkan data itu. “Zander…” Nada suaranya lirih namun bergetar. “Kau tahu tentang Selina?” Zander mendekat, menahan napas. “Apa yang Ibu tahu?” Sabrina menatapnya dengan ekspresi hancur. “Tentang masa lalunya... tentang dia pernah hamil sebelum menikah denganmu…” Air mata jatuh membasahi pipinya. “Aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Aku membelanya… aku yakin dia gadis baik. Tapi ternyata aku salah? Aku ini ibu macam apa sampai tak bisa melihat semua ini dari awal?” Zander menahan napas. “Ibu—” “Aku benar-benar hancur, Zander. Selama ini aku pikir dia tulus... polos… Tapi te
Kata-kata Alenka menyusup seperti racun. Dan ia tahu, bahkan pria setegar Zander sekalipun… bisa goyah jika menyangkut pertanyaan sebesar itu. Namun Zander tetap diam. Matanya perlahan menajam seperti pisau. Bukan karena percaya… tapi karena ia tahu, ada bagian dari masa lalu Selina yang belum pernah ia sentuh. Dan itu membuatnya—meski sedikit—merasa terusik. Melihat reaksi itu, Alenka semakin menjadi. “Anda pikir dia bersih? Dia pintar menyembunyikan dosa, tapi bagaimana jika itu luka yang dia timbulkan sendiri? Anda layak tahu kebenaran bahwa dia bahkan tidak layak jadi istri CEO Castellvain.” Zander menutup mata. Pelipisnya semakin berkedut mendengar kicauan tak jelas Alenka. Dia menarik napas panjang. "ASWIN!" panggilnya. BRAK! Pintu ruangan terbuka dengan keras. Aswin masuk dengan wajah dingin, matanya langsung menatap Zander, menunggu perintah. Ia sudah mendengar cukup dari luar. "Usir Nona Alenka dari ruanganku! Mulai sekarang, jangan izinkan dia memasuki perusaha
Selina berpura-pura membaca berkas proyek di sofanya, padahal pikirannya sedang melalang buana. Dia masih kepikiran Alenka yang sudah melihat wajah Zander. 'Bagaimana jika dia menyebarkannya? Musuh Zander bahkan belum bisa terdeteksi. Sepertinya aku perlu melakukan sesuatu!' Selina beranjak dari sofa, mengemasi kotak makanannya yang masih bertebar di atas meja. "Mas, aku ke Pantry dulu, ya. Mau buang sampah, sekalian buat kopi," ujar Selina. Kening Zander berkerut. Pergerakan tangannya dalam mengetik langsung terhenti. Menoleh pada istrinya. "Tidak perlu. Sedikit lagi Aswin datang. Lalu kita pulang!" kata Zander sambil memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "O-oh..., baiklah. Kalo begitu aku hanya akan buang sampah," balas Selina. Tanpa menunda lagi, Selina segera pergi membawa bekas makanannya. Langkahnya begitu cepat menuju lift. 'Alenka belum lama turun. Dia pasti masih di sini,' batinnya. Dia ingin memastikan bahwa Alenka tidak menyebarkan masa