Akhirnya kami sampai di kampung. Di pinggir Kota Bekasi. Ayah menyambut aku dan Kak Mirna dengan wajah cerah ceria.
"Apa kabar, Yah?" tanya Kak Mirna sembari mencium tangan ayah."Alhamdulillah, Mirna. Ayah sehat! Suamimu gak ikut?" tanya ayah dengan bibir yang terus tersenyum.Giliranku mencium punggung tangan ayah sembari mencoba mengukir sebuah senyuman di bibir. Ayah mengusap kepalaku yang tertutup hijab berwarna salem."Mas Andri masih ada kerjaan di Bandung, Yah. Nanti dia nyusul, kok. Tenang aja," ucap Kak Mirna seraya tersenyum tipis.Kakakku sudah lama tinggal di kota. Dia putus sekolah sejak tamat SMP. Dia bilang kerja di pabrik sepatu waktu itu. Sejak menikah dengan Mas Andri dua tahun lalu, dia tidak lagi bekerja. Mas Andri kerja di Bandung, katanya jadi karyawan bagian administrasi di sebuah perusahaan advertising.Sedangkan aku, aku sempat menyelesaikan sekolah hingga jenjang Madrasah Aliyah. Tamat sekolah, aku hanya mengajar mengaji anak-anak TPA di kampung bersama teman-teman remaja masjid. Di sanalah aku berkenalan dengan Bang Dion, ketika kelompok KKN-nya mengadakan bakti sosial.***Ayah menatapku dan Kak Mirna bergantian dengan sorot yang ... entah. Kepalaku tertunduk dalam, tak bisa menerka reaksi ayah atas informasi yang baru saja kami sampaikan. Acara akad dan resepsi pernikahan tinggal tiga hari lagi. Ya, beberapa hari ini kami masih bingung bagaimana memulai pembicaraan.Beliau mengusap lelah wajah yang sudah berkeriput itu dengan telapak tangannya. Matanya terpejam sejenak, kemudian menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "Mila ... pernikahan bukan mainan, kamu paham, 'kan?" suara itu masih lembut seperti ... seperti ayahku.Aku mengangguk pelan."Sebaiknya kita batalkan pernikahan ini." Beliau bangkit dari kursi kayu reot itu.Sontak aku ikut berdiri. "Ti–tidak, Yah!" seruku, "aku tetap akan menikah dengan Bang Aldin." Kutatap wajah yang semakin hari semakin tampak tua itu.Beliau menatapku lekat. "Kamu yakin?""Ya!" jawabku mantap. Aku harus menghadapi semua. Semua yang sudah aku mulai."Sekali lagi ini bukan main-main, tahu, 'kan?" Ayah kembali meminta jawaban."Iya, aku tahu. In syaa Allah aku akan jalani pernikahan ini dan berusaha melupakan Bang Dion."Kembali ayah menatapku lekat. Mungkin membaca apa yang ada di mataku. Maaf, Yah. Mila membuat ayah kecewa. Maafkan putri kesayanganmu ini ....Beliau mengalihkan pandangan lalu mengangguk-angguk sembari melipat bibir, kemudian berlalu masuk ke kamarnya. Sungguh, aku yakin ayah juga tidak ada pilihan lain. Sebenarnya ....Teringat waktu itu ... waktu pertama kali Bang Dion ke rumah menyatakan bahwa ia serius. Ia bilang akan meyakinkan orangtuanya agar setuju dengan rencananya menikahiku.Pada awalnya ayah bilang agar Bang Dion perkenalkan dulu aku dengan keluarganya, baru melamar. Namun, dia kembali berkeras karena aku juga didesak keadaan untuk segera memberi jawaban terhadap lamaran Mas Sugeng. Akhirnya ayah meyakinkan diri sendiri untuk melangkah lebih jauh. Akan tetapi sekarang ....Tepukan lembut di pundakku membuyarkan kecamuk di pikiran. "Kita istirahat, Dek!" ajak Kak Mirna.Aku melangkah lemah mengekorinya ... dan kami lalu menuju kamar masing-masing.***Hari itu pun tiba. Aku telah sah, baik secara agama maupun hukum negara sebagai seorang istri dari pria bernama Aldin Nabastala. Perhelatan resepsi pernikahan sederhana telah usai. Walaupun ada sedikit kericuhan kecil di antara warga kampung ketika kami harus meralat nama calon mempelai lelaki. Akan tetapi, ayah bisa mengatasi hal itu. Selebihnya, aku malas untuk memikirkan apa tanggapan mereka."Kenapa anaknya gak dibawa Nak Aldin?" tanya ayah. Bang Aldin memang datang setengah jam sebelum akad nikah. Jadi, ayah dan dia belum sempat bercerita banyak. Dia hanya menjelaskan perihal bahwa kedua orangtuanya sudah lama meninggal dunia."Tadinya