Share

Pengantin baru

#1800hari_S2 bab1 2331

"Kesedihanku sudah seperti candu, bahkan ketika aku tidak merasa sedih aku mulai panik. Dan merasa agar tetap merasa sedih."

***

Sierra Suelita, yang berarti perbukitan bunga lily kecil. Gadis manis nan cantik, namun sayang ia berasal dari keluarga menengah ke bawah. Hidup bersandar dengan kedua kakaknya—Selena dan Seina.

Tanpa ayah dan ibu, sebab kedua orang tua mereka telah lama meninggal dunia. Hidup di bawah tekanan ekonomi dan mengharuskan mereka untuk bekerja lebih giat lagi selama ini.

Zucca Gervaso Hugo, yang berarti lelaki terhormat dengan otak cemerlang. Berwajah tampan berasal dari kalangan atas.

Pernikahan di atas perjanjian, Sierra dan Zucca menikah beserta syarat tertulis di buat oleh Zucca. Perlahan membuat hidup Sierra seperti di penjara. Tentu saja, di mata keluarga dan masyarakat yang melihatnya, mengira pernikahan mereka adalah sebuah kebahagiaan.

Banyak pesaing Sierra yang merasa iri dengannya, Zaneta Paloma salah satunya. Zaneta Paloma sudah sejak lama menginginkan sebuah pernikahan dengan Zucca, banyak cara pun sudah ia lakukan untuk meluluhkan hati Zucca yang sedingin es itu.

Zaneta Paloma pun menghasut sang kakak dari Zucca—Zamora Nieva. Zaneta Paloma tahu, bahwa Zamora Nieva menyayangi Sierra.

Sierra Suelita menikah dengan Zucca Gervaso Hugo atas permintaan dari Nyonya Yoana—ibunya Zucca—karena merasa berhutang nyawa dengan gadis cantik itu.

Sierra Suelita tanpa sengaja menyelamatkan Nyonya Yoana saat ada pencopet, demi menyelamatkan wanita kaya itu, Sierra Suelita terkena tusukan benda tajam di bagian perutnya. Jika tidak cepat menolongnya, mungkin saja yang menjadi korban adalah orang kaya itu.

***

Sinar matahari pagi berhasil menyelinap masuk lewat celah tirai, menyilaukan mata Sierra Suelita—yang berarti perbukitan bunga lily kecil. Gadis manis nan cantik, namun sayang ia berasal dari keluarga menengah ke bawah.Gadis itu mengerjap beberapa kali untuk bisa menyesuaikan cahaya yang menerpa wajahnya, sebelum kesadarannya benar-benar terkumpul.

Setelah matanya benar-benar terbuka, gadis itu terperanjat hampir melompat dari tempat tidurnya. Bagaimana mungkin dia bangun kesiangan? Bodoh! Dia memekik mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Bu Silvie pasti akan marah-marah lagi ini, mah!" rutuknya.

Sierra Suelita gegas mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu kamarnya, lalu segera ke kamar mandi. Keadaan rumah kontrakan itu terlihat sepi, dua kakaknya sudah bekerja lebih dulu.

"Pasti uang makan hari ini bakalan dipotong lagi," katanya lagi.

Dua tiga gayung berhasil membahasi tubuhnya. Gadis itu tidak benar-benar mandi, waktunya hanya tersisa beberapa menit lagi. Ini semua karena semalam ia mengambil lembur di tempat lain. Sierra Suelita bekerja paruh waktu sebagai buruh cuci piring pada salah satu rumah makan besar tak jauh dari rumahnya.

Setelah memakai baju, gadis itu langsung berangkat ke pasar tanpa mengisi perutnya. Dia bekerja pada Bu Silvie, juragan sayur di tempat tinggalnya.

Sierra Suelita berlari tanpa henti, napasnya tersengal dan mulai lelah. Dia merasakan panas terbakar di dalam dadanya. Gadis itu berhenti sejenak untuk mengambil oksigen ke dalam paru-parunya.

