Share

The Summer House

Jika tidak mengingat alasan dia memohon bekerja pada James Softucker, Ben akan dengan senang hati meninggalkan gadis yang sedari tadi bermulut kasar ini. Tanpa memedulikan perasaan orang lain, mulutnya begitu mudah mengucap makian dan hinaan untuk orang-orang seperti Ben. Bagian terburuknya, gadis itu mengatai Ben adalah seorang gay! Darimana pikiran itu berasal?

Tatapan Ben tidak pernah meninggalkan sosok Ella yang keluar-masuk ruang ganti dan berkeliling toko, meskipun Grace begitu menggoda. Terlebih saat tubuh gadis belia ini berada di atas pangkuan Ben, tangan yang melingkar di leher Ben, pria itu bisa menghidu aroma wangi bunga yang menenangkan. Mungkin jika Grace bukan sahabat Ella dan sekarang mereka tidak di tempat umum, Ben akan langsung memeluk pinggang ramping itu, menelanjanginya, dan membuat gadis ini mendesah di pangkuannya.

Namun, yang terjadi adalah mimpi buruk Ben selanjutnya. Dihajar banyak orang, karena ucapan gadis manja dan angkuh yang kini berada di bawah perlindungannya. Ingin sekali Ben menghajar orang-orang berakal pendek yang tengah menendangnya dan meninjunya, tapi mengingat si pembuat masalah tersungkur jatuh bersamanya, Ben tidak punya pilihan lain selain melindungi Nona Mudanya.

“Kau tidak apa-apa?”

Ben menatap intens gadis yang berada di bawahnya dan ketika wajahnya mendongak, Ben bisa melihat ketakutan di kedua matanya. Ingin sekali Ben menertawakan ekspresi gadis ini.

“Kau bisa berdiri?”

Gadis itu selalu mengangguk cepat sebagai jawaban atas pertanyaan Ben.

“Pada hitungan ketiga, aku akan menarikmu. Kita harus lari dari sini.”

“Tapi—”

“Jangan banyak bertanya!”

“Satu …” Ben merangkul tubuh Ella.

“Dua …” Pelukan Ben semakin erat.

“Tiga!”

Dengan sebelah tangannya yang bebas, Ben mendorong kerumunan di sekitarnya. Lalu menarik paksa Ella, merangkulnya erat, mereka membelah kerumunan yang diciptakan Ella. Langkah lebar Ben, membuat Ella terseok, tapi Ben tidak peduli. Pria itu terus berjalan secepat mungkin menghindar.

“Tas belanjaku!” pekik Ella.

“Biarkan!”

“Tapi—”

Ben menatap bengis pada Ella yang masih terus berusaha peduli pada barang-barang belanjaannya, daripada nyawanya sendiri. Namun, tiba-tiba Ben menyelipkan tangannya di belakang lutut Ella dan berakhir menggendongnya. Ben berlari secepat mungkin menuju parkiran mobil, tidak memedulikan banyak pasang mata yang menatap mereka, apalagi teriakan makian dari orang-orang yang mengejarnya. Saat sampai di parkiran, Ben langsung memaksa Ella masuk ke mobil. Ben kemudian menginjak pedal gasnya dalam-dalam, sampai membuat ban mobil berderit dan memekakan telinga. Laju mobil sekami kencang, tatkala suara sirine mobil polisi terus mengejar mereka dari belakang!

Entah sudah berapa lama dan berapa jauh mereka melarikan diri, Ben tidak tahu pasti. Satu hal yang diyakini Ben saat ini adalah mereka tersesat! Laju mobil semakin pelan dan mulai menepi. Ben mematikan mesinnya, lalu keluar untuk melihat keadaan sekitar. Gelap! Di sekeliling mereka hanya ada pohon pinus yang menjulang tinggi, jalanan juga sangat sepi!

Ben melongok kembali ke dalam mobil, Ella masih terlelap di sana.

