Zander sadar dengan ketakutan di wajah Selina. Segera dia tutupi wajahnya yang luka dengan satu tangan. Lalu turun dari ranjang. Pria itu meninggalkan Selina ke ruang ganti.
Membiarkan Selina terbaring dengan napas terengah. Tangannya masih bergetar. Sentuhan Zander membuatnya hampir kelepasan.
"Aku harus tenang! Aku harus bisa mengendalikan traumaku terhadap pria. Dia sepertinya marah karena sikapku barusan.”
Selina memilih bangkit untuk bersandar di kepala ranjang. Dia menunggu Zander keluar dari ruang ganti. Karena mulai saat ini, dia harus mulai menarik hati Zander agar keberadaannya di kediaman Castellvain tak hanya sebagai istri pajangan.
10 menit kemudian, Zander keluar dari ruang ganti dengan piyama tidur yang sama dengan milik Selina. Satu alis Zander terangkat melihat Selina masih duduk bersandar tersenyum kepadanya.
Satu alis Zander terangkat. Entah kenapa dia tak nyaman jika ditatap lama oleh Selina.
"Tuan, saya minta maaf karena tadi tak sengaja membentak Anda tadi," ujar Selina masih mempertahankan kesopanan.
Kening Zander berkerut. Dia mendekati Selina dengan tangan bersedekap dada. Kali ini Selina nampak lebih tenang. Wanita itu tak takut maupun panik seperti tadi. Padahal dia belum mengenakan topengnya lagi.
“Apa Tuan bersedia memaafkan kesalahan saya?” mohon Selina dengan tulus.
Dia turun dari ranjang, berdiri di depan Zander yang hanya diam. Pria itu hanya mendengus pelan lantas berjalan ke arah nakas. Mengambil topeng yang baru.
“Tuan, kamu tidak perlu mengenakan topeng itu di depanku. Saya tidak keberatan dengan wajah asli Anda. Tolong lepaskan saja. Luka Anda akan semakin parah jika terus mengenakan topeng,” ujar Selina.
Sekarang dia mengerti mengapa Zander terus menghindarinya. Jika tidak salah tebak, seharusnya karena dia pikir Selina takut dengan kondisi wajahnya. Namun sebagai mahasiswa Kedokteran yang baru lulus, Selina tahu topeng itu hanya meningkatkan infeksi untuk wajah Zander.
“Kita akan turun. Sekarang, waktunya makan malam!” kata Zander, tetap menggunakan topengnya.
Lantas, Zander keluar, diikuti oleh Selina yang berusaha mengejar langkah lebar suaminya. Selina semakin bingung dengan sikap Zander.
‘Sebenarnya dia marah atau tidak?’
Wanita itu mulai frustasi karena sulit sekali menebak kemauan Zander. Selama makan malam pun dilarang bersuara di meja makan. Hanya Pasutri baru jadi itu yang menikmati makanan lantaran Sabrina sedang keluar.
Saat kembali ke kamar, hanya ada keheningan di antara mereka. Setelah melepas topengnya, Zander langsung naik ke ranjang dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Matanya terpejam dengan deru napas yang tenang.
Selina hanya memperhatikan dalam diam. Dia sangat bingung jika harus menghadapi manusia yang irit bicara seperti ini. Akhirnya, Selina memberanikan diri untuk bergabung ke ranjang juga.
"Tuan?” panggil Selina dengan hati-hati.
“Hm?” Zander hanya membalas dengan gumam pelan.
“Bolehkah saya bertanya, mengapa Tuan tetap menikah padahal Tuan tahu Pengantin Wanita sudah diganti?” tanya Selina.
Terdengar decakan pelan dari Zander. Pria itu bangun lagi, menekan tubuh Selina dan menarik dagu wanita itu agar menatapnya.
"Tidur! Atau aku akan minta jatahku sebagai suamimu!" ancam Zander.
Selina mendadak kaku. Tubuh mereka berhimpitan, dapat dia rasakan 'tongkat senjata' milik Zander di antara pahanya. Astaga!
"Ba-baik Tuan!" balas Selina.
"Bagus!" kata Zander seraya turun dari tubuh Selina.
Dia kembali berbaring memunggungi istrinya. Selina langsung menghela napas lega. Dia terlalu gegabah!
Dia lirik Zander yang sudah memejamkan mata. Ahhh, sepertinya dia terlalu terburu-buru bertanya soal itu. Selina memukul kepalanya sendiri merutuki kecerobohannya.
‘Sudahlah! Lebih baik aku tidur juga!’
.
.
Pagi hari, di saat langit masih gelap, Selina sudah bangun dari tidurnya. Wanita itu terbiasa bangun di jam 3 pagi. Itu menguntungkan dirinya karena dia juga ingin bangun duluan sebelum Zander.
Diliriknya sosok pria yang masih berbaring di sebelahnya. Zander sudah tak membelakanginya. Dia tidur telentang dengan raut wajah sesekali berkerut seolah tengah memimpikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
"Ughh..., hmnn.., tidak!"
Terdengar lenguhan-lenguhan tak nyaman dari Zander. Keringatnya mulai bercucuran di dahinya. Selina hanya memperhatikan tanpa berani menyentuh.
Melihat kondisi Zander saat ini, Selina menyimpulkan bahwa pria itu sering mimpi buruk.
"Apa yang membuatnya seperti ini?” guman Selina sedikit iba dengan raut wajah Zander sekarang.
Di saat Selina ingin turun ranjang untuk membasuh wajahnya, tiba-tiba Zander menariknya. Sebuah lengan melingkar di pinggang Selina.
"Tolong aku! Tolong..., jangan pergi."
Zander mengigau parah. Selina tertegun untuk sesaat. Tubuh suaminya mulai gemetaran. Satu tangan Zander menutupi wajahnya yang penuh luka, seolah luka baru saja dia dapatkan.
Zander kesakitan!
"Tuan! Tuan, sadarlah!" Selina menahan tangan Zander karena ingin mencakar wajahnya sendiri.
"Tuan!" panggil Selina lebih keras.
Zander tersentak dari tidurnya. Saat sadar, dia langsung bangkit. Pria itu menatap tajam Selina.
"Maaf Tuan, Anda tadi mengigau sambil memeluk saya dan berteriak ketakutan. Saya pikir..., perlu membangunkan Anda," jelas Selina dengan menahan rasa takut akan tatapan Zander.
Sebenarnya, setelah dia perhatikan lagi, luka di wajah Zander itu nampak ganjal. Rumor mengatakan wajah Zander pernah terbakar. Namun melihat luka yang memerah sampai sekarang, Selina sangat yakin itu bukan sekedar infeksi pasca terluka.
Jika Selina benar, berarti selama ini Zander harus menahan sakit yang perlahan-lahan menyebar dan sangat menyiksa. Dia bisa saja mengabaikan hal itu, namun sebagai kelulusan kedokteran, hati Selina merasa harus mengungkap itu pada Zander.
“Tuan…, wajah Anda-” .
"Luka ini, bukan sesuatu yang perlu kau urus!" potong Zander dengan nada dingin.
Lalu Pria itu segera bangkit dari ranjang meninggalkan Selina yang mengerjap bingung. Padahal dia niat ingin membantu. Namun malah berakhir tak sesuai dengan rencananya.
“Mungkin topik ini terlalu sensitif untuknya. Bagaimana cara meyakinkan dia bahwa kulitnya mungkin saja terkena racun?”
Selina harus memikirkan cara lain agar bisa mendekati Zander dan menarik kepercayaannya. Jika dia bisa menyelesaikan masalah luka di wajah suaminya, mungkin saja…, dia akan bisa diterima sebagai istri Sah. Bukan sekedar istri pajangan.
