LOGINUdara di ruang kerja itu semakin berat, Evelyn bisa merasakan setiap detik yang berjalan seakan menusuk dadanya. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa dirinya bukan sekadar ‘barang’ yang bisa dibeli dengan uang, tapi kata-kata Samudra tadi sudah lebih dulu membungkam lidahnya.
“Ekhem,” Martha, sang kepala pelayan, memberi sedikit batuk kecil untuk memecah keheningan. “Tuan Muda, apakah saya perlu menyiapkan ruangan untuk Nona Evelyn?” Samudra melirik sekilas, lalu kembali menatap Evelyn. “Bawa dia ke kamar tamu sebelah timur. Mulai hari ini, dia akan tinggal di sini.” Jantung Evelyn berdegup lebih cepat. ‘Tinggal? Bahkan sebelum ada pernikahan resmi, aku sudah harus menetap di rumah ini? Gila!’ (batinnya). “Tapi… bagaimana dengan—” Evelyn memberanikan diri membuka suara. Tatapan dingin Samudra kembali menghantamnya. “Tidak ada kata ‘tapi’. Mau atau tidak, kau sudah masuk ke dalam kontrak ini. Dan di rumah ini, kau akan belajar aturan.” Evelyn menggigit bibirnya, menahan kalimat protes yang ingin keluar. Ia hanya bisa menunduk, mencoba menyembunyikan rasa takut sekaligus marah yang bergelora di dalam dirinya. Martha memberi isyarat lembut dengan tangannya. “Mari, Nona Evelyn.” Dengan langkah gontai, Evelyn mengikuti pelayan itu keluar. Di balik punggungnya, ia bisa merasakan tatapan Samudra masih melekat, seolah pria itu sengaja menegaskan bahwa ia sekarang benar-benar ‘terikat’. Koridor panjang menuju kamar terasa seperti lorong tak berujung. Evelyn memperhatikan dinding marmer dingin, lukisan-lukisan mahal, hingga lampu gantung kristal yang berkilau menusuk mata. Semuanya begitu indah— tapi sekaligus terasa seperti penjara emas. “Apakah Tuan Samudra memang selalu seperti itu?” satu pertanyaan lolos begitu saja dari bibir Evelyn, lirih. Martha menoleh sekilas, bibirnya membentuk senyum samar, tapi matanya menyiratkan kewaspadaan. “Sebenarnya Tuan Muda orangnya baik, ia memiliki caranya sendiri dalam menjalani hidup. Anda hanya perlu membiasakan diri di sini.” Jawaban itu terasa tidak memuaskan, tapi Evelyn tahu, ia tak bisa berharap banyak. Ketika Martha membuka pintu kamar tamu, Evelyn tertegun. Ruangan itu lebih besar daripada ruang tamunya di rumah. Ada ranjang berukuran king dengan sprei putih, jendela tinggi dengan tirai sutra, bahkan sebuah balkon yang menghadap ke taman belakang. “Jika Nona membutuhkan sesuatu, tekan saja bel di samping pintu. Akan ada pelayan yang datang.” Martha menunduk hormat sebelum pergi, meninggalkan Evelyn sendirian. Evelyn duduk di tepi ranjang, tubuhnya lunglai. Matanya menatap kosong ke arah balkon, sementara pikirannya berkelana. Kata-kata Samudra terus terngiang di telinganya. ‘Semua orang punya harga. Dan rupanya harga dirimu setara dengan seratus miliar.’ Air mata Evelyn akhirnya jatuh, meski ia berusaha keras menahannya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Benarkah aku sudah menjual diriku sendiri…?” bisiknya parau. Tiba-tiba suara ketukan pintu membuatnya tersentak. Evelyn buru-buru menghapus air matanya, mencoba terlihat tenang. “Masuk,” suaranya serak. Pintu berderit pelan, dan yang masuk bukan Martha—melainkan seorang anak kecil, kira-kira berusia lima tahun, dengan rambut hitam dan mata besar penuh rasa ingin tahu. “Apakah kamu yang akan jadi mama baruku?” tanya anak itu polos, menatap Evelyn dengan senyum lugu. Evelyn tertegun. Seluruh tubuhnya membeku. Anak itu melangkah masuk lebih jauh, tanpa takut, lalu langsung duduk di sampingnya di tepi ranjang. “Aku sudah lama menunggu. Papa bilang ada seseorang yang akan datang untuk menjaga aku.” Darah Evelyn terasa berhenti mengalir. 