Beranda / Rumah Tangga / Pengantin Titipan / Bab 10 : Masa Lalu Bang Aldin

Share

Bab 10 : Masa Lalu Bang Aldin

Penulis: Adny Ummi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-03 15:42:25

Aku lalu bangkit dari duduk, hendak membereskan piring dan gelasku sendiri.

"Biar saja, Mila."

Aku terdiam menyimak Bang Aldin bicara.

"Nanti Bi Imah dan Lisa yang membereskannya," katanya.

Aku lalu melanjutkan membereskan piring kotornya juga. "Gak papa, Bang," tuturku sembari mengangkat piring dan gelas kotor kami, melangkah menuju wastafel di dapur.

Ivan tampak melirikku sebentar, lalu kembali sibuk memainkan tab-nya. Sementara Mbak Lisa masih sibuk menyuapkan bocah kecil tersebut.

"Hmm ... terserahlah," sahut lelaki itu sembari menghela napas.

Bi Imah yang berada di dapur dan tengah makan melihatku membawa piring ke wastafel dapur, sontak bangkit. "Eh, Neng! Biar Bibi aja yang beresin!" Ia tampak terkejut.

"Udah, Bibi makan aja ...," kataku sembari meraih spons dan mulai menyuci piring kotor yang cuma dua buah itu.

"Eh ...." Bi Imah tampak bengong di sampingku.

"Sana, Bibi makan dulu," suruhku seraya menunjuk dengan isyarat ke arah makanannya.

Dengan ragu, wanita paruh baya itu pun berjalan ke meja di pojok ruang dapur tersebut dan kembali memakan makanannya. "Lain kali biar Bibi aja, Neng," ujarnya seperti tidak enak hati.

"Tenang aja, Bi. Aku terbiasa kok melakukan kerjaan rumah."

"Tapi Bibi gak enak, Neng," timpalnya lagi.

"Gak enak kasih kucing aja, Bi," sahutku sambil terkekeh.

Aku lalu meletakkan piring dan gelas yang sudah kucuci di rak piring di dekat wastafel itu.

"Ah, Neng bisa aja." Wanita yang berkerudung coklat muda itu ikut tertawa kecil.

Aku kemudian duduk di kursi di samping Bi Imah. "Bibi sudah lama kerja di sini?" tanyaku.

"Sudah lima tahun, Neng," jawab wanita tua itu. Ia kemudian bangkit mengangkat piringnya karena makanannya sudah habis.

"Lumayan lama juga ya," ucapku.

"Iya, waktu itu Den Aldin baru dua bulanan tinggal di sini. Waktu itu Aden belum menikah. Gak lama kemudian, baru deh, nikah." Bi Imah bicara sambil menyuci piring kotornya.

"Oh, gitu," gumamku.

"Ya. Terus baru menikah tiga tahun. Den Aldin bercerai," lanjutnya bercerita.

Aku menyimak.

"Neng Sherly terlalu sibuk di luar rumah. Aden mau istrinya di rumah aja, fokus ke anak gitu. Tapi karena sama-sama keras ... akhirnya pisah mereka."

Oh, begitu rupanya kisah pernikahan Bang Aldin yang dulu ....

Aku tak menyahut. Hanya mengangguk-angguk saja.

Tiba-tiba datang Mbak Lisa membawa piring yang masih tersisa makanan di sana.

"Susah banget bujukin Ivan makan," keluh wanita muda itu sembari meletakkan piring kotor itu di dalam wastafel.

Mbak Lisa lalu mengambil sebuah piring bersih di lemari kitchen set. Ketika melihatku, ia tersenyum dan menegur, "Neng ...."

"Mila aja, Mbak," ujarku mengingatkan.

"Eh, iya ... Mila ...." Ia terkekeh pelan. Ia kemudian mengambil nasi dari magiccom, lalu membuka sebuah lemari. Rupanya di situ terdapat lauk-pauk. Sepertinya ia akan makan siang.

"Mbak Lisa! Aku mau susu!" Tiba-tiba datang Ivan.

"Biar Bibi yang bikinkan, Den!" Bi Imah langsung meraih sebuah kaleng susu yang ada di dalam lemari kitchen set dan menurunkannya. Lalu wanita paruh baya itu menjerang sedikit air.

"Aku mau Mbak Lisa yang bikin! Bibi bikin susunya gak enak!" kata bocah kecil itu protes.

Mbak Lisa yang baru makan sesuap dua suap pun menghela napas, lalu bergerak hendak bangkit dari duduknya.

Aku langsung mencegahnya. "Biar Tante Mila yang bikinin ya, Jagoan!" tawarku pada sang bocah.

Alis Ivan seketika bertaut.

"Tante bisa bikin susu yang enak, kok. Tenang aja," ujarku sembari melayangkan senyum manis kepada bocah itu.

Dia hanya diam menatapku yang meraih gelas dari tangan Bi Imah. Lalu menyendok susu bubuk coklat dari kalengnya. Setelah siap di gelas, air yang sudah mendidih di kompor aku tuang sedikit ke dalamnya.

Ivan masih terpaku di sana. Ia tidak menjawab iya ataupun membantahku.

Usai susu itu tercampur rata, aku lalu menuangkan air bersuhu ruang dari teko ke dalam gelas tadi. Kuaduk lagi susu tersebut.

"Taraaaa!" seruku menunjukkan susu hasil buatanku.

Bi Imah dan Mbak Lisa tersenyum simpul di sana. Sementara bocah tersebut, seolah terpana melihatku.

"Ini susu coklat special untuk Pangeran Ivan!" Kusodorkan segelas susu coklat itu kepada bocah tersebut dengan senyum mengembang.

Mengapa Ivan tampak ragu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengantin Titipan    Bab 57 : "Aku yakin!"

    "Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah

  • Pengantin Titipan    Bab 56 : Tragedi

    Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap

  • Pengantin Titipan    Bab 55 : Meminta Cerai

    Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga

  • Pengantin Titipan    Bab 54 : Tenggelam

    "Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak

  • Pengantin Titipan    Bab 53 : Teror

    [Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo

  • Pengantin Titipan    Bab 52 : Terjadilah

    Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status