LOGIN
Lampu neon berwarna ungu dan biru berpendar di antara kepulan asap rokok. Musik berdentum keras, seakan menelan setiap percakapan menjadi bisikan samar. “Udah, nikmatin aja malam ini. Nggak usah mikirin kerjaan dulu, lagian kamu baru balik dari Therondia.”
Evelyn Wijaya menatap kosong ke arah gelas mojito di tangannya. Es yang setengah mencair berputar pelan, persis seperti pikirannya malam ini—kacau, dingin, dan penuh kebuntuan. “Aku harus cari ke mana 150 milyar itu, Ane?” Hidupnya di usia 21 tahun seharusnya tidak sesulit ini. Ia seharusnya bisa bebas memilih jalan yang diinginkannya, tapi kenyataan menamparnya tanpa ampun. “Pelan-pelan, Eve. Aku akan bantu mendapatkan solusinya,” tatapannya serius, seakan telah menemukan jalan keluar bagi masalah yang tengah dihadapi sahabatnya itu. “Kamu? Memangnya kamu bisa?” Evelyn tertawa kecil sinis, seakan sangsi dengan ucapan Ane. Perusahaan keluarganya nyaris bangkrut, rumah mereka terancam disita, dan hutang yang menumpuk membuat ayahnya jatuh sakit. Evelyn merasa seolah seluruh dunia runtuh di atas pundaknya. “Eve .…” suara serak khas Ane Jesslyn menyelusup di tengah riuhnya musik. Sahabat sekaligus seniornya di kampus itu menyulut rokok, menatapnya dengan tatapan yang terlalu tajam untuk ukuran seorang teman. “Kalau kamu terus begini, kamu akan habis dimakan keadaan.” Evelyn mendengus, kepalanya jatuh di atas meja. “Apa yang bisa aku lakukan, An? Aku bukan superwoman. Uang yang harus kubayar terlalu besar.” Ane menyeringai kecil, lalu menyandarkan punggung ke sofa kulit. “Ada banyak cara untuk mendapatkan uang. Tapi kamu terlalu naif untuk melihatnya.” Alis Evelyn berkerut. “Apa maksudmu?” Ane mencondongkan tubuh, suaranya lebih pelan, nyaris seperti bisikan rahasia. “Cari sugar daddy, Eve. Seseorang yang bisa menanggung semua masalahmu sekarang.” Evelyn sontak mendongak, matanya melebar dengan marah. “Gila kamu?! Aku bukan pelacur, An!” suaranya meninggi, nyaris menenggelamkan musik. Beberapa orang menoleh, tapi Ane hanya terkekeh dingin. “Aku tidak bilang kamu pelacur,” Ane menyeringai, matanya berkilat penuh perhitungan. “Aku hanya bilang ada orang yang butuh kamu… dan dia punya uang yang bisa menyelamatkanmu.” Evelyn tercekat. “Apa maksudmu?” Ane mematikan puntung rokoknya, lalu menatap Evelyn dengan ekspresi serius. “Dia butuh seseorang untuk merawat anaknya. Gajinya lumayan gede. Sepuluh juta per bulan. Itu cukup untuk obat dan kebutuhan ayahmu sementara waktu.” Evelyn menahan napas. Sepuluh juta. Jumlah itu terasa seperti oksigen di tengah tenggelamnya hidupnya. “Lalu… apa syaratnya?” Ane menekuk senyum penuh misteri. “Kalau kamu hanya bekerja, kamu dapat sepuluh juta. Tapi kalau kamu mau menikah dengannya… kamu akan dapat seratus miliar.” Wajah Evelyn memucat. Kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam keras kepalanya. “Se… seratus miliar?” ia tergagap, menelan salivanya mentah-mentah. Ane mengangguk tenang, seolah jumlah itu bukan hal besar. “Ya. Satu pernikahan, satu kontrak. Dan semua masalahmu selesai.” Evelyn terdiam. Dunia di sekelilingnya seakan meredam. Musik, cahaya, tawa orang-orang—semuanya menghilang. Yang tersisa hanyalah suara detak jantungnya yang berpacu terlalu cepat, seolah tubuhnya menolak logika dari tawaran itu. “Cepat ambil keputusan, Eve. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Banyak yang mengantri untuk menjadi istri keluarga Bumiputera.” “Aku tidak mengenalnya, Ane.” kedua alisnya menukik tajam. “Jangan mikirin soal cinta, Eve. Pikirkan saja tentang uang yang diberikan mereka padamu.” Ane menatapnya, mencoba untuk meyakinkan. “Tapi masih belum cukup untuk menutupi kekurangannya, An….” raut wajahnya muram, hampir saja putus asa. “Gampang lah kalau masalah itu. Kamu bisa kumpulin dari uang bulanan yang diberikan suamimu nanti. Paling tidak hutang perusahaan ayahmu bisa berkurang banyak,” nasehatnya seakan mengentengkan masalah. “Dasar gila,” gumam Eve sambil memalingkan wajah, mulutnya mencebik. Menikah demi uang. Dengan pria asing. Dengan syarat yang bahkan ia belum tahu. Ia menggenggam erat gelasnya, jemarinya gemetar. "Gila, sungguh gila. Hidup macam apa ini...?" dan untuk pertama kalinya, Evelyn sadar—malam ini, hidupnya baru saja berubah selamanya. *** Udara pagi itu begitu asing bagi Evelyn. Seakan setiap hembusannya menegaskan bahwa ia sedang melangkah ke dunia yang bukan miliknya. “Tenanglah Eve, kamu bisa melewatinya dengan baik….” monolog Evelyn pada dirinya sendiri. Mobil hitam yang disediakan keluarga Bumiputera berhenti di depan gerbang besi besar. Plakat dengan nama “Bumiputera Residence” terpampang jelas, megah sekaligus menakutkan. “Lewat sini, mari ikut dengan saya Nona,” ujar kepala pelayan bernama Martha. Evelyn mengangguk, “Baik Nyonya....” "Martha, panggil saja Martha." Perempuan paruh baya itu tersenyum ramah. "Baik, Martha." Ujar Evelyn membalas senyumannya. Hatinya berdegup kencang. Evelyn menggenggam ujung gaun sederhana yang ia kenakan— gaun pinjaman dari Ane, agar ia terlihat ‘layak’ di hadapan orang-orang kaya. Ketika pintu kayu raksasa itu terbuka, Evelyn disambut dengan aroma lilac samar yang memenuhi ruangan. Interior rumah mewah itu terasa terlalu dingin, terlalu sunyi. Seakan setiap sudutnya menolak kehadiran manusia biasa sepertinya. “Silakan Nona Evelyn.” Kepala pelayan membungkuk hormat ketika ia memberi akses jalan untuknya. “Tuan muda sudah menunggu di ruang kerja.” Lanjutnya. Evelyn menelan ludah, lalu mengikuti langkah pelayan itu. Sepanjang koridor, ia bisa merasakan matanya sendiri berkaca-kaca. Seolah ia sedang berjalan menuju ruang sidang, bukan ruang pertemuan. “Tuan sudah berada di dalam Nona, silahkan.” Pintu ruang kerja terbuka. Cahaya matahari menerobos dari jendela besar, menyinari sosok pria berusia sekitar dua puluh tujuh tahun yang duduk di kursi roda hitam. Posturnya tegak, namun wajahnya menyiratkan kelelahan yang dingin. “Selamat pagi Tuan,” sapa Evelyn yang tidak bersambut baik. Tatapan mata pria itu tajam, menusuk, seolah bisa membaca isi hati siapa pun yang berani mendekat. Itulah Samudra Bumiputera. Evelyn sempat terpaku, jantungnya berdegup tak terkendali. Pria itu… berbeda dari bayangannya. Tampan, karismatik, tapi dingin bak tembok es. “Jadi… ini dia?” suara Samudra berat, namun datar tanpa intonasi. Ia menatap kepala pelayan yang berdiri di belakang Evelyn. “Benar, Tuan Muda. Nona Evelyn Wijaya.” Jawab Martha dengan sangat halus dan sopan. Mata itu kini beralih padanya. Evelyn merasa seolah dirinya sedang ditelanjangi hanya dengan tatapan. “Nama?” Samudra mengulang, meski jelas sudah mengetahuinya. “E… Evelyn. Evelyn Wijaya.” Suaranya bergetar. Samudra menyandarkan tubuhnya di kursi roda, jemarinya mengetuk pelan lengan kursi. “Jadi kamu yang katanya rela menikah denganku demi uang.” Wajah Evelyn memerah. “Bukan begitu, saya…” “Tentu saja begitu.” Samudra memotong cepat, bibirnya melengkung pada senyum tipis yang lebih mirip ejekan. “Semua orang punya harga. Dan rupanya harga dirimu setara dengan seratus miliar.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Evelyn menunduk, genggaman tangannya semakin erat. “Saya hanya… ingin menyelamatkan keluarga saya.” Keheningan singkat melingkupi ruangan. Samudra menatapnya lama, kemudian menghela napas berat. “Kalau begitu, mari kita buat kesepakatan.” Ia mencondongkan tubuh, menatap Evelyn tajam. “Menikah denganku, bukan berarti kau bisa mencintaiku. Aku tidak butuh itu. Jangan berani mencoba. Kau hanya akan menyesal.” Suara itu begitu dingin, nyaris seperti peringatan terakhir. Evelyn menegakkan kepala, meski hatinya hampir hancur. Tapi tunggu! Dahinya mengernyit samar, sepertinya ia pernah bertemu dengan pria berjambang tipis di hadapannya. Serupa tapi tidak sama, tapi siapa dan di mana? Kemudian .... “Kalau itu syaratnya… saya terima.” Evelyn menyingkirkan pikiran yang dianggapnya tidak penting, di sini ia harus memutuskan. Senyum tipis Samudra melebar, dingin, tanpa kehangatan sedikit pun. “Bagus. Karena mulai hari ini, hidupmu bukan lagi milikmu, Evelyn Wijaya. Tapi milikku.” Dan dengan satu kalimat itu, Evelyn tahu— ia baru saja mengikatkan dirinya pada badai yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Langit Moonspire mulai berwarna tembaga saat Evelyn keluar dari ruang kerja ayahnya. Langkahnya cepat, hampir tergesa, seolah ingin melarikan diri dari udara dingin yang menggantung di lantai dua puluh tujuh itu. Begitu pintu lift tertutup, baru ia menyadari bahwa napasnya memburu. Kata-kata Alexander berputar di kepalanya, menghantam tanpa jeda— ‘bertahan untuk tetap hidup dan melahirkan pewaris.’ Pintu lift terbuka. Evelyn menunduk, menahan rasa muak yang berputar di dadanya. Tapi langkahnya terhenti mendadak. Dirga berdiri di ujung lorong. Tanpa jas, hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung. Sorot matanya menatap lurus, tajam, tapi ada kelelahan yang sulit disembunyikan. “Evelyn,” panggilnya pelan. Tubuh Evelyn menegang. Ia baru saja ingin melewati pria itu tanpa bicara, tapi Dirga melangkah mendekat lebih dulu. “Aku cuma ingin bicara. Lima menit saja.” “Tidak perlu,” jawab Evelyn cepat. “Kita sudah membicarakan semuanya pagi tadi. Aku tidak mau mengulang hal yang
Evelyn menegakkan tubuhnya perlahan, meski Dirga masih menahannya di antara dinding dan tubuhnya yang tinggi menjulang. Napasnya berat, tapi sorot matanya tajam. Ia menatap Dirga seperti menatap seseorang yang sudah terlalu jauh melanggar batas. “Sudah cukup, Dirga,” suaranya datar tanpa getaran, tapi ada ketegasan di sana. “Kau tidak berhak menuntut penjelasan apa pun dariku.”Pria itu mengerutkan alisnya, seolah tak percaya dengan keberanian Evelyn. “Tidak berhak?”“Ya,” Evelyn menegaskan. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab kenapa aku menikah dengan Samudra. Hidupku bukan lagi menjadi urusanmu.”Dirga terkekeh pelan, tapi ada nada getir di balik tawanya. “Lucu sekali, Evelyn. Kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini? Kau menikahi Samudra bukan karena cinta, tapi karena alasan lain. Semua orang bisa mencium kepalsuannya.”Evelyn memejamkan mata sejenak, mencoba menahan diri agar tidak terpancing. “Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Tapi satu hal, Dirga—aku
Jam 9 pagi, Evelyn baru keluar dari dalam kamar. Ia tertidur setelah lelah dengan pikirannya sendiri menjelang subuh. “Sarapan sudah siap, Nyonya muda.” Martha si kepala pelayan menyambutnya dengan hangat dan mempersilahkan Evelyn untuk bergabung di meja makan. “Nyonya besar titip salam. Beliau masih ada urusan mendadak pagi ini, jadi tidak bisa datang merayakan hari pertama sarapan bersama Anda sebagai menantu.” Evelyn tersenyum tipis, “Tidak perlu dipaksakan, Martha. Aku tahu kesibukan keluarga Bumiputera tidak ada habisnya. Mungkin lain kali aku dan Ibu Celine harus kencan berdua saja,” lalu ia kembali berjalan menuju ke arah ruang makan. “Nyonya besar pasti akan sangat senang mendengarnya,” jawab Martha dengan senyum penuh kelembutan. Langkah Evelyn perlahan menapaki setiap inci lantai marmer rumah mewah itu. Sebuah rumah yang pantas disebut sebagai istana karena terlalu besar untuk ditinggali beberapa orang saja. “Nyonya muda, kenapa?” panggil Martha setelah Evelyn
Malam semakin larut. Lampu kristal di kamar pengantin sudah diredupkan, menyisakan cahaya temaram yang menimbulkan bayangan panjang di dinding. Samudra melirik tajam pada kedua tangan Evelyn yang terulur ke arahnya. “Untuk apa?” tanya Sam dengan nada ketus. “Saya akan mengganti baju Anda, Tuan.” Evelyn menarik kembali tangannya, ia tidak melanjutkan. “Aku tidak butuh bantuanmu,” tolak Samudra secara terang-terangan. “Saya hanya menjalankan isi kontrak yang telah kita sepakati kemarin, Tuan.” Evelyn tidak ingin disalahkan hanya karena dianggap lalai dalam menjalankan tugas. “Jangan pernah sekali-kali berani menyentuh tubuhku.” Ucapannya setajam belati, membuat Evelyn mundur dari tempatnya. “M-Maaf,” ia mengerti tanpa Samudra harus mengulang untuk kedua kalinya. Evelyn memutuskan untuk mundur dan duduk di ujung ranjang, kedua tangannya saling menggenggam, tubuhnya tegang. Ia melihat Samudra pergi tanpa basa-basi menuju ke arah kamar mandi dengan kursi rodanya. “Huft… pria itu
Hari itu akhirnya tiba. Langit kota Braveheart berwarna kelabu, seakan ikut merayakan sebuah pernikahan yang bukan dilandasi cinta, melainkan kontrak dan ambisi. Di pelataran gedung megah milik keluarga Bumiputera, karpet merah terbentang, lampu kristal berkilauan, dan tamu-tamu berbusana glamor mulai berdatangan. “Kamu nggak ngundang aku, Eve? Sekali seumur hidup, aku ingin jadi bridesmaid di pernikahan kamu.” Percakapan sembunyi-sembunyi itu dilakukan Evelyn lewat telepon seluler untuk memberi kabar pada Ane. “Sekali seumur hidup? Tapi pernikahan ini hanya sebatas—” “Aku nggak mau denger alasan apapun. Aku akan datang, meskipun tanpa undangan.” Ane berhasil memotong kalimat Evelyn. “Ane….” ia mengalah, helaan napasnya terdengar berat. Evelyn tahu, jika tidak ada yang bisa membuat Ane Jesslyn berhenti begitu saja dengan semua ambisinya. Dan pagi ini…. Evelyn berdiri di balik pintu ruang rias, tubuhnya kaku bagai patung. Gaun pengantin putih bertabur payet membalut tubuh
Udara di ruang kerja itu semakin berat, Evelyn bisa merasakan setiap detik yang berjalan seakan menusuk dadanya. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa dirinya bukan sekadar ‘barang’ yang bisa dibeli dengan uang, tapi kata-kata Samudra tadi sudah lebih dulu membungkam lidahnya. “Ekhem,” Martha, sang kepala pelayan, memberi sedikit batuk kecil untuk memecah keheningan. “Tuan Muda, apakah saya perlu menyiapkan ruangan untuk Nona Evelyn?” Samudra melirik sekilas, lalu kembali menatap Evelyn. “Bawa dia ke kamar tamu sebelah timur. Mulai hari ini, dia akan tinggal di sini.” Jantung Evelyn berdegup lebih cepat. ‘Tinggal? Bahkan sebelum ada pernikahan resmi, aku sudah harus menetap di rumah ini? Gila!’ (batinnya). “Tapi… bagaimana dengan—” Evelyn memberanikan diri membuka suara. Tatapan dingin Samudra kembali menghantamnya. “Tidak ada kata ‘tapi’. Mau atau tidak, kau sudah masuk ke dalam kontrak ini. Dan di rumah ini, kau akan belajar aturan.” Evelyn menggigit bibirnya, menaha