Semua orang menyapanya, gadis itu membalasnya dengan sebuah senyuman. Wajah dan tubuhnya sudah bermandikan keringat, membasahi bajunya. Sebentar lagi dia akan sampai, hanya satu belokan saja.

Dia berhenti sejenak, napasnya tersengal seperti orang kehabisan udara. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus. Sierra Suelita merasakan panas terbakar dari dalam dadanya yang menjalar dengan cepat. Dengan rakus, dia menghirup udara sebanyak-banyaknya memasukkannya ke dalam paru-parunya. Lalu kembali berlari ke arah pasar.

Saat langkahnya semakin dekat, teriakan seseorang yang ia kenali terdengar melengking. "Telat lagi! Setiap hari selalu telat, udah gak bisa ditolerin lagi ini, mah!" hardik Bu Silvie saat melihat Sierra Suelita baru saja datang.

Gadis itu sudah telat 15 menit, bosnya tidak mau tau.

"M-maaf, Bu. Saya kesiangan lagi," kata Sierra Suelita dengan napas terengah-engah.

"Enak aja! Kerja seenak jidat kamu aja, upah hari ini dan uang makan terpaksa saya potong!"

Upah hariannya saja kadang tidak mencukupi kebutuhan pribadinya, ini ditambah lagi tidak mendapat uang makan dan upah untuk hari ini. Terpaksa kerja sia-sia gadis itu.

"Baik, Bu."

Sierra Suelita harus berpuasa lagi hari ini, tidak mungkin memaksakan diri untung berhutang makanan di warteg pasar.

Salah satu teman kerjanya selalu memberikan sebagian nasi bungkus miliknya untuk gadis itu, tetapi Sierra Suelita juga tau kalau Fabio juga membutuhkan tenaga yang ekstra untuk mengangkut bahan-bahan baku yang berat.

Fabio adalah laki-laki yang baik, dia sudah lama menyukai Sierra Suelita. Namun, dia tidak berani mengungkapkan perasaannya.

"Lembur lagi?" tanya Fabio menatap kasihan pada gadis berambut panjang itu.

Sierra Suelita hanya mengangguk, mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya secara kasar.

Fabio tidak habis pikir, untuk apa Sierra Suelita mati-matian mencari uang? Karena setaunya, orang tua gadis itu sudah lama tiada. Sedangkan dua kakaknya juga bekerja. Jadi, tidak ada tanggungan lain yang harus dia perjuangkan.

Dari kejauhan terdengar suara teriakan seseorang, jerit sana sini begitu riuh. Keadaan pasar menjadi kacau, ada pencopetan lagi di gerai ATM depan pasar. Memang di sana adalah tempatnya sarang pencopet, mereka tak pandang bulu dalam memilih target. Kali ini, korbannya adalah wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan segar.

Sierra menatap lekat dan mengerutkan dahinya ke arah Fabio, pria itu mengedikan bahunya tanda ia tidak tau. Gegas, mereka langsung ke TKP. Sementara Bu Silvie berteriak-teriak memanggil dua pegawainya yang sudah berlari.

"Woy! Kembali kalian! Akan kupecat kalian!!" jerit Bu Silvie.

_

Dua pencopet sedang menawan wanita kaya itu, satu menodongkan pisau ke lehernya, satu lagi mengamankan tas wanita itu.

"Woy! Lepasin ibu itu!" Sierra melempar batu ke arah dua preman yang tak lain adalah pencopet tadi.

"Gak usah ikut campur urusan kita, deh, lu!" bentak salah satunya.

Fabio menarik lengan Sierra saat gadis itu ingin menghampiri para preman itu. Wanita kaya itu sudah ketakutan, matanya menatap nanar kepada Sierra Suelita.

"Jangan ikut campur urusan Bang Badrun," bisik Fabio.

