LOGINArden Kaeswara berhenti tepat di depan Aruna. Tubuhnya yang menjulang memancarkan bahaya dan otoritas.
“Benteng?” tanya Aruna, sama sekali tidak gentar. Ia mencengkerang sapu tangan berinisial 'L' itu erat-erat. “Kau menyebut Kaeswara Estate ini benteng? Aku pikir ini cuma rumah besar yang butuh perbaikan saluran air, Tuan. Apa yang kau sembunyikan di bentengmu sampai harus dibayar dengan utang darah keluargaku?”
“Berikan itu padaku,” perintah Arden, suaranya lebih rendah, hampir menggeram. Matanya menatap sapu tangan sutra di tangan Aruna. “Sekarang. Jangan membuat dirimu semakin tidak berguna.”
Aruna menggeleng, mempertahankan kontak mata. “Tidak. Ini adalah kompensasi kedua yang aku dapatkan malam ini. Aku baru menyadari bahwa ‘Pembunuh’ ini ternyata sangat sentimental. Siapa pemilik sapu tangan ini, Tuan? Hantu yang main piano?”
Arden meraih pergelangan tangan Aruna. Cengkeramannya kuat, tetapi terkontrol, peringatan yang dingin.
“Kau sudah membaca Aturan Emas,” kata Arden, dingin. “Butir 3. Jangan pernah bicara tentang Layla.”
“Butir 5 juga ada, Tuan. Harga Kebebasan,” balas Aruna, meskipun jantungnya berdebar. “Sapu tangan ini adalah negosiasi. Aku akan memberikannya, asalkan kau menjawab satu pertanyaan: mengapa Layla harus dilindungi seperti tawanan di Sayap Kiri?”
Arden menatapnya lama, matanya menyipit. Setelah keheningan yang panjang, ia melepaskan pergelangan tangan Aruna. Itu adalah tanda kekalahan kecil.
“Layla sakit, Aruna. Dan Rendra, saudara tirimu akan menggunakan kelemahan itu untuk menghancurkan Kaeswara. Sayap Kiri adalah tempat dia aman. Dan kau… kau adalah tameng yang kubeli untuk memastikan Rendra tidak punya alasan lagi untuk mengusik Kaeswara.”
Aruna merasakan shock yang menusuk. Bukan Pembunuh. Penjaga Pagar.
“Jadi, aku dibeli sebagai pembersih masalah? Terima kasih atas promosi dadakannya, Tuan,” cibir Aruna, meskipun nada sinisnya menutupi rasa lega dan simpati yang baru muncul.
Ia menyerahkan sapu tangan itu. “Aku akan menjadi tamengmu. Tapi tameng ini perlu informasi. Dan aku akan menagih bonus bahaya.”
Arden mengambil sapu tangan itu. Ia menyimpannya di saku dalam jubahnya dengan hati-hati yang menyakitkan.
“Informasi apa lagi yang kau butuhkan? Kau sudah tahu rahasia Sayap Kiri, kau sudah tahu statusmu, dan kau sudah tahu Aturan Emas,” kata Arden.
Tepat saat itu, pintu kamar diketuk dua kali, pelan namun tegas.
“Masuk,” perintah Arden.
Pintu terbuka, dan di sana berdiri Reyna, kepala pelayan yang ditakuti Aruna, menatap Aruna dengan penghinaan murni.
“Sarapan sudah siap, Tuan Kaeswara,” kata Reyna, suaranya beku. Kemudian, ia menoleh ke Aruna. “Dan saya harap Nyonya Aruna sudah mempelajari tata krama dasar. Kami tidak terbiasa dengan drama pagi hari.”
Astaga. Si tukang kritik ini. Dia pasti mendengar percakapan kami.
Aruna segera memaksakan senyum yang manis. “Aku baru saja selesai menerima instruksi dari Tuan Kaeswara, Reyna,” balas Aruna santai. “Aku yakin suamiku menganggap instruksinya lebih penting daripada tata krama pagi hari.”
Reyna mengatupkan bibirnya yang tipis. Ia menatap Aruna dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Saya hanya berharap kedatangan Anda di sini adalah murni karena kewajiban, Nyonya,” kata Reyna, suaranya turun menjadi bisikan menusuk. “Bukan karena hasrat kotor untuk menguasai Kaeswara. Kami tahu persis siapa yang mengirim Anda.”
Tubuh Aruna menegang. Tuduhan langsung: Mata-mata Rendra.
“Kau menuduh istriku sebagai mata-mata, Reyna?” tanya Arden, suaranya kini mengandung ancaman nyata.
Reyna tidak gentar. “Saya menuduh dia sebagai adik tiri dari seorang pria yang berulang kali mencoba menjatuhkan keluarga ini, Tuan. Dan yang juga kebetulan adalah adik tiri dari mendiang Nyonya Layla.”
“Saya di sini karena saya dijual, Reyna. Sama seperti Layla yang hampir dijual sebelum dia...sakit,” Aruna melontarkan kebenaran itu, menatap Reyna dengan simpati tersembunyi.
Arden segera maju, meletakkan tangan yang berat di bahu Aruna—peringatan yang dingin.
“Nona Nirmala baru saja menjadi istriku,” kata Arden kepada Reyna, penuh otoritas. “Hutang Rendra lunas dengan kedatangannya. Kau tidak perlu khawatir. Sekarang, Reyna. Sarapan.”
Reyna membungkuk kaku. "Baik, Tuan Kaeswara. Saya permisi." Ia keluar, menutup pintu dengan pelan, terlalu pelan.
Arden melepaskan bahu Aruna. “Kau melanggar aturan lagi,” desisnya. “Jangan sebut kondisinya di depan siapa pun. Reyna adalah loyalitas Kaeswara, tetapi dia juga titik lemah kita.”
“Aku hanya membela diri, Tuan Penjaga Pagar,” balas Aruna, mengusap bahunya. “Aku sudah memutuskan. Aku akan mengikuti Butir 5. Satu tahun kebebasan. Aku akan melawan Rendra, bukan demi Kaeswara, tapi demi kebebasanku.”
Arden menghela napas, tampak lelah. Ia mengambil Aturan Emas yang terlipat dan menyerahkannya kepada Aruna.
“Hafalkan itu. Terutama Butir 4. Sayap Kiri adalah inti pertahanan ini. Jangan melanggarnya, atau kau akan kehilangan segalanya, termasuk kebebasanmu,” katanya.
Aruna mengambil kertas itu, merasakan kekuatannya kembali. “Aku mengerti. Aku adalah kompensasi dan tameng. Aku akan melakukan tugasku. Tapi jangan harap aku akan berhenti mencari tahu segala sesuatu di benteng ini. Aku punya waktu setahun. Aku akan menggunakan setiap detik. Dan aku akan memenangkan kebebasan itu.”
Arden menatapnya tajam. “Itu yang kuinginkan.”
Ia berbalik dan berjalan menuju pintu.
“Aku akan menunggumu di ruang makan. Jangan terlambat,” katanya.
Aruna menatap pintu yang tertutup. Ia kini memegang Aturan Emas. Ia tahu Arden bukan Pembunuh. Ia adalah seorang pria yang terbebani oleh cinta lama dan intrik keluarga. Dan sekarang, Aruna adalah pion dalam permainannya.
Ternyata Pembunuh ini lebih ke drama queen yang menyembunyikan istrinya. Baiklah, aku akan menjadi ratu drama sinis yang menyelamatkan suami dan hantu. Sayap Kiri. Aku datang
“Kau sudah tahu, Tuan Kaeswara? Rendra datang. Dia menggunakan utangku yang sudah lunas sebagai senjata baru. Dia bilang, status Layla sekarang adalah utang yang bisa digandakan tiga kali lipat jika aku tidak bekerja sama.”Aruna mengucapkan kata kata itu begitu menutup pintu ruang kerja Arden. Ini adalah rapat darurat, dan Aruna ingin memastikan Arden tahu bahwa taruhannya kini jauh lebih tinggi, melibatkan kebebasan Aruna sendiri.Arden berdiri di dekat jendela, berbalik. Wajahnya keras namun menunjukkan kekhawatiran yang tidak dapat disembunyikan.“Aku tahu. Aku menerima pesanmu,” jawab Arden, suaranya rendah dan tajam. Merujuk pada pesan tertulis yang disampaikan Elise sebelumnya. “Aku tahu dia tidak akan diam. Tapi aku tidak menduga dia akan secepat ini menggunakanmu.”“Dia memaksaku menjadi mata-matanya, mencari kelemahan di Sayap Kiri, dan membuktikan Layla masih hidup dan tidak kompeten,” je
“Oh, pesta apa ini? Aku kira rumah ini melarang tamu yang tidak diundang, terutama tamu yang baunya seperti tagihan utang berjalan.”Aruna mengucapkan dialog hook itu begitu melihat Rendra dan Ibu Ratna di ruang tamu. Ia harus mengendalikan dirinya; Rendra adalah ancaman nyata bagi jaminan kebebasannya.Rendra tertawa kecil, suara serak yang menjengkelkan. “Selamat pagi, Aruna. Kami datang untuk melihat keadaanmu. Apakah suamimu memperlakukanmu dengan baik?”“Aku baik-baik saja, terima kasih. Bahkan jauh lebih baik setelah aku yakin tidak ada ‘tamu’ yang akan menjualku lagi,” jawab Aruna, duduk di sofa, mempertahankan sikap santai. “Lupakan basa-basi drama. Katakan saja apa yang kalian inginkan. Ini rumah Arden, bukan balai pertemuan keluarga Nirmala.”Ibu Ratna segera memasang wajah sedih. “Nak, Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Rendra memberitahu Ibu, kamu bekerja sangat keras di sini…”“Aku tidak ‘bekerja’, Ibu. Aku adalah aset. Aset yang dibeli dengan utang Ayah. Fokus pada bisnis, bu
“Aku melihat lumpur itu sudah bersih, Tuan Kaeswara. Tapi aku rasa ini bukan pekerjaan satu kali. Pagar besi itu akan selalu punya lubang jika ada yang terus menerus mencoba memanjatnya dari dalam.”Aruna membuka pembicaraan, menyerang langsung pada inti masalah Layla, seolah-olah ia sedang membahas laporan risiko perusahaan, bukan istri pertama Arden yang mencoba melarikan diri. Ia menyentuh garpu di tangannya, matanya terpaku pada Arden yang sedang mendongak dari piringnya. Keheningan yang biasanya terasa mematikan kini terasa personal dan penuh ketegangan strategis.“Aku sudah menanganinya. Seperti yang aku bilang,” jawab Arden, nadanya datar, namun ketegangan di rahangnya jelas terlihat. "Aku sudah menjamin tidak akan ada lagi insiden seperti itu."“Kau menanganinya dengan baik secara fisik. Tapi secara strategis? Itu kegagalan,” kritik Aruna. “Kau hanya menutupi jejak, bukan menyelesaikan motif. Kau punya tameng mahal di sini, yang sudah kau beli dengan lunas. Kau tahu aku bukan
“Aku menemukan noda lumpur yang mencurigakan di tangga utama, Tuan Kaeswara. Aku curiga ini pekerjaan hantu, bukan hanya pelayan ceroboh.”Aruna mengucapkan kalimat itu dengan nada santai, seolah ia sedang mengomentari cuaca, sambil menyesap kopi di ruang makan. Sapu tangan 'L' yang ia sembunyikan memberikan kepercayaan diri yang berbahaya.Arden sudah duduk di sana, membaca laporan, namun terlihat jelas ia tidak fokus. Ketegangan memenuhi udara pagi, lebih pekat daripada aroma kopi termahal sekalipun.“Hantu apa?” tanya Arden tanpa mendongak, suaranya pelan dan mengancam.“Hantu yang basah. Dan suka bermain lumpur di dalam rumah,” jawab Aruna, mengabaikan ancamannya. Ia meletakkan cangkirnya dengan bunyi klik yang disengaja. “Mungkin dia kedinginan dan ingin pindah dari benteng Sayap Kiri. Atau mungkin, dan ini hanya spekulasiku ya, pagar besi Anda punya lubang.”Arden perlahan meletakkan penanya. Ia mendongak, matanya yang gelap penuh kewaspadaan. Ini bukan kemarahan. Ini kepanikan.
Pagi kedua di Kaeswara Estate membawa kesadaran yang dingin bagi Aruna: ia adalah tameng. Tameng yang dibeli mahal untuk melindungi seorang pria dingin dan istri pertamanya yang sakit, dari saudara tiri Aruna sendiri.Aku adalah Nyonya Kaeswara yang dibeli, dan tugasku sekarang adalah memastikan Pembunuh yang ternyata adalah Penjaga Pagar ini tidak sampai kehilangan asetnya. Rasanya seperti drama sabun yang sangat mahal, di mana aku dibayar untuk menjadi bodyguard pernikahan.Aruna sedang menelusuri koridor rumah utama, jauh dari pandangan Reyna dan pengawasan Arden. Ia sedang mencari Elise, satu-satunya sumber informasi netral di rumah ini.Ia menemukannya di ruang tengah, sedang menyusun bunga lili putih di vas kristal. Gerakannya tenang dan presisi, kontras tajam dengan kekacauan emosional yang menyelimuti Kaeswara.“Aku tidak tahu apa yang lebih sunyi di rumah ini, suara piano Layla, atau kamu, Elise,” sapa Aruna pelan, sengaja memecah keheningan.Elise tersentak, menjatuhkan seta
Arden Kaeswara berhenti tepat di depan Aruna. Tubuhnya yang menjulang memancarkan bahaya dan otoritas.“Benteng?” tanya Aruna, sama sekali tidak gentar. Ia mencengkerang sapu tangan berinisial 'L' itu erat-erat. “Kau menyebut Kaeswara Estate ini benteng? Aku pikir ini cuma rumah besar yang butuh perbaikan saluran air, Tuan. Apa yang kau sembunyikan di bentengmu sampai harus dibayar dengan utang darah keluargaku?”“Berikan itu padaku,” perintah Arden, suaranya lebih rendah, hampir menggeram. Matanya menatap sapu tangan sutra di tangan Aruna. “Sekarang. Jangan membuat dirimu semakin tidak berguna.”Aruna menggeleng, mempertahankan kontak mata. “Tidak. Ini adalah kompensasi kedua yang aku dapatkan malam ini. Aku baru menyadari bahwa ‘Pembunuh’ ini ternyata sangat sentimental. Siapa pemilik sapu tangan ini, Tuan? Hantu yang main piano?”Arden meraih pergelangan tangan Aruna. Cengkeramannya kuat, tetapi terkontrol, peringatan yang dingin.“Kau sudah membaca Aturan Emas,” kata Arden, dingin