“Sialan!” makinya. Seolah keadaan belum terlalu buruk, saat Ben mengambil ponselnya dan hendak mencari arah pulang, baterai ponselnya habis! Ben menggeram kesal, lalu menendang ban mobil bagian depan untuk menyalurkan amarahnya.

“Hei, bangun!” perintah Ben sambil menampar pelan pipi Ella.

Perlahan Ella mulai membuka matanya, kemudian menggeliat untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya. Matanya kemudian mengedar, memperhatikan keadaan sekelilingnya.

“Di mana ini?”

“Aku tidak tahu.”

“Tidak tahu?!” pekik Ella kaget, lalu turun dari mobil dan berjalan cepat menghampiri Ben. “Tidak tahu kau bilang?! Kau seharian ini menyetir dan berakhir di tengah hutan seperti ini, dan kau dengan mudahnya menjawab tidak tahu?!”

Ben kembali menendang ban mobil seraya menggebrak bagian atas mobil dengan tangannya. Ini bukan salahnya, kan? Apa yang bisa kau harapkan dari seorang mantan narapidana yang dipenjara selama 15 tahun? Kau berharap dia bisa tahu bagaimana perkembangan di dunia luar dari balik jeruji besi?

“Ponselku mati. Bagaimana dengan milikmu?”

Ella buru-buru merogoh tasnya dan menemukan ponselnya masih memiliki daya baterai, tapi hanya tinggal 10%.

“Ponselku tidak akan bertahan lebih dari 15 menit, jika digunakan untuk mencari jalan keluar dari sini.”

“Cari saja sekarang. Kita bisa hafalkan.”

Ella kembali sibuk dengan ponselnya, jemarinya bergerak lincah mencari jalan keluar dari tengah hutan ini.

“Tunggu! Aku tahu di mana kita saat ini!” seru Ella, kemudian melihat kembali ke sekelilingnya. “Kita di Canterly Woods!”

“Di mana kau bilang?”

“Lihat ini!” Ella menyodorkan ponselnya pada Ben. “Titik biru ini adalah titik di mana kita berada. Kita berada di hutan Canterly Woods! Kau paham sekarang?”

“Lalu ke mana arah pulang?” tanya Ben tergesa mencari topik lain, sebelum gadis di hadapannya ini lebih lama menatapnya. Ben tidak akan masalah jika tatapan itu adalah tatapan ramah, tapi tidak dengan yang satu ini. Tatapan yang diberikan adalah tatapan merendahkan. Ben tidak akan membiarkan satu pun keluarga Softucker untuk merendahkannya.

Penerus kerajaan Softucker itu tertawa sumbang saat mendengar pertanyaan Ben, lalu kembali menyimpan ponselnya.

“Pulang? Aku tidak mau pulang!”

“Jangan macam-macam! Kau masih ingin bermain denganku? Kau tidak lihat akibat dari perbuatanmu di mal tadi?” gusar Ben. “Kau tidak mau pulang, karena memang ingin aku dipecat oleh ayahmu, kan?”

“Bagus kalau kau paham. Tapi saat ini, bukan itu alasan utamaku.”

Ben menatap Ella tak suka. Terlebih saat seringai penuh kesombongan hadir di wajahnya.

“Masuklah! Aku tahu kita harus ke mana!”

“Aku tidak mau! Kau katakan dulu, ke mana arah pulang!”

“Ck! Aku sudah bilang, aku tidak mau pulang!”

“Baiklah. Kalau begitu lebih baik kita tetap di sini, sampai ada mobil lain lewat. Setidaknya aku punya alasan yang masuk akal untuk kujadikan alibi, jika ayahmu ingin memecatku!” jawab Ben yang membuat Nona Muda menggeram kesal dan langsung menampar pipi Ben, lalu memukuli tubuhnya.

“Kau sialan, Max! Dasar anjing jalanan!”

“Hentikan! Hentikan!” teriak Ben, berusaha menghentikan pukulan Ella. “Jika kau masih memukuliku, aku akan patahkan tanganmu!”

“Lepaskan!”

“Ke mana arah pulang?”

