Share

Pengantin yang Keliru
Pengantin yang Keliru
Penulis: Sara Sadri

Prahara Jodoh

Apakah dosa jika seorang perempuan yang hampir berumur tiga puluh tahun belum menikah?

Balqis terus saja diterkam dengan pertanyaan paling mematikan ‘kapan menikah?’ dari orang tua, saudara, kerabat, dan teman-temannya. Lalu dibantai dengan kalimat 'nanti jadi perawan tua loh'. 

“Qis, Ibu malu dengan tetangga dan keluarga besar kita, sampai sekarang kamu belum juga menemukan jodoh.” 

Sarapan pagi di meja kayu bundar tiba-tiba jadi horor. Pertanyaan kembali menikam hatinya dengan bara api. Apakah sebuah aib apabila anak perempuan yang menginjak usia tiga puluh tahun belum menikah? Batinnya.

Mata almond Balqis terasa perih dan hampir menumpahkan air bah di pipi putih pucatnya. Hidungnya yang menyaingi patung Yunani juga tersumbat oleh cairan bening. Alis yang sudah digambar rapi refleks melengkung ke bawah. Bibir atas tanpa philtrum dan dipoles dengan warna lipstik nude tak mampu bergerak.

“Qis, kapan kamu menikah? Apalagi yang kamu tunggu?  kamu cantik, karir bagus. Adikmu, Sepupumu, teman-teman kamu sudah banyak yang menikah. Tinggal kamu sendiri saja yang belum. Coba lihat, Nadia! Teman sekolah kamu anaknya sudah SD."

Karir Balqis yang semakin bersinar memang memegang andil dalam peningkatan taraf hidup keluarganya. Ia mendirikan usaha yang bergerak di bidang wedding planner tidaklah mudah sehingga tidak memprioritaskan pernikahan. 

Balqis menatap ibu dan ayahnya. “Bu… Balqis berangkat dulu!” Balqis menyibakkan rambut panjang bergelombang yang cocok dengan bentuk wajah berliannya.

Ibunya menghela nafas. “Ya sudah, hati-hati! ingat pesan ibu tadi ya! Cepat cari jodoh, jangan keduluan adik kamu lagi.” Tampilan anaknya memang tidak pernah mengecewakan. 

Blouse coklat dengan lengan balon menghadirkan kesan modis pada diri Balqis.

"Bu! Sudahlah." Ayahnya adalah orang yang tidak pernah mempertanyakan atau mendesak Balqis yang tak kunjung menemukan jodoh.

Ibu mana tidak khawatir dengan anak gadis yang tidak pernah membawa seorang pria pun untuk dikenalkan pada orang tua? Balqis memang berbeda dari adik-adiknya. 

Balqis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.  Adik kedua yaitu perempuan yang terpaut tiga tahun darinya baru saja menikah. Itulah yang menjadi penyebab ia terus didesak mencari jodoh. Adik ketiganya juga berencana untuk tunangan.

Balqis sama sekali tidak selera makan. Roti yang telah disisir dengan selai coklat disuguhkan percuma. Hanya karena pertanyaan ‘kapan nikah?’ dengan jawaban yang masih menjadi rahasia ilahi. Ia tidak ingin melawan ibunya, lebih baik menahan emosi daripada jadi anak durhaka.

Pergi dengan membawa beban pikiran sungguh menyempitkan saluran organ pernapasan ditambah langit yang tiba-tiba murka, Balqis mendongak ke langit. Dia mencoba menenangkan diri, tapi tidak bisa. Terpaksa ia masuk ke dalam mini cooper merah.

Prediksi Balqis benar, hujan mengguyur kota metropolitan berangsur-angsur lebat hingga sesekali petir menyambar. Pandangannya masih tetap ke depan, tapi nalarnya masih berada di beberapa menit yang lalu. Ketika paksaan menikah terus saja menghujam dirinya secara terus menerus.

Saat tiba di depan kantor berlantai dua yang memiliki estetika menawan cukup melegakan. Balqis masih di dalam mobil mini Cooper warna merah, menatap plang usahanya 'Wedding Projects' yang mulai usang.

Kantor Balqis mengusung konsep hijau. Berlantai dua, dinding depan disekat kaca hingga memperlihatkan aktivitas di dalam ruangan. Samping kirinya ada toko bunga, semantara itu di sebelah kanan ada coffee shop.

Balqis juga tidak mengerti, takdir menyeretnya untuk menjadi Wedding Planner. Pada awalnya ia dan teman-temannya membuka usaha di bidang event organizer, tapi mengalami kebangkrutan karena uang dibawa kabur rekannya.

Berbekal pengalaman dan Balqis menangkap peluang bahwa wedding planner akan lebih cocok ia geluti. Ternyata instingnya tidak salah. Dia dikenal oleh orang-orang tersohor di kota metropolitan karena profesional dan kompeten dalam bekerja.

Pekerja dari kantor Balqis membawa payung bening untuk menjemputnya di tengah guyuran hujan.

"Ayo cepat bos! Hujan nih, nanti bedak saya luntur." Pria gemulai itu menutup wajahnya dengan tangan.

Bekerja menjadi penawar hati Balqis yang mudah gundah. Bibirnya cukup ringan melengkung seperti bulan sabit saat menyambut kedatangan pekerjanya.

"Bos hari ini terlihat sedikit lebih cantik dari saya!"

Sekali lagi Balqis hanya tersenyum, tidak ingin memperpanjang pembicaraan. "Shanum sudah datang Om?"

"Sudah bos!" Wajahnya cemberut kalau mendengar nama aslinya disebut.

Ketika masuk ke ruangan aroma mawar menjadi aromaterapi yang menenangkan. Apalagi tempat yang serba putih dengan perabotan baju pengantin tertata indah, serta foto-foto pernikahan klien mereka yang terpajang ala galeri seni sungguh mahakarya menakjubkan.

"QIS…." pekik asisten Balqis di kejauhan sambil melambaikan tangan.

Balqis menatap asistennya yang sedang duduk di depan dua orang pasangan muda.

Wajah pria yang ada di depan asistennya bersemu merah.

"Eh Mbak, kok genit sih?" Wajah perempuan yang ada di depan asisten itu murka maksimal, saat mendengar kata Qis mengudara.

"Bukan mbak, itu nama saya! Balqis. Wedding planner di sini." Balqis menyodorkan tangannya dengan senyum yang membentuk lesung pipi.

Perempuan itu langsung melihat kartu nama Balqis dan mengangguk. "Maaf, saya agak trauma dengan perempuan penggoda, memang ya mata laki-laki itu susah sekali dijaga. Coba lihat! Dia yang mengajak saya menikah, tapi…  Ah sudahlah." 

"Sayang kamu mau ke mana?" Pria itu beranjak dari tempat duduknya.

"Aku mau pulang! Besok-besok saja kita ke sini lagi!" Perempuan itu pergi dengan menerobos hujan.

Balqis memegang kepalanya. "Sha, lain kali jangan panggil aku seperti itu lagi! Bahaya."

"Kenapa, kan cuma salah paham. Terus aku harus panggil kamu apa?"

Wajah Balqis datar. Dia memegang kepalanya. Duduk di sofa putih, memejamkan kelopak mata. 

Asistennya tahu pasti Balqis sedang ada masalah. "Qis, are you ok?" 

"Hmmm." Balqis masih memejamkan mata.

"Qis, kita ada klien baru lagi. Mungkin sebentar lagi orangnya datang!"

Hujan masih terdengar dari luar. Balqis melihat arloji. Jam menunjukkan pukul 09.45. 

"Kamu pasti kenal orangnya, kita beruntung karena dipercaya untuk mempersiapkan pernikahannya."

"Memangnya siapa? Artis?"

"Supermodel yang lagi naik daun sekarang." 

"Siapa sih?"

"Karinina!"

Balqis memutar bola matanya ke sebelah kiri. Karinina? Dia masih mencoba mengingat, karena tidak terlalu mengenal perkembangan dunia model.

"Ehm, aku sudah duga kamu pasti tidak tahu. Apalagi calon suaminya, pasti kamu tidak kenal." Padahal asistennya juga tidak kenal.

"Mana coba aku lihat!" Balqis menarik buku catatan pertemuan dari tangan asistennya.

Tertulis nama Karinina dan Aldo Bagaskara.

Indera penglihatan Balqis terbelalak, melotot, hampir keluar. Jantungnya refleks memompa dengan cepat. Buku catatan itu tergeletak di lantai keramik putih. "Uhuk-uhuk…."

"Qis, kenapa?" Asistennya belum pernah menyaksikan Balqis membisu saat membaca nama klien.

Pria bernama Aldo tentu saja tidak akan pernah Balqis lupakan. Lelaki itu menjadi penyebab Balqis trauma hingga melajang seumur hidupnya. 

Balqis memang tidak pernah dekat dengan pria mana pun. Dia menutup pintu hatinya rapat-rapat, karena kejadian sepuluh tahun yang lalu. Saat duduk di bangku SMA. "Kenapa dia harus menjadi klien-ku?"

"Kamu kenal Qis?"

"Aku berharap tidak pernah mengenalnya sama sekali!"

Balqis masuk ke ruangan yang tidak jauh dari sofa lalu menguncinya. Ia tidak ingin siapapun mengganggu. "Apa kau ingin mengejekku? Kamu memang brengsek. Oh, sungguh hari paling menyebalkan," rutuknya  sembari mengepalkan tangan.

"Qis, kok dikunci? Qis…."

"Selamat pagi!"  Suara pria yang disamarkan hujan masih bisa didengar Balqis.

"Oh, sungguh ciptaan Tuhan yang paling paripurna! Wangi lagi." Asisten Balqis mematung setelah terperangkap ketampanan Aldo sembari menyesap aroma parfum yang mendominasi pria itu.

Aroma musk yang berempah dengan sentuhan wangi sabun sungguh membius Indra penciuman lawan bicaranya.

Aldo merapikan jaket denim, baju kaos putih, dan celana jeans. Posenya sudah layak disebut seorang model. Tinggi badannya yang jangkung dan badannya sangat proporsional. Sekali lagi gaya parlente pria itu mampu menghipnotis asisten Balqis.

"Apa tadi?" Aldo sudah seringkali mendengar puja puji dari orang-orang yang mengakui ketampanannya.

"Anda model juga? Kok saya tidak tahu sih." Meski asisten Balqis sudah menikah, tapi penyakit genitnya pada pria tampan belum bisa disembuhkan.

"Oh, saya bukan model, tapi dokter." 

"Ya ampun." Dia memegang kedua pipinya.

Balqis berjalan membuka pintu. "Aku harus menghadapi ini dengan kuat!" Ia keluar ruangan seraya mendongakkan dagu dan menyilangkan tangan ke dada.

"Ehem…." Balqis menggunakan bahasa isyarat dengan mata supaya asistennya diam.

Balqis terpaksa menatap pria tampan yang memiliki bahu lebar 48 sentimeter. Gadis itu tingginya hanya sebahu Aldo yang tingginya 180 cm.

"Perkenalkan, saya Aldo Bagaskara!" Aldo tersenyum sambil mengulurkan tangan sawo matangnya.

Apa dia tidak mengenalku? gumam Balqis dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status