Sejak kejadian malam itu, sikap Dara sedikit melunak dengan Arya. Bahkan beberapa kali dia ikut jika mereka berpergian. Ciara akan senang sekali. Arya seperti ganti dari Dewa yang saat ini tidak ada.
"Om, Cia mau ke mall," pinta anak itu saat Arya datang berkunjung ke rumah mereka saat weekend.
"Nanti, ya," jawab Arya.
Dara hanya bisa menggelengkan kepala ketika putrinya naik ke punggung Arya dan meminta keliling halaman.
"Puter sana, Om. Terus sana." Ciara menunjuk kesana kemari.
Sejak tadi dia hanya duduk di kursi teras sambil melihat-lihat. Tangannya bergerak mengambil sepotong brownies yang terletak di meja. Setiap Arya datang, dia selalu membawa berbagai macam camilan.
"Udah, ya. Om capek," kata laki-laki itu. Mereka ikut duduk di kursi dan makan camilan.
Dara menuangkan orang juice di gelas. Arya meneguknya dengan cepat karena kehausan. Ciara juga ikut minum.
"Ini enak banget browniesnya. Kakak beli dimana
Wanita paruh baya itu menatap sang putra dengan perasaan sedih dan kecewa. Matanya berkaca-kaca sejak tadi. Berharap apa yang diucapkan hanya guyonan semata."Aku mau mulai kehidupan baru disini, Ma. Sepertinya belum akan pulang," ucap Dewa dengan penuh keyakinan."Kamu tega sama Dara? Sama Ciara?""Demi masa depan kami. Ini cuma sementara. Nanti kalau udah stabil, aku jemput mereka," lanjutnya."Pikirkan baik-baik, Nak!""Udah, Ma. Rasanya kalau pulang, aku gak punya muka karena keadaan ini." Laki-laki itu menunduk melihat kedua kakinya.Sudah hampir tiga bulan mereka berada disini dan menghabiskan cukup banyak biaya. Hasilnya? Dewa bisa kembali berjalan, hanya saja pincang. Dia tak bisa berdiri tegak dan normal seperti yang lainnya."Apa yang kamu harapkan disini, Nak? Lebih baik pulang, kita ngumpul," pinta mama.Berat hati jika dia harus pulang sendiri. Semua keluarga sudah menanti dan pasti akan kecewa seandainya Dewa
"Sudah, Buuuuu ..."Teriakan para murid membuyarkan lamunan Dara. Hari ini moodnya begitu buruk sehingga malas menjelaskan pelajaran. Jadi, dia hanya memberikan tugas soal-soal kemudian meminta mereka mengumpulkan di depan jika sudah selesai."Oh, ya. Kalian boleh istirahat.""Tapi belum bel, Ibu.""Kalau begitu kalian bebas. Ibu mau istirahat. Ibu kurang sehat. Kalau ada guru lain tanya, jawab saja begitu," jelasnya."Baik, Bu!" jawab mereka serentak.Dara berjalan gontai menuju ke ruang UKS. Mungkin sebutir pil penghilang nyeri kepala bisa meredakan rasa pusingnya."Bu Dara sakit?" tanya petugas UKS saat dia masuk ruangan itu."Pusing, Mbak.""Ayo duduk sini, saya periksa tensinya."Dara menarik kursi dan menyerahkan lengannya untuk diperiksa. Ternyata setelah dicek tensi darahnya memang drop. Pantas saja dia limbung."Ibu belum sarapan?""Sudah.""Apa beberapa hari ini begadang?"
Dara meraih koper dari kabin dan ikut mengantre untuk turun dari pesawat. Sejak malam itu, saat mendengar suara wanita yang mengangkat telepon suaminya, dia berniat berangkat kesini dan membuktikan semua prasangka.Wanita itu menitipkan Ciara kepada ibu dan Riri, serta mengambil cuti kerja selama 3 hari. Saat Arya bertanya dia hendak kemana, Dara menjawab ada training diluar kota dan dia terpilih. Berbohong sedikit, agar keluarga Dewa tak membocorkan kedatangannya.Untunglah bapak, ibu dan Riri bisa diajak kerjasama. Dara menceritakan semua dengan air mata berlinang. Ibu mengizinkanya berangkat, namun dia harus menenangkan diri terlebih dahulu.Riri juga terus memberikan nasihat positif agar hatinya tenang, juga membantu mencarikan promo tiket dan penginapan. Setelah semua persiapan matang, hari ini dia datang untuk menemui Dewa."Taxi?" tanya seseorang bapak bermata sipit menawarkan.Dara bertanya berapa tarif yang dikenakan jika samp
Dara terpekur di makam itu dengan sebuah Buku Yaasin di tangan. Sejak tadi dia melantunkan ayat-ayat dengan merdu di depan batu nisan bertuliskan nama adiknya, Asyifa Laura.Bersama ibu, bapak juga Ciara, mereka berkunjung kesini. Lama dia tidak datang, sejak musibah beruntun menimpa keluarga mereka. Ketika dia tiba di tanah air setelah bertemu dengan Dewa, Dara memutuskan untuk pergi ziarah.Ciara menaburkan bunga di makam 'mamanya'dan memeluk batu nisan dengan mengucapkan kata-kata rindu. Bagaimanapun juga, Laura pernah ada dan cukup lama mengisi hari-hari anak itu."Ayo kita pulang. Udah sore," ajak ibu."Bapak ibu duluan. Aku masih mau disini sebentar," katanya."Kalau gitu kami nunggu di pintu gerbang," kata bapak.Kini tinggalah dia sendiri. Dara mengusap batu nisan dan memeluknya, sama seperti yang Ciara ucapkan tadi.Lama dia termenung, lalau akhirnya berucap. "Dek. Maafin kakak kalau ada salah."Hanya i
