Selina duduk di tepi ranjang, jemarinya mencengkeram ujung piyama tidur yang tak nyaman. Ruangan megah ini terasa seperti penjara baginya. Setiap sudut rumah keluarga Castellvain dijaga. Pintu depan dijaga. Bahkan lorong menuju taman pun tak pernah benar-benar sepi.
Setelah mendapatkan barang-barang dari pelayan, Selina segera mandi. Dia memilih berendam di Bathup sampai tak sadar sudah terlelap. Bangun-bangun ketika air hangat yang dia pakai sudah dingin. Selina segera beranjak dari kamar mandi.
Usai berganti, kamar itu masih saja kosong. Entah kemana perginya Zander tadi. Selina mendadak gelisah. Bagaimana dengan masalah keperawanannya?
Waktu itu dia dijebak saat mengikuti sebuah acara party teman SMA. Selina diberikan obat perangsang dan bangun-bangun berada di kamar hotel seseorang.
Karena panik, Selina kabur dari sana dan malah terjebak dengan pria tak dikenal. Dia kehilangan keperawanan. Kejadian itu menjadi hal paling buruk yang menimpanya.
“Bagaimana jika dia mencari tahu tentangku? Bagaimana jika dia tahu aku sudah tidak suci? Aku pasti akan tamat!”
Selina menggigit bibir bawahnya. Kegelisahan kembali menyergap pikirannya. Dia sudah terlanjur jatuh dalam genggaman Castellvain. Apapun yang terjadi, dia harus selamat!
"Dia pasti akan menyelidiki ku..." gumamnya dengan nafas bergetar. "Kalau dia tahu aku sudah tak perawan, semuanya akan berakhir mengerikan!"
Dengan tangan gemetar, dia membuka tas kecil yang bertumpukan dengan barang miliknya yang lain. Mengambil ponselnya, hanya satu nomor yang disimpan di dalamnya. Dia mengetik cepat.
[Butuh bantuan. Urgent. Hubungi aku sekarang!]
Pesan itu dikirim melalui aplikasi terenkripsi. Tak sampai lima menit kemudian, ponselnya bergetar.
[Nama Kontak: LUMI]
Selina mengangkat cepat. “Lu...”
Suara Selina terdengar seperti ingin menangis.
“Aku sudah baca pesanmu.” Suara berat seorang wanita terdengar. "Apa yang terjadi?"
“Lu... dia... CEO Kejam itu, Zander Castellvain. Dan aku- aku baru saja menikah dengannya!”
Hening. Lalu tawa tertahan dari seberang sambungan. “Kau serius?! Selin, kita baru membicarakan dia seminggu yang lalu, loh. Katanya dia calon suami Adik angkatmu, Kenapa sekarang malah jadi suamimu?”
“Mana mau mereka kasih Alenka ke CEO kejam itu. Mereka memaksaku pulang untuk menggantikan pernikahan itu. Sekarang, akulah istrinya,” beber Selina dengan nada sedih.
“Aku beneran nggak nyangka mereka masih berani datang padamu setelah 7 tahun kamu diusir dari sana. Ck, beneran nggak tahu malu!” kesal Lumi mengingat kejadian yang menimpa sahabatnya.
“Sudahlah, tidak usah bahas itu lagi. Mereka menuntutku berbakti karena sudah membesarkanku sampai SMA. Anggap ini setimpal untuk membalas kebaikan mereka,” balas Selina.
“Tapi Lumi! Ada yang lebih penting. Kamu tahu, kan? Aku sudah tidak perawan. Sedangkan, keluarga Castellvain juga sangat ketat tentang itu. Mereka pasti mulai meyelidiki masa laluku. Jika Zander tahu, aku bisa tamat di sini. Lumi..., tolong aku!” mohon Selina.
“Astaga, tunggu sebentar.” Suara ketikan keyboard terdengar cepat dari seberang. “Kau yakin dia sudah mulai menyelidikimu?”
“Yakin. Saat ini suamiku entah pergi kemana? Mungkin mereka sedang berkumpul membahas masalah itu. Aku sama sekali tidak boleh kemana-mana. Cuma terkurung dalam kamar." Suara Selina semakin gemetar.
