LOGINEvelyn menegakkan tubuhnya perlahan, meski Dirga masih menahannya di antara dinding dan tubuhnya yang tinggi menjulang.
Napasnya berat, tapi sorot matanya tajam. Ia menatap Dirga seperti menatap seseorang yang sudah terlalu jauh melanggar batas. “Sudah cukup, Dirga,” suaranya datar tanpa getaran, tapi ada ketegasan di sana. “Kau tidak berhak menuntut penjelasan apa pun dariku.” Pria itu mengerutkan alisnya, seolah tak percaya dengan keberanian Evelyn. “Tidak berhak?” “Ya,” Evelyn menegaskan. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab kenapa aku menikah dengan Samudra. Hidupku bukan lagi menjadi urusanmu.” Dirga terkekeh pelan, tapi ada nada getir di balik tawanya. “Lucu sekali, Evelyn. Kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini? Kau menikahi Samudra bukan karena cinta, tapi karena alasan lain. Semua orang bisa mencium kepalsuannya.” Evelyn memejamkan mata sejenak, mencoba menahan diri agar tidak terpancing. “Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Tapi satu hal, Dirga—aku tidak butuh pengakuan darimu, apalagi belas kasihan darimu.” “Belas kasihan?” Dirga mendekat sedikit, jarak di antara mereka hanya sehelai napas. “Jadi menurutmu aku kasihan padamu? Evelyn, aku—” “Cukup.” Evelyn menepis dada Dirga keras-keras hingga pria itu mundur selangkah. Tangannya sedikit bergetar, tapi ekspresinya tetap tegas. “Apa pun yang terjadi di masa lalu kita, biarlah di sana. Jangan campur adukkan masa lalu itu dengan hidup kita yang sekarang.” Dirga menatapnya lama. Tatapan yang semula penuh api, kini berganti dengan sesuatu yang lebih gelap—kecewa, tapi juga penyesalan yang tak diakui. “Kau berubah,” katanya lirih. “Kau bukan Evelyn yang dulu aku kenal di Therondia.” Evelyn menatap balik tanpa gentar. “Yang kamu kenal di sana adalah Evelyn yang belum belajar bertahan hidup. Dan sekarang… sekarang yang kamu lihat adalah Evelyn— Evelyn yang sudah tahu bagaimana caranya untuk bisa melakukan itu semua.” Keheningan turun sejenak. Hanya terdengar suara detik jam dari ruang tamu dan desir angin yang menyelinap lewat jendela besar di koridor. Dirga menunduk, menyeringai tipis, tapi kali ini tak ada nada menggoda. “Aku masih tidak percaya, Evelyn. Tapi cepat atau lambat, jika Samudra membuatmu menderita, kau tahu harus mencari siapa.” Evelyn menarik napas panjang, lalu menatapnya dingin. “Kamu menyumpahiku? Kalau pun hari itu datang, jangan terlalu yakin aku akan melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya.” “Bukan gitu, Eve—” Ia melangkah pergi, menyingkirkan tangan Dirga yang sempat mencoba menahan pergelangan tangannya. “Jangan menghalangiku, Dirga. Anggap saja sekarang kita adalah orang asing yang tidak saling mengenal.” “Evelyn….” lirihnya belum puas dengan hasil mediasi yang tidak pernah ada jawabnya. Wangi parfum lembutnya tertinggal di udara, kontras dengan hawa panas di dada Dirga yang kini menatap punggung perempuan itu menghilang di tikungan. ••• Kantor pusat Epsilon Group berdiri megah di tengah jantung Moonspire, dinding kacanya memantulkan cahaya matahari yang mulai meninggi. “Huft….” dengusnya sebelum masuk ke gedung berlantai 30 di depannya. Setiap kali Evelyn menatap bangunan itu, ada sensasi getir di dadanya. Ia tumbuh besar di gedung ini—melihat ayahnya membangun kerajaan bisnis dari nol, hingga akhirnya menjadi salah satu konglomerat paling disegani di negeri ini. Namun hari ini, langkah Evelyn terasa berat. Ia melangkah masuk melewati lobby yang sepi, menatap lambang “Epsilon Group” yang tertempel di dinding marmer hitam. “Selamat pagi, Nyonya Samudra,” sapa resepsionis dengan sopan. Evelyn hanya tersenyum tipis. “Pagi, Monica.” Gelar itu masih terdengar asing di telinganya. Ia naik ke lantai 27, tempat ruang kerja Alexander Wijaya, ayah sekaligus sosok yang diam-diam menyeretnya ke dalam pusaran keluarga Bumiputera. Pintu kaca terbuka otomatis, memperlihatkan sosok pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di pelipis. Alexander sedang menatap layar monitor, wajahnya serius seperti biasa. “Ayah,” sapa Evelyn pelan. Alexander menoleh, senyumnya tipis namun lelah. “Akhirnya kamu datang juga. Duduk, Nak.” Evelyn menuruti, menaruh tasnya di samping kursi. “Ayah terlihat sangat sehat.” Evelyn menelisik Alexander dari atas sampai bawah, tidak ada yang aneh atau kurang sedikitpun. “Ayah bilang suruh aku datang, ada apa?” lanjutnya. Alexander menatap putrinya lama, lalu melepaskan napas berat. “Tiba-tiba saja ayah merasa segar bugar, Eve. Oh ya, apa mereka menerima kamu dengan baik di sana?” Evelyn hanya mengangguk, tanpa ekspresi. “Kalau maksud Papa ingin menanyakan apakah kami baik-baik saja, jawabannya— ya, tentu saja. Tapi aku tidak pernah menyangka, jika Ayah peduli tentang itu.” “Evelyn, Sayang…” suara Alexander terdengar rendah tapi tegas. “Apa kamu berpikir, kalau selama ini ayah dan Bibi Josephine menyerahkan kamu pada keluarga Bumiputera? Ayah tidak sekejam itu Eve, meskipun keadaan tidak berpihak pada kita. Ayah tidak akan melakukan hal licik itu.” Evelyn menatapnya tajam. “Keadaan? Menyerahkan? Kenapa Ayah bisa berpikir sejauh itu padahal aku tidak pernah menyinggung soal apapun?” Alexander terdiam sesaat. Sorot matanya bergeser, menatap jendela besar di belakang meja kerjanya. “Kau pikir Ayah rela melihatmu menikah dengan pria cacat yang dingin seperti es kutub Utara itu? Tidak, Evelyn. Tapi kalau bukan kamu, seluruh perusahaan ini akan jatuh ke tangan keluarga Bumiputera. Dan kamu tahu, mereka bukan orang yang bisa diajak main-main.” Evelyn memalingkan wajah. Ia sudah menduga, tapi mendengar langsung dari mulut ayahnya membuat hatinya kembali retak. “Jadi selama ini Ayah sudah mengaturnya? Aku cuma sebagai alat kompensasi untuk menutup perjanjian bisnis?” Alexander menatap putrinya, kali ini dengan raut menua. “Kadang, yang bisa kita lakukan hanyalah bertahan. Samudra mungkin terlihat keras, tapi dia satu-satunya pewaris sah keluarga Bumiputera setelah tragedi dua tahun lalu. Dengan menikahinya, kamu bukan hanya menyelamatkan Epsilon Group… kamu juga melindungi nyawamu sendiri.” Evelyn mendongak cepat. “Apa maksud Ayah? Aku terbang jauh-jauh ke Therondia hanya untuk mendapatkan investor. Banyak yang telah aku lakukan untuk perusahaan ini, tapi Ayah tega menukarku dengan cara gila begini, Ayah tega menghancurkan masa depan dan mimpi-mimpiku? Ck....” Alexander diam. Jemarinya mengetuk meja perlahan. “Kau ingat kecelakaan yang menewaskan almarhum Pak Bram, ayah Samudra dan Dirga?” “Ya, tentu saja.” Jawab Evelyn singkat, masih dengan nada kesal. “Tidak ada yang tahu siapa dalang di baliknya, tapi Ayah tahu satu hal... Samudra tidak mempercayai siapa pun, bahkan saudara kembarnya sendiri.” Nama itu membuat Evelyn menegang. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan ekspresi gugupnya. “Ayah ingin kau berhati-hati,” lanjut Alexander. “Kamu harus bisa bertahan di rumah itu untuk tetap hidup dan melahirkan seorang pewaris. Mereka berdua memiliki ambisi besar, Eve. Dan kamu harus berdiri di belakang suamimu untuk mendapatkan itu semua.” Sunyi. Hanya terdengar suara jam dinding berdetak pelan. Evelyn menggenggam jemarinya sendiri di pangkuan. “Ayah… apa yang sedang Ayah rencanakan saat ini?” Alexander tidak langsung menjawab. Ia berdiri, berjalan ke arah Evelyn yang duduk di sofa tamu. “Kita adalah satu tim, Evelyn. Kamu tahu kan tugas tim itu harus melakukan apa?” Evelyn membeku. Di saat kekhawatiran yang ia takutkan tentang kondisi sang ayah, ketika Alexander harus mendapatkan transplantasi jantung baru. Evelyn dikejutkan dengan kenyataan-kenyataan yang tidak pernah diduga sebelumnya.Langit Moonspire mulai berwarna tembaga saat Evelyn keluar dari ruang kerja ayahnya. Langkahnya cepat, hampir tergesa, seolah ingin melarikan diri dari udara dingin yang menggantung di lantai dua puluh tujuh itu. Begitu pintu lift tertutup, baru ia menyadari bahwa napasnya memburu. Kata-kata Alexander berputar di kepalanya, menghantam tanpa jeda— ‘bertahan untuk tetap hidup dan melahirkan pewaris.’ Pintu lift terbuka. Evelyn menunduk, menahan rasa muak yang berputar di dadanya. Tapi langkahnya terhenti mendadak. Dirga berdiri di ujung lorong. Tanpa jas, hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung. Sorot matanya menatap lurus, tajam, tapi ada kelelahan yang sulit disembunyikan. “Evelyn,” panggilnya pelan. Tubuh Evelyn menegang. Ia baru saja ingin melewati pria itu tanpa bicara, tapi Dirga melangkah mendekat lebih dulu. “Aku cuma ingin bicara. Lima menit saja.” “Tidak perlu,” jawab Evelyn cepat. “Kita sudah membicarakan semuanya pagi tadi. Aku tidak mau mengulang hal yang
Evelyn menegakkan tubuhnya perlahan, meski Dirga masih menahannya di antara dinding dan tubuhnya yang tinggi menjulang. Napasnya berat, tapi sorot matanya tajam. Ia menatap Dirga seperti menatap seseorang yang sudah terlalu jauh melanggar batas. “Sudah cukup, Dirga,” suaranya datar tanpa getaran, tapi ada ketegasan di sana. “Kau tidak berhak menuntut penjelasan apa pun dariku.”Pria itu mengerutkan alisnya, seolah tak percaya dengan keberanian Evelyn. “Tidak berhak?”“Ya,” Evelyn menegaskan. “Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab kenapa aku menikah dengan Samudra. Hidupku bukan lagi menjadi urusanmu.”Dirga terkekeh pelan, tapi ada nada getir di balik tawanya. “Lucu sekali, Evelyn. Kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini? Kau menikahi Samudra bukan karena cinta, tapi karena alasan lain. Semua orang bisa mencium kepalsuannya.”Evelyn memejamkan mata sejenak, mencoba menahan diri agar tidak terpancing. “Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Tapi satu hal, Dirga—aku
Jam 9 pagi, Evelyn baru keluar dari dalam kamar. Ia tertidur setelah lelah dengan pikirannya sendiri menjelang subuh. “Sarapan sudah siap, Nyonya muda.” Martha si kepala pelayan menyambutnya dengan hangat dan mempersilahkan Evelyn untuk bergabung di meja makan. “Nyonya besar titip salam. Beliau masih ada urusan mendadak pagi ini, jadi tidak bisa datang merayakan hari pertama sarapan bersama Anda sebagai menantu.” Evelyn tersenyum tipis, “Tidak perlu dipaksakan, Martha. Aku tahu kesibukan keluarga Bumiputera tidak ada habisnya. Mungkin lain kali aku dan Ibu Celine harus kencan berdua saja,” lalu ia kembali berjalan menuju ke arah ruang makan. “Nyonya besar pasti akan sangat senang mendengarnya,” jawab Martha dengan senyum penuh kelembutan. Langkah Evelyn perlahan menapaki setiap inci lantai marmer rumah mewah itu. Sebuah rumah yang pantas disebut sebagai istana karena terlalu besar untuk ditinggali beberapa orang saja. “Nyonya muda, kenapa?” panggil Martha setelah Evelyn
Malam semakin larut. Lampu kristal di kamar pengantin sudah diredupkan, menyisakan cahaya temaram yang menimbulkan bayangan panjang di dinding. Samudra melirik tajam pada kedua tangan Evelyn yang terulur ke arahnya. “Untuk apa?” tanya Sam dengan nada ketus. “Saya akan mengganti baju Anda, Tuan.” Evelyn menarik kembali tangannya, ia tidak melanjutkan. “Aku tidak butuh bantuanmu,” tolak Samudra secara terang-terangan. “Saya hanya menjalankan isi kontrak yang telah kita sepakati kemarin, Tuan.” Evelyn tidak ingin disalahkan hanya karena dianggap lalai dalam menjalankan tugas. “Jangan pernah sekali-kali berani menyentuh tubuhku.” Ucapannya setajam belati, membuat Evelyn mundur dari tempatnya. “M-Maaf,” ia mengerti tanpa Samudra harus mengulang untuk kedua kalinya. Evelyn memutuskan untuk mundur dan duduk di ujung ranjang, kedua tangannya saling menggenggam, tubuhnya tegang. Ia melihat Samudra pergi tanpa basa-basi menuju ke arah kamar mandi dengan kursi rodanya. “Huft… pria itu
Hari itu akhirnya tiba. Langit kota Braveheart berwarna kelabu, seakan ikut merayakan sebuah pernikahan yang bukan dilandasi cinta, melainkan kontrak dan ambisi. Di pelataran gedung megah milik keluarga Bumiputera, karpet merah terbentang, lampu kristal berkilauan, dan tamu-tamu berbusana glamor mulai berdatangan. “Kamu nggak ngundang aku, Eve? Sekali seumur hidup, aku ingin jadi bridesmaid di pernikahan kamu.” Percakapan sembunyi-sembunyi itu dilakukan Evelyn lewat telepon seluler untuk memberi kabar pada Ane. “Sekali seumur hidup? Tapi pernikahan ini hanya sebatas—” “Aku nggak mau denger alasan apapun. Aku akan datang, meskipun tanpa undangan.” Ane berhasil memotong kalimat Evelyn. “Ane….” ia mengalah, helaan napasnya terdengar berat. Evelyn tahu, jika tidak ada yang bisa membuat Ane Jesslyn berhenti begitu saja dengan semua ambisinya. Dan pagi ini…. Evelyn berdiri di balik pintu ruang rias, tubuhnya kaku bagai patung. Gaun pengantin putih bertabur payet membalut tubuh
Udara di ruang kerja itu semakin berat, Evelyn bisa merasakan setiap detik yang berjalan seakan menusuk dadanya. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa dirinya bukan sekadar ‘barang’ yang bisa dibeli dengan uang, tapi kata-kata Samudra tadi sudah lebih dulu membungkam lidahnya. “Ekhem,” Martha, sang kepala pelayan, memberi sedikit batuk kecil untuk memecah keheningan. “Tuan Muda, apakah saya perlu menyiapkan ruangan untuk Nona Evelyn?” Samudra melirik sekilas, lalu kembali menatap Evelyn. “Bawa dia ke kamar tamu sebelah timur. Mulai hari ini, dia akan tinggal di sini.” Jantung Evelyn berdegup lebih cepat. ‘Tinggal? Bahkan sebelum ada pernikahan resmi, aku sudah harus menetap di rumah ini? Gila!’ (batinnya). “Tapi… bagaimana dengan—” Evelyn memberanikan diri membuka suara. Tatapan dingin Samudra kembali menghantamnya. “Tidak ada kata ‘tapi’. Mau atau tidak, kau sudah masuk ke dalam kontrak ini. Dan di rumah ini, kau akan belajar aturan.” Evelyn menggigit bibirnya, menaha







