Share

Bab 4 : Pernikahan

Akhirnya kami sampai di kampung. Di pinggir Kota Bekasi. Ayah menyambut aku dan Kak Mirna dengan wajah cerah ceria.

"Apa kabar, Yah?" tanya Kak Mirna sembari mencium tangan ayah.

"Alhamdulillah, Mirna. Ayah sehat! Suamimu gak ikut?" tanya ayah dengan bibir yang terus tersenyum.

Giliranku mencium punggung tangan ayah sembari mencoba mengukir sebuah senyuman di bibir. Ayah mengusap kepalaku yang tertutup hijab berwarna salem.

"Mas Andri masih ada kerjaan di Bandung, Yah. Nanti dia nyusul, kok. Tenang aja," ucap Kak Mirna seraya tersenyum tipis.

Kakakku sudah lama tinggal di kota. Dia putus sekolah sejak tamat SMP. Dia bilang kerja di pabrik sepatu waktu itu. Sejak menikah dengan Mas Andri dua tahun lalu, dia tidak lagi bekerja. Mas Andri kerja di Bandung, katanya jadi karyawan bagian administrasi di sebuah perusahaan advertising.

Sedangkan aku, aku sempat menyelesaikan sekolah hingga jenjang Madrasah Aliyah. Tamat sekolah, aku hanya mengajar mengaji anak-anak TPA di kampung bersama teman-teman remaja masjid. Di sanalah aku berkenalan dengan Bang Dion, ketika kelompok KKN-nya mengadakan bakti sosial.

***

Ayah menatapku dan Kak Mirna bergantian dengan sorot yang ... entah. Kepalaku tertunduk dalam, tak bisa menerka reaksi ayah atas informasi yang baru saja kami sampaikan. Acara akad dan resepsi pernikahan tinggal tiga hari lagi. Ya, beberapa hari ini kami masih bingung bagaimana memulai pembicaraan.

Beliau mengusap lelah wajah yang sudah berkeriput itu dengan telapak tangannya. Matanya terpejam sejenak, kemudian menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "Mila ... pernikahan bukan mainan, kamu paham, 'kan?" suara itu masih lembut seperti ... seperti ayahku.

Aku mengangguk pelan.

"Sebaiknya kita batalkan pernikahan ini." Beliau bangkit dari kursi kayu reot itu.

Sontak aku ikut berdiri. "Ti–tidak, Yah!" seruku, "aku tetap akan menikah dengan Bang Aldin." Kutatap wajah yang semakin hari semakin tampak tua itu.

Beliau menatapku lekat. "Kamu yakin?"

"Ya!" jawabku mantap. Aku harus menghadapi semua. Semua yang sudah aku mulai.

"Sekali lagi ini bukan main-main, tahu, 'kan?" Ayah kembali meminta jawaban.

"Iya, aku tahu. In syaa Allah aku akan jalani pernikahan ini dan berusaha melupakan Bang Dion."

Kembali ayah menatapku lekat. Mungkin membaca apa yang ada di mataku. Maaf, Yah. Mila membuat ayah kecewa. Maafkan putri kesayanganmu ini ....

Beliau mengalihkan pandangan lalu mengangguk-angguk sembari melipat bibir, kemudian berlalu masuk ke kamarnya. Sungguh, aku yakin ayah juga tidak ada pilihan lain. Sebenarnya ....

Teringat waktu itu ... waktu pertama kali Bang Dion ke rumah menyatakan bahwa ia serius. Ia bilang akan meyakinkan orangtuanya agar setuju dengan rencananya menikahiku.

Pada awalnya ayah bilang agar Bang Dion perkenalkan dulu aku dengan keluarganya, baru melamar. Namun, dia kembali berkeras karena aku juga didesak keadaan untuk segera memberi jawaban terhadap lamaran Mas Sugeng. Akhirnya ayah meyakinkan diri sendiri untuk melangkah lebih jauh. Akan tetapi sekarang ....

Tepukan lembut di pundakku membuyarkan kecamuk di pikiran. "Kita istirahat, Dek!" ajak Kak Mirna.

Aku melangkah lemah mengekorinya ... dan kami lalu menuju kamar masing-masing.

***

Hari itu pun tiba. Aku telah sah, baik secara agama maupun hukum negara sebagai seorang istri dari pria bernama Aldin Nabastala. Perhelatan resepsi pernikahan sederhana telah usai. Walaupun ada sedikit kericuhan kecil di antara warga kampung ketika kami harus meralat nama calon mempelai lelaki. Akan tetapi, ayah bisa mengatasi hal itu. Selebihnya, aku malas untuk memikirkan apa tanggapan mereka.