mau ikut. Hanya saja Ivan baru sembuh dari demam, Pak. Jadi, terpaksa saya tinggal." Pria itu mengulas senyuman.Aku bersyukur, mimik menyebalkannya tidak ditunjukkan di depan ayah. Di hadapan beliau, pria itu cukup sopan."Kamu sendiri apa kabar, Ndri? Kenapa telat tadi?" Giliran Mas Andri—suami Kak Mirna—yang ditanya oleh ayah. Pria berumur empat puluhan itu baru datang hampir magrib tadi. Bahkan acara sudah selesai sejak Ashar."Maaf, Yah. Baru bisa ambil cuti kemarin. Saya juga sempat ketinggalan bis," jawab Mas Andri dengan raut yang tampak menyesal.Ayah hanya mengangguk mendengar alasan menantunya itu. "Mirna, kasih suamimu makan dulu sana," suruh ayah kepada kakakku."Iya, Yah," sahut Kak Mirna. Sepasang suami-istri itu pun berjalan menuju ke belakang."Di Jakarta kerja apa kamu, Aldin?" tanya ayah lagi.Sebenarnya aku juga ingin tahu. Memang benar-benar gila. Bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang sama sekali tidak dikenal? Dan aku tidak tahu apa-apa tentang dia selain nama dan status duda beranak satunya. Mila ... kau memang masih muda, ternyata yang selama ini orang sangkakan kamu pintar, itu tidak benar. Aku merutuki diri sendiri."Saya menjalankan bisnis property dan percetakan, Pak.""Hmm ... begitu." Ayah mengangguk pelan, "oh ya, panggil ayah aja. Kamu menantu saya," lanjutnya.Lelaki itu tersenyum dan mengangguk. Wajahnya terlihat wise kali ini dan juga ... tampan.Oh, tidak!Oh, yeaa ... dia memang pria tampan. Akan tetapi menyebalkan, kecuali saat ini."Mmm ... aku ngantuk. Aku permisi dulu ke kamar, Yah," pamitku. Malam memang belum larut, masih pukul 21.05. Akan tetapi, tubuhku terasa cukup lelah. Mungkin karena beberapa waktu belakangan ini kurang tidur."Oh, ya. Tentu saja. Kalian mesti shalat sunnah pernikahan. Belum 'kan?" Ayah menatap kami.Sontak aku dan Bang Aldin berpandangan. "Be–belum," jawabku gugup.Semenjak sekitar empat tahunan ini ayah memang mulai belajar mengaji. Ikut takliman bersama Ustadz Hidayat di masjid. Aku masih kelas tiga SMP ketika itu. Saat itu Kak Mirna sudah dua tahunan ikut temannya bekerja di kota. Ya, jarak umurku dengan Kak Mirna cukup jauh, yaitu sembilan tahun. Kakak cantikku itu ternyata sebaya dengan Bang Aldin, 27 tahun. Aku kira Bang Aldin lebih tua. Mungkin karena brewoknya."Ya sudah, kalian shalat dulu. Kalau memang sudah capek, istirahat." Ayah mengulas senyum.Bang Aldin bangkit dari duduknya. Kemudian dia melangkah dan menarik tanganku. "Ayo!"Seketika darahku berdesir menerima sentuhan itu. Aku tersenyum canggung menatap sebentar wajah ayah.Beliau mengangguk dengan sorot mata yang ... tak kupahami apa di baliknya.***Setelah selesai shalat sunnah pernikahan, Bang Aldin kembali ke luar kamar. Dia bilang masih mau mengobrol dengan ayah.Aku pun merebahkan tubuh ke ranjang nomor dua yang dilapisi alas kain satin merah muda. Ini sebenarnya ranjang ayah, dipindah ke kamarku untuk sementara. Ya, karena tempat tidur milikku itu jenis single. Aahh ... apakah aku harus seranjang dengan Bang Aldin? Harusnya Bang Dion yang ada di posisinya. Ya Allah ... kepalaku terasa berdenyut sekarang.Badanku terasa lelah, mata kupejamkan. Akan tetapi, pikiran ini melayang ke mana-mana. Mengingat semua kejadian, kenangan ketika Bang Dion mulai sering mendatangi kami, para remaja masjid bersama beberapa temannya. Membicarakan berbagai hal, tentang agama, tentang anak-anak murid TPA, tentang proyek KKN mereka, dan lainnya.Tiba-tiba tempat tidur terasa sedikit bergerak.Ada seseorang ... apakah ...?"Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah
Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap
Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga
"Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak
[Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo
Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup