Ivan menyebut wanita itu dengan sebutan 'ibu'?Aku menoleh ke arah Bang Aldin yang mendekat. "Al ... apa kabar?" Bibir merah menyala itu tersenyum semringah ke arah Bang Aldin, "hei, Dion! Kamu juga apa kabar?" Bang Dion pun sudah berada di samping ayah dari Ivan itu."Baik, Mbak," jawab Bang Dion sembari menyunggingkan senyum. Bang Aldin sendiri tak menyahut. "Sedang apa kamu di sini, Sher?" tanya pria itu tampak tak suka.Wanita ini kelihatannya sebaya dengan Mbak Lisa, hanya style-nya yang jauh berbeda."Jangan jutek gitu, Al," ujar wanita itu sambil menurunkan Ivan dari gendongannya. Bibirnya senantiasa tersenyum manis.Ivan lalu menggamit jemariku. "Aku mau main ayunan, Tante. Ayo!" Bocah itu menggandeng dan menjauhkanku dari sana."Siapa perempuan itu? Pembantu baru?" Pertanyaan itu terarah kepadaku. Ya, aku masih mendengar dengan jelas karena belum jauh. Aku yakin dia adalah mantan istri Bang Aldin."Istriku." Aku menoleh ke arah sana dan kulihat ekspresi terkejut wanita can
Aku tidak paham, mengapa Mbak Sherli tiba-tiba berkata seperti itu. Aku sama sekali tidak pernah berpikiran demikian."Aldin gak mungkin jatuh cinta sama perempuan kampungan kayak kamu." Pandangan matanya seakan menelanjangiku dari atas ke bawah.Aku tersenyum sinis. Heran, apa semua orang kaya itu tukang hina, ya?"Mbak jangan bicara sembarangan!" cetus Bang Dion.Ujung sebelah bibir merah itu tertarik sedikit. Wanita itu kemudian berbalik dan melenggang pergi setelah membelai sebentar pipi sang putra."Sherly ngomong apa?" tanya Bang Aldin. Ia baru saja muncul, melenggang santai di hadapan kami setelah sang mantan istri pergi."Mbak Sherly menuduh Mila mau merebut Ivan darinya, Bang," timpal Bang Dion.Pria tampan di hadapan kami terkekeh geli. "Abaikan dia, Mila. Jangan dihiraukan omongannya."Ya, aku akan mengabaikan tuduhan tak berdasar itu. Lagian tidak penting bagiku persangkaan Mbak Sherly seperti apa."Mau ke mana?" tanya Bang Aldin lagi."Aku haus, Yah! Ayo cari minum cepat
"Di depan 'kan enak, bisa lihat pemandangan lebih luas." Sang ayah tampak masih berusaha membujuk bocah kecil itu."Gak mau!" pekik Ivan tak terima. Anak itu berusaha turun dari pundak sang ayah.Aku langsung meraih tubuh Ivan yang kini berada di gendongan Bang Aldin. "Biar Ivan duduk sama aku, Bang!" kataku.Bang Aldin terlihat terpaksa menurutiku dan sang anak."Lagian aku dan Bang Dion bukan mahram. Lebih baik kami gak duduk berdua." Aku mencoba menjelaskan."Oh, gitu," ucap Bang Aldin sambil mengangguk.Bang Dion hanya diam di sana. "Kalo berduaan sama Abang boleh dong, ya? 'Kan kita suami-istri." Bang Aldin menaik-naikkan alisnya ke arahku juga Bang Dion dengan tatapan menggoda.Entah mengapa wajah ini seketika terasa panas. Aku langsung meraih gagang dan membuka pintu mobil, lalu melesat membawa serta Ivan masuk."Hahahahaaa!" Bang Aldin terbahak. Ia lalu berjalan sambil menggoyangkan badannya seperti MENARI mengejek, menuju pintu kemudi.Kulirik wajah Bang Dion yang tampak ter
Sepanjang jalan kami mengobrol macam-macam. Dari mengomentari keadaan jalanan sampai ke perkembangan Ivan. Ternyata Bang Aldin enak juga diajak ngobrol. Dia orangnya lumayan lucu, walau kadang menyebalkan. Tanpa terasa, akhirnya kami sampai juga di halaman rumah. Terdengar suara adzan Ashar dari masjid. Rupanya sudah sore."Sini," ujar Bang Aldin sembari meraih Ivan yang masih nyenyak di pangkuanku setelah membukakan pintu mobil.Lantas aku pun mengekorinya ke dalam rumah. Mbak Lisa yang membukakan pintu. Ternyata ia sudah pulang dari rumah kontrakan Mas Danu, calon suaminya itu."Sudah pulang, Mbak?" tegurku."Iya, saya sudah buatkan Mas Danu makanan. Panas badannya juga sudah mulai turun."Aku mengangguk dan tersenyum.Bang Aldin tampak sudah masuk ke kamar Ivan. Sementara aku melangkah ke arah dapur, hendak mengambil air minum."Seru jalan-jalannya?" tanya Mbak Lisa sembari mendudukkan bokongnya di kursi si sebelahku."Lumayan," jawabku setelah meneguk air minum."Walau Den Aldin