"Kenapa anaknya gak dibawa Nak Aldin?" tanya ayah. Bang Aldin memang datang setengah jam sebelum akad nikah. Jadi, ayah dan dia belum sempat bercerita banyak. Dia hanya menjelaskan perihal bahwa kedua orangtuanya sudah lama meninggal dunia.

"Tadinya mau ikut. Hanya saja Ivan baru sembuh dari demam, Pak. Jadi, terpaksa saya tinggal." Pria itu mengulas senyuman.

Aku bersyukur, mimik menyebalkannya tidak ditunjukkan di depan ayah. Di hadapan beliau, pria itu cukup sopan.

"Kamu sendiri apa kabar, Ndri? Kenapa telat tadi?" Giliran Mas Andri—suami Kak Mirna—yang ditanya oleh ayah. Pria berumur empat puluhan itu baru datang hampir magrib tadi. Bahkan acara sudah selesai sejak Ashar.

"Maaf, Yah. Baru bisa ambil cuti kemarin. Saya juga sempat ketinggalan bis," jawab Mas Andri dengan raut yang tampak menyesal.

Ayah hanya mengangguk mendengar alasan menantunya itu. "Mirna, kasih suamimu makan dulu sana," suruh ayah kepada kakakku.

"Iya, Yah," sahut Kak Mirna. Sepasang suami-istri itu pun berjalan menuju ke belakang.

"Di Jakarta kerja apa kamu, Aldin?" tanya ayah lagi.

Sebenarnya aku juga ingin tahu. Memang benar-benar gila. Bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang sama sekali tidak dikenal? Dan aku tidak tahu apa-apa tentang dia selain nama dan status duda beranak satunya. Mila ... kau memang masih muda, ternyata yang selama ini orang sangkakan kamu pintar, itu tidak benar. Aku merutuki diri sendiri.

"Saya menjalankan bisnis property dan percetakan, Pak."

"Hmm ... begitu." Ayah mengangguk pelan, "oh ya, panggil ayah aja. Kamu menantu saya," lanjutnya.

Lelaki itu tersenyum dan mengangguk. Wajahnya terlihat wise kali ini dan juga ... tampan.

Oh, tidak!

Oh, yeaa ... dia memang pria tampan. Akan tetapi menyebalkan, kecuali saat ini.

"Mmm ... aku ngantuk. Aku permisi dulu ke kamar, Yah," pamitku. Malam memang belum larut, masih pukul 21.05. Akan tetapi, tubuhku terasa cukup lelah. Mungkin karena beberapa waktu belakangan ini kurang tidur.

"Oh, ya. Tentu saja. Kalian mesti shalat sunnah pernikahan. Belum 'kan?" Ayah menatap kami.

Sontak aku dan Bang Aldin berpandangan. "Be–belum," jawabku gugup.

Semenjak sekitar empat tahunan ini ayah memang mulai belajar mengaji. Ikut takliman bersama Ustadz Hidayat di masjid. Aku masih kelas tiga SMP ketika itu. Saat itu Kak Mirna sudah dua tahunan ikut temannya bekerja di kota. Ya, jarak umurku dengan Kak Mirna cukup jauh, yaitu sembilan tahun. Kakak cantikku itu ternyata sebaya dengan Bang Aldin, 27 tahun. Aku kira Bang Aldin lebih tua. Mungkin karena brewoknya.

"Ya sudah, kalian shalat dulu. Kalau memang sudah capek, istirahat." Ayah mengulas senyum.

Bang Aldin bangkit dari duduknya. Kemudian dia melangkah dan menarik tanganku. "Ayo!"

Seketika darahku berdesir menerima sentuhan itu. Aku tersenyum canggung menatap sebentar wajah ayah.

Beliau mengangguk dengan sorot mata yang ... tak kupahami apa di baliknya.

***

Setelah selesai shalat sunnah pernikahan, Bang Aldin kembali ke luar kamar. Dia bilang masih mau mengobrol dengan ayah.

Aku pun merebahkan tubuh ke ranjang nomor dua yang dilapisi alas kain satin merah muda. Ini sebenarnya ranjang ayah, dipindah ke kamarku untuk sementara. Ya, karena tempat tidur milikku itu jenis single. Aahh ... apakah aku harus seranjang dengan Bang Aldin? Harusnya Bang Dion yang ada di posisinya. Ya Allah ... kepalaku terasa berdenyut sekarang.

Badanku terasa lelah, mata kupejamkan. Akan tetapi, pikiran ini melayang ke mana-mana. Mengingat semua kejadian, kenangan ketika Bang Dion mulai sering mendatangi kami, para remaja masjid bersama beberapa temannya. Membicarakan berbagai hal, tentang agama, tentang anak-anak murid TPA, tentang proyek KKN mereka, dan lainnya.

Tiba-tiba tempat tidur terasa sedikit bergerak.

Ada seseorang ... apakah ...?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status