Dara terbaring lemas di tempat tidur. Sudah satu bulan ini kondisinya drop. Sejak dinyatakan positif hamil oleh dokter, dia bed rest total. Jangankan bangun, berjalan saja dia tidak mampu.Sama seperti kehamilan dulu, hanya saja statusnya sekarang berbeda. Dia sudah tak lagi bekerja karena Dewa meminta untuk berada di rumah."Pijat, Bu," katanya dengan manja. Sudah dia hari ini juga ibu menginap untuk menemani putrinya.Dewa menjadi semakin sibuk sejak dipindahkan. Dia dipercayakan oleh Mr. William untuk mengelola kantor konsultan miliknya. Bukan hanya dia sendiri, tapi ada beberapa orang yang dikirim kembali ke Indonesia.Penghasilan yang sekarang juga belum sebesar pekerjaan yang sebelumnya. Boleh dibilang, Dewa memulai semua dari nol. Namun, dia menyukuri hal itu. Baginnya harta yang paling berharga adalah keluarga."Kamu ini tiap hamil manja banget," kata Ibu."Kalau pusing ya mau gimana lagi, Bu. Bukan sengaja be
"Selamat pagi, Cantik." Dewa menggendong putri keduanya dan membawa bayi mungil itu ke depan untuk berjemur. Pada saat lahir, tubuhnya agak kekuningan sehingga Dara harus full memberikan ASI. "Ayo, ikut Papa. Kita jalan-jalan." Dewa meletakkan Sarah di stroller, lalu membuka pintu dan berjalan menuju halaman. Setelah kecelakaan itu, kakinya pincang dan tidak bisa berjalan normal seperti yang lain. Dewa tak pernah berkecil hati atas kondisinya saat ini. Dia malah mengucap syukur karena kini bisa berkumpul dengan keluarganya setelah satu tahun berpisah. Walaupun pekerjaannya saat ini tak menghasilkan sebanyak dulu, tetapi dia tetap menjalaninya dengan ikhlas. Dewa percaya bahwa Allah lebih tahu apa yang menjadi kebutuhannya. Mereka hanya perlu berusaha. "Papa!" Dewa menoleh dan mendapati Ciara sedang berjalan ke arahnya. Wajah anak itu terlihat cemberut dan menguap beberapa kali. Sepertinya dia masih mengantuk karena bebera
Dewa memasuki ruangan yang masih sepi. Dia memang datang lebih awal karena harus mengantar Ciara pagi-pagi.Jumlah karyawan di kantor ini memang masih sedikit karena baru membuka cabang dua tahun terakhir. Dia dan beberapa orang dari Singapura dimutasi untuk membesarkannya.William, pemilik perusahaan ingin membuka melebarkan sayap hingga ke seluruh Indonesia, dengan catatan jika omset penjualan terus meningkat. Sayangnya, dalam setahun ini, sejak Dewa dan rekan-rekannya bergabung, semua masih jalan di tempat."Pak Will mau datang ke sini," kata salah seorang rekan Dewa saat memasuki ruangan."Kapan?""Dua hari lagi. Dia kan mau nikah."Dewa tertegun beberapa saat dan teingat akan sesuatu. Jika William akan menikah, itu berarti Keysa juga akan pulang ke Indonesia.Sekilas kenangan sewaktu wanita itu menggodanya berkelebat di benaknya. Keysa memang cantik dengan tubuh yang aduhai. Namun, bagi Dewa, wanita yang dengan mudahnya menyerahk
Kantor pagi itu terlihat lebih meriah dari biasanya. Seluruh ruangan tertata rapi dengan tambahan beberapa perabotan baru. Para karyawan berpenampilan terbaik hari ini karena pemilik perusahaan akan berkunjung. Ada banner ucapan selamat datang di depan pintu masuk. Nama William tertulis besar sebagai penghormatan. Sepasang kekasih itu turun dari mobil sembari bergandengan tangan. Mereka saling bertatapan mesra dan tersenyum senang. Keysa tampak semakin cantik karena tubuhnya terlihat lebih berisi. Perutnya memang membuncit karena ada janin yang sedang bersemayam di dalamnya. "Kenapa aku harus ikut ke kantor?" bisik Keysa ketika beberapa orang menghampiri mereka. "Karena aku ingin memperkenalkan kamu kepada semua karyawanku," jawab William dengan bahasa yang kaku. Sejak Keysa menyetujui perjodohan mereka, William mulai mempelajari banyak hal mengenai Indonesia. Dia mulai mencicipi berbagai menu khas daerah, juga belajar