Home / Rumah Tangga / Pengantin Titipan / Bab 5 : Satu Kamar dengannya

Share

Bab 5 : Satu Kamar dengannya

Author: Adny Ummi
last update Huling Na-update: 2023-03-16 18:24:23

"Kenapa belum tidur?" Suara yang kini sudah mulai tak asing bagiku.

Aku bangkit dan beringsut menyenderkan punggung ke kepala ranjang. "Be–belum bisa tidur, Bang," jawabku gugup.

Dia lalu merebahkan diri di situ. Kedua tangannya diletakkan ke belakang menyanggah kepalanya. "Kamu kalo tidur pake kerudung begitu?" Ia melirikku.

Aku bergeming. Apa ... apa aku harus membuka hijabku di hadapan pria asing ini?

Dia memutar bola matanya dan menghela napas, kemudian bergerak memiringkan badan membelakangiku. Aku menatap punggung lebar tersebut. Lamat-lamat akhirnya terdengar bunyi dengkuran halus. Dia sudah tertidur.

Rasanya hampir tidak dapat dipercaya. Lelaki asing yang belum kukenal sama sekali itulah yang berstatus sebagai suamiku kini. Bukankah aku harus melayaninya di ranjang? Bu–bukankah ini malam pertama kami?

Tiba-tiba aku teringat perkataan Bang Dion waktu itu. Lelaki yang telah mengambil hatiku tersebut bilang bahwa Bang Aldin akan menjagakan diriku untuknya. Suatu hari nanti Bang Dion akan kembali.

Hmmm ... apakah benar demikian? Apakah boleh seperti itu?

"Pernikahan bukan mainan."

Teringat lagi ucapan ayah. Ya, pernikahan itu bukan mainan. Aku ... apakah aku harus mulai membuka hatiku untuk Bang Aldin, lalu melupakan Bang Dion? Bagaimana bisa? Itu tidak mudah ... bahkan ... bahkan apakah mungkin?

***

Adzan Subuh sayup berkumandang. Aku sudah bangun sejak jam tiga dini hari dan melaksanakan qiyamul lail. Sengaja tidak membangunkannya yang masih di tempat tidur. Hal itu karena ... karena aku tak berani.

Bang Aldin masih nyenyak di sana. Mungkin dia kelelahan, sejak kemarin datang, baru bisa istirahat malam tadi. Tak dapat dipercaya, kami satu kamar dan ... tidur satu ranjang. Walaupun tidak terjadi apa-apa di antara kami. Benar-benar t-i-d-u-r.

Terdengar ketukan kecil di pintu kamar. Aku bangkit dari atas sajadah, masih mengenakan mukena, melangkah dan membuka pintu sedikit.

Tampak wajah ayah yang basah di hadapanku. "Aldin mana?" tanyanya.

"Mmm ... masih tidur, Yah," jawabku pelan.

"Bangunkan. Sudah adzan ini. Biar sama ayah dan Mas Andri ke masjid," ujar ayah.

Hatiku bimbang. Bagaimana aku membangunkannya?

"Buruan, Mila. Ayah tunggu di depan." Ayah melenggang ke arah luar rumah.

Aku segera menutup pintu. Setelah itu, melangkah menuju ranjang. "Bang ... bangun ...." Aku berusaha membangunkan pria yang tengah terlelap itu. Suaraku tidak begitu kukeraskan, khawatir Bang Aldin terkejut.

Pria itu bergerak sedikit, memiringkan badan, tapi dia kelihatannya belum sadar. Malah semakin meringkuk. Bagaimana ini?

Dengan ragu aku mengulurkan tangan, lalu menyentuh lengan kekar itu, menggoyangkannya sedikit. "Bang ... Bang Aldin, bangun," ucapku dengan suara lebih dikeraskan.

Tiba-tiba tubuhku terasa melayang dan seketika terhenyak di atas tempat tidur, membuat netra ini spontan terpejam. Ketika membuka kelopak mata, betapa terkejutnya aku. Tubuh ini berada di bawah kungkungan Bang Aldin. Dan ... dan kami begitu dekat. Jarak wajah kami tak lebih dari dua jengkal. Aku menahan napas, segenggam daging di dalam dada berdegup kencang.

Alisnya bertautan. Seperti tersadar, ia langsung bangkit dari atas tubuhku. "Hmm, kenapa?" tanyanya sembari memijat pangkal hidungnya, lalu merenggangkan leher. Sepertinya yang tadi itu gerak refleks darinya.

Aku terdiam sejenak, mencoba mengingat apa yang mau kulakukan. Sesaat kemudian, sambil bangkit dari posisi telentang aku beringsut menyenderkan punggung ke kepala ranjang. Dengan gugup aku berkata, "Sudah subuh, a–ayah nunggu di luar, mau shalat ke masjid bareng Abang ...." Kuhela napas. Jantung ini masih berdebar tak keruan karena insiden barusan.

"Oh," sahutnya singkat.

Pria itu menatapku sejenak seakan tengah mencerna apa yang didengarnya barusan, kemudian mengangguk. Lantas ia segera meraih kemeja yang tergantung di dinding, lalu melangkah ke luar sembari tergesa mengenakan kemejanya, meninggalkanku dalam keadaan termangu.

Suara iqamat dari speaker masjid menarikku dari lamunan.

"Huuft ... shalat dulu," lirih suaraku sendiri. Kaki ini melangkah kembali menuju sajadah, lalu aku mulai menunaikan ibadah.

***

"Jadi besok kalian sudah mau kembali ke Jakarta?" tanya ayah kepada kami di meja makan sambil menikmati sarapan bersama.

"Iya, Yah ... Mas Andri harus kembali kerja. Gak tahu deh, kalo suami Mila." Kak Mirna melihat ke arahku dan Bang Aldin bergiliran.

Ayah pun menatap kami lekat, tentu saja meminta tanggapan.

Seketika makanan ini terasa sulit untuk kutelan. Apa aku harus ikut Bang Aldin ke tempat tinggalnya? Atau aku mesti kembali ke tempat Kak Mirna, atau bagaimana?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pengantin Titipan    Bab 57 : "Aku yakin!"

    "Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah

  • Pengantin Titipan    Bab 56 : Tragedi

    Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap

  • Pengantin Titipan    Bab 55 : Meminta Cerai

    Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga

  • Pengantin Titipan    Bab 54 : Tenggelam

    "Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak

  • Pengantin Titipan    Bab 53 : Teror

    [Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo

  • Pengantin Titipan    Bab 52 : Terjadilah

    Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup

  • Pengantin Titipan    Bab 51 : Terlambat Menjemput

    Bu Fatma tersenyum di sana sembari mengacak rambut si bocah tampan."Bunda kenapa telat, sih?" rajuknya padaku."Iya, Bunda gak sengaja ketiduran tadi," ujarku penuh penyesalan.Ia mengerucutkan bibirnya. "Bu, maaf ya ...," ucapku pada Bu Fatma."Iya, Bunda," sahutnya."Makasih banyak." Aku menjabat tangan Bu Fatma dan kami pun pamit."Ivan mau apa, nanti Bunda beliin." Aku mencoba merayu bocah itu agar mau tersenyum. Wajahnya kini terlihat masam."Aku mau ke kantor Ayah!" katanya.Haduh! Aku tidak pernah ke kantor Bang Aldin sama sekali. Hanya tahu nama CV–nya saja. "Hmm ... Bunda gak tahu jelas alamat kantor Ayah. Kalau Pak supirnya nanya, Bunda gak bisa jawab.""Aku tahu!" kilahnya."Mmm ... oke. Kita ke sana, deh!" Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba ke sana. Daripada bocah ini terus ngambek.Aku lalu memesan taksi online dan menulis alamat yang dituju. Ternyata ketika

  • Pengantin Titipan    Bab 50 : Kedatangan Bang Dion

    Setelah ia memarkir mobilnya, lelaki itu lalu keluar dan melangkah mendekat. "Assalamualaikum," ucapnya.Aku pun menjawab salamnya sembari berusaha menarik kedua ujung bibir ini. "Apa kabar, Mil?" tanyanya seraya mengulas sebuah senyuman, membuat wajahnya semakin terlihat manis."Alhamdulillah baik, Bang.""Boleh Abang masuk?" tanyanya."Mmm ... maaf, Bang. Lagi gak ada orang di rumah. Di sini aja, ya, kalau ada yang mau disampaikan," ujarku mempersilakannya duduk di kursi di teras tersebut. Aku tak nyaman jika hanya berdua di dalam rumah. Kalau di luar sini, paling tidak ada Pak Hari, satpam kami. Jadi, tidak akan menimbulkan fitnah, menurutku ...."Oh, oke!" sahut lelaki itu dan langsung ia pun duduk di sana."Aku ambil minum dulu ya, Bang," imbuhku.Ia mengangguk dengan senyuman yang masih setia di bibirnya.Setelah selesai menyeduh secangkir kopi instan, aku pun ke luar dan meletakkan cangkir itu d

  • Pengantin Titipan    Bab 49 : Ayah Meninggal Dunia

    Saat ini aku memutuskan untuk menerima apa pun yang terjadi. Mungkin memang ini takdir dari Yang  Mahakuasa bagiku. Terserah apa masa lalu Bang Aldin atau pun Bang Dion. Kini aku tidak mau memikirkannya lagi. Rasanya aku sudah lelah ...."Mil ... masuk! Sudah malam ini," suruh Bang Aldin kepadaku yang sedang duduk di teras kamar menghadap kolam renang.Aku tidak menyahut dan tetap bergeming tepekur di situ."Hei ...." Bang Aldin menyampirkan selimut ke bahuku."Makasih," lirihku tanpa menoleh ke arahnya."Sudah jam sepuluh. Kita tidur, yuk," ajaknya lagi."Abang tidur aja dulu," jawabku.Dia menghela napas, kemudian ikut duduk di sebelahku. "Dion ... dia bilang gak pernah mencintai Amel." Bang Aldin menyeringai. Aku tidak menanggapi dan tetap diam."Dia bohong," sambungnya."Terserahlah," ujarku malas.Dari sudut mata aku menangkap Bang Aldin menatapku dengan sorot heran. Ia kemudian

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status