หน้าหลัก / Romansa / Pengantin di Gerbang Hitam / Bab 4 Sentuhan Aneh dan Jejak yang Dicuci

แชร์

Bab 4 Sentuhan Aneh dan Jejak yang Dicuci

ผู้เขียน: Aira Jiva
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-28 15:45:00

“Aku menemukan noda lumpur yang mencurigakan di tangga utama, Tuan Kaeswara. Aku curiga ini pekerjaan hantu, bukan hanya pelayan ceroboh.”

Aruna mengucapkan kalimat itu dengan nada santai, seolah ia sedang mengomentari cuaca, sambil menyesap kopi di ruang makan. Sapu tangan 'L' yang ia sembunyikan memberikan kepercayaan diri yang berbahaya.

Arden sudah duduk di sana, membaca laporan, namun terlihat jelas ia tidak fokus. Ketegangan memenuhi udara pagi, lebih pekat daripada aroma kopi termahal sekalipun.

“Hantu apa?” tanya Arden tanpa mendongak, suaranya pelan dan mengancam.

“Hantu yang basah. Dan suka bermain lumpur di dalam rumah,” jawab Aruna, mengabaikan ancamannya. Ia meletakkan cangkirnya dengan bunyi klik yang disengaja. “Mungkin dia kedinginan dan ingin pindah dari benteng Sayap Kiri. Atau mungkin, dan ini hanya spekulasiku ya, pagar besi Anda punya lubang.”

Arden perlahan meletakkan penanya. Ia mendongak, matanya yang gelap penuh kewaspadaan. Ini bukan kemarahan. Ini kepanikan.

“Aku sudah bilang, jangan bermain-main, Aruna,” desis Arden.

“Aku tidak bermain-main. Aku hanya mengamati. Dan aku menemukan bahwa CEO besar harus menangani lumpur. Pekerjaan sampingan yang tidak ada di job description,” balas Aruna sinis. Ia menatap Arden lurus. “Aku curiga ini jejak kaki cepat. Ada yang mencoba lari, Tuan Penjaga Pagar?”

Arden tidak menjawab. Ia menatap Aruna lama, tatapan yang mengintimidasi namun di dalamnya tersirat keputusasaan.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Arden, suaranya sangat rendah.

“Aku melihatnya. Dan aku bukan orang buta, meskipun aku dibeli dengan harga murah,” jawab Aruna, sedikit meninggikan dagu. “Aku juga menemukan… sesuatu yang terjatuh di sana. Sesuatu yang sangat personal dan sangat sentimental.”

Wajah Arden mengeras. Ia tahu Aruna mengacu pada sapu tangan Layla. Ia meraba saku jubahnya yang tadi pagi ia kenakan.

“Aku akan menangani lumpur itu,” kata Arden, kembali fokus pada laporan, berusaha mengakhiri diskusi. Itu adalah pengakuan bersalah.

“Menarik sekali,” kata Aruna, menyantap sarapannya dengan tenang. “Silakan. Tapi aku harap kau membersihkannya lebih baik daripada cara kau menyembunyikan Layla. Kau tahu, Tuan, kau membayar mahal untuk tameng yang satu ini. Mungkin kau bisa sedikit lebih jujur tentang apa yang harus kutamengi.”

Arden menatapnya tajam. “Kau tahu cukup. Kau tahu Sayap Kiri terlarang. Kau tahu Layla sakit. Cukup.”

“Cukup untukmu, mungkin. Tapi tidak cukup untukku. Jika aku harus menjadi tamengmu di depan dewan direksi, aku harus tahu apa yang ada di balik tameng itu. Apakah Layla hanya depresi, atau dia ingin bunuh diri?” tanya Aruna, menyerang langsung ke titik terlemahnya.

Arden menundukkan kepalanya, menghela napas panjang. “Dia... dia rapuh. Terlalu rapuh untuk dunia luar dan intrik Rendra. Itu saja yang perlu kau ketahui. Sekarang, jika kau tidak mau sarapan, pergilah. Aku harus memastikan rumah ini tidak memiliki ‘hantu’ yang basah lagi.”

Aruna bangkit. “Baik, Tuan Kaeswara. Aku akan pergi. Tapi ingat, kompensasimu ini punya mata dan mulut. Dan aku akan menggunakannya.”

Setelah sarapan, Aruna segera kembali ke koridor utama. Ia tahu Arden akan mengirim seseorang, dan itu adalah Elise.

Aruna menemukan Elise berlutut di tangga, menyikat karpet dengan panik. Ia menyikat noda lumpur itu dengan gerakan cepat dan tergesa-gesa.

“Elise,” panggil Aruna pelan.

Elise tersentak, hampir menjatuhkan embernya. Ia berdiri tegak, memandang Aruna dengan mata memohon.

“Aku sudah memberikannya pada Arden. Sapu tangan itu,” bohong Aruna, menguji Elise.

Wajah Elise memucat. Ia segera menggelengkan kepala dengan kuat, membuat isyarat tangan berulang kali: Tidak! Rahasia! Jangan!

“Aku tahu, aku berbohong. Aku menyembunyikannya. Itu adalah kartu trufku,” kata Aruna jujur. “Tapi aku perlu tahu, apa yang terjadi semalam?”

Elise menatapnya, lalu ia menunjuk ke Sayap Kiri, membuat gerakan terbang atau berlari kencang, lalu membuat gerakan jatuh keras dengan tangan terbalik, dan kemudian ia menyentuh pahanya sendiri, mengisyaratkan rasa sakit yang nyata.

“Dia lari? Dia melukai dirinya?” tanya Aruna, terkejut.

Elise mengangguk dengan sedih, air mata berkilauan di matanya. Ia kembali membuat isyarat diam yang sangat keras, dan kemudian menunjuk ke atas, ke arah kamar Arden.

“Aku tidak boleh bilang pada Arden kalau aku tahu dia terluka,” simpul Aruna. “Dia akan panik, dan itu akan menghancurkan perlindunganmu.”

Elise mengangguk kuat, lalu memohon dengan kedua tangannya. Ia kemudian menunjuk Aruna, membuat isyarat menikah, lalu menunjuk Sayap Kiri, dan kemudian ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada Layla, mengisyaratkan perlindungan total.

“Aku adalah perisai. Aku harus menjaga rahasia ini agar Layla tetap aman,” kata Aruna. “Aku mengerti. Aku akan menjadi sekutumu. Aku tidak akan membiarkan Arden tahu. Dan aku akan memastikan Rendra tidak pernah tahu.”

“Tapi aku butuh tahu satu hal, Elise. Mengapa dia harus lari?” tanya Aruna. “Dia tidak aman di Sayap Kiri? Atau dia melarikan diri dari Arden?”

Elise menggelengkan kepala dengan kuat, menunjuk ke Layla (Sayap Kiri), lalu menunjuk ke luar jendela, ke arah jalanan, dan membuat gerakan mencuri dan memotong leher.

“Dia lari dari dirinya sendiri. Dan dari ancaman luar,” gumam Aruna, menyimpulkan. “Dia aman di benteng, tapi dia merasa terperangkap. Ini adalah situasi yang menyedihkan.”

Tiba-tiba, suara Reyna berteriak dari koridor atas. “Elise! Kau sudah selesai di sana? Lantainya harus kering sebelum jam sepuluh!”

Elise segera menunjuk Aruna, membuat isyarat "diam" yang keras dan mendesak, dan bergegas kembali ke pekerjaannya.

Aruna mundur. Ia tahu, ia harus melindungi Layla dari dirinya sendiri, dan melindungi Arden dari kehancuran informasi ini. Aruna kini memikul tanggung jawab rahasia ini.

Sial. Aku dibeli untuk satu tujuan, tapi sekarang aku punya tiga pekerjaan sampingan: menjadi tameng, menjadi detektif, dan menjadi penjaga rahasia.

Aruna kembali ke kamarnya, mengeluarkan sapu tangan ‘L’ yang kini ia simpan di brankas kecil. Ia mencium bau samar di kain itu, bukan parfum mahal, melainkan bau antiseptik yang menusuk. Layla tidak hanya sakit, dia terluka. Aruna berbisik pada dirinya sendiri, “Aku tidak akan bertanya lagi, Tuan Kaeswara. Aku akan mencari sendiri lubang di bentengmu dan menutupnya. Tapi jangan harap aku melakukannya tanpa imbalan.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Pengantin di Gerbang Hitam   Bab 7 Harga Kepercayaan

    “Kau sudah tahu, Tuan Kaeswara? Rendra datang. Dia menggunakan utangku yang sudah lunas sebagai senjata baru. Dia bilang, status Layla sekarang adalah utang yang bisa digandakan tiga kali lipat jika aku tidak bekerja sama.”Aruna mengucapkan kata kata itu begitu menutup pintu ruang kerja Arden. Ini adalah rapat darurat, dan Aruna ingin memastikan Arden tahu bahwa taruhannya kini jauh lebih tinggi, melibatkan kebebasan Aruna sendiri.Arden berdiri di dekat jendela, berbalik. Wajahnya keras namun menunjukkan kekhawatiran yang tidak dapat disembunyikan.“Aku tahu. Aku menerima pesanmu,” jawab Arden, suaranya rendah dan tajam. Merujuk pada pesan tertulis yang disampaikan Elise sebelumnya. “Aku tahu dia tidak akan diam. Tapi aku tidak menduga dia akan secepat ini menggunakanmu.”“Dia memaksaku menjadi mata-matanya, mencari kelemahan di Sayap Kiri, dan membuktikan Layla masih hidup dan tidak kompeten,” je

  • Pengantin di Gerbang Hitam   Bab 6 Rendra Menagih

    “Oh, pesta apa ini? Aku kira rumah ini melarang tamu yang tidak diundang, terutama tamu yang baunya seperti tagihan utang berjalan.”Aruna mengucapkan dialog hook itu begitu melihat Rendra dan Ibu Ratna di ruang tamu. Ia harus mengendalikan dirinya; Rendra adalah ancaman nyata bagi jaminan kebebasannya.Rendra tertawa kecil, suara serak yang menjengkelkan. “Selamat pagi, Aruna. Kami datang untuk melihat keadaanmu. Apakah suamimu memperlakukanmu dengan baik?”“Aku baik-baik saja, terima kasih. Bahkan jauh lebih baik setelah aku yakin tidak ada ‘tamu’ yang akan menjualku lagi,” jawab Aruna, duduk di sofa, mempertahankan sikap santai. “Lupakan basa-basi drama. Katakan saja apa yang kalian inginkan. Ini rumah Arden, bukan balai pertemuan keluarga Nirmala.”Ibu Ratna segera memasang wajah sedih. “Nak, Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Rendra memberitahu Ibu, kamu bekerja sangat keras di sini…”“Aku tidak ‘bekerja’, Ibu. Aku adalah aset. Aset yang dibeli dengan utang Ayah. Fokus pada bisnis, bu

  • Pengantin di Gerbang Hitam   Bab 5  Harga Sekutu

    “Aku melihat lumpur itu sudah bersih, Tuan Kaeswara. Tapi aku rasa ini bukan pekerjaan satu kali. Pagar besi itu akan selalu punya lubang jika ada yang terus menerus mencoba memanjatnya dari dalam.”Aruna membuka pembicaraan, menyerang langsung pada inti masalah Layla, seolah-olah ia sedang membahas laporan risiko perusahaan, bukan istri pertama Arden yang mencoba melarikan diri. Ia menyentuh garpu di tangannya, matanya terpaku pada Arden yang sedang mendongak dari piringnya. Keheningan yang biasanya terasa mematikan kini terasa personal dan penuh ketegangan strategis.“Aku sudah menanganinya. Seperti yang aku bilang,” jawab Arden, nadanya datar, namun ketegangan di rahangnya jelas terlihat. "Aku sudah menjamin tidak akan ada lagi insiden seperti itu."“Kau menanganinya dengan baik secara fisik. Tapi secara strategis? Itu kegagalan,” kritik Aruna. “Kau hanya menutupi jejak, bukan menyelesaikan motif. Kau punya tameng mahal di sini, yang sudah kau beli dengan lunas. Kau tahu aku bukan

  • Pengantin di Gerbang Hitam   Bab 4 Sentuhan Aneh dan Jejak yang Dicuci

    “Aku menemukan noda lumpur yang mencurigakan di tangga utama, Tuan Kaeswara. Aku curiga ini pekerjaan hantu, bukan hanya pelayan ceroboh.”Aruna mengucapkan kalimat itu dengan nada santai, seolah ia sedang mengomentari cuaca, sambil menyesap kopi di ruang makan. Sapu tangan 'L' yang ia sembunyikan memberikan kepercayaan diri yang berbahaya.Arden sudah duduk di sana, membaca laporan, namun terlihat jelas ia tidak fokus. Ketegangan memenuhi udara pagi, lebih pekat daripada aroma kopi termahal sekalipun.“Hantu apa?” tanya Arden tanpa mendongak, suaranya pelan dan mengancam.“Hantu yang basah. Dan suka bermain lumpur di dalam rumah,” jawab Aruna, mengabaikan ancamannya. Ia meletakkan cangkirnya dengan bunyi klik yang disengaja. “Mungkin dia kedinginan dan ingin pindah dari benteng Sayap Kiri. Atau mungkin, dan ini hanya spekulasiku ya, pagar besi Anda punya lubang.”Arden perlahan meletakkan penanya. Ia mendongak, matanya yang gelap penuh kewaspadaan. Ini bukan kemarahan. Ini kepanikan.

  • Pengantin di Gerbang Hitam   Bab 3 Perkenalan dengan Elise, Isyarat Diam

    Pagi kedua di Kaeswara Estate membawa kesadaran yang dingin bagi Aruna: ia adalah tameng. Tameng yang dibeli mahal untuk melindungi seorang pria dingin dan istri pertamanya yang sakit, dari saudara tiri Aruna sendiri.Aku adalah Nyonya Kaeswara yang dibeli, dan tugasku sekarang adalah memastikan Pembunuh yang ternyata adalah Penjaga Pagar ini tidak sampai kehilangan asetnya. Rasanya seperti drama sabun yang sangat mahal, di mana aku dibayar untuk menjadi bodyguard pernikahan.Aruna sedang menelusuri koridor rumah utama, jauh dari pandangan Reyna dan pengawasan Arden. Ia sedang mencari Elise, satu-satunya sumber informasi netral di rumah ini.Ia menemukannya di ruang tengah, sedang menyusun bunga lili putih di vas kristal. Gerakannya tenang dan presisi, kontras tajam dengan kekacauan emosional yang menyelimuti Kaeswara.“Aku tidak tahu apa yang lebih sunyi di rumah ini, suara piano Layla, atau kamu, Elise,” sapa Aruna pelan, sengaja memecah keheningan.Elise tersentak, menjatuhkan seta

  • Pengantin di Gerbang Hitam   Bab 2  Aturan Emas dan Si Tukang Kritik

    Arden Kaeswara berhenti tepat di depan Aruna. Tubuhnya yang menjulang memancarkan bahaya dan otoritas.“Benteng?” tanya Aruna, sama sekali tidak gentar. Ia mencengkerang sapu tangan berinisial 'L' itu erat-erat. “Kau menyebut Kaeswara Estate ini benteng? Aku pikir ini cuma rumah besar yang butuh perbaikan saluran air, Tuan. Apa yang kau sembunyikan di bentengmu sampai harus dibayar dengan utang darah keluargaku?”“Berikan itu padaku,” perintah Arden, suaranya lebih rendah, hampir menggeram. Matanya menatap sapu tangan sutra di tangan Aruna. “Sekarang. Jangan membuat dirimu semakin tidak berguna.”Aruna menggeleng, mempertahankan kontak mata. “Tidak. Ini adalah kompensasi kedua yang aku dapatkan malam ini. Aku baru menyadari bahwa ‘Pembunuh’ ini ternyata sangat sentimental. Siapa pemilik sapu tangan ini, Tuan? Hantu yang main piano?”Arden meraih pergelangan tangan Aruna. Cengkeramannya kuat, tetapi terkontrol, peringatan yang dingin.“Kau sudah membaca Aturan Emas,” kata Arden, dingin

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status