LOGINHari itu akhirnya tiba.
Langit kota Braveheart berwarna kelabu, seakan ikut merayakan sebuah pernikahan yang bukan dilandasi cinta, melainkan kontrak dan ambisi. Di pelataran gedung megah milik keluarga Bumiputera, karpet merah terbentang, lampu kristal berkilauan, dan tamu-tamu berbusana glamor mulai berdatangan. “Kamu nggak ngundang aku, Eve? Sekali seumur hidup, aku ingin jadi bridesmaid di pernikahan kamu.” Percakapan sembunyi-sembunyi itu dilakukan Evelyn lewat telepon seluler untuk memberi kabar pada Ane. “Sekali seumur hidup? Tapi pernikahan ini hanya sebatas—” “Aku nggak mau denger alasan apapun. Aku akan datang, meskipun tanpa undangan.” Ane berhasil memotong kalimat Evelyn. “Ane….” ia mengalah, helaan napasnya terdengar berat. Evelyn tahu, jika tidak ada yang bisa membuat Ane Jesslyn berhenti begitu saja dengan semua ambisinya. Dan pagi ini…. Evelyn berdiri di balik pintu ruang rias, tubuhnya kaku bagai patung. Gaun pengantin putih bertabur payet membalut tubuhnya indah, tapi di matanya, gaun itu tak lebih dari rantai emas yang mengikat. Jemarinya gemetar ketika Martha membantu menata veil panjang yang menjuntai hingga lantai. “Jangan terlalu banyak berpikir, Nona,” bisik Martha lembut, seperti mencoba menenangkan. “Hari ini adalah hari baru di hidup Anda.” ‘Hari baru? Untuk memulai hidup di penjara,’ (batin Evelyn getir). Cermin besar di hadapannya memantulkan wajahnya sendiri—pucat, mata sedikit sembab karena malam tanpa tidur. Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu terasa asing bahkan bagi dirinya sendiri. Pintu terbuka, dan Arka berlari masuk, bocah kecil itu mengenakan setelan rapi dengan dasi kupu-kupu hitam. “Mamaaa!” serunya girang, matanya berbinar. Evelyn tertegun. Anak itu menghampirinya dengan langkah riang, lalu menggenggam tangannya erat. “Cantik sekali… seperti bidadari.” Air matanya hampir menetes, tapi Evelyn cepat mengedip, menahannya. Ia berjongkok, merapikan dasi Arka. “Kamu juga tampan sekali, Nak. Benar-benar gentleman kecil.” Arka terkekeh bangga, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Evelyn, berbisik polos, “Aku senang sekali punya mama. Nanti jangan tinggalin aku, ya.” Kata-kata sederhana itu menghujam Evelyn lebih dalam daripada apa pun. Ia hanya bisa mengangguk, meski hatinya remuk. ~~~ Di aula megah, Samudra sudah menunggu. Ia duduk di kursi roda, tubuh tegak dengan jas hitam yang sempurna terjahit mengikuti postur kaku miliknya. Wajahnya dingin tanpa ekspresi, tapi tatapan matanya tajam mengawasi setiap langkah Evelyn yang akhirnya masuk, digandeng oleh Martha menuju pelaminan. ‘Dia… kenapa mirip sekali dengan Lily?’ (ucapnya dalam hati). Bisikan tamu-tamu terdengar lirih. Ada decak kagum, ada pula cibiran terselubung. “Siapa perempuan itu?” “Katanya bukan dari kalangan kita, tapi berhasil masuk ke dalam keluarga Bumiputera.” “Ah, uang bisa membeli apa saja.” Setiap kata menusuk telinga Evelyn, tapi ia tetap melangkah. Dadanya terasa sesak, tapi genggaman kecil Arka di tangannya memberi kekuatan. Tatapan Evelyn dan Samudra bertemu di ujung altar. Mata pria itu menyiratkan satu pesan yang tak diucapkan: ‘jangan lupa kontrak ini, Evelyn.’ Upacara berlangsung. Kata-kata penghulu terucap lantang, janji-janji sakral yang seharusnya lahir dari cinta malah bergema kaku. “Saling menjaga, pada waktu susah maupun senang hingga maut memisahkan kita." Samudra mengucapkannya dengan suara datar namun mantap. Semua tamu bersorak lega. Lalu giliran Evelyn menerima cincin, jemarinya bergetar ketika Samudra menyelipkan cincin berlian dingin di jari manisnya. Cincin yang berkilau indah, tapi terasa lebih berat daripada beban hidup yang pernah ia tanggung. “Dengan ini, kalian sah sebagai suami istri.” Sorak, tepuk tangan, kilatan kamera, bergema dan saling berebut posisi untuk memeriahkan pernikahan sakral hari ini. Namun di hati Evelyn, bukan kebahagiaan yang ia rasakan, melainkan sebuah kekosongan yang dalam. Setelah acara resmi usai, Evelyn duduk di pelaminan, senyum dipaksakan untuk tamu yang datang menyalami. Di sampingnya, Samudra tetap dengan wajah tanpa celah, dingin dan tak tersentuh. “Aku ucapkan selamat untuk pernikahan kalian berdua,” seorang pria, berwajah sama dengan Samudera menghampirinya di atas pelaminan. Hampir tidak ada perbedaan di antara keduanya, hanya saja Samudra memiliki jambang tipis yang membuatnya terlihat sedikit lebih dewasa. Degh…! Senyum yang semula dibuat-buat oleh Evelyn mendadak pupus. Di hadapannya telah berdiri seorang pemuda yang pernah dikenalnya di Therondia. “Dia kakakku, itu berarti kamu telah menjadi kakak iparku. Selamat datang di keluarga Bumiputera.” Ia melanjutkan kalimatnya dengan pembawaan tenang. “Aku Dirgantara, panggil saja, Dirga. Kami kembar identik, jadi aku harap kakak ipar tidak salah orang nantinya.” “Dirga, hentikan!” geram Samudra dengan sorot mata tajam, ia tidak suka dengan sikap tengil adiknya ini. “Santai aja, Sam. Aku tahu diri kok, mana mungkin aku menggoda perempuan yang sudah menjadi istri orang?” Dirga tersenyum manis, kemudian melirik sekilas ke arah Evelyn yang masih membeku tak percaya. Tiba-tiba Arka datang membawa bunga kecil yang ia petik dari taman belakang. Bocah itu menyerahkannya kepada Evelyn dengan senyum terkembang. “Untuk Mama.” Seketika, Evelyn merasa semua keributan kecil yang terjadi menghilang. Hanya Arka dan senyum polosnya yang terlihat nyata. Ia meraih bunga itu, menunduk untuk mencium keningnya. Air mata nyaris jatuh, tapi ia tahan. “Makasih Sayang,” ucapnya untuk mencairkan suasana. Saat bocah kecil itu menoleh, senyumnya kembali terkembang. “Hai, Paman. Kapan Paman datang?” lalu Arka menyapa senang ketika melihat Dirga hadir di antara mereka. “Baru saja. Arga mau nemenin Paman ambil jus jeruk di sana?” Dirga, pria humble itu bertolak belakang dengan watak Sam yang terlalu dingin dan kejam. Tanganya terulur, tulus. “Mauuu…” bocah kecil itu melonjak kegirangan, kemudian meraih tangan Dirga dan menggandengnya ke salah satu sudut aula untuk mengambil minuman. Dirga merasa, otaknya terlalu mendidih, ia perlu sesuatu yang dingin untuk menyiram bara itu. Samudra menyadari momen yang baru terjadi di depan matanya. Rahangnya mengeras, sorot matanya beralih cepat dari Dirga ke Evelyn. Ada sesuatu yang melintas— bukan sekadar perkenalan singkat, tapi juga sesuatu yang tersembunyi. “Hai, hai, hai... selamat pengantin baru…” Ane datang sesuai janjinya. “Ane....” lirih Evelyn hampir tidak terdengar. “Boleh pinjam sebentar istrinya, Tuan?” Samudra hanya mengangguk, tanpa perlu menjawab. "Makasih, Tuan..." tanpa takut sedikitpun Ane menarik paksa tangan Evelyn dan berhasil membawanya pergi dari sisi Samudra. “Sudah gila kamu,” hadik Evelyn sambil mengangkat gaun pengantinnya. “Memangnya ada yang salah? Aku hadir sebagai sahabat pengantin. Kamu satu-satunya keluargaku, mana mungkin aku melewatkan momen sepenting ini.” “Iya, tapi nanti kalau dia tanya tentang kamu gimana?” Evelyn memijat pelipisnya, dunia terasa berputar seketika. Kehadiran Dirga, Ane, semua tidak pernah disangka-sangka. “Kenapa sih? Apa ada masalah?” selidik Ane, ia mengambil satu gelas minuman beralkohol rendah kemudian menyesapnya. Evelyn terdiam sejenak, ia mengangkat wajahnya yang terlihat lelah. “Pria itu,” ucapnya menggantung, membuat Ane mengernyitkan dahinya. “Pria itu? Siapa yang kamu maksud, Evelyn?” “Ternyata mereka kembar.” Kata Evelyn semakin membuat Ane tidak mengerti. “Kamu ngomong apaan sih?” Evelyn menghembuskan napas perlahan, “An, Samudra dan Dirgantara. Mereka adalah saudara kembar,” “What?! Dirga?” mata Ane membola. “Iya. Kamu masih ingat kan pria yang aku ceritakan waktu itu? Dia adalah Dirga, dan dia datang di pernikahan ini.” Wajah Evelyn terlihat menegang, begitu pula dengan. "Pria romantis itu?" Ane memastikan. Evelyn mengangguk pelan, "Iya," jawab Evelyn cepat. "Dan aku terpaksa menikah dengan Samudra, seperti membeli kucing dalam karung." Evelyn menarik napas dalam-dalam, lalu dihembuskan perlahan. "Dia duda dan telah memiliki seorang anak... laki-laki." Lanjutnya dengan gurat penuh tekanan. Lalu… “Oh… my… God.” Gumamnya tanpa disadari. Malam hari, setelah semua tamu pulang dan aula menjadi sepi, Evelyn berdiri di balkon kamarnya dengan gaun pengantin yang masih melekat. Angin malam berembus, membawa bau bunga lilac yang sama. Suara roda kursi berderit terdengar. Samudra muncul di ambang pintu, menatap Evelyn dari kejauhan. “Sekarang kamu resmi menjadi istriku.” Suaranya dingin, tapi terdengar lebih berat dari biasanya. Evelyn menggenggam pagar balkon erat, matanya menerawang. “Resmi... istri di atas kertas,” monolog Evelyn sebelum berbalik ke arah Samudra. Samudra mendekat perlahan. Wajahnya tetap dingin, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang samar— campuran amarah, kelelahan, dan luka lama yang tak pernah disembuhkan. “Jangan bermain dengan api, Evelyn,” katanya tegas. “Aku sudah peringatkan, kontrak ini bukan tentang perasaan. Jangan pernah biarkan hatimu terikat, apalagi lewat Arka atau—.” Evelyn menoleh, tatapannya tajam, “Atau… apa?” dengan penuh keberanian yang baru tumbuh ia mencoba untuk bertanya. “Saya tidak berani melakukan hal itu, bagaimana pun, Anda sudah menyelamatkan keluarga saya. Terima kasih….” Samudra acuh tentang ketulusan yang diucapkan Evelyn kepadanya. “Jauhi Dirga! Aku tidak suka kamu dekat dengannya.” “Tuan Dirga? Bukankah dia adalah adik Anda, Tuan?” kedua alis Evelyn menukik tajam. “Dia pria berengsek. Aku tidak mau sifat berengseknya menular dan mengkontaminasi pernikahan kita,” tatapan Samudra begitu mengintimidasi di balik kursi rodanya. ‘Berengsek? Kontaminasi? Ngomong apaan sih dia?’ (tanya Evelyn dalam hati). Keheningan jatuh. Hanya suara detak jam tua yang menemani malam pernikahan mereka— malam yang bukan awal kebahagiaan, melainkan pintu menuju badai yang lebih besar.Langit Moonspire mulai berwarna tembaga saat Evelyn keluar dari ruang kerja ayahnya. Langkahnya cepat, hampir tergesa, seolah ingin melarikan diri dari udara dingin yang menggantung di lantai dua puluh tujuh itu. Begitu pintu lift tertutup, baru ia menyadari bahwa napasnya memburu. Kata-kata Alexander berputar di kepalanya, menghantam tanpa jeda— ‘bertahan untuk tetap hidup dan melahirkan pewaris.’ Pintu lift terbuka. Evelyn menunduk, menahan rasa muak yang berputar di dadanya. Tapi langkahnya terhenti mendadak. Dirga berdiri di ujung lorong. Tanpa jas, hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung. Sorot matanya menatap lurus, tajam, tapi ada kelelahan yang sulit disembunyikan. “Evelyn,” panggilnya pelan. Tubuh Evelyn menegang. Ia baru saja ingin melewati pria itu tanpa bicara, tapi Dirga melangkah mendekat lebih dulu. “Aku cuma ingin bicara. Lima menit saja.” “Tidak perlu,” jawab Evelyn cepat. “Kita sudah membicarakan semuanya pagi tadi. Aku tidak mau mengulang hal yang
Evelyn menegakkan tubuhnya perlahan, meski Dirga masih menahannya di antara dinding dan tubuhnya yang tinggi menjulang. Napasnya berat, tapi sorot matanya tajam. Ia menatap Dirga seperti menatap seseorang yang sudah terlalu jauh melanggar batas. “Sudah cukup, Dirga,” suaranya datar tanpa getaran, tapi ada ketegasan di sana. “Kau tidak berhak menuntut penjelasan apa pun dariku.”Pria itu mengerutkan alisnya, seolah tak percaya dengan keberanian Evelyn. “Tidak berhak?”“Ya,” Evelyn menegaskan. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab kenapa aku menikah dengan Samudra. Hidupku bukan lagi menjadi urusanmu.”Dirga terkekeh pelan, tapi ada nada getir di balik tawanya. “Lucu sekali, Evelyn. Kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini? Kau menikahi Samudra bukan karena cinta, tapi karena alasan lain. Semua orang bisa mencium kepalsuannya.”Evelyn memejamkan mata sejenak, mencoba menahan diri agar tidak terpancing. “Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Tapi satu hal, Dirga—aku
Jam 9 pagi, Evelyn baru keluar dari dalam kamar. Ia tertidur setelah lelah dengan pikirannya sendiri menjelang subuh. “Sarapan sudah siap, Nyonya muda.” Martha si kepala pelayan menyambutnya dengan hangat dan mempersilahkan Evelyn untuk bergabung di meja makan. “Nyonya besar titip salam. Beliau masih ada urusan mendadak pagi ini, jadi tidak bisa datang merayakan hari pertama sarapan bersama Anda sebagai menantu.” Evelyn tersenyum tipis, “Tidak perlu dipaksakan, Martha. Aku tahu kesibukan keluarga Bumiputera tidak ada habisnya. Mungkin lain kali aku dan Ibu Celine harus kencan berdua saja,” lalu ia kembali berjalan menuju ke arah ruang makan. “Nyonya besar pasti akan sangat senang mendengarnya,” jawab Martha dengan senyum penuh kelembutan. Langkah Evelyn perlahan menapaki setiap inci lantai marmer rumah mewah itu. Sebuah rumah yang pantas disebut sebagai istana karena terlalu besar untuk ditinggali beberapa orang saja. “Nyonya muda, kenapa?” panggil Martha setelah Evelyn
Malam semakin larut. Lampu kristal di kamar pengantin sudah diredupkan, menyisakan cahaya temaram yang menimbulkan bayangan panjang di dinding. Samudra melirik tajam pada kedua tangan Evelyn yang terulur ke arahnya. “Untuk apa?” tanya Sam dengan nada ketus. “Saya akan mengganti baju Anda, Tuan.” Evelyn menarik kembali tangannya, ia tidak melanjutkan. “Aku tidak butuh bantuanmu,” tolak Samudra secara terang-terangan. “Saya hanya menjalankan isi kontrak yang telah kita sepakati kemarin, Tuan.” Evelyn tidak ingin disalahkan hanya karena dianggap lalai dalam menjalankan tugas. “Jangan pernah sekali-kali berani menyentuh tubuhku.” Ucapannya setajam belati, membuat Evelyn mundur dari tempatnya. “M-Maaf,” ia mengerti tanpa Samudra harus mengulang untuk kedua kalinya. Evelyn memutuskan untuk mundur dan duduk di ujung ranjang, kedua tangannya saling menggenggam, tubuhnya tegang. Ia melihat Samudra pergi tanpa basa-basi menuju ke arah kamar mandi dengan kursi rodanya. “Huft… pria itu
Hari itu akhirnya tiba. Langit kota Braveheart berwarna kelabu, seakan ikut merayakan sebuah pernikahan yang bukan dilandasi cinta, melainkan kontrak dan ambisi. Di pelataran gedung megah milik keluarga Bumiputera, karpet merah terbentang, lampu kristal berkilauan, dan tamu-tamu berbusana glamor mulai berdatangan. “Kamu nggak ngundang aku, Eve? Sekali seumur hidup, aku ingin jadi bridesmaid di pernikahan kamu.” Percakapan sembunyi-sembunyi itu dilakukan Evelyn lewat telepon seluler untuk memberi kabar pada Ane. “Sekali seumur hidup? Tapi pernikahan ini hanya sebatas—” “Aku nggak mau denger alasan apapun. Aku akan datang, meskipun tanpa undangan.” Ane berhasil memotong kalimat Evelyn. “Ane….” ia mengalah, helaan napasnya terdengar berat. Evelyn tahu, jika tidak ada yang bisa membuat Ane Jesslyn berhenti begitu saja dengan semua ambisinya. Dan pagi ini…. Evelyn berdiri di balik pintu ruang rias, tubuhnya kaku bagai patung. Gaun pengantin putih bertabur payet membalut tubuh
Udara di ruang kerja itu semakin berat, Evelyn bisa merasakan setiap detik yang berjalan seakan menusuk dadanya. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa dirinya bukan sekadar ‘barang’ yang bisa dibeli dengan uang, tapi kata-kata Samudra tadi sudah lebih dulu membungkam lidahnya. “Ekhem,” Martha, sang kepala pelayan, memberi sedikit batuk kecil untuk memecah keheningan. “Tuan Muda, apakah saya perlu menyiapkan ruangan untuk Nona Evelyn?” Samudra melirik sekilas, lalu kembali menatap Evelyn. “Bawa dia ke kamar tamu sebelah timur. Mulai hari ini, dia akan tinggal di sini.” Jantung Evelyn berdegup lebih cepat. ‘Tinggal? Bahkan sebelum ada pernikahan resmi, aku sudah harus menetap di rumah ini? Gila!’ (batinnya). “Tapi… bagaimana dengan—” Evelyn memberanikan diri membuka suara. Tatapan dingin Samudra kembali menghantamnya. “Tidak ada kata ‘tapi’. Mau atau tidak, kau sudah masuk ke dalam kontrak ini. Dan di rumah ini, kau akan belajar aturan.” Evelyn menggigit bibirnya, menaha







