LOGINJam 9 pagi, Evelyn baru keluar dari dalam kamar. Ia tertidur setelah lelah dengan pikirannya sendiri menjelang subuh.
“Sarapan sudah siap, Nyonya muda.” Martha si kepala pelayan menyambutnya dengan hangat dan mempersilahkan Evelyn untuk bergabung di meja makan. “Nyonya besar titip salam. Beliau masih ada urusan mendadak pagi ini, jadi tidak bisa datang merayakan hari pertama sarapan bersama Anda sebagai menantu.” Evelyn tersenyum tipis, “Tidak perlu dipaksakan, Martha. Aku tahu kesibukan keluarga Bumiputera tidak ada habisnya. Mungkin lain kali aku dan Ibu Celine harus kencan berdua saja,” lalu ia kembali berjalan menuju ke arah ruang makan. “Nyonya besar pasti akan sangat senang mendengarnya,” jawab Martha dengan senyum penuh kelembutan. Langkah Evelyn perlahan menapaki setiap inci lantai marmer rumah mewah itu. Sebuah rumah yang pantas disebut sebagai istana karena terlalu besar untuk ditinggali beberapa orang saja. “Nyonya muda, kenapa?” panggil Martha setelah Evelyn menghentikan langkahnya tiba-tiba. “Tidak apa-apa, Nyonya.” Martha meyakinkan Evelyn, ia tahu apa yang membuatnya ragu melanjutkan langkahnya. Seseorang di sudut meja makan itu, terlihat menyeramkan dengan tatapan tajam tertuju padanya. “Mama…!” seru Arka yang menghampirinya, wajah cerianya membuat Evelyn melupakan ketegangan yang ada. “Ayo, Ma! Kita sarapan bersama,” tarik Arka saat Evelyn masih membeku. Bocah laki-laki itu terlihat ceria saat melihat ‘mama barunya’ masih bertahan di kediaman keluarga Bumiputera hingga pagi ini. Evelyn menoleh pada Martha yang mengangguk kecil saat kedua mata mereka bertemu. “Apa boleh, Martha? Dia tidak marah 'kan?” bisik Evelyn seperti meminta sebuah masukan. “Tuan sudah menunggu Anda sejak tadi. Jangan menyia-nyiakan kesempatan ini, Nyonya muda. Tarik napas dalam-dalam, hembusan perlahan… nanti Nyonya akan terbiasa dengan pemandangan seperti ini.” Di atas meja panjang telah tertata rapi beberapa hidangan, semua menu nampak menggugah selera. Sontak membuat rasa lapar Evelyn semakin terasa, maklum saja sejak pesta kemarin perutnya hanya terisi jus jeruk saja. Ia mengikuti saran Martha, “Huft….” dihembuskannya napas panjang untuk memulai hari di meja makan bersama suami dan anak tirinya. Evelyn duduk bersebrangan dengan Arka, sedangkan Samudra duduk di tengah-tengah mereka, menghadap meja makan yang menghidangkan beberapa menu sarapan pagi. “Selamat pagi,” sapa Evelyn mencoba untuk mencairkan suasana yang terasa kaku. Namun pria di sampingnya itu tidak membalas, seolah-olah Evelyn tidak terlihat di matanya. Samudra lebih sibuk mengangkat cangkirnya, menikmati aroma kopi pagi yang menurutnya lebih menarik dari apapun. “Pagi Mama….” Arka menarik senyumannya, sangat manis. Evelyn tersenyum tipis. “Pagi Sayang,” lalu ia mengambil satu slice roti tawar, mengoleskan selai coklat di atasnya dan meletakkan roti itu di atas piring Arka. “Terima kasih, Ma!” seru Arka ceria, langsung menyambar roti cokelat yang sudah dioleskan Evelyn. Bocah itu tersenyum tulus, setidaknya ada satu hati di rumah ini yang menerima keberadaannya tanpa syarat. “Sama-sama, Arka Sayang….” Evelyn tersenyum sekilas, kemudian menunduk kembali. Ia pura-pura sibuk dengan roti di tangannya, Evelyn bisa merasakan tatapan dari arah samping— dingin, menusuk, seperti pengingat bahwa dirinya hanyalah ‘tamu baru’ di rumah ini. Namun, suasana kembali hening ketika Samudra meletakkan cangkir kopinya di meja dengan bunyi ting yang terdengar lebih nyaring dari seharusnya. Evelyn menegakkan tubuhnya, bersiap dengan kemungkinan komentar pedas atau tatapan acuh yang biasa ia dapat. “Apa kamu terbiasa bangun siang, Nyonya muda?” suara Samudra akhirnya terdengar. Nada datarnya sulit ditebak. Hingga Evelyn berpikir keras, apakah pria itu hanya sekadar bertanya, atau menyelipkan sindiran. Evelyn mengangkat kepalanya perlahan. Ia tidak ingin terjebak dalam permainan kata, meski hatinya sedikit berdesir oleh kalimat itu. “Tadi malam aku kurang tidur, jadi agak terlambat. Maaf Mas….” jawab Evelyn lembut, matanya sesaat bertemu dengan pria itu sebelum kembali tertuju ke piringnya. Samudra tidak menanggapi lagi, hanya meraih sendok dan mulai menyendok bubur ayam yang sudah disiapkan. Diamnya pria itu justru lebih menekan daripada sebuah kalimat panjang. “Papa…” suara Arka kembali mencairkan suasana. “Mama kalau bikin roti enak, ya? Besok Mama bisa bikinin Arka bekal sekolah juga, kan?” Evelyn terdiam sejenak, menoleh pada Arka, lalu refleks melirik Samudra yang masih tenang dengan makanannya. Bibirnya hampir mengeluarkan kata ‘ya’, tapi ia memilih menahan. Ia tahu jawaban apapun bisa jadi bumerang. Arka menatapnya penuh harap. “Boleh kan, Pa?” tanyanya polos, kali ini ditujukan langsung pada Samudra. Samudra menghentikan gerakan sendoknya, menatap Evelyn sekilas— tatapan singkat, dingin, namun penuh pesan tersembunyi. Lalu ia kembali fokus ke buburnya, menjawab tanpa intonasi, “Tanyakan sendiri pada Mamamu.” Arka pun bersorak gembira, seakan sudah mendapat restu. Ia menoleh kembali pada Evelyn dengan senyum lebar. “Yeay! Mama, nanti bikinin yaaa… Arka suka roti isi cokelat kayak tadi.” Evelyn mengangguk pelan, bibirnya tersungging senyum tipis. “Tentu, sayang.” “Selamat pagi….” Belum selesai drama ketegangan di meja makan, tiba-tiba seseorang datang tanpa permisi. Semua orang menoleh ke asal suara, pria berparas sama dengan Samudera berjalan santai menuju salah satu kursi yang kosong. “Maaf kalau aku mengganggu harmonisnya keluarga baru kalian, tapi aku sangat lapar. Boleh kan numpang sarapan di sini?” lalu Dirga mengambil dua lembar roti dan mengoleskan madu di atasnya. “Aku sangat suka madu… manis….” tanpa sungkan ia mengedipkan sebelah matanya ke arah Evelyn saat pandangan mereka saling bertemu, perempuan itu pun terbatuk, tersedak minumannya sendiri. “Pelan-pelan Kakak ipar, tidak ada yang merebut makananmu.” Kata Dirga sambil mengangkat garpu dalam genggamannya, tenang dan terkesan biasa saja. Brak…! “Aku selesai,” telapak tangan kanan Samudra menggebrak meja. Tidak terlalu keras, namun suaranya mampu membuat jantung seisi rumah melompat. “Mas sudah selesai….?” buru-buru Evelyn menyelesaikan makannya, ia berdiri dan menghampiri Samudra yang mulai meninggalkan meja makan dengan kursi rodanya. “Tak perlu repot-repot ngantar aku, urus saja urusanmu sendiri." Samudra menjawab ala kadarnya, ia tidak membalas tatapan Evelyn yang terlihat cemas. “Mas mau ke mana?” Evelyn hendak mendorong kursi rodanya, namun lagi-lagi ia mendapatkan penolakan. “Telinga kamu masih bisa mendengar dengan baik ‘kan? Nggak denger apa yang aku bilang tadi?” matanya melotot penuh kebencian, lalu pergi meninggalkan Evelyn tanpa senyuman. Evelyn mundur selangkah ke belakang, ia meremas rok berbahan lace selutut yang dikenakannya. “Mama… anterin Arka ke atas, yuk! Hari ini Arka masih libur nggak sekolah, Arka mau main sepuasnya.” Guncangan di tangannya mencairkan suasana kembali, senyum ceria Arka mampu meruntuhkan egonya yang bisa meledak kapan saja. “Oh, iya, Sayang….” Evelyn terkesiap, buru-buru ia menstabilkan perasaannya yang bercampur-campur. “Nanti mama temenin, ya. Habis gini mama mau pergi sebentar. Kalau ada apa-apa Arka minta bantuan sama Bibi Martha, okey?" “Okey, Ma.” Arka mengangguk kecil tanda mengerti, lalu menggandeng tangan Evelyn dengan erat. Sepuluh menit kemudian Evelyn turun dari lantai dua. Ia hendak mengambil tas miliknya di dalam kamar, rencananya hari ini Evelyn akan pergi ke kantor milik ayahnya sebentar, ada sesuatu yang harus ia urus di sana setelah menerima mahar cukup fantastis dari Samudera. “Eh, aduh!” saat Evelyn akan berbelok setelah turun dari anak tangga terakhir, sebuah tangan menariknya tanpa permisi. “Kamu,” kata Evelyn saat tahu siapa pelakunya. Punggungnya membentur tembok saat Dirga menghempaskannya dengan kasar. “Lepasin aku!” ia memberontak, namun tubuhnya dikunci rapat oleh Dirga. “Kenapa kamu nikah sama dia?” suara Dirga terdengar rendah, dalam, seperti sebuah ancaman. “Memangnya kenapa?” Evelyn berhenti bergerak, ia menatap tak mengerti. “Kamu bukan siapa-siapa aku, kenapa sok ngatur segala?” lanjutnya dengan dahi mengeryit samar. Dirgantara— pria itu menatapnya tajam, seperti hendak menelannya bulat-bulat. “Tahu begini kemarin saat di Therondia aku ambil saja keperawananmu agar kamu menjadi milikku utuh.” “Dirga! Jaga ucapanmu,” pekik Evelyn tertahan, matanya membulat karena marah. “Apa, Sayang?” Dirga bersikap tenang. “Nyesel aku cuma cium kamu waktu itu kalau tahu endingnya seperti ini. Menyebalkan bukan?” smirknya terlihat sangat menyeramkan, membuat Evelyn membeku.Explicit!Rate: 21+Harap bijak dalam memilih bacaan.🍁🍁🍁Samudra merasakan getaran halus dalam tubuh Evelyn saat wanita itu mengucapkan "Aku sudah memilihmu." Itu bukan hanya kata-kata—itu adalah sebuah deklarasi yang menyakitkan, sebuah penarikan garis tegas antara masa lalu yang dirindukan dan masa depan yang dipilih. Itu adalah tanda bahwa ia akhirnya membiarkan Dirga pergi.“Bagaimana kalau kita bersenang-senang di sini? Biarkan mereka pesta di bawah tanpa kita,”Evelyn tersenyum manis, “Bilang aja kalau Mas mau dienakin,” canda Evelyn sambil menyentil ujung hidung Samudra.“Mas yang akan enakin kamu. Gimana, hem… masih bisa terjaga, satu atau dua jam ke depan?” bisiknya menggoda.“Ah! Masss… nakal, ih!” gigitan kecil di bagian telinganya membuat Evelyn memekik kecil.Kelembutan yang diberikan Samudra hanyalah pendahuluan. Saat ia memeluk Evelyn dari belakang, tangannya yang besar dan hangat menangkup perut Evelyn yang membuncit, ia tidak hanya memberikan kenyamanan; ia mene
Koridor panjang itu diselimuti kehangatan temaram dari lampu dinding bergaya klasik, jauh berbeda dengan kilau kristal yang membutakan di ruang pesta. Bagi Evelyn, koridor ini terasa seperti batas antara dua dunia: dunia gemerlap yang menuntut senyuman palsu dan dunia sunyi tempat ia bisa menjadi dirinya sendiri, seorang wanita hamil yang lelah dan berduka.Martha berjalan mendampinginya, langkahnya pelan dan penuh perhatian."Nyonya muda, apakah Anda membutuhkan teh hangat? Atau mungkin saya siapkan kompres untuk kaki Anda?" bisik Martha, nadanya dipenuhi keibuan yang tulus. Kepala pelayan itu sudah lama melayani keluarga Bumiputera dan telah menyaksikan setiap babak dalam kehidupan anak kembar itu—termasuk kisah cinta rahasia yang berakhir dengan perpisahan yang menyakitkan.Evelyn menggeleng perlahan. "Terima kasih, Martha. Aku hanya ingin istirahat lebih cepat malam ini.”Saat mereka mencapai tangga besar menuju kamar tidur, Evelyn berhenti sebentar. Ia menoleh ke belakang, k
Sorak sorai dan ucapan selamat membanjiri Dirga dan Queen Aurora. Lampu kristal di langit-langit seakan ikut berkilauan merayakan pengumuman bahagia tersebut.Samudra tertawa lepas, menepuk bahu adiknya kembarnya dengan rasa bangga. "Dirga! Ini berita yang luar biasa! Selamat! Queen, selamat datang di keluarga besar Bumiputera! Kami harus segera merencanakan pesta besar-besaran untuk kalian!"Queen tersenyum anggun, memeluk Samudra singkat, lalu beralih menyalami Tuan Bumiputera dan Nyonya Celine yang terlihat sangat gembira. “Selamat ya, Sayang. Kamu… sangat cantik.” Puji Celine pada calon menantunya.Evelyn menatap adegan itu, merasa seolah ia sedang mengamati drama di panggung yang jauh. Tidak ada air mata, tidak ada tarikan napas kaget, hanya keheningan di tengah keramaian.Ia mengarahkan matanya ke Dirga.Dirga membalas tatapannya. Matanya yang tajam dan dewasa kini diselimuti oleh lapisan pelindung, tetapi Evelyn bisa melihat, di sudut terdalamnya, ada penyesalan yang tert
Di Braveheart, Evelyn terbangun dari tidur singkat. Ia merasa lebih kuat. Ia berjalan menuju jendela dan melihat keindahan taman yang terawat.Terdengar ketukan di pintu."Masuk," katanya, suaranya mantap.Pintu terbuka, dan Samudra masuk. Tatapannya dingin, namun ada keraguan yang tersembunyi di matanya."Hai," sapanya, nadanya terdengar canggung.Evelyn berbalik, menatapnya lurus. Di hadapannya, ia melihat pria yang harus ia coba cintai. Pria yang akan menjadi ayah dari anaknya."Hai," jawab Evelyn. Ia berdiam di tempat, menyentuh perutnya yang masih rata.Samudra terdiam. Ia hanya melihat perubahan dalam diri Evelyn yang begitu rapuh.”Mas, aku—”“Aku tahu. Semua perempuan akan melakukan hal yang sama, jika ada di posisimu.”Samudra melangkah mendekat, tangannya terangkat, menyentuh pergelangan tangan Evelyn dengan lembut."Mulai sekarang, aku akan menjagamu," bisik Samudra.🍁🍁🍁Delapan bulan kemudian di kediaman Bumiputera.Waktu terasa berjalan dengan kecepatan gan
Dirga berjalan menyusuri jalanan yang ramai, namun hatinya terasa sunyi. Langkahnya tidak lagi tergesa-gesa; tidak ada lagi misi yang mendesak, hanya penerimaan yang berat. Ia menolehkan kepala sedikit, memastikan siluet mobil Louis telah sepenuhnya menghilang. Hanya ketika ia yakin Evelyn sudah cukup jauh, barulah ia menghela napas panjang, menghembuskan seluruh beban yang selama ini ia pikul. Ia meraih ponselnya, mencari sebuah nama. Ia tahu, setelah semua drama ini, ia harus menghadapi konsekuensi yang lebih besar dari sekadar perpisahan. "Halo, Louis?" Suaranya terdengar datar, kembali ke nada formal yang efisien. "Ya, Dirga. Kami sudah di jalan raya utama, sebentar lagi akan sampai di Braveheart," jawab Louis dari seberang, nadanya penuh rasa hormat. "Evelyn baik-baik saja, dia sudah mulai tenang." "Bagus," kata Dirga. "Tolong. Tetap awasi dia sampai benar-benar aman di sana. Pastikan tidak ada satu pun orang Samudra yang tahu tentang pertemuan kita," Dirga melirik k
Dirga menyelesaikan pengepakan dengan cepat, mengemas kenangan sekaligus harapan. Gerakannya tenang, efisien, seolah-olah dia sedang menjalankan sebuah misi penting yang hanya bisa dilakukan olehnya.Ketika ia menutup resleting koper terakhir, ruangan itu kembali diselimuti keheningan yang kini terasa berbeda—bukan lagi karena ketegangan, melainkan karena penerimaan yang dalam dan menyakitkan.Dirga berbalik, meraih kedua koper itu dengan satu tangan, sementara tangan kirinya yang terluka sedikit gemetar menahan beban. Ia berjalan menuju Evelyn yang masih berdiri di tepi sofa, menatapnya dengan mata yang dipenuhi lapisan kaca."Semuanya sudah siap," katanya, suaranya mantap namun penuh kelembutan. "Louis menunggu di bawah. Dia akan mengantarmu dengan aman."Evelyn melangkah mendekat, tanpa sadar menyentuh punggung tangannya sendiri yang tadi menahan luka Dirga."Ga," panggilnya, suaranya lebih stabil sekarang, "Katanya kamu sendiri yang anter aku...""Sudah diurus, Eve. Jangan k







