Compartir

4. TAKDIR

Autor: Purple Rain
last update Última actualización: 2025-09-23 21:06:48

Malam semakin larut. Lampu kristal di kamar pengantin sudah diredupkan, menyisakan cahaya temaram yang menimbulkan bayangan panjang di dinding.

Samudra melirik tajam pada kedua tangan Evelyn yang terulur ke arahnya. “Untuk apa?” tanya Sam dengan nada ketus.

“Saya akan mengganti baju Anda, Tuan.” Evelyn menarik kembali tangannya, ia tidak melanjutkan.

“Aku tidak butuh bantuanmu,” tolak Samudra secara terang-terangan.

“Saya hanya menjalankan isi kontrak yang telah kita sepakati kemarin, Tuan.” Evelyn tidak ingin disalahkan hanya karena dianggap lalai dalam menjalankan tugas.

“Jangan pernah sekali-kali berani menyentuh tubuhku.” Ucapannya setajam belati, membuat Evelyn mundur dari tempatnya.

“M-Maaf,” ia mengerti tanpa Samudra harus mengulang untuk kedua kalinya.

Evelyn memutuskan untuk mundur dan duduk di ujung ranjang, kedua tangannya saling menggenggam, tubuhnya tegang.

Ia melihat Samudra pergi tanpa basa-basi menuju ke arah kamar mandi dengan kursi rodanya. “Huft… pria itu, membuat jantungku melompat sepanjang hari.” Lalu Evelyn memegang dadanya dengan kedua tangan, debarnya masih terasa kencang.

Gaun putihnya sudah ia lepas, kini berganti dengan dress tidur sutra yang tetap terasa seperti belenggu. “Awas aja kalau nanti protes soal aku yang nggak becus mengurus pekerjaan. Aku bukan pengemis yang bisa menerima 100 milyar secara cuma-cuma. Uang segitu nggak akan bisa aku dapatkan meskipun kerja siang malam. Butuh waktu bertahun-tahun, itu pun kalau aku bisa.” Gerutu Evelyn dengan bibir cemberut.

Sejak kecil Evelyn sudah dituntut untuk menjadi seorang gadis yang sempurna, baik itu dalam segi pendidikan mau pun urusan pribadinya. Tuan Wijaya tidak segan memarahinya hanya karena Evelyn mendapatkan peringkat kedua, ia akan menghukum putrinya itu dengan cara menonaktifkan kartu kredit atau merampas semua akses media sosialnya. Dan malam ini, ia berakhir di sini bersama pria yang baru dikenalnya.

“Kalau bukan karena terpaksa, nggak bakalan aku masuk ke keluarga Bumiputera. Kalau bukan saran dari Ane, dan juga tekanan dari Bibi Yosephine, aku tidak mau menggadaikan hidupku di sini.” Ia meremas kuat dress tidurnya, meluapkan perasaan jengkel yang belum hilang dari dalam dada.

Evelyn masih teringat penolakan Samudra, bahkan lelaki itu tidak sudi disentuh olehnya. “Apa mungkin dia hanya berpura-pura saat mencari seorang perawat atau istri yang mau mengurusnya?” nampak Evelyn sedang berpikir keras. “Bisa jadi dia bosan dan mencari mainan baru untuk mengusir rasa bosan.” Bibir Evelyn mengerucut dengan kedua alis menukik, kemudian memasang wajah kesal. Suasana hati Evelyn benar-benar buruk.

Ia masih sibuk dengan argumentasinya sendiri saat Samudra keluar dari dalam kamar mandi dengan setelan piyama satin berwarna biru tua. ‘Jangan pernah sekali-kali berani menyentuh tubuhku.’ Kalimat itu terus saja terngiang-ngiang di telinganya.

Samudra masih di kursi rodanya, diam-diam menatap Evelyn. Seperti ada ribuan kata yang ingin ia sampaikan, tapi semuanya tertahan di kerongkongan.

“Oh, Anda sudah selesai, Tuan? Apa perlu saya siapkan sesuatu?” Evelyn turun dari tepi ranjang dan mencoba untuk menyiapkan tempat tidur untuk suaminya, dan sebelum itu ia berbasa-basi sedikit meski Samudra tidak merespon.

Samudra acuh. Ia ingin menunjukkan pada Evelyn, jika dirinya bisa tanpa harus bergantung pada orang lain, lalu Sam berusaha berpegangan di sisi ranjang dan naik ke atas kasur tanpa bantuan, Evelyn.

‘Really? Yang benar saja, terus apa gunanya aku di sini?’ Evelyn melebarkan kedua matanya, kekesalan jelas membuncah di dadanya. Ia ingin berteriak kencang dan menjambak rambut pria menyebalkan itu tanpa ampun.

“Apa kamu akan berdiri di situ saja sepanjang malam?” suara Samudra membuyarkan lamunannya, “Tidurlah!” perintah Sam yang membuat Evelyn sedikit gugup.

“I-Iya, Tuan.” Kemudian Evelyn naik ke atas ranjang dengan sangat hati-hati. Ia mulai merebahkan kepalanya di bantal dengan penuh ketegangan, sudah persis seperti hendak menuju ke medan peperangan saja.

Tangan Sam mengambil sebuah guling dan diletakkan tepat di tengah-tengah mereka sebagai sekat. “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan semua. Yang harus kamu tahu, mulai hari ini kamu bagian dari keluarga Bumiputera. Kamu akan tinggal di sini, kamu akan memakai nama ini, dan kamu akan menjaga anak itu, Arka— seperti jiwamu sendiri.”

Nama Arka disebut. Hati Evelyn langsung melembut, meski bibirnya menahan banyak pertanyaan. “Baik, Tuan.”

Samudra memejamkan mata, “Bagus.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya, seolah pembicaraan mereka selesai. “Satu hal yang harus kau ingat.” Suaranya memecah keheningan yang dipaksakan.

Evelyn menoleh perlahan pada pria bertampang dingin di sampingnya.

“Jauhi Dirga!” ucapnya tegas, bahkan terdengar seperti suara ancaman. Untuk kedua kalinya dalam satu hari, ia mendapatkan peringatan itu.

Kedua netra mereka saling memandang, seakan mengukur jarak yang tidak bertepi.

“Aku tidak main-main dalam masalah ini dan aku tidak akan mengulangi perintah yang sama.” Suaranya terdengar dingin, dalam, dan penuh tekanan.

Evelyn tidak menjawab saat beberapa detik berlalu tanpa suara, akhirnya ia berbaring membelakangi Samudra. Ia sudah mendengar kalimat larangan itu sejak siang tadi, di mana Samudra memberi peringatan jelas yang tidak boleh dilanggar.

“Yang sopan sama suami,” ia terdengar merengek seperti seorang bayi kala Evelyn mengacuhkannya.

Evelyn pun terpaksa menoleh, “Baik, Tuan.” Jawabnya dengan enggan.

“Jangan terlalu formal. Jika orang lain mendengar, mereka pasti membicarakan pernikahan ‘terpaksa’ ini.”

Evelyn menyimak tanpa berani menyela. Ditatapnya pria angkuh dengan seribu misteri itu dengan perasaan campur aduk.

“Panggil aku dengan sebutan Mas saja, tidak perlu menggunakan kata Tuan lagi. Yang ada orang-orang akan berpikir kalau kamu itu bukan istriku."

Mata Evelyn terbuka lebar, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pria itu, meminta padanya untuk dipanggil dengan sebutan ‘Mas.’

“Kenapa? Keberatan?” selidik Samudra dengan sorot mata menakutkan.

“Ah, tidak, Tuan. Emh… t-tidak… Mas.” Ia gugup, Evelyn bingung bahkan ia tidak tahu harus bersikap seperti apa saat ini. Senangkah? Atau ini hanya siasat Samudra agar dirinya merasa diterima? Sepertinya Evelyn tidak harus terburu-buru untuk itu.

“Ingat itu baik-baik,” lalu Sam memejamkan matanya, ia kembali tenggelam dalam dunianya sendiri yang terlihat suram.

Evelyn menghela napas panjang. Ia berusaha untuk tidur, rasa kantuk itu mendadak pergi meski tubuhnya teramat sangat lelah. ‘Apes kamu, Eve. Rupanya kamu masuk ke dalam perangkap’ (kata Evelyn dalam hatinya).

Sementara itu, di sisi lain kota. Dirga menatap foto pernikahan yang sudah beredar cepat di media sosial. Dalam laman tersebut mengunggah sebuah artikel bertajuk, “AKHIRNYA PERNIKAHAN KEDUA CEO BUMIPUTERA DIRAYAKAN.”