Lumi, hacker wanita yang besar di panti Asuhan tempat Selina di adopsi, mendesah panjang. “Oke. Pertama, tenang. Kedua, aku sudah menghapus rekaman CCTV hotel itu tujuh tahun lalu. Dan, aku baru pastikan seminggu lalu, log-nya juga bersih. Tak ada bukti kau pernah masuk kamar pria itu.”
Selina menghembuskan napas, tapi dadanya belum juga lega. “Itu belum cukup. Aku..., aku minta kau hapus semuanya, Lu. Semua tentang aku. Nama asliku. Data panti asuhan. Dokumen sekolah lama. Semua! Jangan sampai orang lain mencari tahu tentangku!”
Lumi diam sejenak, lalu menjawab tegas, “Baik. Aku akan bersihkan semuanya. Tapi kau harus ingat, terlalu bersih malah semakin dicurigai. Tetapi jika kamu bisa tenang dalam menghadapi situasi, kamu pasti bisa aman.”
“Terima kasih Lumi! Aku akan membalas kebaikanmu lain kali. Sampai jumpa!”
Selina segera memutuskan teleponnya. Dia mondar mandir dengan tak tenang. Menunggu kabar dari sahabatnya.
Ting!
Sebuah pesan masuk ke ponsel Selina. Sahabatnya mengabari bahwa tugasnya sudah beres. Selina langsung menghela napas lega.
Sekarang yang perlu dia pikirkan adalah cara melakukan operasi selaput dara sebelum ketahuan. Dia tidak ingin nyawanya melayang begitu saja di tangan Zander.
Baru saja akan berbaring di atas ranjang. Selina dikejutkan gagang pintu yang bergerak, menandakan ada orang yang akan membuka dari luar.
Dengan cepat Selina berbaring, menutupi setengah tubuhnya dengan selimut. Dia yakin yang datang Zander.
Seperti tebakan Selina, Zander melangkah masuk ke kamar. Sorot matanya langsung jatuh pada tubuh mungil yang terbaring memunggunginya di ranjang. Zander memilih mengabaikan Selina.
Jas pengantin hitam yang masih dia kenakan mulai terasa pengap dan lengket. Zander menyambar handuknya, lalu masuk ke kamar mandi. Pintu tertutup dengan suara klik lembut, dan suara air segera memenuhi keheningan kamar.
Selina yang merasa sudah aman perlahan membuka mata. Pandangannya tajam ke arah pintu kamar mandi. Mengapa Zander kembali? Selina tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya karena ini malam pertama mereka.
"Dia tidak mungkin menyentuhku malam ini. Pasti tidak!" monolog Selina.
Hatinya berdegup kencang. Tangannya mencengkeram selimut. Detik demi detik terasa sangat lama. Selina menjadi waspada karena takut diserang Zander jika menutup mata.
Saat suara air berhenti, Selina buru-buru memejamkan mata dan kembali memposisikan diri seolah tertidur. Dalam hati, dia terus berdoa agar malam ini berlalu tanpa kejadian apa pun.
Namun suara pintu kamar mandi yang terbuka membuat tubuhnya menegang lagi. Zander melangkah santai keluar.
Rambutnya masih basah, dan hanya selembar handuk putih membalut pinggangnya. Tubuh tegapnya berkilat terkena cahaya lampu, dan langkahnya terdengar mantap di lantai marmer.
Selina, yang tak tahan, sedikit mengintip melalui celah matanya. Dan saat dia melihat Zander berjalan ke arah ruang ganti, tubuh hanya terbalut handuk. Mata Selina melebar.
Tubuh Zander tegap yang penuh otot, apalagi barisan roti di perut pria itu. Ughh..., ingatkan Selina hanya wajah Zander saja yang terluka, bukan tubuhnya! Pemandangan di depannya terlalu menggoda.
Saat Zander berjalan ke ruang ganti, Selina baru menyadari topeng pria itu sudah tidak ada. Dapat Selina lihat wajah Zander memerah sepanjang dahi hingga lehernya.
Sekilas terlihat seperti luka bakar. Namun luka bakar yang masih basah karena nampak warna kemerahan seperti darah di sana. Selina merinding sendiri. Terbayang betapa sakitnya luka itu.
Mungkin karena tatapan Selina terlalu intens, Zander mulai menyadarinya. Pria itu berhenti tepat sebelum membuka pintu ruang ganti. Dia menoleh ke arah Selina.
