Share

2. Ancaman Seorang Ayah

"Kau memang anak pembawa sial! Sejak kau lahir, yang kau bawa hanya kesialan saja."

Elena meremas ponselnya karena untuk yang kesekian kalinya, ia harus mendengar kata-kata kasar dari ayahnya. Meskipun sudah sering, itu tidak membuat rasa sakit yang ditimbulkan karenanya berkurang.

Ia baru saja selesai menidurkan Hannah ketika akhirnya ia mengangkat telepon dari sang ayah tadi. Ternyata ayahnya sudah delapan kali menghubunginya, tetapi Elena tidak tahu karena sibuk mengurusi anak asuhnya yang sedang sakit.

Sungguh, meskipun sudah mencoba, Elena tidak dapat tidak menyamakan sikap Dallen dan ayahnya sendiri saat ini.

"Karena sikap aroganmu yang mengabaikan Ravi, sekarang aku terancam kehilangan rumahku! Sudah ada pria yang mau menerima wanita pembawa sial sepertimu, tapi kau malah meninggalkannya."

"Apa?" Elena begitu terkejut mendengar ucapan ayahnya.

"Jika sampai besok kau tidak menelepon Ravi dan meminta maaf padanya, maka ayahnya akan menghancurkan rumahku karena aku belum mampu membayar utang. Kau harus menerimanya kembali atau kau mau melihatku mati karena kehilangan rumahku?" ancaman baru saja diberikan pada Elena.

"Tolong jangan katakan itu, Ayah. Aku akan ...."

"Ravi hanya melakukan sedikit kesalahan dan kau langsung memutuskan berpisah darinya. Kau bahkan sudah membunuh istriku, tapi aku masih berbaik hati dengan tidak membuangmu atau bahkan membunuhmu." Kalimat yang Elena dengar kali ini bahkan lebih menyakitkan dari sebelumnya.

"Jika kau tidak bisa membawa keberuntungan untukku, maka setidaknya kau harus tahu diri. Selesaikan masalah ini atau kau akan menerima surat kematianku. Aku akan menulis kalau kau yang sudah membunuhku."

"Ayah, aku ..." Elena tidak bisa mengatakan apa-apa karena telepon itu telah terputus.

Mata cantik Elena yang biasanya selalu berbinar, kini tampak penuh dengan air mata. Selain karena makian dari ayahnya, mantan kekasihnya yang telah berselingkuh dengan sahabatnya juga kembali memperburuk hidupnya.

Ravi yang mengkhianatinya, tapi kenapa harus ia yang meminta maaf padanya?

Selain untuk melarikan diri dari Ravi, alasan Elena meninggalkan kampung halamannya juga agar ia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, lebih dari sekadar seorang penjaga toko roti, agar bisa membantu ayahnya melunasi utang pada ayah Ravi. Namun, untuk apa semua itu jika ia harus kembali pada Ravi?

Elena masih mencoba untuk tetap kuat. Elena kembali pada pekerjaannya mengumpulkan baju kotor Hannah untuk diberikan pada pelayan, agar segera dicuci. Namun, air mata Elena sudah tidak terbendung lagi setelah ia keluar dari kamar Hannah.

Kaki Elena seolah melemas sampai membuat harus bersandar pada dinding agar tidak terjatuh. Hati Elena begitu sakit saat ini, tapi tidak ada yang bisa ia ajak bercerita untuk mengurangi rasa sakitnya. Elena harus menanggung semua ini sendirian.

"Kenapa kau menangis? Apa kau baik-baik saja?" suara yang begitu hangat terdengar, bersamaan dengan sentuhan hangat di bahu kanan Elena.

Elena mengangkat kepalanya dan melihat kalau yang bertanya padanya adalah Liana. Elena langsung mengusap air matanya dan tersenyum pada Liana. Elena tidak ingin terlihat tidak profesional dalam bekerja.

"Saya baik-baik saja. Hanya sedikit kelilipan saja," ucap Elena, masih dengan tersenyum.

"Baiklah. Bagaimana keadaan Hannah? Apa sudah lebih baik?"

"Hannah sempat muntah lagi dan menangis ingin bersama ayahnya. Pak Dallen sudah pulang tadi dan saya memintanya untuk bersama Hannah, tapi Pak Dallen menolak." Elena harus menyampaikan ini dengan berat hati di tengah kekhawatirannya pada Liana yang terlihat semakin pucat.

"Lalu, dimana Dallen sekarang?"

"Pak Dallen pergi lagi."

Liana mengepalkan kedua tangannya dan matanya sempat terpejam selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia masuk ke kamar Hannah dengan menahan tangisannya.

Air mata Elena kembali tumpah setelah Liana tidak ada di hadapannya. Elena mencoba untuk tetap kuat setelah mendengar makian dan ancaman ayahnya, tapi sangat melelahkan jika harus terus berpura-pura kuat seperti itu.

Sementara di kamar Hannah, Liana akhirnya meneteskan air mata yang sejak tadi ia tahan di depan Elena. Liana menyentuh pelan pipi Hannah, kemudian mengecup keningnya dengan begitu hangat.

"Maaf karena nenek belum bisa membuat ayahmu menyayangimu, tapi nenek akan terus berusaha." Liana merasa begitu bersalah saat ini.

Liana kini mengeluarkan ponselnya dan menghubung Dallen. Tidak butuh waktu lama, Dallen sudah menjawab telepon Liana. "Ada apa, Ibu? Apa tentang anak itu lagi?" namun, nada bicara Dallen terdengar begitu ketus.

"Namanya Hannah, bukan anak itu." Liana benci sekali mendengar Dallen yang tidak mau menyebut nama putrinya sendiri.

"Kau dimana sekarang? Ibu mohon, pulanglah. Kali ini saja. Tolong pulanglah dan temani Hannah. Kehadiranmu pasti bisa mempercepat kesembuhannya." Liana begitu memohon pada Dallen.

"Ibu tahu kalau aku tidak akan pernah mau bersama anak pembawa sial itu."

"Dallen!" bentak Liana, lalu kepalanya tiba-tiba terasa begitu pusing dan badannya lemas. Liana mencoba bertahan, tapi akhirnya jatuh pingsan.

Elena yang mendengar ada suara seperti ada yang jatuh langsung menoleh ke kamar Hannah. Elena begitu terkejut melihat Liana yang tergeletak di lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Elena pun berlari ke tempat Liana dan terlihat begitu panik.

"Ibu, apa yang terjadi?" Dallen yang saat ini ada di bandara ikut panik saat mendengar suara panik Elena.

"Jawab aku, Ibu," ucap Dallen lagi.

Namun, alih-alih sang ibu, suara Elenalah yang menyahut dari seberang sambungan telepon, "Pak Dallen, Ibu tidak sadarkan diri!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status