"Mila ... ini hanya sementara ...." Bang Dion ikut bangkit dan mencoba menjelaskan.
"Abang udah gila?!" jeritku sembari menatap nanar ke arah pria itu."Abang bilang juga apa ...?" tukas Bang Aldin santai dengan rokok yang terus dimainkan di bibirnya. Dia menyeringai."Mila, i–ini terpaksa!" Tampak sorot putus asa dari mata Bang Dion.Aku terduduk, mencoba mencerna ide gila ini."Assalamualaikum!"Tiba-tiba terdengar suara Kak Mirna yang baru datang. Kami pun menjawab salamnya dengan lirih. Terlihat senyum tipis dari bibir Kakak perempuanku itu kepada kami."Hei ... Dion!" tegurnya, "hmm ... siapa si ganteng ini?" tanya Kak Mirna ketika melihat Bang Aldin. Matanya mengerling.Aku mendengkus malas."Eh, iya. Ini Bang Aldin, temenku, Kak. Bang, ini Kak Mirna, kakaknya Mila," ujar Bang Dion memperkenalkan.Bang Aldin hanya mengangkat sebelah ujung bibirnya. Entah mengapa wajah tampan itu terlihat begitu menyebalkan. Dan Kak Mirna, ayolaaah ... bukan waktunya menggoda. Lagian sudah punya suami juga!"Oke, sudah ada solusi soal permasalahan kita?" tanya Kak Mirna sembari mendudukkan bokongnya ke sofa di sebelahku. Matanya bergantian menatapku dan Bang Dion.Suasana seketika hening.Kak Mirna mengernyitkan dahinya. "Halloooo ...?" tegurnya kemudian."Aku yang bakalan nikahin adek kamu," ucap Bang Aldin singkat."Hah?!" Kak Mirna tampak bingung. Tentu saja ...."Ini sementara, Kak. Aku harus menyelesaikan kuliah dulu. Nanti akan aku urus semuanya setelah itu. Aku janji ...," ucap Bang Dion.Kak Mirna lalu menoleh ke arahku. "Apa-apaan ini?""Aku juga bingung, Kak," keluhku sembari meremas gamis yang kukenakan."Aku cuma bantuin aja. Kalo diterima syukuuur ... gak juga, aku gak maksa," timpal Bang Aldin.Aku menatap nyalang ke arah pria itu. Semakin lama semakin menyebalkan saja."Bang Aldin akan jagain Mila buat aku, Kak. Aku janji, ini hanya sementara." Bang Dion mencoba meyakinkan.Kak Mirna tersenyum sinis. "Ayah sudah menyuruh kami untuk pulang besok lusa. Acara tinggal sepuluh hari lagi. Kamu mikir gak sih, Dion?!" sergah Kak Mirna.Mata Bang Dion berlarian ke sana kemari. Dia pasti bingung. Begitu juga aku."Karena itu, Kak ... aku–""Baik!" potongku, "aku akan menikah dengan Bang Aldin!" rahangku mengetat. Aku tak punya pilihan lain.Ayah dan Kak Mirna sudah memperingatkan dari awal ketika aku mengaku bahwa punya perasaan lebih dengan lelaki ini. Ya ... lelaki yang kuharapkan menjadi suamiku, yang kuharap sebagai cinta sejatiku, dia cinta pertamaku. Tak kusangka begitu lemah di hadapan orang tuanya yang kaya raya itu.Aku takkan bisa mengecewakan ayah. Ayah sudah banyak berkorban untuk kami, untuk ibu ... untuk keluarga kami. Bagaimana mungkin aku akan membuatnya malu di hadapan orang sekampung? Itu tidak mungkin.Kak Mirna menatapku lekat. Begitu juga Bang Dion."Benar, Mila?" tanya lelaki yang kucintai itu."Apa aku ada pilihan lain?" Aku menahan panas di mata dan di dada ini.Dengan ragu Bang Dion tersenyum getir. "Abang janji ....""Terserah!" potongku cepat.Aku tak mau lagi mendengar janji-janjinya. Terseraaah! Terserah apa pun yang terjadi dalam hidupku. Aku sudah capek!"Oke. Abang akan siap-siap juga buat berangkat sepuluh hari ke depan," ucap Bang Aldin.Bang Dion mengangguk pelan."Oh, ya. Abang cuma mau kasih tahu ... " Bang Aldin menggantung omongannya. "Abang duda ... dan punya anak cowok satu, usianya hampir empat tahun." Bibir itu tersenyum miring.Kulihat Bang Dion menundukkan kepalanya semakin dalam."Hahah!" Itu bukan tertawa. Akan tetapi, ejekan, "menghindari duda beranak dua, dapat duda beranak satu!" sindir Kak Mirna, "tapi mendingan sih, dia jauh lebih ganteng dan lebih muda dibanding si Sugeng."Dadaku makin sempit rasanya. Kutatap lekat pria yang akan jadi pahlawan itu. "Abang shalat?"Alisnya bertaut. Kemudian bibirnya mencebik dan berkata, "Tentu saja. Abang muslim." Dia menyeringai."Bayar zakat?" lanjutku."Hahaha!" Dia tertawa sambil menatapku heran, "jelaslaaah!"Rahangku masih mengetat. Aku harus tahu ini. Kata pak ustadz muslim harus jelas menjalankan rukun Islam. Apalagi dia yang akan ... aaaaah!"Apalagi? Puasa? Pasti! Naek haji aja yang belom ini," sindirnya.Mataku terasa semakin panas. Kualihkan pandangan ke arah Kak Mirna dan berkata, "Aku mau siapkan tas buat berangkat pulang." Aku hanya beralasan, kemudian bergegas melenggang dengan langkah besar ke arah kamar.Tak kuhiraukan panggilan Bang Dion.Kututup rapat dan kukunci pintu kamar, lalu menghambur menghempaskan diri ke atas kasur, kembali manangis sejadi-jadinya. Sesak rasanya dada ini. Sakiiit ... ya Allah!Akhirnya kami sampai di kampung. Di pinggir Kota Bekasi. Ayah menyambut aku dan Kak Mirna dengan wajah cerah ceria. "Apa kabar, Yah?" tanya Kak Mirna sembari mencium tangan ayah."Alhamdulillah, Mirna. Ayah sehat! Suamimu gak ikut?" tanya ayah dengan bibir yang terus tersenyum.Giliranku mencium punggung tangan ayah sembari mencoba mengukir sebuah senyuman di bibir. Ayah mengusap kepalaku yang tertutup hijab berwarna salem."Mas Andri masih ada kerjaan di Bandung, Yah. Nanti dia nyusul, kok. Tenang aja," ucap Kak Mirna seraya tersenyum tipis.Kakakku sudah lama tinggal di kota. Dia putus sekolah sejak tamat SMP. Dia bilang kerja di pabrik sepatu waktu itu. Sejak menikah dengan Mas Andri dua tahun lalu, dia tidak lagi bekerja. Mas Andri kerja di Bandung, katanya jadi karyawan bagian administrasi di sebuah perusahaan advertising. Sedangkan aku, aku sempat menyelesaikan sekolah hingga jenjang Madrasah Aliyah. Tamat sekolah, aku hanya mengajar mengaji anak-anak TPA di kampung bersama te
"Kenapa belum tidur?" Suara yang kini sudah mulai tak asing bagiku.Aku bangkit dan beringsut menyenderkan punggung ke kepala ranjang. "Be–belum bisa tidur, Bang," jawabku gugup.Dia lalu merebahkan diri di situ. Kedua tangannya diletakkan ke belakang menyanggah kepalanya. "Kamu kalo tidur pake kerudung begitu?" Ia melirikku.Aku bergeming. Apa ... apa aku harus membuka hijabku di hadapan pria asing ini?Dia memutar bola matanya dan menghela napas, kemudian bergerak memiringkan badan membelakangiku. Aku menatap punggung lebar tersebut. Lamat-lamat akhirnya terdengar bunyi dengkuran halus. Dia sudah tertidur.Rasanya hampir tidak dapat dipercaya. Lelaki asing yang belum kukenal sama sekali itulah yang berstatus sebagai suamiku kini. Bukankah aku harus melayaninya di ranjang? Bu–bukankah ini malam pertama kami?Tiba-tiba aku teringat perkataan Bang Dion waktu itu. Lelaki yang telah mengambil hatiku tersebut bilang bahwa Bang Aldin akan menjagakan diriku untuknya. Suatu hari nanti Bang D
