Ella terpaku di tempatnya berdiri saat ini. Dirinya masih tidak menyangka nekat untuk datang ke tempat yang benar-benar asing baginya. Bahkan mungkin lebih dari setengah penghuninya ingin menghabisinya. Tatapan Ella terus mengedar mengawasi keadaan sekitar. Tidak banyak orang berlalu lalang, beberapa mobil terpakir dengan rapi—termasuk mobilnya—, sejauh Ella memandang, hampir tidak terlihat batas ujung dari tembok merah ini. Ella hanya melihat dua menara yang menjulang di bagian ujungnya nun jauh di sana. Tepat di hadapannya, sebuah papan melengkung dengan ukiran huruf yang menyusun dua kata Penjara Blackford terukir di sana.Mungkin seharusnya Ella tidak berada di sini. Seharusnya ia menuruti saran Dokter Peggy untuk berlibur menenangkan pikiran, bukannya datang ke penjara untuk menemui Arian. Sialan! Ini semua bersumber dari pembicaraannya dengan Abby semalam. Wanita itu menceritakan bagaimana ia mengenal Arian dan kawan-kawannya, apa hubungan mereka, penyebab mereka berpisah, dan r
“Ella!”Ben berteriak memanggil nama wanitanya, tapi semua sia-sia, karena mobil itu sudah melaju pergi meninggalkan Ben. Kini, hanya tersisa dirinya dan tiga orang pria yang mengelilinginya. Salah satunya mengeluarkan pisau—tidak, itu lebih mirip pedang—dan mengayunkannya ke arah Ben. Dengan sisa tenaganya, ia berguling menjauh, tapi ayunan pedang itu malah mengenai betisnya dan membuat luka terbuka di sana.“Cepat kita selesaikan!” perintah yang lainnya.Ben berusaha bangkit, lalu berlari menerobos rimbunan pepohonan. Ben tidak peduli lagi seberapa sakit dan perihnya luka menganga di kakinya. Hal yang paling penting saat ini adalah menyelamatkan diri, berlari sejauh mungkin meninggalkan orang-orang yang menyerangnya. Ben menerjang ranting-ranting pohon di hadapannya, ia terus berlari membelah pekatnya gelap malam di antara pepohonan. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan langkah-langkah cepatnya tidak terkejar.Sial!Hingga pada akhirnya Ben perlahan dipaksa menyerah oleh luka
“Kau sudah gila, Kim?”“Papa, itu adalah jalan keluar terbaik bagi semuanya.” Kim mendesah kecewa, melihat penolakan ayahnya akan usul gilanya. “Siapa yang akan mengurus Papa dan semua ini, saat aku tidak ada nanti?”“Jangan bicara seperti itu! Jangan bicara seolah-olah kau akan mati dalam waktu dekat.”“Bukankah memang benar adanya? Dua tahun adalah waktu yang lebih dari cukup, yang diberikan Tuhan padaku, Pa. Tapi Papa tahu sendiri, bahwa kondisiku tidak pernah benar-benar membaik.”“Kalau begitu, Papa bisa menulis surat wasiat yang berisi harta keluarga Wade akan disumbangkan seluruhnya setelah kita berdua tidak ada di dunia ini. Papa tidak bisa menyerahkan semua ini ke tangan orang lain, Kim. Para investor tidak akan mengerti. Papa memang menolong Nic, karena rasa iba, tapi permintaanmu sudah melampaui batas.”“Aku yakin, investor akan mengerti. Tapi jika Papa menjual semua aset lalu menyumbangkan semua hasil penjualan, bagaimana dengan para pekerja? Berapa ribu orang yang harus k
Setelah pengumuman pertunangan antara Nicholas dan Kimberly, pesta menjadi semakin membosankan bagi Ella. Semua orang kembali sibuk membicarakan tentang keberlangsungan bisnis masing-masing. Sekilas Ella mencuri dengar, bahwa keadaan ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Penyebabnya adalah perang dan bencana di belahan dunia lain yang membuat roda perekonomian terhambat. Menyebabkan barang-barang menjadi langka, harga mahal, dan kemiskinan meningkat.Meski tidak selalu mengerti dengan usaha yang dijalankan James dan Prince, tapi dari reaksi mereka setiap kali bertemu, Ella bisa membaca bahwa keadaan di luar sana juga sangat memengaruhi keuangan keluarga. Ella yakin, saat ini baik Softucker maupun Loshen, bukan lagi menjadi keluarga terkaya, mungkin sudah berada di nomor tiga atau bahkan lebih buruknya keluar dari lima besar.Namun, sepertinya keadaan berbanding terbalik untuk takdir Tuan Wade. Seorang pria botak di dekat Ella bahkan terang-terangan memuji keberhasilan Garret Wade yang
