"Saya harus segera pulang juga, Yah," sahut Bang Aldin, "Kerjaan sih, masih bisa diatur saat ini ... hanya saja saya khawatir dengan Ivan. Dia baru sembuh dari sakit."
Oh, iya. Anak Bang Aldin 'kan ditinggal di sana. Tentu sebagai ayah, dia mengkhawatirkannya. Tidak mungkin terlalu lama meninggalkan sang anak hanya dengan pembantu."Okelah kalau memang begitu. Ayah gak mungkin menahan kalian lebih lama, walaupun ayah berharap kalian masih di sini." Ayah mengulas senyum tipis."Aku nyusul aja berangkatnya, Yah," tawarku sembari menarik kedua ujung bibir."Jangan," seru ayah, "kamu harus kembali bersama suamimu. Kamu seorang istri sekarang, ingat?"Aku tertegun."In syaa Allah, nanti sesekali ayah ke sana kalau ada kesempatan," sambung ayah.Sesaat kemudian kepalaku mengangguk pelan. Dari sudut mata aku menangkap Bang Aldin tengah memperhatikanku. Wajah ini terasa menghangat, tentu sudah memerah."Kalian gak bulan madu?" sela Kak Mirna sambil mengemasi piring bekas suaminya yang sudah kosong. Bibirnya tersenyum menyeringai.Aku yang sedang meneguk air pun tersedak mendengar pertanyaan absurd itu. Apa-apaan sih, Kakak. Wajahku terasa bertambah panas. Jangankan bulan madu, menjalin hubungan dengan Bang Aldin kelak seperti apa, aku masih bingung dan meraba-raba."Hehehee ... mungkin gak sekarang, Mir," jawab Bang Aldin. Aku tahu, Bang Aldin hanya berbasa-basi di depan ayah."Loh, kenapa?" Kak Mirna bertanya lagi.Ini bahasan apa coba? Padahal Kak Mirna tahu, kami menikah terpaksa."Kepo aja kamu, Dek," sela Mas Andri, "sana kemaskan barang. Kita berangkat subuh besok!""Dih, Mas nih. Nanti 'kan bisa," kilah Kak Mirna sambil mencebik."Mungkin bulan depan kami honeymoon-nya, Mir," Bang Aldin melirik, membuatku jengah, "bulan ini masih ada yang mesti kukerjakan."Aku segera menjauh membawa piring kotor ke arah wastafel. Malas mendengar pembicaraan itu.***Aku dan Bang Aldin memutuskan berangkat pada waktu yang sama dengan Kak Mirna juga Mas Andri. Hal itu karena toh tujuan kami sama, dan Bang Aldin membawa kendaraan sendiri, jadi sekalian saja.Kutatap wajah ayah yang tersenyum dari balik jendela mobil mewah ini. Entah mengapa wajah itu tampak sendu ketika menatapku."Jadilah istri yang baik, taat kepada suami." Pesan ayah tadi sebelum kami berangkat, masih terngiang di telingaku. Ya, aku telah berjanji kepada ayah akan menjalani pernikahan terpaksa ini dengan sungguh-sungguh dan berusaha melupakan Bang Dion. Akan tetapi, aku tidak begitu yakin, apakah aku bisa?"Kita singgah sebentar ya, sarapan," kata Bang Aldin membuyarkan lamunanku. Kami memang belum sempat mengisi perut, soalnya habis Shalat Subuh langsung berangkat."Iya, Al. Aku juga laper, nih!" sahut Kak Mirna dari belakang. Dia dan suaminya duduk di kursi belakang. Padahal tadi aku berharap bisa duduk bersama Kak Mirna. Eh, Kakakku itu bilang, dia mau dekat sama suaminya. Mau tidak mau aku yang duduk di sebelah Bang Aldin di depan."Mas juga mau merokok, udah asem ni mulut," timpal Mas Andri.Sebenarnya aku tak suka dengan orang yang merokok. Bang Aldin sepertinya juga perokok, cuma tidak seberat Mas Andri. Sepertinya selama di rumah ayah, pria yang kini berstatus suamiku ini bisa menahan keinginannya untuk merokok. Lagian benda itu tak berguna sama sekali, justru bikin penyakit!Mobil pun berbelok dan parkir di depan sebuah rumah makan. Mas Andri tampak tidak sabar segera keluar. Ah, rupanya lelaki yang usianya cukup matang itu ingin ke toilet.Bang Aldin melangkah mendahuluiku. Sementara Kak Mirna menuju ke rumah makan yang bergaya natural ini. Berjejer beberapa pondok gazebo dengan meja makan lesehan di pinggir kolam ikan. Suasana yang sejuk dan menentramkan.Setelah kami memilih sebuah gazebo dan duduk di sana, datanglah seorang pelayan lelaki, tampak dari seragam yang ia kenakan. Pemuda itu membawa buku catatan kecil di tangannya. "Mau pesan apa, Mas ... Mbak?" tanyanya ramah.Bang Aldin meraih lembaran menu dari atas meja, begitu juga aku dan Kak Mirna. Terlihat daftar makanan di sana."Mau makan apa?" tanya Bang Aldin sembari melayangkan pandangan kepadaku dan Kak Mirna.Tak berapa lama, Mas Andri pun datang. Lantas ia langsung meraih lembaran menu dari tangan istrinya."Ikan bakar enak kayaknya, ya, Mas?" Kak Mirna meminta tanggapan sang suami."Boleh, sama udang asam manis," sahut Mas Andri."Mila, mau apa?" tanya Bang Aldin."Aku ikut aja, Bang," jawabku sembari menghindari tatapan Bang Aldin. Entah mengapa sorot mata dengan alis tebalnya itu begitu tajam, menurutku. Apalagi semenjak lelaki itu berstatus suamiku, rasanya aku tak sanggup melawan tatapan matanya."Oke. Ikan bakar dua porsi, ayam geprek dua porsi, cah kangkung dua porsi, nasinya pakai bakul aja," ujar Bang Aldin, "minumnya apa?" tanyanya sembari menatapku dan lainnya bergantian."Teh es aja," sahut Mas Andri."Iya," timpal Kak Mirna."Samakan aja, Bang," ujarku ketika mata itu ke arahku."Minumnya Teh Es, empat!" lanjut Bang Aldin kepada sang pelayan.Pemuda tadi mencatat semua pesanan. "Baik, ada lagi?" tanyanya."Air mineral satu," jawab Bang Aldin."Ok, sudah?"Bang Aldin mengangguk. Pelayan lelaki itu pun berbalik dan melenggang pergi setelah berpamitan dan meminta kami menunggu sebentar.Kuperhatikan sejenak pria yang menyelipkan kaca mata hitamnya itu di kerah bajunya. Beberapa tamu rumah makan ini, terutama para wanita, tampak melirik ke arahnya.Hmm ... ya, dia memang pria yang menarik."Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah
Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap
Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga
"Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak
[Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo
Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup