Share

Bab 8 : Berkenalan dengan Ivan

Setelah sekitar empat puluh menit dari rumah Kak Mirna, akhirnya mobil ini berbelok ke sebuah rumah yang tampak mewah berpagar tinggi. Ini ... apakah ini tempat tinggal Bang Aldin? Ya, tentu saja dia orang kaya seperti juga Bang Dion. Lihat saja mobilnya ini. Aku tak tahu jenisnya. Akan tetapi, aku tahu ini mobil mahal.

Tak lama kemudian kami turun dari mobil setelah sampai di depan pendopo. Tiang-tiang teras rumah ini besar dengan gaya minimalis modern.

Aku dan pria itu menurunkan koper dan tas dari bagasi.

Bang Aldin kemudian memencet bell, lalu muncul seorang ibu paruh baya di hadapan kami.

"Eh, Aden sudah pulang?" tegurnya kepada pria di depanku.

"Iya, Bi. Ivan mana?" Bang Aldin melangkah ke dalam rumah dengan menarik koper kecilnya.

"Lagi main di taman belakang," jawab ibu tua itu sembari melihat ke arahku, "eh, ini ...?" Omongan ibu itu menggantung.

"Ini Mila," sambar Bang Aldin mengenalkanku.

Aku mengangguk dan mengulas senyum tipis. "Assalamualaikum," ucapku pada ibu itu.

"Eh, iya ... Neng Mila. Wa 'alaikumus salam. Saya Halimah. Panggil aja Bi Imah." Ibu itu tergagap ketika aku mencium tangannya. Ia melirik sedikit ke arah Bang Aldin.

"Antarkan dia ke kamar yang aku bilang kemarin, Bi." Pria itu berjalan terus ke dalam, tanpa menoleh lagi ke arahku meninggalkan kopernya.

"Sini, Neng ... biar Bibi bawakan tasnya," tawarn Bi Imah seraya mengulurkan tangan ke arah tas jinjingku.

"Eh, gak usah, Bi. Biar aku aja yang bawa," tolakku. Tas ini cukup berat.

Bi Imah tersenyum getir. "Mari Bibi antar ke kamar, Neng," ujarnya sambil meraih gagang koper Bang Aldin, lalu melangkah mengarahkanku.

Sambil berjalan mengekori Bi Imah, aku melihat-lihat suasana. Rumah ini tidak bertingkat, tapi luas sekali. Seperti lapangan bola saja, maa syaa Allah.

"Kemari, Neng ...." Bi Imah mengajakku ke sayap kiri rumah besar ini, "Nah, di sini kamarnya, Neng," ucapnya memberitahuku.

Aku melihat sebuah pintu bercat coklat tua di hadapan. Di sebelahnya terdapat pintu juga. "Yang ini kamar siapa, Bi?" tanyaku penasaran.

"Ini kamar Den Aldin. Itu kamar Den Ivan." Bi Imah lalu menunjuk sebuah pintu di seberang dua kamar itu. Di tengah-tengah ada televisi berlayar tipis dan besar sekali.

"Oh, iya," sahutku sembari mengangguk paham.

Bi Imah melepaskan gagang koper, lantas membuka pintu di hadapan dan mempersilakanku masuk. Kamarnya luas sekali. Ukurannya kira-kira lima kali tujuh meter. Jauh sekali dengan kamarku di rumah ayah yang hanya berukuran tiga kali tiga.

"Pakaian Neng Mila simpan aja di lemari ini," ujar Bi Imah sembari menunjukkan sebuah lemari berpintu empat. Besar sekali ....

"Baik, Bi," jawabku seraya tersenyum.

Bi Imah membalas senyumku. "Ya, sudah. Bibi mau membereskan pakaian Den Aldin dulu." Ia pun pamit.

"Makasih, Bi," ucapku tulus.

Ia mengangguk, lalu berbalik dan menutup pintu kamar ini.

Aku memperhatikan lebih jelas isi dan suasana kamar berwarna mint ini. Di tengah ruangan terdapat ranjang berukuran besar. Kelihatannya kasurnya juga empuk banget. Di ujung sana terdapat jendela yang besar, makanya kamar ini cukup terang dengan pencahayaan alami dari luar. Hmm ... tidak, ketika aku semakin dekat, ternyata bukan jendela. Akan tetapi, pintu kaca.

Kupicingkan mata, lalu kusibak tirai transparan itu. Ya Allah, itu kolam renang? Keren sekali! Seperti rumah-rumah yang ada di sinetron di tivi. Maa syaa Allah! Aku sungguh terkesima.

Tiba-tiba terdengar bunyi pintu terbuka. Aku sontak berbalik karena terkejut.

Pintu kamar terbuka lebar, tampak seorang bocah tampan di ambang pintu. Ia menatapku lekat dan kelihatan heran. Hmm ... apa dia Ivan, anak Bang Aldin?

Aku mengulas senyum selebar yang aku bisa ke arahnya.

Alisnya masih bertautan.

"Ivan, ayo kita main lagi!" Tiba-tiba ada seorang wanita, mungkin umurnya sekitar dua puluh limaan. Wanita itu merangkul pundak Ivan. Namun, ditepis oleh bocah kecil itu. Ia masih menatapku lekat.

"Siapa itu?" Telunjuk kecil itu mengarah kepadaku.

Aku melangkah mendekatinya. "Hai ... kamu Ivan ya?" tegurku. Anak ini tampan sekali, mirip ayahnya. Eh! Ayahnya menyebalkan!

"Iya, Kakak siapa?" tanyanya. Ah, tahukah kamu, wahai adik kecil ... statusku ini adalah sebagai ibu tirimu.

Semakin kulebarkan senyuman dan berlutut di hadapannya agar setara dengan tinggi badannya. "Aku, Kamila," jawabku sembari melirik dan mengangguk sebentar ke arah wanita di samping Ivan.

Wanita itu membalas anggukanku dengan ramah.

"Ivan." Terdengar suara Bang Aldin mendekat. Sosoknya kemudian tampak. Ia lalu berlutut membuka lebar kedua tangannya dengan senyuman semringah ke arah sang putra.

Aku langsung bangkit.

"Ayah!" Ivan langsung menghampur ke pelukan ayahnya. Bang Aldin menciumi pipi bocah tersebut. Manis sekali pemandangan itu, entah mengapa hatiku menghangat melihatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status