“Holyshit!” maki Grace sambil matanya menyipit memperhatikan dengan seksama sosok yang menjadi sampul majalah lokal Rotterfort. “Dia benar-benar mirip Max!”“Namanya bukan Max. Nama sebenarnya adalah Ben. Dan ya, dia memang Ben!”Grace mengerutkan keningnya, tapi perhatiannya masih pada foto di majalah. “Kau yakin? Max—maksudku Ben tidak setampan pria ini, Nicholas. Bahkan Max tidak memancarkan karisma yang menarik seperti Nicholas Wells ini.”“Aku sudah memastikannya. Dia memang Ben. Kalau kau bertanya pada Peter pun, ia akan menjawab bahwa itu adalah Ben,” yakin Ella sembari mengangguk ke arah Peter yang sedang melayani pelanggan.Kalimat Ella yang satu itu menarik perhatian Grace. “Bagaimana caranya? Kau …”“Singkirkan pikiran kotormu, Grace!” sergah Ella, seolah tahu apa yang dipikirkan sahabatnya ini. Meski tak ayal dengan memikirkan peristiwa kemarin malam berhasil membuat wajahnya kembali memerah. “Aku cukup memprovokasinya, lalu dia mengakui semua ucapanku.”Grace masih menata
Setelah hampir satu jam perjalanan, akhirnya mobil yang menjemput Ella dan Grace berbelok memasuki sebuah pekarangan cottage mungil yang terlihat begitu asri dengan deretan pohon kelapa dan bunga-bunga yang tertata rapi di sana, lalu berhenti tepat di depan pintu masuk. Seorang supir membukakan pintu untuk mereka, lalu mempersilakan dua wanita itu masuk. “Selamat datang,” sambut Kim, lalu memeluk dan mencium kawan barunya. “Bagaimana perjalanannya?” “Sedikit membosankan, tapi champagne-mu cukup menghibur,” jawab Ella yang membuat Kim terkekeh. “Ayo! Aku ajak kalian berkeliling, sekaligus memberitahu hal-hal apa saja yang akan kita lakukan selama tinggal di sini.” Kim langsung menggamit lengan Ella dan Grace. “Oh, tolong masukkan langsung ke kamar mereka, Fred,” titah Kim pada supir yang sudah menurunkan barang-barang Ella dan Grace. “Benar-benar hanya kita di sini?” tanya Grace memastikan, saat tidak melihat siapa pun di sekitarnya.
Ella benar-benar muak berada di cottage miliki keluarga Wade ini. Rencananya gagal total karena kehadiran Ben. Pria itu seperti lintah yang terus menempel pada Kim, sehingga Ella tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Kim. Beruntung sebuah panggilan telepon membuat Ben tidak bisa ikut pendakian bukit, karena ia harus mengurus beberapa urusan yang tertunda. Pria itu harus tetap berada di cottage, saat Ella bersama Kim dan Grace akan melakukan hiking. Ini adalah kesempatan Ella untuk mendekati Kim. “Semua sudah siap? Kalian sudah membawa bekal dan peralatan mendaki?” tanya Kim memastikan. “Baiklah kalau begitu, ayo kita berangkat!” serunya senang dan langsung berjalan keluar menuju jip. “Sayang, kau lupa sesuatu?” tanya Ben tiba-tiba, menghentikan langkah Kim. “Apa?” bingung Kim. Bukannya menjawab, Ben malah menghampiri Kim dan langsung mencium pipi serta bibir Kim. Ella yang berdiri di sebelah Kim, mati-matian menahan mual
Ella perlahan membuka matanya, tapi semuanya nampak gelap. Ia harus berusaha berulang kali memicingkan kedua kelopak matanya untuk bisa melihat sekitarnya sedikit lebih jelas. Namun, sejauh ia memandang, lagi-lagi hanya hitam pekat. Hingga akhirnya ia merasa seseorang mendekapnya, sangat erat, hingga hampir membuatnya sesak napas. Ella berusaha berteriak ingin meminta pertolongan, tapi ada sebuah tangan yang membungkam mulutnya. Ella masih terus meronta berusaha melepaskan diri, tapi tangan-tangan ini terlalu kuat dan Ella tidak memiliki cukup tenaga. Ini semua karena acara mendaki sialan yang menguras tenaganya, bahkan membuatnya tersesat dan mungkin akan berakhir mati dimangsa oleh suku pedalaman yang kanibal. Namun, sedetik kemudian pikiran Ella itu terhapuskan, karena sebuah ujung pistol mengarah tepat pada kepalanya. Jadi, bukan suku pedalaman, tapi Ella akan mati di tangan perampok bertopeng dan bersenjata? Di saat rasa takut Ella perlahan berangsur menghilang