Setelah sekitar empat puluh menit dari rumah Kak Mirna, akhirnya mobil ini berbelok ke sebuah rumah yang tampak mewah berpagar tinggi. Ini ... apakah ini tempat tinggal Bang Aldin? Ya, tentu saja dia orang kaya seperti juga Bang Dion. Lihat saja mobilnya ini. Aku tak tahu jenisnya. Akan tetapi, aku tahu ini mobil mahal.
Tak lama kemudian kami turun dari mobil setelah sampai di depan pendopo. Tiang-tiang teras rumah ini besar dengan gaya minimalis modern.Aku dan pria itu menurunkan koper dan tas dari bagasi.Bang Aldin kemudian memencet bell, lalu muncul seorang ibu paruh baya di hadapan kami."Eh, Aden sudah pulang?" tegurnya kepada pria di depanku."Iya, Bi. Ivan mana?" Bang Aldin melangkah ke dalam rumah dengan menarik koper kecilnya."Lagi main di taman belakang," jawab ibu tua itu sembari melihat ke arahku, "eh, ini ...?" Omongan ibu itu menggantung."Ini Mila," sambar Bang Aldin mengenalkanku.Aku mengangguk dan mengulas senyum tipis. "Assalamualaikum," ucapku pada ibu itu."Eh, iya ... Neng Mila. Wa 'alaikumus salam. Saya Halimah. Panggil aja Bi Imah." Ibu itu tergagap ketika aku mencium tangannya. Ia melirik sedikit ke arah Bang Aldin."Antarkan dia ke kamar yang aku bilang kemarin, Bi." Pria itu berjalan terus ke dalam, tanpa menoleh lagi ke arahku meninggalkan kopernya."Sini, Neng ... biar Bibi bawakan tasnya," tawarn Bi Imah seraya mengulurkan tangan ke arah tas jinjingku."Eh, gak usah, Bi. Biar aku aja yang bawa," tolakku. Tas ini cukup berat.Bi Imah tersenyum getir. "Mari Bibi antar ke kamar, Neng," ujarnya sambil meraih gagang koper Bang Aldin, lalu melangkah mengarahkanku.Sambil berjalan mengekori Bi Imah, aku melihat-lihat suasana. Rumah ini tidak bertingkat, tapi luas sekali. Seperti lapangan bola saja, maa syaa Allah."Kemari, Neng ...." Bi Imah mengajakku ke sayap kiri rumah besar ini, "Nah, di sini kamarnya, Neng," ucapnya memberitahuku.Aku melihat sebuah pintu bercat coklat tua di hadapan. Di sebelahnya terdapat pintu juga. "Yang ini kamar siapa, Bi?" tanyaku penasaran."Ini kamar Den Aldin. Itu kamar Den Ivan." Bi Imah lalu menunjuk sebuah pintu di seberang dua kamar itu. Di tengah-tengah ada televisi berlayar tipis dan besar sekali."Oh, iya," sahutku sembari mengangguk paham.Bi Imah melepaskan gagang koper, lantas membuka pintu di hadapan dan mempersilakanku masuk. Kamarnya luas sekali. Ukurannya kira-kira lima kali tujuh meter. Jauh sekali dengan kamarku di rumah ayah yang hanya berukuran tiga kali tiga."Pakaian Neng Mila simpan aja di lemari ini," ujar Bi Imah sembari menunjukkan sebuah lemari berpintu empat. Besar sekali ...."Baik, Bi," jawabku seraya tersenyum.Bi Imah membalas senyumku. "Ya, sudah. Bibi mau membereskan pakaian Den Aldin dulu." Ia pun pamit."Makasih, Bi," ucapku tulus.Ia mengangguk, lalu berbalik dan menutup pintu kamar ini.Aku memperhatikan lebih jelas isi dan suasana kamar berwarna mint ini. Di tengah ruangan terdapat ranjang berukuran besar. Kelihatannya kasurnya juga empuk banget. Di ujung sana terdapat jendela yang besar, makanya kamar ini cukup terang dengan pencahayaan alami dari luar. Hmm ... tidak, ketika aku semakin dekat, ternyata bukan jendela. Akan tetapi, pintu kaca.Kupicingkan mata, lalu kusibak tirai transparan itu. Ya Allah, itu kolam renang? Keren sekali! Seperti rumah-rumah yang ada di sinetron di tivi. Maa syaa Allah! Aku sungguh terkesima.Tiba-tiba terdengar bunyi pintu terbuka. Aku sontak berbalik karena terkejut.Pintu kamar terbuka lebar, tampak seorang bocah tampan di ambang pintu. Ia menatapku lekat dan kelihatan heran. Hmm ... apa dia Ivan, anak Bang Aldin?Aku mengulas senyum selebar yang aku bisa ke arahnya.Alisnya masih bertautan."Ivan, ayo kita main lagi!" Tiba-tiba ada seorang wanita, mungkin umurnya sekitar dua puluh limaan. Wanita itu merangkul pundak Ivan. Namun, ditepis oleh bocah kecil itu. Ia masih menatapku lekat."Siapa itu?" Telunjuk kecil itu mengarah kepadaku.Aku melangkah mendekatinya. "Hai ... kamu Ivan ya?" tegurku. Anak ini tampan sekali, mirip ayahnya. Eh! Ayahnya menyebalkan!"Iya, Kakak siapa?" tanyanya. Ah, tahukah kamu, wahai adik kecil ... statusku ini adalah sebagai ibu tirimu.Semakin kulebarkan senyuman dan berlutut di hadapannya agar setara dengan tinggi badannya. "Aku, Kamila," jawabku sembari melirik dan mengangguk sebentar ke arah wanita di samping Ivan.Wanita itu membalas anggukanku dengan ramah."Ivan." Terdengar suara Bang Aldin mendekat. Sosoknya kemudian tampak. Ia lalu berlutut membuka lebar kedua tangannya dengan senyuman semringah ke arah sang putra.Aku langsung bangkit."Ayah!" Ivan langsung menghampur ke pelukan ayahnya. Bang Aldin menciumi pipi bocah tersebut. Manis sekali pemandangan itu, entah mengapa hatiku menghangat melihatnya."Sudah kenalan dengan Tante Kamila?" tanya Bang Aldin kepada Ivan.Bocah itu menoleh ke arahku lalu mengangguk keras. Aku berusaha mengulas senyum lagi di bibir ini, menarikku dari keterpanaan tadi. "Panggil Tante Mila aja," ujarku pada anak yang tampan itu sembari mengulurkan tangan.Ivan melirik sebentar ke arah ayahnya seakan meminta tanggapan. Sang ayah mengangguk.Bocah lelaki itu pun menyambut telapak tanganku dan menyalaminya. Aku melebarkan senyuman dan membelai puncak kepalanya. Wajah kecil itu masih terlihat datar jika berhadapan denganku. Lucu banget."Oh iya, Mila. Ini Lisa, dia baru dua pekan bekerja di sini. Lisa, ini Mila." Bang Aldin mengenalkanku pada wanita yang bersama anaknya itu.Aku mengulurkan tangan kepada wanita tersebut dan ia pun menyambutnya. "Neng ...," tegurnya sembari mengangguk dan mengukir senyuman."Panggil Mila saja, Mbak Lisa," sahutku ramah.Wanita itu mengangguk lagi."Mila, kalau kamu ada perlu, bisa minta tolong Lisa atau Bi Imah, ya. Abang ke
Aku lalu bangkit dari duduk, hendak membereskan piring dan gelasku sendiri."Biar saja, Mila."Aku terdiam menyimak Bang Aldin bicara."Nanti Bi Imah dan Lisa yang membereskannya," katanya.Aku lalu melanjutkan membereskan piring kotornya juga. "Gak papa, Bang," tuturku sembari mengangkat piring dan gelas kotor kami, melangkah menuju wastafel di dapur.Ivan tampak melirikku sebentar, lalu kembali sibuk memainkan tab-nya. Sementara Mbak Lisa masih sibuk menyuapkan bocah kecil tersebut."Hmm ... terserahlah," sahut lelaki itu sembari menghela napas.Bi Imah yang berada di dapur dan tengah makan melihatku membawa piring ke wastafel dapur, sontak bangkit. "Eh, Neng! Biar Bibi aja yang beresin!" Ia tampak terkejut."Udah, Bibi makan aja ...," kataku sembari meraih spons dan mulai menyuci piring kotor yang cuma dua buah itu."Eh ...." Bi Imah tampak bengong di sampingku."Sana, Bibi makan dulu," suruhku seraya menunjuk dengan isyarat ke arah makanannya.Dengan ragu, wanita paruh baya itu pu
Namun, akhirnya boch kecil itu pun mencoba meraih gelas tersebut dari tanganku. Sengaja aku elakkan gelas susu itu sambil terus tersenyum. Bocah itu semakin menautkan alisnya yang indah. "Pakai tangan kanan dong!" Ya, tadi Ivan mengulurkan tangan kirinya.Ia lalu meraih gelas itu dengan tangan kanannya."Nah, gitu," kataku semringah.Anak yang tampan itu mengulas senyum tipis."Bilang apa?" tanyaku sembari menahan lengannya ketika ia hendak berbalik."Mmm ... makasih," jawabnya ragu.Aku pun melebarkan senyuman dan mengacak puncak kepalanya. Anak manis.***Pagi ini cukup cerah, langit tampak begitu terang diselimuti sedikit awan. Sinar mentari terasa hangat menyentuh kulit wajahku. Ini masih pagi, pukul sembilan. Bang Aldin sudah pergi bekerja pagi-pagi sekali. Bahkan aku tidak melihatnya ketika sarapan di meja makan tadi. Kata Bi Imah, dia ada rapat di kantor, dan mesti menghindari macet.Aku berdiri di samping sebuah kolam ikan tanpa alas kaki di taman belakang rumah. Banyak ikan
"Ivan?" Tiba-tiba terdengar suara berat diiringi bunyi pintu yang terbuka. Aku sedikit terperanjat.Hening.Wajah itu awalnya terlihat kaget sepertiku. Akan tetapi, beberapa saat kemudian bibir itu tersenyum, tampak canggung. "Ivan tidur?" tanya pria tampan tersebut.Aku beringsut dan bangkit perlahan dari rebahan. Berusaha menarik bibir ini ke atas. "Iya ...," jawabku pelan.Pria itu melangkah mendekat. Berdiri di samping ranjang, memandang lekat sang bocah yang tengah lelap tersebut. Aku merasa tidak enak hati berada di situ saat ini. Aku pun berdiri dan pamit.Ia melirik sebentar dengan melipat bibirnya, kemudian mengangguk mempersilakan aku pergi.***"Aku kemarin makan banyak, Yah!" Suara Ivan terdengar ceria dari meja makan. Langkah kaki ini kupelankan demi menyimak pembicaraan kedua lelaki tampan beda usia itu. Ntah mengapa hatiku selalu merasa hangat kalau melihat keakraban mereka."Oh, ya?" sahut Bang Aldin seakan tak percaya."Iya. Aku juga shalat!" seru bocah itu bangga,
"Wa ... wa alaikumus sallam," jawabku terbata.Pria manis di depanku melangkah mendekat dengan perlahan. "Apa kabar, Mil?" tanyanya.Aku menatapnya beberapa saat.Bibirnya tersenyum, tapi tampak canggung."Hemm, alhamdulillah baik, Bang," jawabku sambil membenarkan kerudung. Mengapa jadi gugup begini? "Syukurlah," ucapnya singkat."Mmm ... Bang Aldin di taman belakang." Ya Allah, mengapa aku kayak orang bodoh, sih?"Abang mau ketemu kamu," ungkapnya."Owh."Ia kembali tersenyum."Silakan duduk, Bang. Sudah sarapan? Ini ada nasi goreng ...," tawarku basa-basi.Ia pun bergerak maju kemudian duduk di salah satu kursi di meja makan itu. "Gak usah. Abang sudah sarapan, kok," sahutnya."Oh, gitu. Ya udah, bentar aku bikinin kopi dulu." Aku pun melenggang ke dapur dan menyeduh kopi sachet tanpa menunggu tanggapannya.Setelah selesai menyeduh kopi, aku lalu kembali ke ruang makan. Kuletakan cangkir kopi hangat tersebut ke hadapan lelaki yang masih bertahta di hatiku itu. "Diminum kopinya, Ba
Ivan menyebut wanita itu dengan sebutan 'ibu'?Aku menoleh ke arah Bang Aldin yang mendekat. "Al ... apa kabar?" Bibir merah menyala itu tersenyum semringah ke arah Bang Aldin, "hei, Dion! Kamu juga apa kabar?" Bang Dion pun sudah berada di samping ayah dari Ivan itu."Baik, Mbak," jawab Bang Dion sembari menyunggingkan senyum. Bang Aldin sendiri tak menyahut. "Sedang apa kamu di sini, Sher?" tanya pria itu tampak tak suka.Wanita ini kelihatannya sebaya dengan Mbak Lisa, hanya style-nya yang jauh berbeda."Jangan jutek gitu, Al," ujar wanita itu sambil menurunkan Ivan dari gendongannya. Bibirnya senantiasa tersenyum manis.Ivan lalu menggamit jemariku. "Aku mau main ayunan, Tante. Ayo!" Bocah itu menggandeng dan menjauhkanku dari sana."Siapa perempuan itu? Pembantu baru?" Pertanyaan itu terarah kepadaku. Ya, aku masih mendengar dengan jelas karena belum jauh. Aku yakin dia adalah mantan istri Bang Aldin."Istriku." Aku menoleh ke arah sana dan kulihat ekspresi terkejut wanita can
Aku tidak paham, mengapa Mbak Sherli tiba-tiba berkata seperti itu. Aku sama sekali tidak pernah berpikiran demikian."Aldin gak mungkin jatuh cinta sama perempuan kampungan kayak kamu." Pandangan matanya seakan menelanjangiku dari atas ke bawah.Aku tersenyum sinis. Heran, apa semua orang kaya itu tukang hina, ya?"Mbak jangan bicara sembarangan!" cetus Bang Dion.Ujung sebelah bibir merah itu tertarik sedikit. Wanita itu kemudian berbalik dan melenggang pergi setelah membelai sebentar pipi sang putra."Sherly ngomong apa?" tanya Bang Aldin. Ia baru saja muncul, melenggang santai di hadapan kami setelah sang mantan istri pergi."Mbak Sherly menuduh Mila mau merebut Ivan darinya, Bang," timpal Bang Dion.Pria tampan di hadapan kami terkekeh geli. "Abaikan dia, Mila. Jangan dihiraukan omongannya."Ya, aku akan mengabaikan tuduhan tak berdasar itu. Lagian tidak penting bagiku persangkaan Mbak Sherly seperti apa."Mau ke mana?" tanya Bang Aldin lagi."Aku haus, Yah! Ayo cari minum cepat
"Di depan 'kan enak, bisa lihat pemandangan lebih luas." Sang ayah tampak masih berusaha membujuk bocah kecil itu."Gak mau!" pekik Ivan tak terima. Anak itu berusaha turun dari pundak sang ayah.Aku langsung meraih tubuh Ivan yang kini berada di gendongan Bang Aldin. "Biar Ivan duduk sama aku, Bang!" kataku.Bang Aldin terlihat terpaksa menurutiku dan sang anak."Lagian aku dan Bang Dion bukan mahram. Lebih baik kami gak duduk berdua." Aku mencoba menjelaskan."Oh, gitu," ucap Bang Aldin sambil mengangguk.Bang Dion hanya diam di sana. "Kalo berduaan sama Abang boleh dong, ya? 'Kan kita suami-istri." Bang Aldin menaik-naikkan alisnya ke arahku juga Bang Dion dengan tatapan menggoda.Entah mengapa wajah ini seketika terasa panas. Aku langsung meraih gagang dan membuka pintu mobil, lalu melesat membawa serta Ivan masuk."Hahahahaaa!" Bang Aldin terbahak. Ia lalu berjalan sambil menggoyangkan badannya seperti MENARI mengejek, menuju pintu kemudi.Kulirik wajah Bang Dion yang tampak ter