"Ini masalah nyawa. Aku gak bisa diem aja ngeliat yang, kek, gini!" Sierra menepis kasar tangan Fabio hingga terlepas.

"Cukup, Bang! Kasian ibu itu! Lehernya sudah berdarah dikit!" teriak Sierra.

Akibat memberontak, tak sengaja pisau kecil itu menggores kulit leher Nyonya Yoana. Ya, wanita kaya itu bernama Yoana. Hari ini adalah hari kesialan baginya, terjebak dalam situasi seperti ini.

"Tolong, lepasin saya. Kalau kalian ingin uang, saya akan berikan." Nyonya Yoana mengiba.

Dua preman itu menertawainya, di saat yang lengah ... Sierra mengambil kesempatan itu untuk menolong wanita kaya itu. Dia menggigit tangan kekar Badrun—kepala preman di pasar itu—dengan sangat kuat.

"Aaaaarrrghhh!" Teriakan panjang membuat pasar menjadi hening seketika.

Melihat Badrun kesakitan, Eko pun langsung menjambak rambut gadis itu, menyeretnya kemudian menamparnya berulang kali. Tak sampai di situ, Sierra mencoba melawan namun sia-sia. Tenaganya tak sebanding dengan mereka.

Semua orang yang ada di pasar tidak ada yang berani memisahkan mereka, ataupun sekedar menolong gadis itu. Tapi tidak dengan Fabio yang mencoba mendorong tubuh kekar Eko. Badrun kembali menyergap Nyonya Yoana dan menghampiri Sierra yang masih tersungkur.

"Dasar perempuan si4l! Berani lu, ya, sama kita, hah!" Badrun menendang keras bagian belakang Sierra. Hingga dia merasakan seperti ada yang mau keluar dari dalam tenggorokannya. Tak lama, darah menetes dari sudut bibirnya.

Sierra merasakan seneb (sesak) di bagian dalam tubuhnya. Badannya sudah gemetar, tetapi dia terus menguatkan dirinya untuk menolong wanita berwajah ayu itu.

Fabio membantunya berdiri, sementara Eko terus memukuli mereka. Di saat yang bersamaan, Badrun pun menendang bagian tubuh Fabio dan juga Sierra tanpa ampun.

Gadis itu kembali menggigit kuat tangan Badrun, tangan satunya memukul kepala Sierra tanpa henti. Wanita itu terbebas sementara, dia kasihan melihat seorang gadis yang dipukuli habis-habisan demi menolongnya. Padahal, bisa saja mereka enggan menolong seperti yang lainnya hanya menonton tanpa berniat menbantu.

Tentu saja, mereka mencari aman. Nyonya Yoana segera menelepon layanan polisi 110 atau call centre.

Mendengar korban menelepon polisi, dua preman itu segera melarikan diri bersama barang curiannya. Nyonya Yoana tidak mempedulikannya, dia segera menghampiri Fabio dan Sierra yang sudah babak belur.

Wajah mereka sudah berlumur darah segar, bengkak dimana-mana. Mereka masih bernapas, hanya saja sudah lemas.

"Sabar, ya. Polisi dan ambulans akan segera datang. Terima kasih banyak, kalian sudah mau membantu saya," kata wanita itu sambil terisak.

Mata Sierra perlahan menutup dan tersenyum tipis sebelum dia benar-benar menutup matanya. Sementara Fabio sudah tidak sadarkan diri sejak tadi.

"Tolong! Siapa pun tolong bantu saya." Nyonya Yoana bangkit berdiri, memohon kepada semua orang yang sedang menonton bahkan ada yang merekam diam-diam sejak tadi.

Tidak ada satu orang pun yang sudi membantu. Mereka tidak ingin menjadi saksi, memilih untuk membubarkan diri dari kerumunan.

"Dasar kalian gak punya hati!" pekiknya kesal.

Tak lama, suara sirine polisi terdengar. Buru-buru wanita itu berjalan cepat menghampiri polisi itu. Tak lama, mobil ambulans pun datang. Sebelumnya memang nyonya itu yang menceritakan ada dua korban pemukulan.