Matahari baru setengahnya keluar dari tempat persembunyian, tapi dapur kediaman Castellvain sudah dipenuhi dengan aroma harum kopi dan roti panggang. Para pelayan berbisik-bisik heran melihat seorang gadis muda dengan celemek dapur tengah sibuk membuat sarapan dengan gerakan cekatan. "Apakah itu..., Nyonya muda?" bisik salah satu asisten rumah tangga."Astaga, biasanya keluarga Castellvain bangun tinggal sarapan, ini malah Nyonya mudanya sendiri yang masak," sahut lain dengan kagum.Selina berkutat di dapur, memasak sesuai kemampuannya. Hidup mandiri beberapa tahun belakangan membuatnya sedikit banyak bisa menyajikan hidangan-hidangan yang layak dimakan. Para pelayan bergegas mendekat untuk melihat hasil karya Selina. Mereka terpana melihat berbagai hidangan untuk sarapan. Ada roti panggang selai, omelet keju, dan salad segar. Mereka benar-benar kalah cepat dengan Nona muda itu. "Nona, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya salah satu asisten rumah tangga di sana.Selina menoleh dan
Zander sadar dengan ketakutan di wajah Selina. Segera dia tutupi wajahnya yang luka dengan satu tangan. Lalu turun dari ranjang. Pria itu meninggalkan Selina ke ruang ganti.Membiarkan Selina terbaring dengan napas terengah. Tangannya masih bergetar. Sentuhan Zander membuatnya hampir kelepasan. "Aku harus tenang! Aku harus bisa mengendalikan traumaku terhadap pria. Dia sepertinya marah karena sikapku barusan.”Selina memilih bangkit untuk bersandar di kepala ranjang. Dia menunggu Zander keluar dari ruang ganti. Karena mulai saat ini, dia harus mulai menarik hati Zander agar keberadaannya di kediaman Castellvain tak hanya sebagai istri pajangan.10 menit kemudian, Zander keluar dari ruang ganti dengan piyama tidur yang sama dengan milik Selina. Satu alis Zander terangkat melihat Selina masih duduk bersandar tersenyum kepadanya.Satu alis Zander terangkat. Entah kenapa dia tak nyaman jika ditatap lama oleh Selina. "Tuan, saya minta maaf karena tadi tak sengaja membentak Anda tadi," uj
Selina duduk di tepi ranjang, jemarinya mencengkeram ujung piyama tidur yang tak nyaman. Ruangan megah ini terasa seperti penjara baginya. Setiap sudut rumah keluarga Castellvain dijaga. Pintu depan dijaga. Bahkan lorong menuju taman pun tak pernah benar-benar sepi.Setelah mendapatkan barang-barang dari pelayan, Selina segera mandi. Dia memilih berendam di Bathup sampai tak sadar sudah terlelap. Bangun-bangun ketika air hangat yang dia pakai sudah dingin. Selina segera beranjak dari kamar mandi.Usai berganti, kamar itu masih saja kosong. Entah kemana perginya Zander tadi. Selina mendadak gelisah. Bagaimana dengan masalah keperawanannya?Waktu itu dia dijebak saat mengikuti sebuah acara party teman SMA. Selina diberikan obat perangsang dan bangun-bangun berada di kamar hotel seseorang. Karena panik, Selina kabur dari sana dan malah terjebak dengan pria tak dikenal. Dia kehilangan keperawanan. Kejadian itu menjadi hal paling buruk yang menimpanya.“Bagaimana jika dia mencari tahu ten
Mobil pengantin berhenti di depan gerbang besar kediaman Castellvain. Gerbang besi itu terbuka pelan dengan suara derit berat, seakan menjadi peringatan untuk Selina yang baru saja resmi menjadi menantu keluarga ini.Gedung megah gaya eropa di depan sana benar-benar menakjubkan. Mobil melewati taman yang tertata rapi menjadi pemanis tambahan rumah mewah itu.Namun, Selina tak memperlihatkan rasa kagum sedikit pun. Dia duduk tenang di balik jendela mobil, seolah kemewahan itu hanya sekadar ornamen kosong.Saat pintu mobil terbuka, dia turun dengan anggun. Masih dalam gaun pengantin putih, langkahnya mantap menghampiri Sabrina, Ibu Mertuanya yang berdiri dengan senyum hangat di depan pintu utama."Selamat datang di kediaman Castellvain, Selina!" ucap Sabrina ramah.Mobil Sabrina duluan pulang di tengah acara. Katanya agar bisa menyambut kedatangan Selina di kediaman itu. Wanita paruh baya itu tak ingin mengecewakan menantunya jika datang ke sana tanpa sambutan.Selina memperhatikan seki
Helaan napas berat terdengar dari seorang wanita dengan gaun pernikahan. Selina, wanita berusia 24 tahun itu mulai melangkah, menapaki karpet putih menuju altar pernikahan. Gaun putihnya menjuntai anggun dengan train panjang yang langsung disambut desir angin lembut. Veil tipis menutupi wajahnya, namun tatapannya lesu, menyimpan ribuan rasa yang tak bisa diungkapkan. Denting piano lembut mengiringi deru napasnya yang terasa berat. Altar megah yang berdiri tegak di tengah dengan pilar-pilar yang dihiasi bunga lili putih, mawar merah muda serta dedaunan hijau segar, sama sekali tak menggugah rasa bahagia Selina. Dia menoleh ke samping, ada Suyitno Adinata, ayah angkat Selina, menggandeng tangannya, menuntun wanita itu menuju mempelai pria yang sudah menunggu di depan sana. Wajah pria paruh baya itu terlihat sumringah, seolah menjadi orang paling bahagia mengantarkan Putrinya ke Altar pernikahan. Namun apa yang ada di dalam hati Ayah angkatnya itu, Selina yang paling tahu.“Jangan meru