Share

Bab 3 : Terserah!

"Mila ... ini hanya sementara ...." Bang Dion ikut bangkit dan mencoba menjelaskan.

"Abang udah gila?!" jeritku sembari menatap nanar ke arah pria itu.

"Abang bilang juga apa ...?" tukas Bang Aldin santai dengan rokok yang terus dimainkan di bibirnya. Dia menyeringai.

"Mila, i–ini terpaksa!" Tampak sorot putus asa dari mata Bang Dion.

Aku terduduk, mencoba mencerna ide gila ini.

"Assalamualaikum!"

Tiba-tiba terdengar suara Kak Mirna yang baru datang. Kami pun menjawab salamnya dengan lirih. Terlihat senyum tipis dari bibir Kakak perempuanku itu kepada kami.

"Hei ... Dion!" tegurnya, "hmm ... siapa si ganteng ini?" tanya Kak Mirna ketika melihat Bang Aldin. Matanya mengerling.

Aku mendengkus malas.

"Eh, iya. Ini Bang Aldin, temenku, Kak. Bang, ini Kak Mirna, kakaknya Mila," ujar Bang Dion memperkenalkan.

Bang Aldin hanya mengangkat sebelah ujung bibirnya. Entah mengapa wajah tampan itu terlihat begitu menyebalkan. Dan Kak Mirna, ayolaaah ... bukan waktunya menggoda. Lagian sudah punya suami juga!

"Oke, sudah ada solusi soal permasalahan kita?" tanya Kak Mirna sembari mendudukkan bokongnya ke sofa di sebelahku. Matanya bergantian menatapku dan Bang Dion.

Suasana seketika hening.

Kak Mirna mengernyitkan dahinya. "Halloooo ...?" tegurnya kemudian.

"Aku yang bakalan nikahin adek kamu," ucap Bang Aldin singkat.

"Hah?!" Kak Mirna tampak bingung. Tentu saja ....

"Ini sementara, Kak. Aku harus menyelesaikan kuliah dulu. Nanti akan aku urus semuanya setelah itu. Aku janji ...," ucap Bang Dion.

Kak Mirna lalu menoleh ke arahku. "Apa-apaan ini?"

"Aku juga bingung, Kak," keluhku sembari meremas gamis yang kukenakan.

"Aku cuma bantuin aja. Kalo diterima syukuuur ... gak juga, aku gak maksa," timpal Bang Aldin.

Aku menatap nyalang ke arah pria itu. Semakin lama semakin menyebalkan saja.

"Bang Aldin akan jagain Mila buat aku, Kak. Aku janji, ini hanya sementara." Bang Dion mencoba meyakinkan.

Kak Mirna tersenyum sinis. "Ayah sudah menyuruh kami untuk pulang besok lusa. Acara tinggal sepuluh hari lagi. Kamu mikir gak sih, Dion?!" sergah Kak Mirna.

Mata Bang Dion berlarian ke sana kemari. Dia pasti bingung. Begitu juga aku.

"Karena itu, Kak ... aku–"

"Baik!" potongku, "aku akan menikah dengan Bang Aldin!" rahangku mengetat. Aku tak punya pilihan lain.

Ayah dan Kak Mirna sudah memperingatkan dari awal ketika aku mengaku bahwa punya perasaan lebih dengan lelaki ini. Ya ... lelaki yang kuharapkan menjadi suamiku, yang kuharap sebagai cinta sejatiku, dia cinta pertamaku. Tak kusangka begitu lemah di hadapan orang tuanya yang kaya raya itu.

Aku takkan bisa mengecewakan ayah. Ayah sudah banyak berkorban untuk kami, untuk ibu ... untuk keluarga kami. Bagaimana mungkin aku akan membuatnya malu di hadapan orang sekampung? Itu tidak mungkin.

Kak Mirna menatapku lekat. Begitu juga Bang Dion.

"Benar, Mila?" tanya lelaki yang kucintai itu.

"Apa aku ada pilihan lain?" Aku menahan panas di mata dan di dada ini.

Dengan ragu Bang Dion tersenyum getir. "Abang janji ...."

"Terserah!" potongku cepat.

Aku tak mau lagi mendengar janji-janjinya. Terseraaah! Terserah apa pun yang terjadi dalam hidupku. Aku sudah capek!

"Oke. Abang akan siap-siap juga buat berangkat sepuluh hari ke depan," ucap Bang Aldin.

Bang Dion mengangguk pelan.

"Oh, ya. Abang cuma mau kasih tahu ... " Bang Aldin menggantung omongannya. "Abang duda ... dan punya anak cowok satu, usianya hampir empat tahun." Bibir itu tersenyum miring.

Kulihat Bang Dion menundukkan kepalanya semakin dalam.

"Hahah!" Itu bukan tertawa. Akan tetapi, ejekan, "menghindari duda beranak dua, dapat duda beranak satu!" sindir Kak Mirna, "tapi mendingan sih, dia jauh lebih ganteng dan lebih muda dibanding si Sugeng."

Dadaku makin sempit rasanya. Kutatap lekat pria yang akan jadi pahlawan itu. "Abang shalat?"

Alisnya bertaut. Kemudian bibirnya mencebik dan berkata, "Tentu saja. Abang muslim." Dia menyeringai.

"Bayar zakat?" lanjutku.

"Hahaha!" Dia tertawa sambil menatapku heran, "jelaslaaah!"

Rahangku masih mengetat. Aku harus tahu ini. Kata pak ustadz muslim harus jelas menjalankan rukun Islam. Apalagi dia yang akan ... aaaaah!

"Apalagi? Puasa? Pasti! Naek haji aja yang belom ini," sindirnya.

Mataku terasa semakin panas. Kualihkan pandangan ke arah Kak Mirna dan berkata, "Aku mau siapkan tas buat berangkat pulang." Aku hanya beralasan, kemudian bergegas melenggang dengan langkah besar ke arah kamar.

Tak kuhiraukan panggilan Bang Dion.

Kututup rapat dan kukunci pintu kamar, lalu menghambur menghempaskan diri ke atas kasur, kembali manangis sejadi-jadinya. Sesak rasanya dada ini. Sakiiit ... ya Allah!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status