Share

Pengantin Pewaris Cavendish
Pengantin Pewaris Cavendish
Penulis: Lia.F

CHAPTER 1

Penulis: Lia.F
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 11:39:10

Malam itu, Juliete duduk sendiri di ruang ganti yang sempit namun penuh cahaya neon hangat. Cermin besar di hadapannya memantulkan wajah yang nyaris tak ia kenali lagi—lipstik merah, bulu mata lentik buatan, dan rambut panjang yang dikibaskan sempurna ke satu sisi.

Penampilannya dimulai dalam lima menit.

Sudah hampir dua minggu sejak ia mulai bekerja di sini—di Club paling eksklusif di West End, milik keluarga bangsawan Inggris yang kekayaannya tidak terhitung. Baginya, ini adalah keberuntungan.

Juliete adalah mahasiswi jurusan hukum di universitas Oxford. Cerdas, kritis, dan penuh ambisi. Tapi ambisi tidak membayar sewa apartemen kecilnya di pinggiran kota. Tidak membayar uang kuliah. Tidak juga bisa membeli makan malam.

Bekerja di bar seperti ini bukan pilihan…tapi kebutuhan.

Sebagai Pole Dancer di klub mewah, ia menerima bayaran tiga kali lipat lebih tinggi daripada pelayan biasa. Dan itu cukup untuk bertahan. Menari di atas panggung, diterangi cahaya spotlight, dinilai bukan dari otaknya, tapi dari lekuk tubuh dan cara ia memikat mata pria-pria kaya yang datang dengan setelan mahal dan mulut manis.

Ia menarik napas dalam, merapikan bagian terakhir dari kostumnya, dan berdiri.

Dari balik tirai beludru hitam di sisi panggung, sang manajer memberi kode. Hanya satu anggukan pendek, cepat dan pasti. Rokok menyala di ujung bibirnya mengepul perlahan.

Juliete membalas dengan anggukan tenang, lalu ia melangkah maju.

Begitu ia memasuki area panggung, lampu sorot menembak tubuhnya dari segala sudut, menciptakan siluet yang tajam namun memikat.

Musik elektronik mulai berdentum perlahan, membangun suasana yang hampir erotis. Dan di sanalah ia, melangkah menuju tiang baja dengan gerakan halus dan terukur.

Semua mata tertuju padanya.

Gerakan pertamanya lembut, penuh irama. Tubuhnya meliuk, menggoda tanpa memohon, memikat tanpa berusaha keras. Tak ada sisa-sisa gadis polos usia 23 tahun yang baru kemarin mencatat kuliah tentang sistem peradilan pidana. Yang ada hanyalah profesionalisme dingin, sensualitas yang dikendalikan, dan keheningan penuh perhitungan.

Di kursi-kursi kulit yang membentuk setengah lingkaran di sekeliling panggung, para tamu elit mulai memperhatikan. Beberapa menyisipkan anggur mahal. Beberapa hanya menyipitkan mata, seperti sedang menilai sebuah karya seni hidup.

Seseorang sedang mengamati. Seseorang itu…berasal dari keluarga Cavendish.

Jaiden Alastair Cavendish

Ia mengisap rokoknya perlahan, bibirnya menyeringai tipis. Asap tembakau mengepul dari mulutnya.

Di hadapannya, lampu sorot menggeliat mengikuti gerakan seorang penari di atas panggung.

Seksi. Lihai. Menghipnotis. Tatapannya menajam.

Ia condong sedikit ke depan. Kepulan asap rokok mengambang di antara dia dan cahaya panggung.

“Siapa dia?” gumamnya.

“Bukan wajah lama,” jelas sang asisten, Benjamin.

Pria dengan Jas rapi, usianya kisaran pertengahan 40. Hampir separuh hidupnya, ia dedikasikan untuk royal pada keluarga Cavendish. Terutama Jaiden.

Jaiden hanya mengangguk pelan. Mata tajamnya menyipit, menganalisis setiap gerakan di atas panggung. Tiba-tiba, pintu ruang privat diketuk.

Seorang wanita tinggi dan berpenampilan memikat masuk dengan membawa nampan perak berisi sebotol wiski tua dan dua gelas kristal.

“Silakan, Tuan…” ucapnya dengan senyum merekah di balik lipstik merah menyala.

Ia mengenal pria itu—Jaiden Alastair Cavendish. Pewaris pertama keluarga Cavendish, nama yang bergaung seperti kutukan di kalangan elit Inggris. Orang-orang tidak berbicara tentangnya. Mereka berbisik. Dan saat dia hadir, mereka menunduk… demi keselamatan mereka sendiri.

Natalie—biasanya jadi primadona panggung Ocean Club & Bar. Namun sejak gadis bernama Juliete muncul dua minggu lalu, sorotan itu lenyap. Pendapatannya turun drastis.

Dan yang paling membuatnya muak: Juliete tidak pernah melayani siapa pun. Tidak minum bersama pelanggan. Tidak ikut ke lounge pribadi. Apalagi tidur dengan mereka.

Harga diri? Moralitas? Omong kosong.

“Letakkan saja,” ucap Jaiden, tak menoleh.

Tatapannya masih terpaku pada sosok penari tiang yang memikat itu—belum tahu siapa namanya, tapi sudah cukup tergelitik oleh auranya.

Natalie berjongkok pelan, meletakkan gelas dan botol wiski di meja kaca. Tapi tangannya cepat—di balik lipatan napkin di nampan, ia menyelipkan Mancis emas—milik Jaiden. Dengan gerakan mulus sebelum berdiri dan melangkah keluar, masih dengan senyum yang nyaris tak berubah. Natalie tidak akan membiarkan gadis bernama Juliete keluar dari Ocean Club dalam keadaan aman, malam ini.

Segera setelah keluar dari ruangan VIP, Ia menuju lorong sempit di belakang bar, tempat deretan loker staf berada. Di antara deretan nama, Natalie berdiri tepat di depan satu loker:

Juliete Finnigan.

Dengan gerakan luwes, Tangannya sudah terlatih. Dalam waktu kurang dari lima detik, kunci loker terbuka tanpa suara.

Tangannya masuk ke dalam, menarik tas Juliete. Ia menyelipkan mancis emas milik Jaiden disana.

Natalie tahu satu hal pasti:

Keluarga Cavendish tidak memberi kesempatan kedua.

***

Suara musik mengalun sensual.

Kerumunan penonton menyemut di bawah panggung. Sorak-sorai, siulan kagum, dan gelas-gelas kristal yang terangkat tinggi membentuk simfoni khas malam mewah di jantung kota London. Semua mata tertuju pada Juliete.

Tapi dari arah lorong samping, dua pria berbadan besar berpakaian hitam melangkah cepat, disusul oleh Benjamin—sang asisten pribadi Jaiden. Ia menatap lurus ke arah panggung.

Lalu—

“Juliete Finnigan,” suara Benjamin terdengar tajam, menusuk riuhnya suasana.

Semua mendadak diam.

Juliete menoleh cepat. Ia belum sempat mengambil napas saat dua pria itu sudah naik ke panggung.

“Turun. Sekarang,” ucap salah satu pria berbadan besar.

“Terjadi sesuatu?” tanya Juliete, tetap tenang. Tapi ia bisa merasakan tekanan udara di sekelilingnya berubah drastis.

Benjamin tidak menjawab. Ia hanya memberi kode. Dalam waktu singkat, mereka mengawal Juliete keluar dari panggung, melewati tatapan penuh tanya dan bisik-bisik para tamu.

Juliete berdiri diam, ditemani tatapan tajam Benjamin dan kedua pria keamanan. Loker-loker berdiri berjajar seperti saksi bisu.

“Buka lokermu,” perintah Benjamin dingin.

Juliete menaikkan alis. “Apa maksudnya?”

“Kami menerima laporan bahwa ada barang milik Tuan Cavendish yang hilang. Dan seseorang melihatmu—”

Benjamin tak melanjutkan. Dia hanya mengangguk ke arah loker.

Dengan tenang, Juliete memutar kunci loker miliknya. Benjamin menyambar tas Juliete, membuka resletingnya dengan cepat.

Dan di sana—di kantong dalam—terletak mancis emas dengan ukiran inisial “J.A.C” terpampang jelas. Kilat logam mahal itu seperti menyeringai pada Juliete.

Juliete menatap benda itu lama.

Benjamin menoleh padanya. Matanya sempit, curiga. “Kau mau bilang… itu bukan milikmu?”

Juliete mengangkat kepalanya. Sekilas ekspresi bingung melintas di wajahnya, tapi segera tergantikan dengan sesuatu yang lebih tegas.

“Bawa dia..” seru Benjamin tegas dan dingin.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 10

    Hari-hari berlalu di Blackvale Manor. Lambat. Nyaris tak bergerak. Segalanya berjalan seperti putaran jam yang terlalu hati-hati. Dan Juliete… mulai bosan.Sangat bosan.Ia makan, tidur, berjalan menyusuri lorong-lorong panjang yang sepi, menatap lukisan keluarga Cavendish yang tak pernah berhenti menatap balik. Sesekali ia membuka media sosial dari ponselnya, tapi semua itu terasa seperti melihat dunia lain yang tak lagi relevan.Juliete bukan tipe gadis yang tahan hidup dalam ketenangan. Biasanya, hari-harinya dipenuhi jadwal ketat, kuliah, bekerja, dan kadang pelarian karena tunggakan sewa apartemen. Ia tumbuh dalam kekacauan, dan baginya, kekosongan adalah bentuk lain dari siksaan.Sudah hampir seminggu sejak ia menandatangani kontrak itu.Dan Jaiden belum sekali pun menemuinya.Tidak satu ketukan di pintu. Tidak satu panggilan. Tidak satu catatan.Apakah dia sibuk?Apakah ini bentuk lain dari dominasi: membuatnya menunggu sampai runtuh dari dalam?Juliete tak tahu.Tapi yang past

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 9

    “Kau… mengancamku!!” Suara Juliete pecah. Matanya membara, tubuhnya gemetar bukan karena sakit—tapi karena kemarahan yang menggelegak. Tangannya masih memegang lembaran kontrak itu. Jaiden tidak bergeming. Mata hitamnya menatap dalam. Tenang. Menilai. Lalu ia bicara, dengan suara rendah yang tak perlu ditinggikan untuk melukai. “Tergantung sudut pandangmu.” “Tapi bagiku… ini bukan ancaman, Juliete. Ini—justru kartu keberuntunganmu.” Dia bersandar sedikit ke depan. Wajahnya mendekat. Nafasnya nyaris menyentuh kulit Juliete. “Menikah denganku… dan kau akan mendapatkan semua ini.” Ia melambaikan tangan kecil ke sekeliling kamar. “Kekuasaan. Kemewahan. Nama keluarga yang membuat semua orang tunduk.” Juliete membalas tatapannya dengan penuh kebencian, tapi sorot matanya tak bisa membohongi bahwa kata-kata itu mengguncangnya. “Kehormatan yang tak pernah bisa kau bayangkan…” Jaiden melanjutkan. “Dan tentu saja, akses. Koneksi. Jalur cepat menuju ruang sidang, gelar keho

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 8

    Langit di atas Blackvale Manor tampak kelabu, seperti tahu bahwa pria pemiliknya telah kembali. Begitu mobil hitam berhenti di pelataran depan, para pelayan sudah berbaris. Tak ada yang berani bicara lebih dulu. Langkah Jaiden menggema di lantai marmer saat ia masuk, menyapu interior manor seperti badai dalam bentuk manusia. Langit-langit tinggi. Pilar batu hitam. Dinding gelap dihiasi lukisan keluarga berwajah dingin. Rumah itu seperti makam bangsawan. Megah, tapi dingin. Dan ia adalah rajanya. Dominic, kepala pelayan, melangkah cepat menghampirinya. “Tuan, Nona Juliete belum makan seharian. Alice bilang… dia sedang demam.” Langkah Jaiden terhenti. Alisnya perlahan terangkat, dan matanya menyipit. Seolah tak percaya pada kata yang baru saja ia dengar. “Sakit?” Napasnya pelan tapi berat. “Dia bahkan belum 24 jam di sini…” Nada suaranya tidak peduli—tapi setiap kata mengandung rasa terganggu yang tak bisa ia sembunyikan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Jaiden langsung menaiki t