"Saya harus segera pulang juga, Yah," sahut Bang Aldin, "Kerjaan sih, masih bisa diatur saat ini ... hanya saja saya khawatir dengan Ivan. Dia baru sembuh dari sakit."Oh, iya. Anak Bang Aldin 'kan ditinggal di sana. Tentu sebagai ayah, dia mengkhawatirkannya. Tidak mungkin terlalu lama meninggalkan sang anak hanya dengan pembantu."Okelah kalau memang begitu. Ayah gak mungkin menahan kalian lebih lama, walaupun ayah berharap kalian masih di sini." Ayah mengulas senyum tipis."Aku nyusul aja berangkatnya, Yah," tawarku sembari menarik kedua ujung bibir."Jangan," seru ayah, "kamu harus kembali bersama suamimu. Kamu seorang istri sekarang, ingat?" Aku tertegun. "In syaa Allah, nanti sesekali ayah ke sana kalau ada kesempatan," sambung ayah.Sesaat kemudian kepalaku mengangguk pelan. Dari sudut mata aku menangkap Bang Aldin tengah memperhatikanku. Wajah ini terasa menghangat, tentu sudah memerah."Kalian gak bulan madu?" sela Kak Mirna sambil mengemasi piring bekas suaminya yang sudah
Sesampainya di halaman rumah kontrakan Kak Mirna, aku dan Bang Aldin ikut keluar dari mobil. Mas Andri menurunkan tas dan koper bawaan mereka."Eh, Mila. Ngapain kamu turunkan tas kamu juga?" tanya Kak Mirna heran."Emmm ...." Ya Allah, aku lupa. Bukankah seharusnya aku ikut dengan pria yang kini berstatus sebagai suamiku.Walaupun Bang Aldin mengenakan kaca mata hitam, aku tahu ia tengah menatapku lekat. Membuatku jengah. Kemudian ia meraih gawainya dan memainkan benda pipih itu."Malah bengong!" seru Kak Mirna lagi.Kakakku lalu meraih dan meletakkan kembali tasku ke dalam bagasi mobil. Mas Andri terlihat terkekeh di sana. Wajah ini terasa panas! "Makasih, Al!" ucap Mas Andri setelah barang-barang mereka turun.Bang Aldin berhenti memainkan ponselnya dan menjawab, "Ok, Mas. Sama-sama." Lelaki itu kemudian masuk ke mobilnya setelah memberi isyarat kepadaku untuk ikut.Dengan ragu aku mengulurkan tangan kepada Kak Mirna. "A–aku pamit, Kak." Rasanya tak rela pergi dari sini.Kakak men
Setelah sekitar empat puluh menit dari rumah Kak Mirna, akhirnya mobil ini berbelok ke sebuah rumah yang tampak mewah berpagar tinggi. Ini ... apakah ini tempat tinggal Bang Aldin? Ya, tentu saja dia orang kaya seperti juga Bang Dion. Lihat saja mobilnya ini. Aku tak tahu jenisnya. Akan tetapi, aku tahu ini mobil mahal.Tak lama kemudian kami turun dari mobil setelah sampai di depan pendopo. Tiang-tiang teras rumah ini besar dengan gaya minimalis modern.Aku dan pria itu menurunkan koper dan tas dari bagasi.Bang Aldin kemudian memencet bell, lalu muncul seorang ibu paruh baya di hadapan kami."Eh, Aden sudah pulang?" tegurnya kepada pria di depanku."Iya, Bi. Ivan mana?" Bang Aldin melangkah ke dalam rumah dengan menarik koper kecilnya."Lagi main di taman belakang," jawab ibu tua itu sembari melihat ke arahku, "eh, ini ...?" Omongan ibu itu menggantung."Ini Mila," sambar Bang Aldin mengenalkanku.Aku mengangguk dan mengulas senyum tipis. "Assalamualaikum," ucapku pada ibu itu."Eh,
