Share

Bab 9 : Makan Bersama

"Sudah kenalan dengan Tante Kamila?" tanya Bang Aldin kepada Ivan.

Bocah itu menoleh ke arahku lalu mengangguk keras.

Aku berusaha mengulas senyum lagi di bibir ini, menarikku dari keterpanaan tadi. "Panggil Tante Mila aja," ujarku pada anak yang tampan itu sembari mengulurkan tangan.

Ivan melirik sebentar ke arah ayahnya seakan meminta tanggapan. Sang ayah mengangguk.

Bocah lelaki itu pun menyambut telapak tanganku dan menyalaminya.

Aku melebarkan senyuman dan membelai puncak kepalanya. Wajah kecil itu masih terlihat datar jika berhadapan denganku. Lucu banget.

"Oh iya, Mila. Ini Lisa, dia baru dua pekan bekerja di sini. Lisa, ini Mila." Bang Aldin mengenalkanku pada wanita yang bersama anaknya itu.

Aku mengulurkan tangan kepada wanita tersebut dan ia pun menyambutnya. "Neng ...," tegurnya sembari mengangguk dan mengukir senyuman.

"Panggil Mila saja, Mbak Lisa," sahutku ramah.

Wanita itu mengangguk lagi.

"Mila, kalau kamu ada perlu, bisa minta tolong Lisa atau Bi Imah, ya. Abang ke sana dulu." Bang Aldin menunjuk ke arah belakang rumah.

"Ayah, beliin aku es krim dong!" Tiba-tiba Ivan berseru kepada sang ayah.

"Iya, nanti."

Aku menatap punggung ketiga orang yang berjalan menjauh nyaris beriringan itu. Aroma PARFUM yang maskulin dari tubuh Bang Aldin masih tertinggal di sini. Hmmm, aroma yang menenangkan.

"Ivan sudah makan belum, Lis?" tanya Bang Aldin kepada Mbak Lisa seraya menggendong Ivan dan mereka semakin menjauhi kamarku.

"Sudah, tapi sedikit banget, Den," jawab wanita itu.

Semakin lama suara mereka semakin menghilang. Aku pun menutup pintu kamar dan melangkah menuju ranjang yang besar di hadapan.

Hmmm ... empuk sekali ranjang ini ya Allah. Kucoba merebahkan badan. Aaah, nyamannya ....

***

Sayup-sayup terdengar suara ketukan pintu. Aku mengerjapkan mata, berusaha mengembalikan kesadaran. Rupanya aku terlelap tadi.

Kembali pintu besar kamar ini diketuk. Aku pun bangkit dan melangkah ke arah sana.

Ketika pintu itu kubuka, rupanya Bi Imah. "Neng, makan siang sudah siap. Ditunggu Den Aldin di ruang makan," katanya. Santun banget ....

"Eh, ini jam berapa, Bi?" Aku baru ingat belum Shalat Dzuhur.

"Jam setengah satu, Neng," jawab Bi Imah.

Kutepuk keningku. Bi Imah tampak heran.

"Aku Shalat Dzuhur dulu, Bi!" Dengan segera aku melangkah ke arah kamar mandi yang tadi sempat ditunjukkan oleh Bi Imah.

"Nanti langsung ke ruang makan aja ya, Neng!" Bi Imah mengeraskan suaranya.

"Iya, Bi!" sahutku di depan pintu kamar mandi.

Terdengar suara pintu ditutup.

***

Aku menurunkan kecepatan langkah ketika hampir sampai di ruang makan. Tampak Bang Aldin tengah menelpon seseorang di sana. Ivan pun duduk di depan meja makan dengan Mbak Lisa di sampingnya yang kulihat sedang membujuknya untuk mau membuka mulut.

Aku mendudukkan bokong dengan perlahan di kursi makan di hadapan Ivan. Mbak Lisa mengangguk menegurku ramah. Aku membalasnya dengan senyuman.

Tiba-tiba terdengar suara Bang Aldin. "Makan, Mila!" Ia mempersilakanku sambil meletakkan gawainya di atas meja.

Aku mengulas senyum tipis, lalu mengangguk pelan.

Tampak lelaki tersebut meraih piringnya dan mengambil nasi beserta lauk-pauk. Ia kemudian mulai menyuapi diri.

Dengan perasaan canggung aku pun mengambil nasi juga lauk-pauk yang kelihatan enak ini, lalu menata di atas piringku sendiri. Perlahan aku menikmati sensasi makanan orang kaya di hadapan.

Ya, untukku yang biasa hidup sangat sederhana, makanan ini tampak begitu mewah. Akan tetapi heran, kulihat Ivan seakan tidak berselera di sana. Mbak Lisa seperti kesulitan untuk membujuknya makan.

"Van ... makan yang banyak, Nak. Biar cepet gede," tegur sang ayah.

Sang anak tampak cuek dengan terus memainkan tab di hadapannya.

Ya, aku juga risih melihat bocah itu sulit makan. Makanan enak-enak begini, kok. Sementara di luar sana banyak orang yang tidak punya uang untuk sekadar mengganjal perut.

Aku diam saja memperhatikan sambil fokus memakan makanan ini. Hmm ... jadi teringat ayah. Sekarang beliau sendiri, makan apa? Biasanya aku yang melayani beliau memasak dan menyucikan pakaian.

Ayah bukan tidak bisa melakukan itu. Sesekali ayah juga memasak. Akan tetapi, semenjak ibu meninggal dunia, beliau seperti kehilangan gairah hidup. Ayah sangat mencintai ibu.

"Tambah lagi, Mila," tawar Bang Aldin ketika melihat piringku hampir kosong. Ya, aku lapar banget tadi.

"Sudah cukup," ucapku sembari meletakkan sendok dengan posisi telungkup di atas piring. Aku melirik apa yang dilakukan Bang Aldin tadi.

Bang Aldin tersenyum kepadaku.

Ia memang sangat ... tampan.

Eh ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status