'Papa? Itu berarti—' (tanya Evelyn pada dirinya sendiri). “Ka… kamu anaknya Tuan Samudra?” suara Evelyn bergetar. Anak kecil itu mengangguk, wajahnya cerah. “Namaku Arka.” Evelyn menatap mata bulat itu, dan untuk pertama kalinya sejak memasuki rumah ini, hatinya bergetar bukan karena rasa takut… tapi karena sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Evelyn masih terpaku menatap bocah itu. Senyumnya begitu tulus, tidak ada sedikitpun ketakutan atau kecurigaan yang ia terima dari Samudra tadi. Hanya ketulusan polos seorang anak kecil. “Arka…?” Evelyn mengulang nama itu pelan, seolah mencoba mengingatnya dalam hati. “Iya, namaku Arka.” Bocah itu menepuk dadanya bangga. “Tante cantik sekali. Papa benar, ternyata Tante mirip mama.” Jantung Evelyn berdegup lebih cepat. Kata ‘mama’ itu terasa asing, sekaligus menusuk. Ia tidak tahu harus membalas apa. Arka menatapnya dengan mata berbinar. “Kalau benar Tante jadi mama baruku, berarti Tante bakalan tidur di sini terus, kan? Nanti Tante bisa bacain aku cerita sebelum tidur?” Pertanyaan sederhana itu membuat Evelyn tercekat. Ia menunduk, menatap jemarinya yang saling meremas. Bagaimana mungkin ia bisa menjawab, sementara dirinya sendiri masih tidak yakin ingin bertahan di rumah ini? “Arka…” suaranya bergetar. “Aku… aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi mama yang baik untukmu.” Bocah itu mengerutkan kening, lalu dengan wajah serius yang terlalu dewasa untuk usianya, ia berkata, “Kalau Tante baik sama aku, berarti Tante adalah mama yang baik. Itu aja.” Evelyn terdiam. Kata-kata polos itu seperti tamparan halus, mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam. Sebelum ia sempat menjawab, suara berat dan dingin terdengar dari ambang pintu. “Arka.” Evelyn menoleh cepat. Samudra ada di sana dengan kursi rodanya, ditemani Martha yang mendorongnya masuk. Tatapannya menusuk ke arah anaknya. “Aku sudah bilang jangan ganggu tamu,” lanjut Samudra datar. “Tapi Papa, dia bukan tamu! Dia mama baruku, kan?” Arka mendongak, matanya berbinar penuh keyakinan. Samudra terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, sorot matanya beralih sekilas pada Evelyn—tatapan yang tak bisa diartikan, antara ancaman dan peringatan. “Keluar, Arka. Sekarang!” Arka cemberut, tapi menuruti. Sebelum melangkah pergi, ia sempat menoleh pada Evelyn. “Aku suka kamu.” Lalu ia berlari kecil meninggalkan kamar. Keheningan yang tertinggal membuat Evelyn ingin bersembunyi. Samudra menatapnya tajam. “Jangan terlalu cepat merasa nyaman, Nona Evelyn. Anak itu… bukan urusanmu. Ingat baik-baik, kita menikah hanya karena kontrak, bukan karena cinta atau keluarga.” Evelyn menahan napas, matanya panas oleh air mata yang hampir pecah. “Tapi bagaimana aku bisa mengabaikannya? Dia anakmu, Tuan Samudra,” suaranya lirih tapi tegas. Mata Samudra mengeras, bibirnya melengkung pada senyum dingin. “Itu masalahnya. Dia anakku—bukan anakmu.” Kalimat itu jatuh seperti palu. Evelyn terdiam, menunduk dalam-dalam. Tapi jauh di lubuk hatinya, tatapan Arka tadi masih terbayang… dan sesuatu yang baru mulai tumbuh, sesuatu yang bisa membuat kontrak ini jauh lebih rumit daripada sekadar angka. *** Malam merambat perlahan. Jam dinding di kamar tamu timur berdetak lirih, seolah setiap detiknya memperpanjang kegelisahan Evelyn. “Apakah aku mengambil keputusan yang tepat?” lalu ia duduk di tepi ranjang, masih mengenakan gaun sederhana yang dipinjam dari Ane. Jemarinya menggenggam kain itu erat, seakan hanya kain tipis itu yang bisa menahannya dari runtuh. Dari balkon, ia bisa melihat taman yang diterangi lampu pijar redup. Angin malam membawa aroma samar bunga lilac— aroma yang sama saat ia pertama kali masuk ke rumah ini… indah, tapi juga dingin. “Ini bukan rumahku… ini penjara.” (batinnya getir). Evelyn mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Namun setiap kali ia memejamkan mata, yang muncul adalah tatapan dingin Samudra dan suara polos Arka. Dua kutub yang bertolak belakang, tapi keduanya kini mengikat dirinya tanpa ampun. Tok… tok… tok. Ketukan pelan membuatnya tersentak. Evelyn buru-buru berdiri, jantungnya berdebar keras. “Siapa?” tanyanya dengan suara bergetar. Tak ada jawaban. Hanya keheningan. Evelyn menelan ludah, lalu memberanikan diri membuka pintu. “Sepi, nggak ada orang.” Gumamnya. Lorong di luar kosong. Namun di lantai, tergeletak sebuah buku cerita anak bergambar bintang dan bulan. Ia menunduk, memungutnya perlahan. Bibirnya bergetar. “Arka…” Ia membalik sampulnya, dan menemukan tulisan tangan kecil yang berantakan di halaman pertama: “Bacain aku besok malam ya, Mama.” Air mata Evelyn tumpah seketika. Ia memeluk buku itu erat, tubuhnya gemetar. Ada harapan kecil di balik kepolosan seorang anak, dan itu jauh lebih berat daripada semua beban kontrak yang ia sepakati. Namun kehangatan itu hanya bertahan sebentar. Tengah malam, ketika Evelyn mencoba terlelap, pintu kamarnya kembali terbuka. Kali ini bukan Arka. Sosok Samudra muncul, kursi rodanya bergerak perlahan. Wajahnya samar diterangi cahaya lampu lorong, tapi sorot matanya tetap tajam menusuk. “Kenapa belum tidur?” suaranya berat, dingin. Evelyn buru-buru duduk tegak. “Saya… hanya sedikit gelisah.” Samudra masuk, roda kursinya berderit halus. Ia berhenti tepat di depan ranjang Evelyn, menatapnya lama. “Kau takut?” Evelyn menelan ludah. “Saya… bukan takut. Hanya belum terbiasa.” Senyum tipis, nyaris sinis, terbentuk di bibir Samudra. “Kalau itu saja sudah membuatmu gelisah, bagaimana kau akan bertahan di rumah ini?” Kata-katanya menggantung, dingin. Evelyn merasa dadanya sesak. “Dengar baik-baik, Evelyn.” Samudra mencondongkan tubuhnya, suaranya turun menjadi bisikan yang justru terdengar lebih mengancam. “Mulai malam ini, setiap langkahmu, setiap nafasmu, setiap keputusanmu— ada di bawah kendaliku. Jangan sekali pun mencoba melanggar batas.” Evelyn menatapnya, matanya bergetar tapi bibirnya menolak untuk menyerah. “Saya di sini bukan untuk melanggar batas, Tuan Samudra. Saya di sini karena saya tidak punya pilihan lain.” Samudra terdiam, sorot matanya sulit dibaca. Hanya dentingan jam dinding yang memisahkan keheningan mereka. Akhirnya ia memundurkan