"Sudah kenalan dengan Tante Kamila?" tanya Bang Aldin kepada Ivan.
Bocah itu menoleh ke arahku lalu mengangguk keras.Aku berusaha mengulas senyum lagi di bibir ini, menarikku dari keterpanaan tadi. "Panggil Tante Mila aja," ujarku pada anak yang tampan itu sembari mengulurkan tangan.Ivan melirik sebentar ke arah ayahnya seakan meminta tanggapan. Sang ayah mengangguk.Bocah lelaki itu pun menyambut telapak tanganku dan menyalaminya.Aku melebarkan senyuman dan membelai puncak kepalanya. Wajah kecil itu masih terlihat datar jika berhadapan denganku. Lucu banget."Oh iya, Mila. Ini Lisa, dia baru dua pekan bekerja di sini. Lisa, ini Mila." Bang Aldin mengenalkanku pada wanita yang bersama anaknya itu.Aku mengulurkan tangan kepada wanita tersebut dan ia pun menyambutnya. "Neng ...," tegurnya sembari mengangguk dan mengukir senyuman."Panggil Mila saja, Mbak Lisa," sahutku ramah.Wanita itu mengangguk lagi."Mila, kalau kamu ada perlu, bisa minta tolong Lisa atau Bi Imah, ya. Abang ke sana dulu." Bang Aldin menunjuk ke arah belakang rumah."Ayah, beliin aku es krim dong!" Tiba-tiba Ivan berseru kepada sang ayah."Iya, nanti."Aku menatap punggung ketiga orang yang berjalan menjauh nyaris beriringan itu. Aroma PARFUM yang maskulin dari tubuh Bang Aldin masih tertinggal di sini. Hmmm, aroma yang menenangkan."Ivan sudah makan belum, Lis?" tanya Bang Aldin kepada Mbak Lisa seraya menggendong Ivan dan mereka semakin menjauhi kamarku."Sudah, tapi sedikit banget, Den," jawab wanita itu.Semakin lama suara mereka semakin menghilang. Aku pun menutup pintu kamar dan melangkah menuju ranjang yang besar di hadapan.Hmmm ... empuk sekali ranjang ini ya Allah. Kucoba merebahkan badan. Aaah, nyamannya ....***Sayup-sayup terdengar suara ketukan pintu. Aku mengerjapkan mata, berusaha mengembalikan kesadaran. Rupanya aku terlelap tadi.Kembali pintu besar kamar ini diketuk. Aku pun bangkit dan melangkah ke arah sana.Ketika pintu itu kubuka, rupanya Bi Imah. "Neng, makan siang sudah siap. Ditunggu Den Aldin di ruang makan," katanya. Santun banget ...."Eh, ini jam berapa, Bi?" Aku baru ingat belum Shalat Dzuhur."Jam setengah satu, Neng," jawab Bi Imah.Kutepuk keningku. Bi Imah tampak heran."Aku Shalat Dzuhur dulu, Bi!" Dengan segera aku melangkah ke arah kamar mandi yang tadi sempat ditunjukkan oleh Bi Imah."Nanti langsung ke ruang makan aja ya, Neng!" Bi Imah mengeraskan suaranya."Iya, Bi!" sahutku di depan pintu kamar mandi.Terdengar suara pintu ditutup.***Aku menurunkan kecepatan langkah ketika hampir sampai di ruang makan. Tampak Bang Aldin tengah menelpon seseorang di sana. Ivan pun duduk di depan meja makan dengan Mbak Lisa di sampingnya yang kulihat sedang membujuknya untuk mau membuka mulut.Aku mendudukkan bokong dengan perlahan di kursi makan di hadapan Ivan. Mbak Lisa mengangguk menegurku ramah. Aku membalasnya dengan senyuman.Tiba-tiba terdengar suara Bang Aldin. "Makan, Mila!" Ia mempersilakanku sambil meletakkan gawainya di atas meja.Aku mengulas senyum tipis, lalu mengangguk pelan.Tampak lelaki tersebut meraih piringnya dan mengambil nasi beserta lauk-pauk. Ia kemudian mulai menyuapi diri.Dengan perasaan canggung aku pun mengambil nasi juga lauk-pauk yang kelihatan enak ini, lalu menata di atas piringku sendiri. Perlahan aku menikmati sensasi makanan orang kaya di hadapan.Ya, untukku yang biasa hidup sangat sederhana, makanan ini tampak begitu mewah. Akan tetapi heran, kulihat Ivan seakan tidak berselera di sana. Mbak Lisa seperti kesulitan untuk membujuknya makan."Van ... makan yang banyak, Nak. Biar cepet gede," tegur sang ayah.Sang anak tampak cuek dengan terus memainkan tab di hadapannya.Ya, aku juga risih melihat bocah itu sulit makan. Makanan enak-enak begini, kok. Sementara di luar sana banyak