Share

Bab 2. Sean

'Pebisnis sombong!' maki Nadia dengan bibir mengerucut.

Dirinya sudah keluar dari ruangan interview tadi dan tengah berjalan meninggalkan kediaman megah tersebut. Namun, benak Nadia dipenuhi ingatan akan betapa dinginnya sikap Daniel.

Entah kenapa, semakin sering dia mengulang kejadian tadi dalam benaknya, Nadia merasa semakin kesal. Walau dia tidak berpengalaman, pria itu sebenarnya bisa bersikap jauh lebih hangat. Akan tetapi, tidak! Pria itu harus bersikap begitu menyebalkan!

Nadia terus memaki Daniel dalam hati, tidak berhenti sampai akhirnya dia menyadari satu hal.

"Ini ... di mana?" tanya Nadia sambil celingukan, merasa bingung karena tidak kenal dengan area yang dia lalui.

Saat melihat seorang wanita berjalan tidak jauh di depannya, mata Nadia pun berbinar. Dia baru saja ingin berseru untuk memanggil orang tersebut, tapi langsung berhenti ketika melihat kantong plastik hitam besar yang dibawa wanita itu.

'Ini mataku atau ... plastik hitamnya bergerak-gerak sendiri?' Nadia mengernyitkan dahinya.

Nadia pun berjalan mendekat, sedikit mengendap karena wanita di hadapan melakukan hal yang sama. Namun, tak lama mata Nadia membulat ketika indera pendengarannya menangkap suara tangis lirih yang terpendam dari kantong tersebut.

“Huuu, huuuu.”

‘Loh, kok kayak suara–’

Belum sempat Nadia menyelesaikan pergulatan batinnya, tiba-tiba wanita aneh itu menoleh dan bersitatap dengan Nadia. Detik itu juga, wanita tersebut malah berlari kencang!

“Hei!” Sadar bahwa wanita itu bersikap layaknya perampok, Nadia refleks berteriak, "Jangan lari!!" Dia pun langsung mengejar.

Ketika Nadia hampir menggapai wanita tersebut, tiba-tiba wanita itu berhenti dan mengayunkan sesuatu ke arah Nadia, membuat gadis itu menghindar.

Dengan tatapan nyalang, wanita mencurigakan itu berteriak, "Jangan ikut campur!" Di tangannya, sebuah pisau–entah dari mana–telah terarah pada Nadia, darah menghiasi sisi tajamnya.

Wajah Nadia terlihat serius, dia melirik ke lengannya, menyadari lengan kanannya tergores. "Si*l!" desisnya kala melihat darah perlahan mulai keluar dari luka tersebut.

Nadia mengepalkan tangannya dengan erat, matanya kini tampak berkilat karena amarah. Merasa kesal, dia langsung menendang pergelangan tangan wanita yang telah melukainya itu hingga pisau terpental jauh.

Wanita itu tersentak kaget, dia mencoba untuk kabur. Tapi sayangnya, Nadia sudah lebih dulu menendang tulang keringnya hingga membuat wanita itu langsung terjatuh.

"Ahh!" Wanita itu berteriak nyaring.

Kantong hitam itu ikut terjatuh, lalu seorang bocah malang berguling keluar, menyebabkan mata Nadia terbelalak. Dengan kaki dan tangan diikat, juga mulut yang dilakban, mata bulat bocah tersebut terlihat mengeluarkan air mata dengan sangat deras.

"Kamu nggak apa-apa?!" seru Nadia seraya dengan cepat melepaskan ikatan dan lakban bocah tersebut.

Bocah itu pun langsung memeluknya. "Huuu! Mama! Mama!" tangisnya sembari mencengkeram erat pakaian Nadia.

Walau terkejut dengan panggilan ‘Mama’ yang bocah itu sematkan padanya, tapi melihatnya menangis tersedu-sedu dalam pelukan, Nadia langsung menggendong bocah tersebut, menepuk-nepuk punggungnya. "Kamu aman sekarang ya, Sayang. Kamu aman," ulangnya, terus berusaha menenangkan.

"Ada apa ini?!" seru seseorang dengan suara dalam, membuat Nadia menoleh, mendapati sosok Daniel hadir bersama dengan segerombolan orang. Terlihat pria itu sontak membelalak melihat bocah dalam pelukan Nadia. “Sean?!”

Tepat di saat panggilan itu melambung, Nadia mendapati gerakan dari wanita yang tadi terjatuh ke tanah. Sadar wanita itu ingin lari, Nadia dengan cepat melepaskan sepatunya dan melemparkannya dengan kencang.

BUK!

“Ah!” Sepatu itu pun mendarat tepat sasaran dan membuat wanita jahat tersebut terjatuh ke tanah, tidak sadarkan diri.

Di saat semua orang masih terkejut dengan apa yang terjadi, Nadia pun berbalik dan menghadap Daniel. "Cepat telepon polisi! Wanita itu berusaha menculik anak ini!"

**

"Terima kasih atas informasi yang Anda berikan. Kami akan segera mengusut masalah ini."

Nadia mengangguk pelan. Polisi kini tampak berlalu pergi setelah mendapatkan informasi dari dirinya. Penculik yang masih tak sadarkan diri itu pun juga digiring pergi, membuat Nadia berkacak pinggang kesal.

“Bisa-bisanya menculik di siang bolong, sudah gila kali, ya …,” gumam Nadia dengan lantang.

Daniel beralih menatap Nadia. Gadis itu sibuk membersihkan pakaiannya. Perlahan, dia mendekat dengan auranya yang begitu pekat, dingin, dan … menyesakkan.

"Terima kasih sudah menolong anakku," ujar pria itu.

Nadia mengangkat wajahnya dan menatap lekat Daniel. ‘Dia bisa berterima kasih?’ batin gadis itu sarkastis. Namun, melihat bocah menggemaskan di sebelah kaki Daniel, Nadia menahan emosi dan menjawab singkat, “Sama-sama.”

Daniel lantas mengeluarkan dompetnya dan meraih sejumlah uang. Dia mengulurkannya pada Nadia. "Ambil dan anggap ini uang kompensasi untukmu," ujarnya lagi dengan wajah tanpa ekspresi.

Nadia tersentak kaget, tapi dengan cepat langsung menggelengkan kepalanya. "Tidak ... tidak perlu membayar. Saya menolong tanpa mengharapkan imbalan. Hanya kebetulan saja," tolaknya.

Tak ingin berlama-lama di tempat ini, Nadia langsung meraih tas miliknya yang tergeletak di tanah dan berniat pergi. Dia tak ingin menjadi pusat perhatian dari orang sekitar. Sudah cukup tenaganya terkuras karena melawan penculik.

"Maaf, saya permisi dulu."

Tapi tiba-tiba sesuatu menahan langkahnya, Nadia menoleh dan mendapati sosok anak kecil yang diselamatkan olehnya barusan itu memeluk erat pinggangnya.

"Eh?" Nadia mengerutkan kening kebingungan. Dia pun berujar, “Kakak mau pergi dulu, jadi lepaskan, ya?”

“Nggak boleh, Kakak Cantik nggak boleh pergi!” seru bocah kecil bernama Sean itu sembari mengeratkan pelukannya.

"Tuan muda Sean, mari ikut dengan saya." Sesosok wanita yang tak lain kepala pelayan di rumah ini mencoba untuk membujuknya.

Sean menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak mau! Sean mau Kakak ini! Kakak ini harus jadi baby sitter Sean!"

Semua orang terkejut, terlebih lagi Nadia dan ayah bocah tersebut, Daniel.

“Sean, jangan nakal. Lepaskan kakak itu,” ucap Daniel.

Sean tak pernah seperti ini sebelumnya. Anak itu bahkan tak mau dekat dengan siapa pun kecuali dirinya, Monica–sang ibu–kakek-neneknya, dan kepala pelayan. Tapi apa ini?

Nadia tersenyum tipis dan berjongkok tepat di hadapan Sean. "Sean, Sean anak pintar, ‘kan? Tolong lepasin Kakak ya. Kakak nggak bisa jadi baby sitter Sean. Kakak nggak punya pengalaman dan nggak kompeten.” Dia melirik Daniel sesaat, sengaja menyindir pria tersebut dengan ucapannya tadi. Kemudian, dia kembali menatap Sean. “Ayah Sean pasti akan mencarikan baby sitter nanti."

Meski Sean tampak cemberut, tapi bocah kecil itu cukup berujung menurut dan melepaskan Nadia. Hal itu membuat Daniel yang melihat interaksi keduanya sedikit kesal.

Kenapa Sean malah lebih nurut dengan Nadia dibandingkan dirinya, sang ayah?

Tapi, saat memperhatikan Nadia, mata Daniel terlihat memicing ketika menyadari adanya luka yang cukup panjang di lengan gadis itu.

Daniel menghela napas berat. Dia kembali menatap lekat anaknya. "Sean, kemari."

Sean menoleh sekilas, tapi dia merasa enggan untuk mendekat. Dia masih ingin memaksa sang ayah agar menjadikan Nadia baby sitternya.

"Ayah, Sean mau Kakak ini …."

"Sean, Ayah bilang kemari. Cepat!" Suara Daniel berubah tegas.

Tubuh Sean seketika bergetar karena ketakutan. Nadia yang menyadari hal itu tak habis pikir. Bagaimana bisa ada seorang ayah yang begitu dingin pada anaknya sendiri?

Nadia menghela napas berat. Dia kembali menatap lekat Sean dan tersenyum tipis. "Sean, Ayahmu memanggilmu, kan? Menurut, ya," ujarnya lirih.

Mata Sean yang berkaca-kaca itu tampak sedih. Dia tak bisa lagi menolak dan kembali pada Daniel. Dalam sekejap mata, Sean sudah berada di dalam gendongan sang ayah.

Nadia kini bisa bernapas lega. Setidaknya dia bisa pergi sekarang. "Sean, Kakak pergi dulu, ya?"

Setelah mengatakan itu, Nadia berbalik pergi. Tapi sebelum langkahnya benar-benar jauh, Daniel tiba-tiba membuka suaranya.

"Berhenti di situ."

Nadia tersentak, dia berhenti melangkah dengan perasaan heran. Apa lagi?

Daniel melirik ke arah salah satu pelayannya. "Obati luka di tangannya."

Pelayan tersebut mengangguk pelan. "Baik, Tuan."

Nadia tercengang. “N-nggak perlu, saya bisa–”

Sebelum Nadia selesai berbicara, Daniel kembali membuka mulutnya.

"Mulai minggu depan, kamu bekerja sebagai baby sitter Sean."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Guru
enak dibaca
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status