kursi rodanya, menoleh sekilas ke arah meja nakas. Tatapannya jatuh pada buku cerita yang ditinggalkan Arka. Senyum dinginnya menghilang, digantikan sesuatu yang lebih rumit, sekejap, sebelum wajahnya kembali tertutup tembok es. “Tidurlah. Besok hari panjang menantimu.” Pintu menutup kembali, meninggalkan Evelyn sendirian dengan degup jantung yang tak kunjung reda. Dan malam itu, ia semakin yakin— kontrak ini bukan hanya tentang uang. Ada rahasia, luka, dan badai besar yang menantinya di balik dinding megah Bumiputera Residence.Langit Moonspire mulai berwarna tembaga saat Evelyn keluar dari ruang kerja ayahnya. Langkahnya cepat, hampir tergesa, seolah ingin melarikan diri dari udara dingin yang menggantung di lantai dua puluh tujuh itu. Begitu pintu lift tertutup, baru ia menyadari bahwa napasnya memburu. Kata-kata Alexander berputar di kepalanya, menghantam tanpa jeda— ‘bertahan untuk tetap hidup dan melahirkan pewaris.’ Pintu lift terbuka. Evelyn menunduk, menahan rasa muak yang berputar di dadanya. Tapi langkahnya terhenti mendadak. Dirga berdiri di ujung lorong. Tanpa jas, hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung. Sorot matanya menatap lurus, tajam, tapi ada kelelahan yang sulit disembunyikan. “Evelyn,” panggilnya pelan. Tubuh Evelyn menegang. Ia baru saja ingin melewati pria itu tanpa bicara, tapi Dirga melangkah mendekat lebih dulu. “Aku cuma ingin bicara. Lima menit saja.” “Tidak perlu,” jawab Evelyn cepat. “Kita sudah membicarakan semuanya pagi tadi. Aku tidak mau mengulang hal yang
Evelyn menegakkan tubuhnya perlahan, meski Dirga masih menahannya di antara dinding dan tubuhnya yang tinggi menjulang. Napasnya berat, tapi sorot matanya tajam. Ia menatap Dirga seperti menatap seseorang yang sudah terlalu jauh melanggar batas. “Sudah cukup, Dirga,” suaranya datar tanpa getaran, tapi ada ketegasan di sana. “Kau tidak berhak menuntut penjelasan apa pun dariku.”Pria itu mengerutkan alisnya, seolah tak percaya dengan keberanian Evelyn. “Tidak berhak?”“Ya,” Evelyn menegaskan. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab kenapa aku menikah dengan Samudra. Hidupku bukan lagi menjadi urusanmu.”Dirga terkekeh pelan, tapi ada nada getir di balik tawanya. “Lucu sekali, Evelyn. Kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini? Kau menikahi Samudra bukan karena cinta, tapi karena alasan lain. Semua orang bisa mencium kepalsuannya.”Evelyn memejamkan mata sejenak, mencoba menahan diri agar tidak terpancing. “Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Tapi satu hal, Dirga—aku
Jam 9 pagi, Evelyn baru keluar dari dalam kamar. Ia tertidur setelah lelah dengan pikirannya sendiri menjelang subuh. “Sarapan sudah siap, Nyonya muda.” Martha si kepala pelayan menyambutnya dengan hangat dan mempersilahkan Evelyn untuk bergabung di meja makan. “Nyonya besar titip salam. Beliau masih ada urusan mendadak pagi ini, jadi tidak bisa datang merayakan hari pertama sarapan bersama Anda sebagai menantu.” Evelyn tersenyum tipis, “Tidak perlu dipaksakan, Martha. Aku tahu kesibukan keluarga Bumiputera tidak ada habisnya. Mungkin lain kali aku dan Ibu Celine harus kencan berdua saja,” lalu ia kembali berjalan menuju ke arah ruang makan. “Nyonya besar pasti akan sangat senang mendengarnya,” jawab Martha dengan senyum penuh kelembutan. Langkah Evelyn perlahan menapaki setiap inci lantai marmer rumah mewah itu. Sebuah rumah yang pantas disebut sebagai istana karena terlalu besar untuk ditinggali beberapa orang saja. “Nyonya muda, kenapa?” panggil Martha setelah Evelyn
Malam semakin larut. Lampu kristal di kamar pengantin sudah diredupkan, menyisakan cahaya temaram yang menimbulkan bayangan panjang di dinding. Samudra melirik tajam pada kedua tangan Evelyn yang terulur ke arahnya. “Untuk apa?” tanya Sam dengan nada ketus. “Saya akan mengganti baju Anda, Tuan.” Evelyn menarik kembali tangannya, ia tidak melanjutkan. “Aku tidak butuh bantuanmu,” tolak Samudra secara terang-terangan. “Saya hanya menjalankan isi kontrak yang telah kita sepakati kemarin, Tuan.” Evelyn tidak ingin disalahkan hanya karena dianggap lalai dalam menjalankan tugas. “Jangan pernah sekali-kali berani menyentuh tubuhku.” Ucapannya setajam belati, membuat Evelyn mundur dari tempatnya. “M-Maaf,” ia mengerti tanpa Samudra harus mengulang untuk kedua kalinya. Evelyn memutuskan untuk mundur dan duduk di ujung ranjang, kedua tangannya saling menggenggam, tubuhnya tegang. Ia melihat Samudra pergi tanpa basa-basi menuju ke arah kamar mandi dengan kursi rodanya. “Huft… pria itu
Hari itu akhirnya tiba. Langit kota Braveheart berwarna kelabu, seakan ikut merayakan sebuah pernikahan yang bukan dilandasi cinta, melainkan kontrak dan ambisi. Di pelataran gedung megah milik keluarga Bumiputera, karpet merah terbentang, lampu kristal berkilauan, dan tamu-tamu berbusana glamor mulai berdatangan. “Kamu nggak ngundang aku, Eve? Sekali seumur hidup, aku ingin jadi bridesmaid di pernikahan kamu.” Percakapan sembunyi-sembunyi itu dilakukan Evelyn lewat telepon seluler untuk memberi kabar pada Ane. “Sekali seumur hidup? Tapi pernikahan ini hanya sebatas—” “Aku nggak mau denger alasan apapun. Aku akan datang, meskipun tanpa undangan.” Ane berhasil memotong kalimat Evelyn. “Ane….” ia mengalah, helaan napasnya terdengar berat. Evelyn tahu, jika tidak ada yang bisa membuat Ane Jesslyn berhenti begitu saja dengan semua ambisinya. Dan pagi ini…. Evelyn berdiri di balik pintu ruang rias, tubuhnya kaku bagai patung. Gaun pengantin putih bertabur payet membalut tubuh
Udara di ruang kerja itu semakin berat, Evelyn bisa merasakan setiap detik yang berjalan seakan menusuk dadanya. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa dirinya bukan sekadar ‘barang’ yang bisa dibeli dengan uang, tapi kata-kata Samudra tadi sudah lebih dulu membungkam lidahnya. “Ekhem,” Martha, sang kepala pelayan, memberi sedikit batuk kecil untuk memecah keheningan. “Tuan Muda, apakah saya perlu menyiapkan ruangan untuk Nona Evelyn?” Samudra melirik sekilas, lalu kembali menatap Evelyn. “Bawa dia ke kamar tamu sebelah timur. Mulai hari ini, dia akan tinggal di sini.” Jantung Evelyn berdegup lebih cepat. ‘Tinggal? Bahkan sebelum ada pernikahan resmi, aku sudah harus menetap di rumah ini? Gila!’ (batinnya). “Tapi… bagaimana dengan—” Evelyn memberanikan diri membuka suara. Tatapan dingin Samudra kembali menghantamnya. “Tidak ada kata ‘tapi’. Mau atau tidak, kau sudah masuk ke dalam kontrak ini. Dan di rumah ini, kau akan belajar aturan.” Evelyn menggigit bibirnya, menaha