Ia duduk sendirian di kursi bar megah, segelas whiskey berputar di tangannya. Senyumnya samar, entah getir entah penuh rencana, bahkan ia menolak kehadiran beberapa perempuan yang menawarkan jasa kencan dengannya.

“Evelyn…” gumamnya pelan. “Aku tidak menyangka kita bisa bertemu kembali. Waktunya memang tidak tepat, tapi ini yang dinamakan dengan takdir bukan?”

Dan malam itu, takdir perlahan menenun benangnya sendiri. Sebuah kontrak yang dingin, dua saudara kembar yang terikat dendam, dan seorang perempuan yang terjebak di tengah pusaran badai.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Pengantin Untuk Tuan Lumpuh    7. PERSEKONGKOLAN DI BALIK BAYANGAN LAMA

    Langit Moonspire mulai berwarna tembaga saat Evelyn keluar dari ruang kerja ayahnya. Langkahnya cepat, hampir tergesa, seolah ingin melarikan diri dari udara dingin yang menggantung di lantai dua puluh tujuh itu. Begitu pintu lift tertutup, baru ia menyadari bahwa napasnya memburu. Kata-kata Alexander berputar di kepalanya, menghantam tanpa jeda— ‘bertahan untuk tetap hidup dan melahirkan pewaris.’ Pintu lift terbuka. Evelyn menunduk, menahan rasa muak yang berputar di dadanya. Tapi langkahnya terhenti mendadak. Dirga berdiri di ujung lorong. Tanpa jas, hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung. Sorot matanya menatap lurus, tajam, tapi ada kelelahan yang sulit disembunyikan. “Evelyn,” panggilnya pelan. Tubuh Evelyn menegang. Ia baru saja ingin melewati pria itu tanpa bicara, tapi Dirga melangkah mendekat lebih dulu. “Aku cuma ingin bicara. Lima menit saja.” “Tidak perlu,” jawab Evelyn cepat. “Kita sudah membicarakan semuanya pagi tadi. Aku tidak mau mengulang hal yang

  • Pengantin Untuk Tuan Lumpuh    6. HANYA SEBATAS ORANG ASING

    Evelyn menegakkan tubuhnya perlahan, meski Dirga masih menahannya di antara dinding dan tubuhnya yang tinggi menjulang. Napasnya berat, tapi sorot matanya tajam. Ia menatap Dirga seperti menatap seseorang yang sudah terlalu jauh melanggar batas. “Sudah cukup, Dirga,” suaranya datar tanpa getaran, tapi ada ketegasan di sana. “Kau tidak berhak menuntut penjelasan apa pun dariku.”Pria itu mengerutkan alisnya, seolah tak percaya dengan keberanian Evelyn. “Tidak berhak?”“Ya,” Evelyn menegaskan. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab kenapa aku menikah dengan Samudra. Hidupku bukan lagi menjadi urusanmu.”Dirga terkekeh pelan, tapi ada nada getir di balik tawanya. “Lucu sekali, Evelyn. Kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini? Kau menikahi Samudra bukan karena cinta, tapi karena alasan lain. Semua orang bisa mencium kepalsuannya.”Evelyn memejamkan mata sejenak, mencoba menahan diri agar tidak terpancing. “Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Tapi satu hal, Dirga—aku

  • Pengantin Untuk Tuan Lumpuh    5. PENYESALAN DIRGA

    Jam 9 pagi, Evelyn baru keluar dari dalam kamar. Ia tertidur setelah lelah dengan pikirannya sendiri menjelang subuh. “Sarapan sudah siap, Nyonya muda.” Martha si kepala pelayan menyambutnya dengan hangat dan mempersilahkan Evelyn untuk bergabung di meja makan. “Nyonya besar titip salam. Beliau masih ada urusan mendadak pagi ini, jadi tidak bisa datang merayakan hari pertama sarapan bersama Anda sebagai menantu.” Evelyn tersenyum tipis, “Tidak perlu dipaksakan, Martha. Aku tahu kesibukan keluarga Bumiputera tidak ada habisnya. Mungkin lain kali aku dan Ibu Celine harus kencan berdua saja,” lalu ia kembali berjalan menuju ke arah ruang makan. “Nyonya besar pasti akan sangat senang mendengarnya,” jawab Martha dengan senyum penuh kelembutan. Langkah Evelyn perlahan menapaki setiap inci lantai marmer rumah mewah itu. Sebuah rumah yang pantas disebut sebagai istana karena terlalu besar untuk ditinggali beberapa orang saja. “Nyonya muda, kenapa?” panggil Martha setelah Evelyn

  • Pengantin Untuk Tuan Lumpuh    4. TAKDIR

    Malam semakin larut. Lampu kristal di kamar pengantin sudah diredupkan, menyisakan cahaya temaram yang menimbulkan bayangan panjang di dinding. Samudra melirik tajam pada kedua tangan Evelyn yang terulur ke arahnya. “Untuk apa?” tanya Sam dengan nada ketus. “Saya akan mengganti baju Anda, Tuan.” Evelyn menarik kembali tangannya, ia tidak melanjutkan. “Aku tidak butuh bantuanmu,” tolak Samudra secara terang-terangan. “Saya hanya menjalankan isi kontrak yang telah kita sepakati kemarin, Tuan.” Evelyn tidak ingin disalahkan hanya karena dianggap lalai dalam menjalankan tugas. “Jangan pernah sekali-kali berani menyentuh tubuhku.” Ucapannya setajam belati, membuat Evelyn mundur dari tempatnya. “M-Maaf,” ia mengerti tanpa Samudra harus mengulang untuk kedua kalinya. Evelyn memutuskan untuk mundur dan duduk di ujung ranjang, kedua tangannya saling menggenggam, tubuhnya tegang. Ia melihat Samudra pergi tanpa basa-basi menuju ke arah kamar mandi dengan kursi rodanya. “Huft… pria itu

  • Pengantin Untuk Tuan Lumpuh    3. HARI PERNIKAHAN

    Hari itu akhirnya tiba. Langit kota Braveheart berwarna kelabu, seakan ikut merayakan sebuah pernikahan yang bukan dilandasi cinta, melainkan kontrak dan ambisi. Di pelataran gedung megah milik keluarga Bumiputera, karpet merah terbentang, lampu kristal berkilauan, dan tamu-tamu berbusana glamor mulai berdatangan. “Kamu nggak ngundang aku, Eve? Sekali seumur hidup, aku ingin jadi bridesmaid di pernikahan kamu.” Percakapan sembunyi-sembunyi itu dilakukan Evelyn lewat telepon seluler untuk memberi kabar pada Ane. “Sekali seumur hidup? Tapi pernikahan ini hanya sebatas—” “Aku nggak mau denger alasan apapun. Aku akan datang, meskipun tanpa undangan.” Ane berhasil memotong kalimat Evelyn. “Ane….” ia mengalah, helaan napasnya terdengar berat. Evelyn tahu, jika tidak ada yang bisa membuat Ane Jesslyn berhenti begitu saja dengan semua ambisinya. Dan pagi ini…. Evelyn berdiri di balik pintu ruang rias, tubuhnya kaku bagai patung. Gaun pengantin putih bertabur payet membalut tubuh

  • Pengantin Untuk Tuan Lumpuh    2. SANGKAR EMAS

    Udara di ruang kerja itu semakin berat, Evelyn bisa merasakan setiap detik yang berjalan seakan menusuk dadanya. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa dirinya bukan sekadar ‘barang’ yang bisa dibeli dengan uang, tapi kata-kata Samudra tadi sudah lebih dulu membungkam lidahnya. “Ekhem,” Martha, sang kepala pelayan, memberi sedikit batuk kecil untuk memecah keheningan. “Tuan Muda, apakah saya perlu menyiapkan ruangan untuk Nona Evelyn?” Samudra melirik sekilas, lalu kembali menatap Evelyn. “Bawa dia ke kamar tamu sebelah timur. Mulai hari ini, dia akan tinggal di sini.” Jantung Evelyn berdegup lebih cepat. ‘Tinggal? Bahkan sebelum ada pernikahan resmi, aku sudah harus menetap di rumah ini? Gila!’ (batinnya). “Tapi… bagaimana dengan—” Evelyn memberanikan diri membuka suara. Tatapan dingin Samudra kembali menghantamnya. “Tidak ada kata ‘tapi’. Mau atau tidak, kau sudah masuk ke dalam kontrak ini. Dan di rumah ini, kau akan belajar aturan.” Evelyn menggigit bibirnya, menaha

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status