Bungkamnya Ella, membuat Ben geram. Ditariknya Ella ke dalam pelukannya, lalu menghimpit tubuh mungil itu di antara dirinya dan sisi mobil. Tentu saja gadis itu tidak diam saja, berulang kali dia berteriak memakin Ben dan berusaha melepaskan diri. Namun, semua perlawanan itu sia-sia, mengingat ukuran tubuh Ben hampir tiga kali tubuhnya. Ben semakin mendekatkan tubuhnya, tidak menyisakan sedikitpun ruang antara mereka.  

“Katakan, Nona,” bisik Ben di telinga Ella. “Apakah ke utara atau ke selatan?”

Ella bergeming.

“Kau pikir aku tidak berani memaksamu?”

Ben bersorak dalam hati saat melihat ketakutan di dalam manik mata Nona Mudanya. Berulang kali putri Softucker membasahi bibirnya yang bergetar, karena kegugupan yang tiba-tiba menyergap. Satu hal yang tidak diantisipasi oleh Ben adalah godaan bibir tipis berwarna merah itu. Bibir yang merekah dan sedikit lebih tebal di bagian bawah, sungguh sempurna. Wajah Ben semakin mendekat, bahkan dirinya bisa merasakan hangat napas Ella yang memburu.  

“Jangan macam-macam, Max!”

“Kau yang memulai, Nona,” bisik Ben tepat di atas bibir Ella. Pada akhirnya Ben takhluk pada satu dorongan tak kasat mata yang menyuruhnya untuk merasakan bibir itu. Satu kecupan singkat dan Ben langsung menarik wajahnya menjauh. “Aku bisa melakukan hal yang lebih daripada tadi, jika kau masih keras kepala.”

“Ba—Baiklah! Ke sana!” jawab Ella seraya mengangguk ke sebelah kanannya. “Kalau mau kembali ke kota lewat sana.”

“Kau tidak bohong?”

Ella buru-buru menggeleng.

“Baiklah, aku percaya padamu.” Ben melepaskan himpitannya, kemudian menggandeng Ella menuju pintu sisi penumpang. “Tapi kalau kau berbohong, aku tidak akan segan-segan melakukan hal yang lebih. Paham? Cepatlah masuk!”

Beberapa saat kemudian, Ben melaju sesuai arahan yang diberikan Ella. Dirinya tidak punya pilihan lain selain percaya pada ucapan gadis kaya yang manja ini. Jika nantinya semua ucapan Ella adalah kebohongan, Ben akan benar-benar membuktikan ancamannya. Dia akan membuat Ella tidak pernah melupakan malam ini.

***

“Kau!” geram Ben saat menyadari dirinya telah dipermainkan oleh Ella. Ben langsung turun dari mobil dan berjalan ke sisi lainnya, untuk menyeret Ella dan memberinya pelajaran.

Namun, Ella lebih cepat bergerak melarikan diri. Gadis itu berlari melewati jalan setapak di antara pepohonan.

“Ella!” teriak Ben. “Berhenti!”

Keadaan hutan yang gelap dan hanya ada sedikit cahaya dari bulan purnama, membuat Ben kesulitan melihat ke mana Ella berlari. Ben hanya mengandalkan suara gemerisik dahan dan daun kering yang patah saat dilewati oleh Ella. Suara gemerisik itu semakin dekat, Ben mempercepat larinya. Saat pengejaran itu berhenti, Ben mendapati Ella membungkuk, memegangi kedua lututnya, terengah tak jauh di hadapannya.

“Ella!”

Ben berjalan cepat mendekati Ella. Namun, tidak seperti saat di pinggir jalan tadi, gadis ini sama sekali tidak berusaha untuk kabur lagi. Bahkan tak acuh dengan amarah Ben, Ella berjalan menuju sebuah pondok yang ada di tepi danau. Ben terus mengawasi tingkah Ella, gadis itu sepertinya sudah terbiasa datang kemari, bahkan tahu di mana letak si pemilik pondok menyimpan kunci.

Ella membuka pintu depan, lalu menghilang di baliknya. Tak berapa lama kemudian, cahaya bulan purnama di sekitaran danau digantikan oleh semburat cahaya lampu-lampu dari dalam pondok. Semua ini, membuat kening Ben mengerut dan penasaran, mengapa Ella tahu tempat ini. Ben membiarkan pintu depan yang barus saja dilewatinya terbuka, dirinya melangkah masuk, menatap sekeliling, dan berakhir dengan Ella yang tiba-tiba muncul dari pintu bagian belakang.

“Kenapa melihatku seperti itu? Kau pikir aku tidak bisa melakukan ini semua?” tanyanya sambil melangkah menuju perapian yang berada di ruang tamu pondok. Ella melemparkan empat batang kayu yang diambilnya dari belakang ke dalam perapian, lalu pergi ke dapur untuk mengambil minyak dan korek api.

“Tempat apa ini?” tanya Ben, masih waspada dengan sekelilingnya.

“Ini adalah rumah musim panas keluargaku. Kami menghabiskan waktu hampir sepanjang musim panas di sini,” jelas Ella, yang kini sudah membuka jaketnya. Lalu menutup pintu dan memadamkan lampu utama, membuat pencahayaan temaram. Ella lalu menepuk pelan sofa di dekatnya—untuk menyingkirkan debu—kemudian duduk untuk menikmati kehangatan dari kayu yang mulai terbakar.  

Ben sama sekali tidak tertarik dengan ajakan Ella untuk duduk bersama, mengobrol di depan perapian. Mereka bukan sahabat, hubungan mereka adalah majikan dan budaknya. Atau mungkin bagi Ben lebih seperti predator dan mangsa, tentu saja Ben adalah predatornya!

“Kau lupa dengan ucapanku sebelum kita naik mobil tadi?”

Ella mendongak dan menatap lurus kedua mata Ben. “Yang mana?”

Di remang cahaya, Ben bisa melihat—lagi-lagi—seringai sombong dan ekspresi penuh kemenangan di wajah Ella. Namun, kali ini Ben tidak main-main dengan ancamannya!

Ben menarik paksa Ella untuk berdiri, kemudian mendekap erat pinggul Ella. Membuat tubuh keduanya merapat, tanpa menyisakan ruang di antaranya. Sebelah tangan Ben menarik rambut Ella untuk membuat wajah gadis itu tengadah. Ben memperhatikan sekali lagi, bagaimana kondisi Ella saat ini.

“Jangan terlalu memaksakan diri, Max.” Ella tersenyum. “Aku tahu itu hanya gertakanmu saja. Mana mungkin seorang gay bisa melakukannya pada wanita, kan? Aku tidak akan pernah bisa membuatmu bergairah.”

Tawa Ella semakin keras, membuat Ben mengetatkan pelukannya.

“Sakit,” rintih Ella berusaha melepaskan diri. “Apa sekarang kau sedang berusaha untuk bergairah? Kau tidak akan bisa, cobalah!” tantang Ella di tengah rontaannya. Namun, sesaat kemudian gadis itu melakukan sesuatu yang tidak pernah diduga Ben.

Ella merangkul leher Ben. Kemudian mengaitkan kaki kirinya di pinggang Ben, membuat tubuh mereka semakin merapat. Detik berikutnya, Ella bergerak naik turun secara perlahan, menggoda pusat gairah Ben.

“Bagaimana? Kau tergoda dengan apa yang aku lakukan?” bisik Ella, lalu menjilat telinga Ben. Kemudian menciumi leher Ben, mencoba menggodanya.

Gadis dalam pelukannya ini benar-benar menguji kesabaran dan gairah Ben. Dirinya adalah pria normal yang jika diperlakukan seperti ini, tentu saja bisa memicu gairahnya semakin meninggi. Namun, Ben tidak ingin kalah pada gairah dan keangkuhan Ella. Ben akan ikut bermain dalam permainan yang diciptakan Ella. Jika gadis itu menginginkan pembuktian akan ancaman Ben, maka Ben akan membuktikannya!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status