Home / Rumah Tangga / Pengantin Titipan / Bab 8 : Berkenalan dengan Ivan

Share

Bab 8 : Berkenalan dengan Ivan

Author: Adny Ummi
last update Last Updated: 2023-03-19 09:06:38

Setelah sekitar empat puluh menit dari rumah Kak Mirna, akhirnya mobil ini berbelok ke sebuah rumah yang tampak mewah berpagar tinggi. Ini ... apakah ini tempat tinggal Bang Aldin? Ya, tentu saja dia orang kaya seperti juga Bang Dion. Lihat saja mobilnya ini. Aku tak tahu jenisnya. Akan tetapi, aku tahu ini mobil mahal.

Tak lama kemudian kami turun dari mobil setelah sampai di depan pendopo. Tiang-tiang teras rumah ini besar dengan gaya minimalis modern.

Aku dan pria itu menurunkan koper dan tas dari bagasi.

Bang Aldin kemudian memencet bell, lalu muncul seorang ibu paruh baya di hadapan kami.

"Eh, Aden sudah pulang?" tegurnya kepada pria di depanku.

"Iya, Bi. Ivan mana?" Bang Aldin melangkah ke dalam rumah dengan menarik koper kecilnya.

"Lagi main di taman belakang," jawab ibu tua itu sembari melihat ke arahku, "eh, ini ...?" Omongan ibu itu menggantung.

"Ini Mila," sambar Bang Aldin mengenalkanku.

Aku mengangguk dan mengulas senyum tipis. "Assalamualaikum," ucapku pada ibu itu.

"Eh, iya ... Neng Mila. Wa 'alaikumus salam. Saya Halimah. Panggil aja Bi Imah." Ibu itu tergagap ketika aku mencium tangannya. Ia melirik sedikit ke arah Bang Aldin.

"Antarkan dia ke kamar yang aku bilang kemarin, Bi." Pria itu berjalan terus ke dalam, tanpa menoleh lagi ke arahku meninggalkan kopernya.

"Sini, Neng ... biar Bibi bawakan tasnya," tawarn Bi Imah seraya mengulurkan tangan ke arah tas jinjingku.

"Eh, gak usah, Bi. Biar aku aja yang bawa," tolakku. Tas ini cukup berat.

Bi Imah tersenyum getir. "Mari Bibi antar ke kamar, Neng," ujarnya sambil meraih gagang koper Bang Aldin, lalu melangkah mengarahkanku.

Sambil berjalan mengekori Bi Imah, aku melihat-lihat suasana. Rumah ini tidak bertingkat, tapi luas sekali. Seperti lapangan bola saja, maa syaa Allah.

"Kemari, Neng ...." Bi Imah mengajakku ke sayap kiri rumah besar ini, "Nah, di sini kamarnya, Neng," ucapnya memberitahuku.

Aku melihat sebuah pintu bercat coklat tua di hadapan. Di sebelahnya terdapat pintu juga. "Yang ini kamar siapa, Bi?" tanyaku penasaran.

"Ini kamar Den Aldin. Itu kamar Den Ivan." Bi Imah lalu menunjuk sebuah pintu di seberang dua kamar itu. Di tengah-tengah ada televisi berlayar tipis dan besar sekali.

"Oh, iya," sahutku sembari mengangguk paham.

Bi Imah melepaskan gagang koper, lantas membuka pintu di hadapan dan mempersilakanku masuk. Kamarnya luas sekali. Ukurannya kira-kira lima kali tujuh meter. Jauh sekali dengan kamarku di rumah ayah yang hanya berukuran tiga kali tiga.

"Pakaian Neng Mila simpan aja di lemari ini," ujar Bi Imah sembari menunjukkan sebuah lemari berpintu empat. Besar sekali ....

"Baik, Bi," jawabku seraya tersenyum.

Bi Imah membalas senyumku. "Ya, sudah. Bibi mau membereskan pakaian Den Aldin dulu." Ia pun pamit.

"Makasih, Bi," ucapku tulus.

Ia mengangguk, lalu berbalik dan menutup pintu kamar ini.

Aku memperhatikan lebih jelas isi dan suasana kamar berwarna mint ini. Di tengah ruangan terdapat ranjang berukuran besar. Kelihatannya kasurnya juga empuk banget. Di ujung sana terdapat jendela yang besar, makanya kamar ini cukup terang dengan pencahayaan alami dari luar. Hmm ... tidak, ketika aku semakin dekat, ternyata bukan jendela. Akan tetapi, pintu kaca.

Kupicingkan mata, lalu kusibak tirai transparan itu. Ya Allah, itu kolam renang? Keren sekali! Seperti rumah-rumah yang ada di sinetron di tivi. Maa syaa Allah! Aku sungguh terkesima.

Tiba-tiba terdengar bunyi pintu terbuka. Aku sontak berbalik karena terkejut.

Pintu kamar terbuka lebar, tampak seorang bocah tampan di ambang pintu. Ia menatapku lekat dan kelihatan heran. Hmm ... apa dia Ivan, anak Bang Aldin?

Aku mengulas senyum selebar yang aku bisa ke arahnya.

Alisnya masih bertautan.

"Ivan, ayo kita main lagi!" Tiba-tiba ada seorang wanita, mungkin umurnya sekitar dua puluh limaan. Wanita itu merangkul pundak Ivan. Namun, ditepis oleh bocah kecil itu. Ia masih menatapku lekat.

"Siapa itu?" Telunjuk kecil itu mengarah kepadaku.

Aku melangkah mendekatinya. "Hai ... kamu Ivan ya?" tegurku. Anak ini tampan sekali, mirip ayahnya. Eh! Ayahnya menyebalkan!

"Iya, Kakak siapa?" tanyanya. Ah, tahukah kamu, wahai adik kecil ... statusku ini adalah sebagai ibu tirimu.

Semakin kulebarkan senyuman dan berlutut di hadapannya agar setara dengan tinggi badannya. "Aku, Kamila," jawabku sembari melirik dan mengangguk sebentar ke arah wanita di samping Ivan.

Wanita itu membalas anggukanku dengan ramah.

"Ivan." Terdengar suara Bang Aldin mendekat. Sosoknya kemudian tampak. Ia lalu berlutut membuka lebar kedua tangannya dengan senyuman semringah ke arah sang putra.

Aku langsung bangkit.

"Ayah!" Ivan langsung menghampur ke pelukan ayahnya. Bang Aldin menciumi pipi bocah tersebut. Manis sekali pemandangan itu, entah mengapa hatiku menghangat melihatnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Titipan    Bab 57 : "Aku yakin!"

    "Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah

  • Pengantin Titipan    Bab 56 : Tragedi

    Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap

  • Pengantin Titipan    Bab 55 : Meminta Cerai

    Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga

  • Pengantin Titipan    Bab 54 : Tenggelam

    "Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak

  • Pengantin Titipan    Bab 53 : Teror

    [Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo

  • Pengantin Titipan    Bab 52 : Terjadilah

    Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status