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 7

    Udara ruang makan perlahan menebal. Setelah piring-piring hidangan utama disingkirkan, hanya tersisa wine merah tua dan napas yang saling menunggu giliran bicara. Kakek August menyandarkan tubuhnya ke kursi. Jemarinya mengetuk meja kayu gelap tiga kali—lambang bahwa waktu basa-basi telah habis. “Jaiden,” katanya, pelan tapi tajam seperti belati. Semua kepala secara otomatis menoleh. Jaiden tidak. Ia hanya meneguk anggurnya pelan, menunggu dengan malas. “Kau tahu kenapa kau dipanggil hari ini.” Jaiden mengangkat bahu sedikit. “Karena anda suka mengatur hidup orang lain?” Zelda terkekeh. Marvish tersenyum seperti sedang menonton opera mahal. Margaret pura-pura sibuk mengusap bibir dengan serbet. August tidak terganggu. Ia menatap cucu sulungnya seperti menatap jenderal yang sedang lupa posisi. “Karena waktumu hampir habis.” Keheningan turun. “Usiamu sudah cukup. Nama Cavendish butuh pewaris sah. Butuh stabilitas. Dan sudah waktunya kita perkenalkan seorang istri untu

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 6

    Langit di atas Morgrave Estate, hotel bintang lima milik keluarga Cavnedish—tertutup awan kelabu. Di dalam kantor dengan jendela besar dan tirai beludru hitam, aroma espresso baru terseduh mengisi ruangan seperti pembuka dari sebuah pertempuran yang belum dimulai. Benjamin berdiri tegak di sisi ruangan, tubuhnya tegak tapi tak santai. “Bos, siang ini Tuan August mengadakan jamuan makan di Thornvale. Anda diminta hadir. Katanya ada hal yang perlu didiskusikan...” Jaiden tak langsung merespons. Duduk bersandar di kursi hitam berlapis kulit, ia seperti patung yang hanya hidup di balik sorot mata tajamnya. Di hadapannya, sebuah map dokumen terbuka. Namanya jelas terbaca: Juliete Finnigan. Tempat tanggal lahir, alamat lengkap, data akademik, hingga beberapa foto. Benjamin baru saja menyerahkannya. Jaiden membaca dengan diam. Tatapannya tak berkedip. Tangannya terlipat, tenang, tapi aura di sekelilingnya cukup untuk membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum membuka mulut. “Oxford.

  • Pengantin Pewaris Cavendish    Chapter 5

    POV Jaiden, Suara tamparan itu keras. Tajam. Dan menggema lama di aula batu yang sunyi ini—seolah tembok pun terhenyak mendengarnya.Untuk sesaat, waktu berhenti. Bahkan kedua bodyguard-ku—yang biasanya dingin dan tak tergoyahkan—ikut membeku. Mereka tahu siapa aku. Jaiden Alastair Cavendish. Nama yang tak disebut dalam suara keras, hanya dalam bisik-bisik takut. Malaikat maut di balik lambang kejayaan keluarga Cavendish. Tapi gadis ini… dia menamparku. Dengan tangan kosong. Tanpa rasa bersalah. Tanpa ragu. Gila. Dari puluhan wanita yang dikirim ke hadapanku—dipoles, dipaksa, dipuja—tak satu pun yang berani melawanku. Karena aku memang membenci perlawanan. Dan mereka tahu… apa yang terjadi pada orang yang melawan. Tapi tikus kecil ini—Juliete Finnigan—berani menunjukkan taring. Kemarahan memancar dari mataku. Itu pasti. Tapi di balik itu—lebih dalam, lebih panas—ada sesuatu yang lain. Penasaran. Ketertarikan. Obsesi. “Juliete Finnigan…” Aku menggeram, suaraku nyaris berbisi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status