Share

Bab 6 : Ke Jakarta

"Saya harus segera pulang juga, Yah," sahut Bang Aldin, "Kerjaan sih, masih bisa diatur saat ini ... hanya saja saya khawatir dengan Ivan. Dia baru sembuh dari sakit."

Oh, iya. Anak Bang Aldin 'kan ditinggal di sana. Tentu sebagai ayah, dia mengkhawatirkannya. Tidak mungkin terlalu lama meninggalkan sang anak hanya dengan pembantu.

"Okelah kalau memang begitu. Ayah gak mungkin menahan kalian lebih lama, walaupun ayah berharap kalian masih di sini." Ayah mengulas senyum tipis.

"Aku nyusul aja berangkatnya, Yah," tawarku sembari menarik kedua ujung bibir.

"Jangan," seru ayah, "kamu harus kembali bersama suamimu. Kamu seorang istri sekarang, ingat?"

Aku tertegun.

"In syaa Allah, nanti sesekali ayah ke sana kalau ada kesempatan," sambung ayah.

Sesaat kemudian kepalaku mengangguk pelan. Dari sudut mata aku menangkap Bang Aldin tengah memperhatikanku. Wajah ini terasa menghangat, tentu sudah memerah.

"Kalian gak bulan madu?" sela Kak Mirna sambil mengemasi piring bekas suaminya yang sudah kosong. Bibirnya tersenyum menyeringai.

Aku yang sedang meneguk air pun tersedak mendengar pertanyaan absurd itu. Apa-apaan sih, Kakak. Wajahku terasa bertambah panas. Jangankan bulan madu, menjalin hubungan dengan Bang Aldin kelak seperti apa, aku masih bingung dan meraba-raba.

"Hehehee ... mungkin gak sekarang, Mir," jawab Bang Aldin. Aku tahu, Bang Aldin hanya berbasa-basi di depan ayah.

"Loh, kenapa?" Kak Mirna bertanya lagi.

Ini bahasan apa coba? Padahal Kak Mirna tahu, kami menikah terpaksa.

"Kepo aja kamu, Dek," sela Mas Andri, "sana kemaskan barang. Kita berangkat subuh besok!"

"Dih, Mas nih. Nanti 'kan bisa," kilah Kak Mirna sambil mencebik.

"Mungkin bulan depan kami honeymoon-nya, Mir," Bang Aldin melirik, membuatku jengah, "bulan ini masih ada yang mesti kukerjakan."

Aku segera menjauh membawa piring kotor ke arah wastafel. Malas mendengar pembicaraan itu.

***

Aku dan Bang Aldin memutuskan berangkat pada waktu yang sama dengan Kak Mirna juga Mas Andri. Hal itu karena toh tujuan kami sama, dan Bang Aldin membawa kendaraan sendiri, jadi sekalian saja.

Kutatap wajah ayah yang tersenyum dari balik jendela mobil mewah ini. Entah mengapa wajah itu tampak sendu ketika menatapku.

"Jadilah istri yang baik, taat kepada suami." Pesan ayah tadi sebelum kami berangkat, masih terngiang di telingaku. Ya, aku telah berjanji kepada ayah akan menjalani pernikahan terpaksa ini dengan sungguh-sungguh dan berusaha melupakan Bang Dion. Akan tetapi, aku tidak begitu yakin, apakah aku bisa?

"Kita singgah sebentar ya, sarapan," kata Bang Aldin membuyarkan lamunanku. Kami memang belum sempat mengisi perut, soalnya habis Shalat Subuh langsung berangkat.

"Iya, Al. Aku juga laper, nih!" sahut Kak Mirna dari belakang. Dia dan suaminya duduk di kursi belakang. Padahal tadi aku berharap bisa duduk bersama Kak Mirna. Eh, Kakakku itu bilang, dia mau dekat sama suaminya. Mau tidak mau aku yang duduk di sebelah Bang Aldin di depan.

"Mas juga mau merokok, udah asem ni mulut," timpal Mas Andri.

Sebenarnya aku tak suka dengan orang yang merokok. Bang Aldin sepertinya juga perokok, cuma tidak seberat Mas Andri. Sepertinya selama di rumah ayah, pria yang kini berstatus suamiku ini bisa menahan keinginannya untuk merokok. Lagian benda itu tak berguna sama sekali, justru bikin penyakit!

Mobil pun berbelok dan parkir di depan sebuah rumah makan. Mas Andri tampak tidak sabar segera keluar. Ah, rupanya lelaki yang usianya cukup matang itu ingin ke toilet.

Bang Aldin melangkah mendahuluiku. Sementara Kak Mirna menuju ke rumah makan yang bergaya natural ini. Berjejer beberapa pondok gazebo dengan meja makan lesehan di pinggir kolam ikan. Suasana yang sejuk dan menentramkan.

Setelah kami memilih sebuah gazebo dan duduk di sana, datanglah seorang pelayan lelaki, tampak dari seragam yang ia kenakan. Pemuda itu membawa buku catatan kecil di tangannya. "Mau pesan apa, Mas ... Mbak?" tanyanya ramah.

Bang Aldin meraih lembaran menu dari atas meja, begitu juga aku dan Kak Mirna. Terlihat daftar makanan di sana.

"Mau makan apa?" tanya Bang Aldin sembari melayangkan pandangan kepadaku dan Kak Mirna.

Tak berapa lama, Mas Andri pun datang. Lantas ia langsung meraih lembaran menu dari tangan istrinya.

"Ikan bakar enak kayaknya, ya, Mas?" Kak Mirna meminta tanggapan sang suami.

"Boleh, sama udang asam manis," sahut Mas Andri.

"Mila, mau apa?" tanya Bang Aldin.

"Aku ikut aja, Bang," jawabku sembari menghindari tatapan Bang Aldin. Entah mengapa sorot mata dengan alis tebalnya itu begitu tajam, menurutku. Apalagi semenjak lelaki itu berstatus suamiku, rasanya aku tak sanggup melawan tatapan matanya.

"Oke. Ikan bakar dua porsi, ayam geprek dua porsi, cah kangkung dua porsi, nasinya pakai bakul aja," ujar Bang Aldin, "minumnya apa?" tanyanya sembari menatapku dan lainnya bergantian.

"Teh es aja," sahut Mas Andri.

"Iya," timpal Kak Mirna.

"Samakan aja, Bang," ujarku ketika mata itu ke arahku.

"Minumnya Teh Es, empat!" lanjut Bang Aldin kepada sang pelayan.

Pemuda tadi mencatat semua pesanan. "Baik, ada lagi?" tanyanya.

"Air mineral satu," jawab Bang Aldin.

"Ok, sudah?"

Bang Aldin mengangguk. Pelayan lelaki itu pun berbalik dan melenggang pergi setelah berpamitan dan meminta kami menunggu sebentar.

Kuperhatikan sejenak pria yang menyelipkan kaca mata hitamnya itu di kerah bajunya. Beberapa tamu rumah makan ini, terutama para wanita, tampak melirik ke arahnya.

Hmm ... ya, dia memang pria yang menarik.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status