Sesampainya di halaman rumah kontrakan Kak Mirna, aku dan Bang Aldin ikut keluar dari mobil. Mas Andri menurunkan tas dan koper bawaan mereka.
"Eh, Mila. Ngapain kamu turunkan tas kamu juga?" tanya Kak Mirna heran."Emmm ...." Ya Allah, aku lupa. Bukankah seharusnya aku ikut dengan pria yang kini berstatus sebagai suamiku.Walaupun Bang Aldin mengenakan kaca mata hitam, aku tahu ia tengah menatapku lekat. Membuatku jengah. Kemudian ia meraih gawainya dan memainkan benda pipih itu."Malah bengong!" seru Kak Mirna lagi.Kakakku lalu meraih dan meletakkan kembali tasku ke dalam bagasi mobil. Mas Andri terlihat terkekeh di sana. Wajah ini terasa panas!"Makasih, Al!" ucap Mas Andri setelah barang-barang mereka turun.Bang Aldin berhenti memainkan ponselnya dan menjawab, "Ok, Mas. Sama-sama." Lelaki itu kemudian masuk ke mobilnya setelah memberi isyarat kepadaku untuk ikut.Dengan ragu aku mengulurkan tangan kepada Kak Mirna. "A–aku pamit, Kak." Rasanya tak rela pergi dari sini.Kakak menyambut tanganku dan mencium pipi serta memelukku. "Jaga diri baik-baik ya, Dek." Kemudian ia merenggangkan pelukan lalu menatapku.Aku tersenyum getir. "Doain aku, Kak," ucapku. Pandangan mata ini terasa kabur karena kaca-kaca yang melapisinya."In syaa Allah. Kamu sms-kan aja alamat rumah kamu. Nanti sesekali kakak datang," katanya.Aku mengangguk pelan, kemudian perlahan melangkah dan memasuki mobil pria yang berstatus suamiku itu. Kuhapus bulir bening yang hendak lolos begitu saja sebelum ia jatuh.Bang Aldin menurunkan kaca rayben mobil itu lalu pamit. Aku pun melambaikan tangan kepada Kak Mirna juga Mas Andri dan mencoba menarik bibir ke atas.Sepanjang perjalanan aku hanya diam melihat-lihat pemandangan di luar jendela. Keadaan lalulintas tampak ramai lancar. Mengapa suasana menjadi canggung begini?"Umurmu berapa, Mila?" tanya Bang Aldin memecah keheningan.Aku meliriknya sebentar, lalu menjawab, "Sembilan belas. Bulan depan." Huuft ... apa dia tidak melihat isi di kertas surat-menyurat dan buku nikah yang sudah ditandatangani ketika kami melangsungkan pernikahan?Ia tersenyum simpul. "Pantas saja.""Ha?" Aku menoleh ke arahnya. Pantas kenapa?"Wajah dan tubuhmu itu malah seperti anak baru lulus SMP."Aku mengernyitkan dahi. Apa? Enak aja! Aku mendengkus dan membuang muka ke arah jendela samping. Terdengar ia terkekeh."Nggak nyangka Dion naksir sama gadis seperti kamu."Aku menajamkan telinga, menyimak. Apa maksudnya berkata demikian?"Dion memang jarang menjalin hubungan khusus dengan perempuan. Tapi seleranya bukan seperti kamu.""Maksud Abang apa?" Aku menatapnya sengit. Memang aku gadis seperti apa maksudnya?"Eit! Sabar, Neng ... jangan marah dulu. Wajah kamu memang cantik. Ya, kakakmu juga cantik tu si Mirna. Abang mengakui itu." Ia terkekeh.Wajahku terasa menghangat. Dia ... dia memuji wajahku."Hanya saja Dion itu, seleranya gadis modern. Wajar aja Om Herlan heran."Aku mengeraskan rahang mengingat cercaan dan hinaan dari ayah Bang Dion waktu itu."Dion memang tidak pernah membawa teman perempuannya ke rumahnya. Dia itu dikenal sebagai anak baik-baik di keluarganya.""Maksud Abang, Bang Dion sebenarnya anak gak baik, gitu?" sambarku."Bukan begitu. Ah ... sudahlah!" Kembali lelaki itu terkekeh. Mengapa dia kembali menyebalkan!Aku pun diam tidak lagi mau mengorek-ngorek pendapatnya tentang Bang Dion. Setahuku lelakiku itu saat ini adalah pria yang baik. Ia berusaha menjadi baik. Itu cukup bagiku.Hmmm ... aku bingung ya Allah. Bagaimana aku ke depan? Apa aku harus tetap menanti Bang Dion? Atau harus mulai membuka diri terhadap Bang Aldin? Atau bagaimana?"Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah
Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap
Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga
"Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak
[Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo
Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup