Malam itu, Juliete duduk sendiri di ruang ganti yang sempit namun penuh cahaya neon hangat. Cermin besar di hadapannya memantulkan wajah yang nyaris tak ia kenali lagi—lipstik merah, bulu mata lentik buatan, dan rambut panjang yang dikibaskan sempurna ke satu sisi.
Penampilannya dimulai dalam lima menit. Sudah hampir dua minggu sejak ia mulai bekerja di sini—di Club paling eksklusif di West End, milik keluarga bangsawan Inggris yang kekayaannya tidak terhitung. Baginya, ini adalah keberuntungan. Juliete adalah mahasiswi jurusan hukum di universitas Oxford. Cerdas, kritis, dan penuh ambisi. Tapi ambisi tidak membayar sewa apartemen kecilnya di pinggiran kota. Tidak membayar uang kuliah. Tidak juga bisa membeli makan malam. Bekerja di bar seperti ini bukan pilihan…tapi kebutuhan. Sebagai Pole Dancer di klub mewah, ia menerima bayaran tiga kali lipat lebih tinggi daripada pelayan biasa. Dan itu cukup untuk bertahan. Menari di atas panggung, diterangi cahaya spotlight, dinilai bukan dari otaknya, tapi dari lekuk tubuh dan cara ia memikat mata pria-pria kaya yang datang dengan setelan mahal dan mulut manis. Ia menarik napas dalam, merapikan bagian terakhir dari kostumnya, dan berdiri. Dari balik tirai beludru hitam di sisi panggung, sang manajer memberi kode. Hanya satu anggukan pendek, cepat dan pasti. Rokok menyala di ujung bibirnya mengepul perlahan. Juliete membalas dengan anggukan tenang, lalu ia melangkah maju. Begitu ia memasuki area panggung, lampu sorot menembak tubuhnya dari segala sudut, menciptakan siluet yang tajam namun memikat. Musik elektronik mulai berdentum perlahan, membangun suasana yang hampir erotis. Dan di sanalah ia, melangkah menuju tiang baja dengan gerakan halus dan terukur. Semua mata tertuju padanya. Gerakan pertamanya lembut, penuh irama. Tubuhnya meliuk, menggoda tanpa memohon, memikat tanpa berusaha keras. Tak ada sisa-sisa gadis polos usia 23 tahun yang baru kemarin mencatat kuliah tentang sistem peradilan pidana. Yang ada hanyalah profesionalisme dingin, sensualitas yang dikendalikan, dan keheningan penuh perhitungan. Di kursi-kursi kulit yang membentuk setengah lingkaran di sekeliling panggung, para tamu elit mulai memperhatikan. Beberapa menyisipkan anggur mahal. Beberapa hanya menyipitkan mata, seperti sedang menilai sebuah karya seni hidup. Seseorang sedang mengamati. Seseorang itu…berasal dari keluarga Cavendish. Jaiden Alastair Cavendish Ia mengisap rokoknya perlahan, bibirnya menyeringai tipis. Asap tembakau mengepul dari mulutnya. Di hadapannya, lampu sorot menggeliat mengikuti gerakan seorang penari di atas panggung. Seksi. Lihai. Menghipnotis. Tatapannya menajam. Ia condong sedikit ke depan. Kepulan asap rokok mengambang di antara dia dan cahaya panggung. “Siapa dia?” gumamnya. “Bukan wajah lama,” jelas sang asisten, Benjamin. Pria dengan Jas rapi, usianya kisaran pertengahan 40. Hampir separuh hidupnya, ia dedikasikan untuk royal pada keluarga Cavendish. Terutama Jaiden. Jaiden hanya mengangguk pelan. Mata tajamnya menyipit, menganalisis setiap gerakan di atas panggung. Tiba-tiba, pintu ruang privat diketuk. Seorang wanita tinggi dan berpenampilan memikat masuk dengan membawa nampan perak berisi sebotol wiski tua dan dua gelas kristal. “Silakan, Tuan…” ucapnya dengan senyum merekah di balik lipstik merah menyala. Ia mengenal pria itu—Jaiden Alastair Cavendish. Pewaris pertama keluarga Cavendish, nama yang bergaung seperti kutukan di kalangan elit Inggris. Orang-orang tidak berbicara tentangnya. Mereka berbisik. Dan saat dia hadir, mereka menunduk… demi keselamatan mereka sendiri. Natalie—biasanya jadi primadona panggung Ocean Club & Bar. Namun sejak gadis bernama Juliete muncul dua minggu lalu, sorotan itu lenyap. Pendapatannya turun drastis. Dan yang paling membuatnya muak: Juliete tidak pernah melayani siapa pun. Tidak minum bersama pelanggan. Tidak ikut ke lounge pribadi. Apalagi tidur dengan mereka. Harga diri? Moralitas? Omong kosong. “Letakkan saja,” ucap Jaiden, tak menoleh. Tatapannya masih terpaku pada sosok penari tiang yang memikat itu—belum tahu siapa namanya, tapi sudah cukup tergelitik oleh auranya. Natalie berjongkok pelan, meletakkan gelas dan botol wiski di meja kaca. Tapi tangannya cepat—di balik lipatan napkin di nampan, ia menyelipkan Mancis emas—milik Jaiden. Dengan gerakan mulus sebelum berdiri dan melangkah keluar, masih dengan senyum yang nyaris tak berubah. Natalie tidak akan membiarkan gadis bernama Juliete keluar dari Ocean Club dalam keadaan aman, malam ini. Segera setelah keluar dari ruangan VIP, Ia menuju lorong sempit di belakang bar, tempat deretan loker staf berada. Di antara deretan nama, Natalie berdiri tepat di depan satu loker: Juliete Finnigan. Dengan gerakan luwes, Tangannya sudah terlatih. Dalam waktu kurang dari lima detik, kunci loker terbuka tanpa suara. Tangannya masuk ke dalam, menarik tas Juliete. Ia menyelipkan mancis emas milik Jaiden disana. Natalie tahu satu hal pasti: Keluarga Cavendish tidak memberi kesempatan kedua. *** Suara musik mengalun sensual. Kerumunan penonton menyemut di bawah panggung. Sorak-sorai, siulan kagum, dan gelas-gelas kristal yang terangkat tinggi membentuk simfoni khas malam mewah di jantung kota London. Semua mata tertuju pada Juliete. Tapi dari arah lorong samping, dua pria berbadan besar berpakaian hitam melangkah cepat, disusul oleh Benjamin—sang asisten pribadi Jaiden. Ia menatap lurus ke arah panggung. Lalu— “Juliete Finnigan,” suara Benjamin terdengar tajam, menusuk riuhnya suasana. Semua mendadak diam. Juliete menoleh cepat. Ia belum sempat mengambil napas saat dua pria itu sudah naik ke panggung. “Turun. Sekarang,” ucap salah satu pria berbadan besar. “Terjadi sesuatu?” tanya Juliete, tetap tenang. Tapi ia bisa merasakan tekanan udara di sekelilingnya berubah drastis. Benjamin tidak menjawab. Ia hanya memberi kode. Dalam waktu singkat, mereka mengawal Juliete keluar dari panggung, melewati tatapan penuh tanya dan bisik-bisik para tamu. Juliete berdiri diam, ditemani tatapan tajam Benjamin dan kedua pria keamanan. Loker-loker berdiri berjajar seperti saksi bisu. “Buka lokermu,” perintah Benjamin dingin. Juliete menaikkan alis. “Apa maksudnya?” “Kami menerima laporan bahwa ada barang milik Tuan Cavendish yang hilang. Dan seseorang melihatmu—” Benjamin tak melanjutkan. Dia hanya mengangguk ke arah loker. Dengan tenang, Juliete memutar kunci loker miliknya. Benjamin menyambar tas Juliete, membuka resletingnya dengan cepat. Dan di sana—di kantong dalam—terletak mancis emas dengan ukiran inisial “J.A.C” terpampang jelas. Kilat logam mahal itu seperti menyeringai pada Juliete. Juliete menatap benda itu lama. Benjamin menoleh padanya. Matanya sempit, curiga. “Kau mau bilang… itu bukan milikmu?” Juliete mengangkat kepalanya. Sekilas ekspresi bingung melintas di wajahnya, tapi segera tergantikan dengan sesuatu yang lebih tegas. “Bawa dia..” seru Benjamin tegas dan dingin.Pagi itu langit cerah. Matahari baru saja naik di ufuk timur, menyebarkan cahaya oranye yang menyapu jendela-jendela besar di Petrovka. Di balik sinar hangat yang menari di kaca, seorang gadis melangkah pelan menyusuri koridor utama. Malam tadi, dia dikenal dengan nama Juliete—nama samaran yang baru diberikan oleh kepala penjaga. Padahal, nama aslinya adalah Maria. Setelah sarapan, Maria tidak ikut bergabung bersama para tahanan wanita lain yang berkumpul di aula makan. Dia menyelinap pergi, diam-diam menyusuri lorong-lorong yang sunyi di sayap utama gedung. Ada satu tujuan dalam pikirannya yaitu menemukan wanita bernama Juliete, seperti yang diperintahkan langsung oleh Tuan Volkov. Langkahnya ringan, tubuhnya menunduk setiap kali suara langkah penjaga terdengar dari kejauhan. Dia tahu, ini bukan waktunya berkeliaran. Seharusnya sekarang adalah jadwal latihan—latihan yang kejam, terstruktur, dan tak mengenal belas kasihan. Latihan untuk menjadi wanita penghibur sekaligus mata-ma
“Jadi… Nona Juliete,” Jaiden bersandar di sofa, menyesap wiski pelan, pandangannya tajam seperti pisau. “Kau berasal dari Petrovka?” Wanita itu tersenyum samar. “Ya, bisa dibilang begitu, Tuan Volkov.” “Mengapa kau melakukan pekerjaan seperti ini? Kau butuh uang?” Juliete terkekeh pelan. “Siapa yang tidak menyukai uang, Tuan? Bahkan harga diri bisa dijual dengan harga yang tepat.” Jaiden menatap kosong ke arah gelasnya. “Kalau begitu, mari bicara soal harga. Aku akan memberimu lebih banyak dari yang pernah kau terima… Tapi aku ingin sesuatu sebagai gantinya.” “Apa itu?” matanya menyipit curiga. “Aku ingin masuk ke Petrovka.” Suasana langsung berubah dingin. Wanita itu menegang. “Petrovka bukan tempat untuk ‘tamu’ seperti Anda, Tuan…” “Bukan itu pertanyaanku.” Jaiden bersandar ke depan, meletakkan gelasnya di meja. “Aku bertanya: berapa harga yang kau minta agar bisa membantuku masuk ke sana?” Wanita itu terlihat berpikir keras. “Itu… tidak mudah. Tempat itu dijaga
“Sudah lebih dari seminggu kita mengintai Petrovka, Tuan…” Benjamin membuka suara, nada suaranya lelah namun tetap penuh rasa hormat. “Tapi tak ada satu pun celah. Tidak ada jaringan internet, sinyal telepon diblokir, dan perimeter sekelilingnya dipenuhi ranjau aktif. Kamera pengintai pun tak mampu menembus pagar-pagar seng dan pohon pinus yang mengelilinginya.” Mereka duduk melingkar di ruang suite hotel yang tertutup rapat. Malam telah larut, namun tidak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Jaiden duduk bersandar, wajahnya gelap, tatapannya dingin, tangannya mengepal di pangkuannya. Di hadapannya: Benjamin, Marvis, dan Daniel. “Tapi ada satu informasi tambahan dari Alex,” kata Daniel, menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya, lalu menyalakan api. “Setiap Sabtu malam, ada satu mobil van berwarna hitam keluar dari gerbang barat Petrovka. Mobil itu selalu membawa dua atau tiga wanita… mereka dikirim ke sebuah hotel di Moskow, lalu diperdagangkan dal
Meja makan besar dari kayu ek itu dipenuhi hidangan hangat yang masih mengepul. Lampu gantung kristal menggantung indah di atasnya, namun suasana di ruangan itu lebih dingin dari salju di luar sana. Juliete duduk dengan tubuh tegak, sendoknya nyaris tak menyentuh piring. Sekilas ia berusaha terlihat tenang, namun matanya merah, lelah menahan rindu dan gejolak di dadanya. Setiap gerak napas terasa berat—ada kehampaan yang sulit dijelaskan. Julian, di ujung meja, menyendok makanannya dengan tenang, meski sesekali melirik adik perempuannya itu. Sheila di sisi lain memperhatikan mereka berdua dengan raut resah yang disembunyikan di balik senyum tipis. “Zamira…” suara Julian terdengar halus, tapi menyentuh seperti belati. “Kau tidak makan?” Juliete mendongak sedikit. Ia mencoba tersenyum, tapi tak berhasil. “Aku tidak lapar,” jawabnya pelan, matanya menunduk lagi ke arah sup yang sudah dingin. Julian menaruh sendoknya perlahan. “Kau harus jaga dirimu. Apalagi sekarang…” Kal
Mereka dituntun langsung ke ruang VIP, melewati lantai dansa yang dipenuhi gemerlap lampu strobo dan dentuman musik EDM. Aroma alkohol mahal dan parfum mahal bercampur dengan bau samar asap rokok yang membumbung di udara. Erica masih menggamit lengan Marvis seolah pria itu miliknya. Sejak dari bandara hingga hotel, Erica tak pernah melepaskan Marvis barang sedetik. Bahkan kini, mereka diketahui berbagi kamar. Ruangan VIP itu lebih senyap—dindingnya dilapisi beludru hitam, pencahayaannya remang dengan lampu gantung kristal bergaya art deco. Lima gelas kristal bening telah disiapkan, berisi vodka premium. Enam wanita penghibur berdiri di sisi ruangan, sebagian mulai menghampiri Benjamin dan Daniel yang duduk tak banyak bicara. Dan akhirnya, seorang pria berbadan besar duduk di hadapan mereka. Rudolf. Rambutnya sudah mulai menipis, tapi kekuasaan terpancar dari cara ia bersandar santai di sofa dengan dua wanita menggelayut di sisinya. Cerutu mahal mengepul di tangannya, dan tatapannya
Julian menyugar rambutnya kasar, jemarinya berulang kali mencengkeram rambut ikalnya seperti ingin merobek kepalanya sendiri. Di hadapannya, meja kerja penuh dengan berkas, peta pengawasan, dan laporan misi yang bahkan tak sempat ia sentuh sejak Juliete datang. Dentuman telapak tangannya menghantam permukaan meja. Sheila mendekat pelan, lalu meletakkan kedua tangannya di punggung Julian. Dengan lembut, ia mengelus punggung pria itu, mencoba menyalurkan ketenangan meski ia sendiri merasakan badai yang akan datang. “Kenapa kau begitu marah, sayang?” bisiknya pelan, suaranya penuh pengertian. Julian mendongak perlahan, matanya merah karena menahan luapan emosi. “Karena Zamira mengandung bayi dari pria brengsek itu…” Sheila menghela napas pelan, tetap berdiri di belakangnya. “Tapi mereka sudah menikah, Julian. Kau tahu itu. Apa kau sungguh membenci Jaiden Cavendish sampai sejauh ini?” Julian tertawa dingin, bukan karena geli, melainkan karena frustasi. “Aku tidak membencinya s