orang yang tidak punya uang untuk sekadar mengganjal perut.Aku diam saja memperhatikan sambil fokus memakan makanan ini. Hmm ... jadi teringat ayah. Sekarang beliau sendiri, makan apa? Biasanya aku yang melayani beliau memasak dan menyucikan pakaian.Ayah bukan tidak bisa melakukan itu. Sesekali ayah juga memasak. Akan tetapi, semenjak ibu meninggal dunia, beliau seperti kehilangan gairah hidup. Ayah sangat mencintai ibu."Tambah lagi, Mila," tawar Bang Aldin ketika melihat piringku hampir kosong. Ya, aku lapar banget tadi."Sudah cukup," ucapku sembari meletakkan sendok dengan posisi telungkup di atas piring. Aku melirik apa yang dilakukan Bang Aldin tadi.Bang Aldin tersenyum kepadaku.Ia memang sangat ... tampan.Eh ...."Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah
Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap
Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga
"Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak
[Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo
Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup
Bu Fatma tersenyum di sana sembari mengacak rambut si bocah tampan."Bunda kenapa telat, sih?" rajuknya padaku."Iya, Bunda gak sengaja ketiduran tadi," ujarku penuh penyesalan.Ia mengerucutkan bibirnya. "Bu, maaf ya ...," ucapku pada Bu Fatma."Iya, Bunda," sahutnya."Makasih banyak." Aku menjabat tangan Bu Fatma dan kami pun pamit."Ivan mau apa, nanti Bunda beliin." Aku mencoba merayu bocah itu agar mau tersenyum. Wajahnya kini terlihat masam."Aku mau ke kantor Ayah!" katanya.Haduh! Aku tidak pernah ke kantor Bang Aldin sama sekali. Hanya tahu nama CV–nya saja. "Hmm ... Bunda gak tahu jelas alamat kantor Ayah. Kalau Pak supirnya nanya, Bunda gak bisa jawab.""Aku tahu!" kilahnya."Mmm ... oke. Kita ke sana, deh!" Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba ke sana. Daripada bocah ini terus ngambek.Aku lalu memesan taksi online dan menulis alamat yang dituju. Ternyata ketika
Setelah ia memarkir mobilnya, lelaki itu lalu keluar dan melangkah mendekat. "Assalamualaikum," ucapnya.Aku pun menjawab salamnya sembari berusaha menarik kedua ujung bibir ini. "Apa kabar, Mil?" tanyanya seraya mengulas sebuah senyuman, membuat wajahnya semakin terlihat manis."Alhamdulillah baik, Bang.""Boleh Abang masuk?" tanyanya."Mmm ... maaf, Bang. Lagi gak ada orang di rumah. Di sini aja, ya, kalau ada yang mau disampaikan," ujarku mempersilakannya duduk di kursi di teras tersebut. Aku tak nyaman jika hanya berdua di dalam rumah. Kalau di luar sini, paling tidak ada Pak Hari, satpam kami. Jadi, tidak akan menimbulkan fitnah, menurutku ...."Oh, oke!" sahut lelaki itu dan langsung ia pun duduk di sana."Aku ambil minum dulu ya, Bang," imbuhku.Ia mengangguk dengan senyuman yang masih setia di bibirnya.Setelah selesai menyeduh secangkir kopi instan, aku pun ke luar dan meletakkan cangkir itu d
Saat ini aku memutuskan untuk menerima apa pun yang terjadi. Mungkin memang ini takdir dari Yang Mahakuasa bagiku. Terserah apa masa lalu Bang Aldin atau pun Bang Dion. Kini aku tidak mau memikirkannya lagi. Rasanya aku sudah lelah ...."Mil ... masuk! Sudah malam ini," suruh Bang Aldin kepadaku yang sedang duduk di teras kamar menghadap kolam renang.Aku tidak menyahut dan tetap bergeming tepekur di situ."Hei ...." Bang Aldin menyampirkan selimut ke bahuku."Makasih," lirihku tanpa menoleh ke arahnya."Sudah jam sepuluh. Kita tidur, yuk," ajaknya lagi."Abang tidur aja dulu," jawabku.Dia menghela napas, kemudian ikut duduk di sebelahku. "Dion ... dia bilang gak pernah mencintai Amel." Bang Aldin menyeringai. Aku tidak menanggapi dan tetap diam."Dia bohong," sambungnya."Terserahlah," ujarku malas.Dari sudut mata aku menangkap Bang Aldin menatapku dengan sorot heran. Ia kemudian