Langkahku semakin mendekat. Terdapat sebuah kursi panjang besi bercat putih di pinggir kolam itu. Aku pun duduk di sana."Aku Shalat Subuh di kamar Tante," jawab Ivan sambil menyunggingkan senyum sempurna ke arah sang ayah.Bang Aldin meletakkan barbel ke tanah berumput. Ia kemudian mendekati sang anak, meraih kepala bocah tersebut, lalu mengecup lekat pelipisnya. Setelah itu ia pun bangkit berjalan mendekatiku."Maaf, Ivan sudah ganggu kamu pagi-pagi begini, Mila," ujar Bang Aldin sembari mendudukkan bokongnya ke kursi di sebelahku. Jaraknya cukup jauh, aku di ujung sini, sementara dia di ujung sebelah sana."Biasa aja, Bang. Gak ganggu kok, soalnya aku udah bangun dari sebelum subuh." Kuarahkan pandangan ke arah Ivan di sana. Bang Aldin meraih handuk kecil yang tersampir di sandaran kursi ini. Ia pun mengelap keringatnya dari wajah, leher, hingga tengkuknya. Kausnya basah terkena keringat."Aku mau kasih makan ikan dulu!" Ivan beranjak dari pinggir kolam renang, kemudian berlari ke
"Ivan lagi belajar ngaji?" tanyanya seraya menyunggingkan senyum lebar. Wanita yang memakai dress ketat berwarna toska itu mendekati sang putra, kemudian menciumi pipi bocah tersebut. "Iya, Bu. Aku lagi ngaji," sahut Ivan dengan semringah."Masih lama ya? Kita 'kan mau jalan-jalan hari ini." Mbak Sherly membelai rambut Ivan.Bang Aldin diam saja di sana, memasang wajah dinginnya."Sudah selesai kok, Mbak," timpalku berusaha mengulas senyuman, "Ivan siap-siap dulu ...." Aku mengalihkan pandangan ke arah Ivan.Bocah itu pun beranjak. Aku juga ikut bangkit dan menyusulnya hendak membantu anak itu bersiap. Mbak Lisa hari ini ternyata libur. Ya, aku baru tahu bahwa jadwal kerja Mbak Lisa hanya dari senin hingga sabtu. Dia tidak memang tinggal di sini. Jadi, di jadwal kerjanya, pagi pukul tujuh sudah harus ada di sini dan pulang pukul setengah lima sore. Berbeda halnya dengan Bi Imah, beliau tinggal di sini. Sesekali saja ia pulang kampung. Begitu kata wanita paruh baya itu.Wanita cantik
"Den ... ada Den Dion datang." Tiba-tiba terdengar suara Bi Imah. Ketika mata kami semua berserobok, wanita paruh baya itu refleks menunduk canggung karena melihat kami.Bang Aldin menoleh dan pelukannya langsung merenggang. Dengan adanya kesempatan itu, aku segera menjauh. Dada ini terasa bergemuruh kencang. Aku yakin ada sesuatu yang menyebabkan Bang Aldin bersikap demikian. Benar-benar membuatku takut dengan tatapan serta sikapnya itu ... bukan seperti biasanya pria itu terhadapku. Bahkan tadi ketika belajar ngaji masih wajar saja."Assalamualaikum!" Itu Bang Dion! Syukurlah, lelakiku itu tiba pada saat yang tepat.Bi Imah berbalik dan melenggang pergi."Wa 'alaikumus salam!" sahutku cepat, lalu melenggang mendekatinya walau dengan degup jantung yang bertalu-talu. Aku berusaha bersikap normal."Apa kabar, Mila? Bang?" tanya Bang Dion dengan senyum yang mengembang. Tangannya memegang sebuah paper bag.Lelaki itu tidak tahu, baru saja aku ketakutan setengah mati dengan sikap Bang A
"Ini surprise yang Abang bilang hari itu," katanya dengan bibir yang senantiasa tersenyum hangat. Aah ... Bang Dion selalu bersikap manis kepadaku.Aku pun meraih kotak tersebut. "Aku buka di kamar ya, Bang," ujarku."Oke gak papa. Istirahatlah, moga cepet baikan ya," ucapnya.Aku lantas pamit dari sana, melenggang masuk ke kamar.Sesampai di kamar, aku duduk di bibir ranjang. Penasaran dengan kado yang diberikan oleh Bang Dion barusan. Kuurai pita merah yang terikat di sana. Tanpa sadar bibir ini terus tersenyum melihat kotak berbalut kertas berwarna biru motif polkadot tersebut. Apa ya isinya?Kulepas sedikit-sedikit potongan selotip yang merekat di kotak itu. Dahiku seketika mengernyit ketika melihat tulisan S*MS*NG GALAXY A71 di sana. "Maa syaa Allah ...," lirihku pada diri sendiri.Bang Dion memberikan aku sebuah ponsel. Sepertinya ini mahal. Aku dulu sempat punya ponsel, hanya saja ketika berangkat ke tempat Kak Mirna waktu itu, dijambret orang. Memang hape murah, tapi itu mod