Share

Mertua baik

" Perubahan diri memerlukan perjuangan, bukan sekedar duduk diam. Berjuanglah demi perubahan diri, dan perbaiki keinginan kita. Serta, berikan ruang untuk perubahan."

~ Eneas Gervaso ~

*****

Pernikahan pun dilaksanakan begitu meriah, ribuan pengunjung yang tak henti-hentinya memadati ruangan. Zucca dan Sierra, baru saja bertemu hari ini. Tepatnya di atas pelaminan mereka, tanpa tegur sapa atau pun saling memperkenalkan diri.

Sierra merasa asing, seperti patung di atas pelaminan. Hanya mertua dan kakak iparnya yang menerima dirinya. Tatapan tajam sang suami dirasakannya. Terlihat jelas bahwa Zucca tidak menyukai ataupun menerima dirinya, masuk ke dalam keluarga Gervaso.

Sierra hanya melihat senyum kebahagiaan dari kedua kakaknya dan juga Nyonya Yoana, suaminya, dan putrinya.

Pernikahan ini memang atas permintaan Yoana, sebagai bentuk balas budi. Karena nyawanya pernah diselamatkan oleh gadis cantik itu.

"Jangan memamerkan gigimu, bodoh! Bersiaplah biasa aja, kau hanya boleh menundukkan kepalamu di hadapanku. Bukan pada tamu-tamu itu! Apa kau mengerti?" cerca Zucca mendekatkan bibirnya di dekat bahu Sierra.

Gadis itu merasakan kebencian dari suaminya, dia hanya membalas dengan anggukan. Menatap ke depan, meski ekor matanya melihat wajah sangar Zucca.

Hatinya kembali berdegup kencang. Ternyata, calon suaminya itu tidaklah jelek atau pun cacat seperti yang ditakutkan oleh Seina beberapa hari lalu.

Zucca adalah pria tampan berhidung mancung, mempunyai mata sipit karena kakeknya keturunan Jepang. Kulitnya putih dan postur tubuhnya yang tinggi, membuat lelaki di sampingnya terlihat sempurna. Garis ketampanan Tuan Fernando turun padanya. Sungguh ciptaan Tuhan yang begiti sempurna. Keluarga konglomerat itu memang sangat cantik dan tampan. Betapa beruntungnya Sierra di mata orang-orang.

_

Semua berjalan lancar semana mestinya dan kini waktunya mereka menyudahi semua pesta itu. Amat melelahkan bagi Sierra, dia menjadi perempuan paling cantik juga istimewa di hari ini. Semua mata memandang kagum oleh kecantikannya, tapi tidak bagi Zucca. Bahkan, menoleh ke arahnya pun tidak sudi.

Di dalam kamar besar nan mewah itu, Sierra serba salah. Sebenarnya, dia ingin segera tidur karena merasakan tubuhnya yang teramat lelah. Namun sayangnya, Zucca masih berkutat dengan laptopnya.

Zucca pun menatapnya sesaat, "Tolong jangan duduk di tempat tidurku, pergilah ke arah kiri ranjang!" ucapnya dengan nada kasar. Bagaimana mungkin, Zucca menyuruh Sierra tidur di sofa?

Tanpa menjawabnya, gadis itu pun segera menuju sofa dengan membawa bantal dan selimut. Dan beranjak tidur, Sierra pun terlelap dengan cepat.

***

Pukul lima pagi, Zucca telah bangun lebih dulu dari Sierra. Zucca memang lelaki pekerja keras, bahkan di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah sukses seperti ayah dan alm. kakeknya.

"Bangun! Jangan jadi pemalas di sini!" seru Zucca seraya menumpahkan air yang ada di dalam gelasnya, ke wajah dan tubuh Sierra. Gadis itu pun melonjak kaget, lalu bangun dari tidurnya.

Sierra melirik jam yang ada di dinding kamar. "Baru jam 05.00 padahal," desisnya dalam hati. Ia pun segera bangun dan merapikan selimut serta bantal yang ia gunakan. Dan segera menaruhnya kembali ke tempat tidur membiarkannya tetap basah karena air tadi.

"Eh, mau diletakkan di mana itu?" Belum juga sampai ke tempat tidur, suara Zucca kembali terdengar.

"Tempat tidur," jawabnya dengan malas dan santai.

"Enak saja, letakkan kembali di sofamu." Setelah bicara, dia pun berjalan ke ruang kerjanya. Masih di dalam kamar yang sama, hanya saja terpisah ruang.

"Dasar, pria sombong!" gumamnya.

Ruangan kamar Zucca amat besar, ini adalah berkali-kali lipat dari rumahnya. Dia pun memuji betapa besar dan kayanya keluarga Zucca. Kamar dengan design yang mewah dan bergaya klasik membuatnya betah berlama-lama di dalamnya.

Begitu pun dengan kamar mandinya yang terdapat sofa, televisi, dan kulkas kecil di dalamnya. Sierra pun terkekeh melihatnya, bagaimana bisa ada kulkas di dalam kamar mandi? Kamar mandi yang begitu harum dan besar juga bagus. Dia membandingkan kembali dengan rumahnya, sungguh lucu tingkah Sierra.

"Ngapain?" Suara itu, tiba-tiba mengagetkannya dari belakang.

Gadis itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "Akhh, maaf." Sierra tak tahu, harus ngapain. Ini masih subuh, dia pun bingung harus melakukan apa.

"Ini, tanda tangan." Seraya menyodorkan kertas perjanjian dan juga pena.

"Apa ini?" tanya gadis itu dengan rasa bingung.

"Bisa baca, kan?" Zucca menjawab cepat dengan ketus, benar-benar lelaki yang tak punya hati. "jika sudah baca, tanda tangan dan berikan ke mejaku." Dan kembali ke ruangan kerjanya.

Sierra membaca dengan pelan, sebuah perjanjian tertulis.

Perjanjian pernikahan ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari pihak mana pun. Begitulah judul tertera saat lembar dibuka.

1.Tidak boleh tidur di tempat tidur

2.Tidak boleh melakukan apa pun di dalam kamar, tanpa seizin dirinya.

3.Tidak akan mempunyai anak.

4.Tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing.

5. blaa... blaaa... blaaa,

sampai di poin ke 36.

Segera ia tanda tangani. Baginya, semua itu tidak penting. Dia pun tidak pernah mengharapkan sesuatu dari keluarga ini. Ada satu poin yang membuatnya tidak nyaman, bila berada di depan keluarga atau kalangan harus bersikap seperti sepasang suami isteri.

'Jika saja bukan permintaan Nyonya Yoana, tidak sudi aku menikah dengan Zombie sepertimu.' Sierra bergumam dalam hati.

***

Siang itu, Zamora Nieva mengajak adik iparnya keluar membeli baju untuk Sierra sebelum ia kembali ke Amsterdam. Suaminya tidak bisa ikut karena bisnisnya terlalu padat.

Ketukan pintu dari luar kamar pengantin baru itu. Zucca melihat dari monitor CCTV siapa yang mengetuk, ternyata kakaknya. Buru-buru mereka berakting layaknya pasangan suami istri.

Tok-tok-tok!

"Sierra! Buka pintunya, ini kakak."

Mendengar ada ketukan pintu dan namanya dipanggil, Sierra menoleh ke arah Zucca memberi kode apakah boleh membukakan pintu atau menbiarkannya.

Pria dingij itu memberi kode dengan menggerakkan kepalanya ke kanan, tanda boleh dibuka.

"Lama amat?" Zamora Nieva melangkah masuk ketika pintu terbuka, lalu celingukan mencari adiknya.

"Maaf, Kak. Tadi saya—"

"Gak apa-apa, ayo ikut aku." Kakak iparnya berjalan ke arah ruang kerja adiknya.

"Maaf, Kak. Kita mau ke mana?" tanya Sierra ragu.

"Ke butik langgananku. Kurasa, baju yang kamu pakai itu sudah gak layak, deh." Perempuan 32 tahunan itu menghentikan langkahnya, lalu membalikkan badan tersenyum kepada Sierra.

"Tapi Kak, baju saya masih bisa dipakai." Sierra menolak secara halus ajakan sang kakak ipar.

"Untuk apa membuang-buang uang, Kak." Zucca menghampiri kakaknya, mencium keningnya seperti biasa, lalu merangkulnya. Sejak menikah, mereka memang jarang sekali bertemu.

"Kamu ini gimana, sih? Lihat baju istrimu, seperti baju asisten rumah tangga kita aja."

Zucca tidak tahan lagi, dia tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan kakaknya. Bukan maksud Zamora Nieva untuk menghina Sierra, tetapi dia ingin adik iparnya itu merubah penampilannya.

Gadis itu menunduk malu, benar apa yang diucapkan oleh kakak iparnya.

"Maaf, Sierra. Bukan maksud untuk menghina kamu, tapi biar kamu sadar kalau kamu itu adalah bagian dari keluarga Gervaso."

Dengan senyum manis, ia pun menarik tangan adik iparnya itu keluar dari kamar, dan menuntunnya perlahan sampai masuk ke dalam mobil.

"Sudah. Jangan banyak protes. Ayo kita shopping." Kedipan mata dan sikap baiknya, membuat Sierra merasa dianggap ada.

"Terima kasih banyak, ya, Kak," ucapnya penuh sopan. Hanya senyuman yang Zamora Nieva balaskan.

Sepanjang perjalanan, digunakan untuk bertukar cerita. Gadis yang periang menurut Zamora, tidak salah jika ibunya begitu yakin dengan Sierra.

Mereka pun sampai di butik ternama dan termahal, langganan keluarganya.

Dua pegawai butik menyambut mereka dengan senyum ramah, "Selamat siang Nona, silahkan masuk."

"Pilihlah yang kamu suka," ucapnya Zamora santai, "Aku pun akan memilih baju untukku dan mama." Zamora meninggalkan Sierra.

"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" ucap salah satu pelayan butik dengan ramah.

"Harga yang paling murah di sini, berapa mba?" bisiknya pelan, tentu saja membuat gelak tawa sang pelayan.

"Ada yang tiga juta sembilan ratus, Nona," jawabnya dengan menahan tawa. Dalam hati pegawai itu, dia menertawakan tingkah polos Sierra.

Ya, para pelayan toko tahu, siapa yang datang bersama dengannya tadi. Bagi mereka, harga di butik ini adalah recehan.

Zamora pun telah selesai memilih dan segera menghampiri Sierra yang masih mematung.

"Gimana? Sudah dicoba?" tanyanya.

"A-anu, Kak, em--" Lalu Zamora pun menyodorkan semua baju ke tangan Sierra. Dia sembarang mengambil baju-baju yang menurutnya bagus.

"Sudah, jangan banyak alasan lagi. Ini kamu coba semua di dalam."

Hanya satu baju yang ia ambil dan itu membuat kesal Zamora.

"Ya sudah. Ini semua, Mbak, tolong bawa ke kasir, ya!" Seraya memberikan tumpukan baju ke tangan pelayan butik tersebut.

Total yang sangat membuat mata Sierra membelalak. 30 baju kaus, 25 celana jeans panjang dan pendek, 10 gaun malam, 15 mini dress, 15 rok mini, juga tak lupa sepatu dan tas untuknya. Hampir separuh toko ia pindahkan ke dalam bagasi mobil.

Mata Sierra melotot hampir saja ia menjatuhkan kedua bola matanya di meja kasir, bagaimana ia tidak kaget dengan totalannya? Hampir 990 juta rupiah. Belum lagi totalan pribadi Zamora, ia pun hampir pingsan melihatnya.

"Kak, apa ini tidak terlalu berlebihan? Emm, maksudku, ini terlalu banyak dan mahal." Sierra memelankan suaranya.

Hanya gelak tawa yang ia dapat dari Zamora Nieva. Setelah membayar, mereka meninggalkan butik segera.

"Sudahlah, jangan terlalu dianggap serius. Ini hanya sedikit. Oh, ya, apa kamu gak punya handphone?" tanya Zamora saat mereka telah berada di dalam mobilnya.

"Ada, tapi udah hilang. Sepertinya diambil sama dia preman itu," jawab Sierra.

"Ya, sudah. Kita mampir di apple store dulu, deh."

Sierra tidak paham apa yang dibicarakan kakak iparnya itu. Dia hanya duduk diam mengamati jalan di samping kemudi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status