Refleks Selina menutup mata lagi. Nyaris seperti anak kecil yang ketahuan mengintip sesuatu yang tak seharusnya dilihat.
Tapi terlambat. Zander menangkap gerakan itu.
“Oh?” gumam Zander pelan.
Dengan santai, pria itu melangkah pelan kembali ke sisi ranjang, tak berniat mengenakan pakaian terlebih dahulu. Selina bisa merasakan kehadirannya.
'Dia mau apa?' batin Selina masih pura-pura tidur.
Dan tiba-tiba, dalam satu gerakan cepat, Zander menahan kedua tangan Selina dan mengangkatnya ke atas kepala. Tubuh gadis itu terperanjat, matanya membelalak karena kaget.
“Tuan!” serunya, berusaha menarik tangannya.
Tapi cengkeraman pria itu kuat. Matanya gelap penuh keingintahuan. Nafasnya hangat di dekat wajah Selina.
Ohh, tidak. Tubuh Selina mulai bergetar hebat. Sentuhan Zander membuatnya hampir mual dan menangis. Dia belum bisa!
“Kenapa pura-pura tidur?” tanya Zander dingin.
Selina merasakan tubuhnya menggigil ketakutan hanya karena tatapan menusuk Zander itu. Tanpa topeng, wajah Zander benar-benar parah. Layaknya Zombi dengan luka merah meradang yang siap membusuk.
“Ma-maaf Tuan, saya tidak bermaksud-” suara Selina tercekat karena napasnya mulai sesak.
Siang telah berganti malam saat mobil Zander berhenti di pelataran depan kediaman Castellvain. Lampu-lampu eksterior menyala redup, menyambut dalam keheningan yang pekat. Aswin turun lebih dulu, membukakan pintu untuk Tuannya. Lalu dengan sangat hati-hati Zander mengangkat tubuh Selina yang masih terlelap. Gadis itu menggeliat pelan dalam pelukannya, tapi tak benar-benar bangun. Langkah Zander pelan dan pasti. Ia masuk ke dalam rumah, naik ke lantai atas menuju kamar mereka. Sesampainya di kamar, ia menurunkan tubuh Selina perlahan di atas ranjang. Dilepaskannya sepatu Selina satu per satu, lalu menarik selimut hingga menutup tubuh mungil itu sampai dada. Zander duduk di tepi ranjang, mengusap lembut rambut istrinya yang masih basah oleh sisa tangis. “Tidurlah... sekarang kau aman,” bisiknya lirih, hampir seperti doa. Beberapa detik kemudian, terdengar ketukan pelan di ambang pintu. Sabrina berdiri di sana, raut wajahnya cemas. “Zander...” panggilnya pelan. “Apa yang terjadi pa
Pagi menyambut dengan cahaya suram yang merambat pelan di sela tirai kamar tamu. Selina duduk memeluk lutut di sudut ranjang, mengenakan kaus lengan panjang yang kebesaran, wajahnya pucat dan sembab. Matanya nyaris tak tidur semalam. Di hadapannya, Madam berdiri sambil membawa secangkir teh hangat yang kini sudah mendingin. “Zander sudah datang,” ucap Madam pelan. Selina tak menjawab. Madam menunggu, namun yang terdengar hanya helaan napas tertahan. Selina menggigit bibir bawahnya. “Aku... Tidak bisa menemuinya.” “Selina—” “Aku benar-benar tidak bisa, Madam!” tangis Selina pecah, mendadak. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku tak sanggup. Aku bahkan tak tahu harus bilang apa padanya...” Madam duduk di sisi ranjang. “Bilang yang sebenarnya.” “Aku sudah mengecewakannya...” gumam Selina. “Zander mungkin menginginkan anak... keluarga... masa depan. Tapi aku? Aku bahkan tak yakin masih bisa memberikannya apa-apa!” Tangisnya makin keras. Bahunya berguncang. “Saat dokter