"Pak, tolong Pak cepetan!"

"Tenang, Bu." Salah seorang polisi membantu supir ambulans untuk mengangkat tubuh Sierra dan Fabio ke atas tandu yang akan diletakkan pada brankar ambulans.

Sementara polisi satunya meminta keterangan dari Nyonya Yoana serta saksi-saksi lainnya.

"Mari ibu ikut saya," kata polisi satunya.

"Tapi, Pak, apa sebaiknya kita urus mereka dulu?" jawab nyonya itu sambil menoleh ke arah ambulans.

"Mereka aman, nanti kita akan melihat kondisi mereka setelah ibu memberi keterangan terlebih dahulu."

Mau tidak mau, nyonya itu mengikuti perintah dari pihak yang berwajib. Sepanjang perjalanan, hatinya kacau memikirkan nasib dua orang yang tak berdosa itu.

Awalnya, nyonya itu tidak sengaja melewati pasar Kamboja. Karena hari ini dia tidak memakai supir, tidak membawa uang chas dan kebetulan ada mesin ATM di dekat pasar, akhirnya Nyonya Yoana turun berniat untuk menarik uang. Namun sayangnya, ada dua pasang mata yang sejak tadi mengintai dirinya tanpa sepengetahuannya.

Ban bocor itu karena ulah dua preman itu. Untungnya lagi, ponselnya tidak dimasukkan ke dalam tasnya. Kalau tidak, dia tidak bisa melaporkan kejadian itu.

Setelah panjang lebar memberikan kesaksian, nyonya itu pun meminta ijin kepada kepala polisi untuk ke rumah sakit melihat keadaan Sierra dan Fabio.

Dengan panik, Nyonya Yoana menelepon suaminya dan menceritakan kejadian naas tadi yang menimpa dirinya. Tanpa menunggu lama, suaminya pun langsung menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh istrinya itu.

Dua pasien itu masih berada di ruangan IGD sebelum dipindahkan ke ruang rawat inap.

"Ma! Kamu gak kenapa-napa, kan?" tanya suaminya, Fernando Hugo Gervaso. Suaminya begitu khawatir melihat perban di leher istrinya.

Siapa yang tidak mengenal Fernando Hugo Gervaso—terkecuali mereka orang-orang miskin dari kalangan bawah—seorang investor terkenal dan juga pembisnis yang ambisius. Keluarga konglomerat nomor satu di Indonesia dan nomer lima di Asia.

"Aku gak apa-apa, Pa. Tapi dua orang itu yang terluka parah," katanya. Nyonya itu menggigit bibir bawahnya karena terlalu cemas dengan keadaan penolongnya.

Dari kejauhan, seorang laki-laki berseragam dokter berjalan menghampiri mereka.

"Loh, Fer. Yoana? Kok, kalian ada di sini? Ada apa? Apa Zucca dirawat di sini?" Dokter itu mencerca suami istri itu dengan banyak pertanyaan.

Dia adalah Dokter Brian Attala, dokter keluarga Gervaso dan juga sahabat sejati Nyonya Yoana.

"Bukan. Tadi Yoana kecopetan di pasar Kamboja, terus ada dua anak muda yang nolongin tapi babak belur."

"Terus itu leher kenapa?"

"Cuma tergores sedikit," ujar Nyonya Yoana kemudian.

"Pasien yang belum lama masuk itu?" Dokter Brian Attala bertanya kembali.

"Iya. Kasihan, aku gak tau kalau gak ada mereka, entah gimana nasibku."

"Dari sekian banyak pedagang dan pembeli di pasar Kamboja, ga ada satu pun yang mau membantu. Mungkin mereka tidak ingin terlibat dan menjadi sasaran dua preman itu kali, ya."

"Itulah manusia, Yo. Sebentar, aku akan memeriksa keadaan mereka dulu, ya."