"Sudah kenalan dengan Tante Kamila?" tanya Bang Aldin kepada Ivan.Bocah itu menoleh ke arahku lalu mengangguk keras. Aku berusaha mengulas senyum lagi di bibir ini, menarikku dari keterpanaan tadi. "Panggil Tante Mila aja," ujarku pada anak yang tampan itu sembari mengulurkan tangan.Ivan melirik sebentar ke arah ayahnya seakan meminta tanggapan. Sang ayah mengangguk.Bocah lelaki itu pun menyambut telapak tanganku dan menyalaminya. Aku melebarkan senyuman dan membelai puncak kepalanya. Wajah kecil itu masih terlihat datar jika berhadapan denganku. Lucu banget."Oh iya, Mila. Ini Lisa, dia baru dua pekan bekerja di sini. Lisa, ini Mila." Bang Aldin mengenalkanku pada wanita yang bersama anaknya itu.Aku mengulurkan tangan kepada wanita tersebut dan ia pun menyambutnya. "Neng ...," tegurnya sembari mengangguk dan mengukir senyuman."Panggil Mila saja, Mbak Lisa," sahutku ramah.Wanita itu mengangguk lagi."Mila, kalau kamu ada perlu, bisa minta tolong Lisa atau Bi Imah, ya. Abang ke
Aku lalu bangkit dari duduk, hendak membereskan piring dan gelasku sendiri."Biar saja, Mila."Aku terdiam menyimak Bang Aldin bicara."Nanti Bi Imah dan Lisa yang membereskannya," katanya.Aku lalu melanjutkan membereskan piring kotornya juga. "Gak papa, Bang," tuturku sembari mengangkat piring dan gelas kotor kami, melangkah menuju wastafel di dapur.Ivan tampak melirikku sebentar, lalu kembali sibuk memainkan tab-nya. Sementara Mbak Lisa masih sibuk menyuapkan bocah kecil tersebut."Hmm ... terserahlah," sahut lelaki itu sembari menghela napas.Bi Imah yang berada di dapur dan tengah makan melihatku membawa piring ke wastafel dapur, sontak bangkit. "Eh, Neng! Biar Bibi aja yang beresin!" Ia tampak terkejut."Udah, Bibi makan aja ...," kataku sembari meraih spons dan mulai menyuci piring kotor yang cuma dua buah itu."Eh ...." Bi Imah tampak bengong di sampingku."Sana, Bibi makan dulu," suruhku seraya menunjuk dengan isyarat ke arah makanannya.Dengan ragu, wanita paruh baya itu pu
Namun, akhirnya boch kecil itu pun mencoba meraih gelas tersebut dari tanganku. Sengaja aku elakkan gelas susu itu sambil terus tersenyum. Bocah itu semakin menautkan alisnya yang indah. "Pakai tangan kanan dong!" Ya, tadi Ivan mengulurkan tangan kirinya.Ia lalu meraih gelas itu dengan tangan kanannya."Nah, gitu," kataku semringah.Anak yang tampan itu mengulas senyum tipis."Bilang apa?" tanyaku sembari menahan lengannya ketika ia hendak berbalik."Mmm ... makasih," jawabnya ragu.Aku pun melebarkan senyuman dan mengacak puncak kepalanya. Anak manis.***Pagi ini cukup cerah, langit tampak begitu terang diselimuti sedikit awan. Sinar mentari terasa hangat menyentuh kulit wajahku. Ini masih pagi, pukul sembilan. Bang Aldin sudah pergi bekerja pagi-pagi sekali. Bahkan aku tidak melihatnya ketika sarapan di meja makan tadi. Kata Bi Imah, dia ada rapat di kantor, dan mesti menghindari macet.Aku berdiri di samping sebuah kolam ikan tanpa alas kaki di taman belakang rumah. Banyak ikan