“Selina?” panggil Zander dari balik pintu kamar mereka yang terlihat sepi.Tak ada jawaban. Kamar itu kosong dan sunyi. Zander melangkah masuk, matanya menyapu sekeliling ruangan. Selimut masih berantakan, pakaian tidur Selina tergantung rapi di sisi lemari. Kening Zander mengkerut. Kemana perginya Selina?Satu persatu sudut kamar mulai dia periksa. Dari kamar mandi, ruang ganti, hingga ke balkon kamar. Tak ditemukan keberadaan Selina. Ada perasaan tak enak terbesit di pikiran Zander. Dia mengambil ponselnya, bermaksud menghubungi istrinya. Akan tetapi, dering telepon menggema di atas nakas. "Ponselnya di sini?!" Hati Zander mencelos. Kondisi kamar itu terlihat jelas Selina belum lama berada di dalam sana. Dia berjalan cepat keluar kamar dan turun ke lantai satu. Zander segera menyusuri seluruh sudut rumah. Ia membuka pintu dapur—kosong. Ia melangkah ke taman belakang—juga tak ada siapa-siapa. Kolam kecil di sisi selatan, balkon lantai dua, ruang baca, ruang ganti, bahkan kamar
Zander melangkah pulang dengan hati berkecamuk. Dia sedang mencari celah… untuk menenangkan hatinya yang mulai runtuh oleh banyaknya rahasia. Namun setibanya di ruang tamu, ia tak disambut kehangatan. Yang menantinya adalah ibunya, Sabrina Castellvain, berdiri di ruang tengah dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya yang biasanya lembut kini tegang, memegang lembaran cetakan laporan. Entah dari mana ia mendapatkan data itu. “Zander…” Nada suaranya lirih namun bergetar. “Kau tahu tentang Selina?” Zander mendekat, menahan napas. “Apa yang Ibu tahu?” Sabrina menatapnya dengan ekspresi hancur. “Tentang masa lalunya... tentang dia pernah hamil sebelum menikah denganmu…” Air mata jatuh membasahi pipinya. “Aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Aku membelanya… aku yakin dia gadis baik. Tapi ternyata aku salah? Aku ini ibu macam apa sampai tak bisa melihat semua ini dari awal?” Zander menahan napas. “Ibu—” “Aku benar-benar hancur, Zander. Selama ini aku pikir dia tulus... polos… Tapi te
Kata-kata Alenka menyusup seperti racun. Dan ia tahu, bahkan pria setegar Zander sekalipun… bisa goyah jika menyangkut pertanyaan sebesar itu. Namun Zander tetap diam. Matanya perlahan menajam seperti pisau. Bukan karena percaya… tapi karena ia tahu, ada bagian dari masa lalu Selina yang belum pernah ia sentuh. Dan itu membuatnya—meski sedikit—merasa terusik. Melihat reaksi itu, Alenka semakin menjadi. “Anda pikir dia bersih? Dia pintar menyembunyikan dosa, tapi bagaimana jika itu luka yang dia timbulkan sendiri? Anda layak tahu kebenaran bahwa dia bahkan tidak layak jadi istri CEO Castellvain.” Zander menutup mata. Pelipisnya semakin berkedut mendengar kicauan tak jelas Alenka. Dia menarik napas panjang. "ASWIN!" panggilnya. BRAK! Pintu ruangan terbuka dengan keras. Aswin masuk dengan wajah dingin, matanya langsung menatap Zander, menunggu perintah. Ia sudah mendengar cukup dari luar. "Usir Nona Alenka dari ruanganku! Mulai sekarang, jangan izinkan dia memasuki perusaha
Selina berpura-pura membaca berkas proyek di sofanya, padahal pikirannya sedang melalang buana. Dia masih kepikiran Alenka yang sudah melihat wajah Zander. 'Bagaimana jika dia menyebarkannya? Musuh Zander bahkan belum bisa terdeteksi. Sepertinya aku perlu melakukan sesuatu!' Selina beranjak dari sofa, mengemasi kotak makanannya yang masih bertebar di atas meja. "Mas, aku ke Pantry dulu, ya. Mau buang sampah, sekalian buat kopi," ujar Selina. Kening Zander berkerut. Pergerakan tangannya dalam mengetik langsung terhenti. Menoleh pada istrinya. "Tidak perlu. Sedikit lagi Aswin datang. Lalu kita pulang!" kata Zander sambil memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "O-oh..., baiklah. Kalo begitu aku hanya akan buang sampah," balas Selina. Tanpa menunda lagi, Selina segera pergi membawa bekas makanannya. Langkahnya begitu cepat menuju lift. 'Alenka belum lama turun. Dia pasti masih di sini,' batinnya. Dia ingin memastikan bahwa Alenka tidak menyebarkan masa