Dokter Brian Attala gegas menuju ruang IGD.

"Anaknya cantuk, Pa. Gimana kalo kita jodohins sama Zucca?"

"Mama ini, kita aja belum tau siapa anak itu, Ma."

"Loh, bisa aja, loh, Pa. Mereka itu ga peduli sama keselamatan mama, bisa aja, kan, mereka memilih untuk diam pura-pura gak tau seperti yang lainnya? Coba deh papa pikir, ya, mereka sampai dipukuli seperti itu, apa untungnya coba?"

"Ya, bisa aja, kan, mereka pura-pura nolong? Padahal ada maunya? Kita gak bisa menebak hati seseorang, Sayang." Tuan Fernando menggenggam tangan istrinya, satu tangannya lagi menepuk-nepuk punggung tangan istrinya.

"Dan lagi, apa mungkin Zucca mau dijodohkan seperti itu? Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya, Sayang." Laki-laki berwajah oriental itu menyambung kembali kata-katanya.

"Papa coba lihat aja, deh, gimana bentuk wajah mereka!" Kesal karena suaminya berburuk sangka kepada dua penyelamatnya, Nyonya Yoana berjalan ke ruang IGD menyusul Dokter Brian Attala.

Nalurinya sebagai seorang wanita mengatakan bahwa gadis itu memang tulus menolong. Maka dari itu, dia berniat menjodohkan anak bungsunya kepada Sierra Suelita.

Keadaan mereka baik-baik saja setelah melewati pemeriksaan, Sierra dan Fabio sudah di pindahkan ke ruang rawat inap VVIP.

Bu Silvie, tidak begitu peduli dengan dua karyawannya yang dihajar babak belur oleh dua preman—Badrun dan Eko—karena tidak ingin terkena masalah nantinya.

Hari semakin gelap, Sierra dan Fabio belum kembali sadar. Nyonya Yoana meminta salah satu perawat untuk berjaga di ruangan mereka sebelum ia kembali ke rumah sakit.

Nyonya Yoana ingin membicarakan rencananya kepada putra semata wayangnya. Wanita itu merasa sangat berhutang budi kepada Sierra.

_

Sementara di rumah kontrakan kecil, Seina dan Selena cemas menunggu adiknya yang belum kembali juga. Sampai akhirnya, pada jam 1 malam keduanya mendatangi tempat kerja adiknya.

"Kita ke rumah makan Teamo aja, yuk." Selena mengajak adiknya untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja.

Sudah lewat satu jam Sierra belum juga kembali, itu yang membuat mereka cemas. Biasanya, sebelum jam 12 malam Sierra sudah sampai di rumah.

"Iya. Hatiku gelisah terus soalnya. Takut kenapa-napa," jawab Seina.

Mereka gegas ke rumah makan tak jauh dari tempat tinggal mereka dengan berjalan kaki. Hanya tujuh kilometer saja jarak dari rumah mereka.

Sesampainya di sana, rumah makan itu sudah tutup dan sepi sekali. Selena dan Seina pun panik.

"Tutup? Terus, Sierra ke mana, Kak?" kata Seina cemas.

"Ponselnya juga mati, gak biasanya Sierra, kek, gini." Selena mencoba menghubungi nomor telepon adiknya berulang kali.

"Apa kita lapor polisi aja?"

"Nanti ribet urusannya, lagian apa mereka mau mendengar laporan kita? Kita orang miskin, Dek."

"Terus? Kita harus, kek, gimana?"

"Kita tunggu aja di rumah, semoga aja Sierra baik-baik aja."

Dengan berat hati, dua kakak beradik itu kembali pulang ke rumah kontrakan. Perasaan takut menyergap hati mereka. Bagaimana jika hal buruk terjadi pada adik bungsunya? Selena dan Seina seakan lupa bertanya kepada Bu Silvie, mereka hanya teringat dengan tempat kerja terakhir Sierra saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status