Share

Label Perawan Tua

“Saya belum menikah tante.” Balqis tertunduk lemas menyeruput kopi hingga cangkirnya kosong.

“Sayang sekali ya.” Ana spontan mengoyakkan perasaan Balqis dengan sadis, tapi ia tak bermaksud demikian.

Balqis hanya tersenyum. Perasaannya sungguh teriris sembilu hingga luka lama kembali lagi menghantam dinding hati.

“Tapi kamu sudah punya pacar atau mungkin kamu sudah punya calon suami?….”

“Ma, Aldo harus pergi sekarang. Aldo ada pasien.” Seringkali Aldo melirik ke arah ponsel.

Perkataan Aldo cukup menyelamatkan Balqis. Sebab, ia  tidak perlu menjawab pertanyaan yang sudah dilontarkan seribu satu orang pada dirinya. 

Aldo langsung mengecup kening ibunya. Dia paham ibunya pasti masih ingin berlama-lama di coffee shop yang cozy dan rustic itu. Tanpa berlama-lama pria itu pergi dari sana.

"Biasa, anak tante memang seperti itu. Kalau Tante tidak memintanya menikah, mereka pasti tidak akan melakukannya. Oh iya, kamu sudah bertemu dengan Nina?" 

"Sudah Tante," jawab Balqis diplomatis, takut terpeleset lagi saat berbicara.

Ana memperhatikan sekitar yang tampak lengang. Hanya ada suara kendaraan dari jalan yang tidak jauh dari depan parkiran. "Tante sudah lama tidak santai seperti ini. Rasanya menyenangkan, tapi sayang Aldo selalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter."

Balqis baru tahu kalau Aldo adalah seorang dokter. Jelas itu tidak cocok dengan karakter tengilnya dulu pikir Balqis. Ia pura-pura memperhatikan ponsel. Takut ditanya tentang statusnya yang sungguh memprihatinkan.

"Tante maaf saya harus pergi dulu. Ada meeting lagi. Kantor kami ada di sebelah. Kalau Tante mau lihat-lihat silahkan saja." 

Balqis pun pamit sembari merapikan pakaian. Ia ingin cepat kabur dari hadapan wajah renta yang masih saja terlihat ayu.

"Balqis semoga kamu bisa mendapatkan suami yang baik ya."

Balqis berhenti sejenak dan melengkungkan bibirnya ke atas. Ia menduga ibu Aldo paham jika dirinya tidak ingin ditanya tentang status pernikahan.

Shanum mencegat Balqis saat masuk ke ruangan. "Wait… kenapa buru-buru?" Ia menyilangkan tangan ke dada.

"Aku bingung dan malu Sha harus jawab apa." Balqis memegang kepalanya.

Shanum jelas tahu jadwal Balqis kosong untuk beberapa hari. Hanya bertemu dengan Aldo dan dua klien lainnya di pagi hari. "Kamu malu karena takut ditanya kapan nikah atau orang akan…."

"Sha, aku ingin menenangkan diri dulu." Balqis menatap cermin yang terpajang di ruangannya. Nuansa putih dan beberapa bunga mawar terpajang di atas meja kerja menjadi pemanis untuk meredakan huru hara pikiran. 

Balqis seringkali mengecek ponsel hanya untuk berselancar di media sosial. HP itu sangat sepi hampir tidak pernah ada notifikasi satu pun dari pria yang ingin mengenalnya. Ditambah lagi dia jengah harus dihadapi dengan orang yang melebeli dirinya sebagai perawan tua. 

Sepanjang waktu Balqis hanya menatap jam dinding. Tiba-tiba ponselnya berdering. Hanum calling.

"Qis, help me please! Bawa Mawar ke dokter sebentar. tubuhnya panas tinggi, ah iya tunggu sebentar Mbak… aku lagi banyak pelanggan nih. Pegawaiku cuti. Toko bunga kami banyak pesanan juga. Mama Mawar ada meeting."

Balqis mematikan ponsel. Kalau bukan karena teman, Balqis tidak akan rela membantu Hanum untuk membawa keponakannya ke rumah sakit. 

Wajah Balqis masih dalam mode datar dan tersenyum getir saat disapa anak buahnya. 

Anak kecil berumur sekitar empat tahun itu memeluk Balqis. Dia membawa boneka Barbie dan memainkan rambutnya yang panjang sebahu. 

"Ayo ikut Tante, kita berobat ke dokter ya sayang." Balqis hanya berpamitan lewat mata pada Hanum. 

Seringkali Balqis memperhatikan Mawar yang menggemaskan. Seharusnya dia sudah punya anak jika menikah empat tahun yang lalu. Ia hanya bisa menghela nafas. Sepanjang perjalanan ada sesuatu yang menggumpal menyumbat saluran pernapasannya.

Balqis terus berjalan di koridor rumah sakit mencari keberadaan ruang dokter anak. Ada beberapa pasien yang menunggu giliran untuk bertemu dokter. 

"Tunggu dulu ya sayang." Balqis mengelus pelan rambut Mawar yang terasa lembut dan aroma wangi strawberry mencuat.

Setengah jam Balqis dan Mawar menunggu dan tiba giliran mereka. Aroma musk kembali menyeruak ketika masuk ke ruangan serba putih.

Deg…

Jantung Balqis berdetak tak tentu arah. Senyum Aldo memang menjadi candu untuk siapa saja yang menatapnya. Namun, Balqis bersusah payah menepis gelora pemikat yang ada dalam diri Aldo dengan memalingkan wajah.

"Qis…," sapa Aldo dengan akrab.

Co-ass perempuan yang ada di samping Aldo bersemu merah pipinya. Bahkan ia pun memegang kedua pipinya.

Aldo baru sadar sapaannya bisa mengundang salah arti untuk orang yang ada di sekitar. "Ini Bal-QIS wedding planner saya," tegas Aldo.

"Hah, dokter mau nikah? Ya sayang banget. Eh maaf dok." Co-ass itu pun menutup mulutnya.

"Ini siapa?" tanya Aldo.

"Anak teman saya. Mamanya lagi ada meeting dan minta tolong tadi untuk…."

"Hai adik manis. Duduk dulu ya. Nanti dokter cantik ini yang periksa."

Dasar raja gombal sudah punya pacar mau nikah lagi, tapi masih saja menggoda perempuan lain. Rutuk Balqis dalam hati. Ia meremas tangannya seraya menatap Aldo dengan tatapan bengis.

Beberapa menit kemudian perhatian semua orang terpusat pada pintu.

"Honey!" suara perempuan yang tiba-tiba saja menerobos pintu saat jam kerja menjadi pusat perhatian.

"Nin-na…." Wajah Aldo berubah datar.

"Balqis?" Mata Nina mengarah ke anak yang sedang diperiksa oleh co-ass.

Karinina tentu saja menyimpulkan jika Balqis sudah menikah. Hal itu akan membuatnya tidak takut untuk meninggalkan Aldo bersama dengan wedding plannernya. Hatinya dialiri sungai ketenangan.

Aldo langsung menarik tangan Karinina keluar ruangan dengan erat. Urat di tangan dan leher terpampang jelas.

"Tidak sopan sekali. Saya heran kenapa dokter Al bisa jatuh cinta sama cewek bad attitude seperti itu." Co-ass itu lalu bergosip ria.

Balqis hanya melirik sesekali. Tak tahu kenapa hatinya sedikit tergilas oleh kecewa.

Aldo masuk lagi. "Bagaimana kondisinya?" 

Hening selama beberapa saat. Tidak ada lagi senyum yang mekar. Aldo menuliskan beberapa resep obat lalu menyodorkan pada Balqis. 

"Dok tadi ada apa?" Co-ass itu bertanya santai.

"Kamu tidak perlu tahu, itu bukan urusanmu. Jangan sampai apa yang kamu lihat tadi jadi gunjingan orang. Kalau kamu masih ingin berada sini," ancam Aldo tanpa menatap siapa saja.

Co-ass itu terkejut karena baru kali itu Aldo marah besar dan tidak ramah seperti biasanya.

"Tidak sopan sekali sih dengan perempuan. Apa seperti ini cara kamu memperlakukan perempuan? Kamu memang tidak pernah berubah," celetuk Balqis.

"Tahu apa kamu soal aku? Lebih baik kamu diam. Jangan jadi pahlawan kesiangan. Kamu…."

"Hati yang busuk memang tidak akan bisa disembunyikan dengan seribu topeng kebaikan," potong Balqis.

"Mungkin ini penyebab kamu belum menikah sampai sekarang. Cara bicaramu yang sarkas akan membuatmu jadi perawan tua."

Duar…

Balqis seakan ditampar oleh halilintar berkali-kali. Matanya terjengit. Tangannya sudah terkepal. Nyaris melayang, tapi ia mencoba untuk mengendalikan keadaan. "Ayo Mawar kita pulang, dokternya lagi sakit jiwa."

Balqis menarik tangan Mawar dan menghempaskan pintu hingga menimbulkan efek kaget untuk orang-orang yang ada di sekitar.

Bulir kristal tak bisa terbendung. Balqis tidak peduli dengan orang-orang yang memperhatikannya. Sementara Mawar mendongak ke atas untuk menonton Balqis yang menangis.

Percuma saja cantik, cerdas, karir cemerlang, tapi masih dihujat karena belum menikah. Gerutu Balqis dalam hati. Ia memukul-mukul stir mobil. Tangannya meraba ponsel yang ada di dalam tas.

"Sha… hiks… hiks…"

"Wait, wait, what's up beb?"

"Aku benci dia. Dia selalu menjadi sumber deritaku. Dulu dia menghinaku jelek sekarang dia bilang aku perawan tua… Hiks… hiks…."

"Maksud kamu apa sih?" Shanum menggaruk kepalanya di seberang sana.

"Sha bantuin aku untuk menemukan pria yang jauh lebih baik dari pria brengsek itu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status