LOGINTangan Leon yang masih menodongkan pistol ke arah pria berambut perak itu tidak goyah, tetapi tubuhnya tegang. Ekspresi dingin membeku di wajahnya, jauh lebih pekat daripada keputusasaan yang baru saja ia rasakan bersama Elena.“Kamu,” desis Leon. Bukan sapaan, melainkan kutukan. Aura ruangan sempit itu, yang sebelumnya dipenuhi keintiman yang kacau, kini mendadak dipenuhi bau mesiu dan bahaya yang lebih mematikan daripada peluru di luar.Pria itu melangkah maju. Mantel panjangnya yang gelap nyaris menyentuh kusen pintu. Dia mengangkat tangan kirinya dengan gerakan santai, seolah keberadaan pistol yang diarahkan ke kepalanya hanyalah formalitas.“Sambutan yang kurang hangat, Leon,” balas pria itu dengan nada mengejek, suaranya dalam dan bergetar, mengingatkan pada gema di makam batu.Elena merasakan cengkeraman Leon pada pinggangnya mengerat hingga menyakitkan. Kata-kata dari perkelahian tadi, tentang kehormatan dan pengkhianatan, mendadak terasa dingin dan nyata di tenggorokannya.“J
Hening beberapa detik setelah Sofia berkata, “Sekarang giliranmu,” terasa seperti sesuatu yang runtuh dari dalam dada Elena. Pistol itu masih mengarah ke wajahnya, tapi tatapan Sofia justru lebih dingin daripada moncong senjata itu sendiri. “Jangan buat aku ulangi,” ucap Sofia pelan tapi mematikan. Elena menegang. Tangannya sedikit bergetar. Leon berdiri setengah terseret napas, darah masih menetes dari lengannya yang tadi tertembak. Tapi suaranya tetap stabil. “Sofia… kamu masih seperti dulu,” katanya lirih. “Bahkan setelah kamu menjual tubuh murah mu ke pria brengsek itu!" Rahang Sofia mengeras. Ia kemudian berucap," Kamu tidak punya hak menyebut namanya,” desis Sofia. Leon tertawa kecil, pahit. “Hak? Setelah kamu menusukku dari belakang? Setelah kamu menjual kepercayaan ku, bahkan segala informasi tentang markas kami ke dia? Jangan lupa malam itu, aku yang menjemput mayat-mayat anak buahmu.” Sofia tersentak. Ada kilatan emosi yang cepat—marah, sakit, rindu, sulit dite
Tapi seakan berubah ketika ia mendengar ada suara yang tengah berteriak keras. "Bos, gadis itu membawa beberapa orang memasuki mansion...." Teriakan terakhir itu dari luar mansion belum benar-benar hilang ketika Leon menutup pintu kamar itu dengan satu hentakan. Brank... Keheningan di dalam ruangan seperti menyerap sisa-sisa kekacauan di luar, membuat jantung Elena berdetak kencang tanpa irama yang jelas. Elena berdiri kaku di dekat jendela besar, kedua tangannya bergetar di samping tubuh. Cahaya jingga sore memantul di pipinya, membuat ketakutannya terlihat lebih nyata, lebih telanjang. Leon menatapnya lama. Lama sekali. Seakan sedang mempelajari reaksi Elena seperti mempelajari kode rahasia. Ia melepaskan jasnya yang berlumur darah, menjatuhkannya begitu saja ke lantai. Elena tersentak melihat bercak merah tua yang masih basah itu. “Terjadi sesuatu di luar, kan?” suara Elena bergetar. “Ada yang kamu siksa?” Leon tidak langsung menjawab. Ia mengambil kain dari
Ia terbangun oleh ketukan keras di pintu kamar, bukan suara alarm mungil di apartemennya. Ranjang empuk dan selimut mewah justru membuat dadanya sesak. Ruangan terlalu besar, terlalu sunyi, seolah menelan dirinya. Di kursi, jas hitam Leon terlipat rapi; pemiliknya hilang begitu saja, seperti bayangan yang bergerak sendiri. Elena menghela napas dan membasuh wajahnya di wastafel marmer. Refleksinya sendiri tampak lelah: mata sembab, wajah pucat, senyum yang dipaksa. “Aku harus kuat,” bisiknya pada bayangan itu. Di ruang makan, aroma roti panggang dan kopi hitam menyambutnya. Tidak ada kehangatan di sana. Hanya meja panjang penuh makanan mewah dan para pria bertubuh besar yang menoleh menilai. Di ujung meja, Leon duduk seperti penguasa dunia kecilnya, kemeja putih dengan lengan digulung menampilkan lengan kokohnya. “Elena,” panggilnya. “Duduk di sini.” Ia menurut, meski tangan gemetar. Salah satu pria berwajah penuh luka tiba-tiba terkekeh. “Bos, sejak kapan kita mengundang t
Di malam berikutnya, ketika langit Jakarta masih diselimuti mendung. Hujan turun tipis, membuat jalanan berkilau basah diterpa cahaya lampu. "Baiklah, ini semua demi biaya pengobatan ayahku." Elena mulai menjalankan tugasnya, dia berdiri menunggu jemputan dan benar saja, saat sebuah mobil melintas, ia segera masuk dan kini duduk di kursi penumpang mobil mewah milik Leon itu. Kedua tangannya saling menggenggam erat, jemari dingin berkeringat. Pikirannya kalut, hatinya penuh tanda tanya. Mobil melaju tenang, dikendarai sopir pribadi Leon. Suasana di dalam begitu hening, hanya suara mesin yang terdengar. Leon yang duduk di sampingnya, hanya bersikap tenang dengan tatapan yang fokus ke luar jendela. Sesekali, Elena melirik pria itu. Setiap detailnya memancarkan aura kekuasaan seperti jas hitam rapi, jam tangan mewah yang berkilau, dan sorot mata yang dingin bagai batu. Ia seperti pria yang tak bisa disentuh, apalagi dipahami. Elena menggigit bibir, lalu memberanikan diri. “Ayah
Suasana ruang rawat itu dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung, begitu kuat hingga membuat dada Elena terasa kencang. Monitor di samping ranjang berdetak pelan, teratur, seperti menghitung detik-detik penting yang menentukan nyawa ayahnya. Setiap bunyi bip seakan memukul batinnya. Elena duduk di kursi plastik kecil, tubuhnya condong ke depan. Jemarinya menggenggam tangan ayahnya yang dingin dan lemah. Tulang-tulang di tangan itu tampak begitu menonjol, seakan waktu menggerogotinya tanpa ampun. Elena menyusuri tangan lemah itu dengan jari-jarinya yang gemetar. “Bertahanlah, Yah… tolong bertahan,” bisiknya parau. " Demi aku Yah...." Tanpa terasa air matanya luruh, ia menjadi sangat lemas dan tak berdaya. "Yah...." Suara itu pecah berkali-kali, seperti tidak sanggup menahan beban yang menekan dari segala arah. Air mata jatuh tanpa diminta. Rasanya ia ingin berteriak, membuat langit-langit rumah sakit runtuh, menghentikan semua penderitaan. Tapi kenyataan terlalu keras,







