Home / Romansa / Pengganti Hati Sang Mafia / Pertemuan yang tak terduga

Share

Pengganti Hati Sang Mafia
Pengganti Hati Sang Mafia
Author: Novita Ledo

Pertemuan yang tak terduga

Author: Novita Ledo
last update Last Updated: 2025-09-26 11:18:17

Tap... Tap... Tap...

Langkah kaki Elena terasa berat saat ia menuruni tangga besar di rumah sakit. Hatinya masih kacau, pikirannya belum bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya kini sedang berada di antara hidup dan mati. Semuanya terasa terlalu cepat, terlalu mendadak.

Suara notifikasi ponselnya berdering. Ia merogohnya, menemukan pesan dari pihak rumah sakit, “Mohon hadir ke ruang direktur untuk membicarakan pembayaran dan kelanjutan perawatan pasien.”

Dadanya seketika sesak. Uang. Lagi-lagi masalah uang.

Elena menutup mata sejenak, menenangkan diri. Ia tahu, setelah ini, tak ada jalan lain selain menghadapi kenyataan jika biaya operasi ayahnya takkan mampu ia tanggung sendiri.

Apa yang akan dia lakukan?

Di sisi lain kota, sebuah mobil hitam mewah melaju kencang menembus keramaian lalu lintas Jakarta malam itu. Di kursi belakang, seorang pria dengan jas hitam elegan duduk dengan sikap angkuh. Tatapannya tajam, dingin, nyaris menusuk siapa saja yang berani menantangnya.

Dialah Leonardo Ricardo, penguasa bisnis bawah tanah yang lebih dikenal sebagai mafia berdarah dingin. Ia baru saja menyelesaikan sebuah pertemuan rahasia dengan rekan bisnis luar negeri. Tapi bukan urusan itu yang membuat kepalanya berat malam ini.

Sejak kematian adiknya setahun lalu, Leon tak pernah lagi bisa benar-benar tidur nyenyak. Adiknya mati di tangan pengkhianat. Dan sejak itu, Leon bersumpah, takkan ada seorang pun yang bisa menyentuh keluarganya lagi.

Namun, takdir selalu punya permainan sendiri.

Elena duduk di kursi ruang tunggu direktur rumah sakit. Tangannya menggenggam erat map hasil pemeriksaan ayahnya. Begitu pintu terbuka, ia berdiri dengan sopan.

“Silakan duduk, Nona Elena,” ucap dokter yang menangani. 

“Bagaimana keadaan Ayah saya, Dok?” tanyanya pelan.

“Sebetulnya, operasi harus segera dilakukan. Tapi biayanya tidak kecil.”

Elena menunduk. “Berapa… kira-kira?”

Dokter itu menyebut angka fantastis yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak.

“Tidak mungkin saya bisa mengusahakan sebanyak itu dalam waktu singkat, Dok.”

Si Dokter hanya menghela napas. “Kami bisa memberi tenggat beberapa hari. Tapi selebihnya, mohon maaf, perawatan akan terhenti.”

Seakan seluruh dunia menutup diri, Elena berdiri dengan tubuh gemetar. “Saya akan cari caranya,” bisiknya lirih.

Sementara itu, Leon keluar dari mobilnya, melangkah masuk ke rumah sakit yang sama. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa ia diam-diam memiliki saham besar di rumah sakit itu.

Langkahnya terhenti ketika pandangannya menangkap sosok perempuan di koridor. Rambut hitam panjang yang terurai seadanya, mata merah bengkak karena menangis, namun tetap ada cahaya keanggunan yang tak bisa diabaikan.

Elena.

Perempuan itu berjalan sambil menunduk, nyaris menabrak Leon tanpa sadar.

“Perhatikan jalanmu,” suara Leon dingin.

Elena terperanjat, buru-buru menunduk. “M-maaf, saya tidak…”

Kalimatnya terhenti begitu ia menatap wajah pria itu. Mata gelap penuh wibawa, rahang tegas, dan aura mengintimidasi.

“Kenapa menangis?” tanya Leon tiba-tiba, nadanya tak biasa untuk seorang asing.

Elena berusaha tegar. “Itu bukan urusan Anda.”

Sudut bibir Leon terangkat tipis, nyaris seperti ejekan. “Kamu berani bicara begitu kepadaku?”

Ada sesuatu yang membuat Elena gemetar, bukan hanya karena sikapnya, tapi juga tatapan matanya yang terasa seolah mampu menelanjangi isi hati.

Menghindari Elena, ada senyum kecut yang tampak diwajah Leon, ia bergumam dengan nada amarah, "Gadis itu berani sekali..."

Leon melangkah ke ruang direktur, ia kemudian bertanya, "Siapa nama gadis itu?"

"Ooo... Dia bernama Elena tuan."

Sang direktur juga menjelaskan kondisi keuangan keluarga Elena, juga tentang operasi yang mendesak. Leon mendengarkan dalam diam. Ada ketertarikan aneh yang muncul.

Ketika Leon keluar ruangan, ia mendapati Elena duduk termenung di bangku panjang koridor. Gadis itu tampak begitu rapuh, namun juga keras kepala dalam keteguhannya.

“Kamu butuh uang?” tanya Leon blak-blakan.

Elena mendongak kaget. “Apa maksud Anda?”

“Untuk operasi ayahmu. Kamu tidak akan bisa membayar itu. Tapi aku bisa.”

Elena berdiri dengan marah. “Saya tidak mengenal Anda. Dan saya tidak butuh belas kasihan!”

Leon melangkah lebih dekat, menurunkan suara hingga terdengar mengancam. “Kamu bahkan tidak tahu siapa aku, tapi menolak bantuanku? Dunia ini tidak semudah yang kau kira, Elena.”

Elena mencoba menahan air mata. “Kalau saya menerima bantuan Anda, pasti ada harga yang harus dibayar. Bukan begitu?”

Tatapan Leon menajam. “Tepat sekali.”

Ia mencondongkan tubuh, berbisik. “Aku akan bayar semua biaya ayahmu. Tapi sebagai gantinya…”

Elena menahan napas. Aura pria itu begitu mendominasi, membuat lututnya hampir lemas.

“Kamu akan menjadi milik ku.”

Elena terkejut. “Milik… siapa?”

“Milikku dan tak bisa dibantah setelah kamu menerima uang dari ku. Kamu akan tinggal di sisiku. Kamu akan jadi milikku!”

Kalimat itu menghantam keras seperti palu. Elena menatapnya dengan ngeri sekaligus bingung.

“Apa Anda gila?! Kita bahkan baru bertemu!”

Leon menatapnya tenang, nyaris dingin. “Aku tidak pernah main-main. Dunia yang kujalani tidak mengenal kata kebetulan. Kamu muncul di depanku bukan tanpa alasan. Dan perlu kamu tahu, kamu tak punya hak menolak permintaan sang penguasa seperti ku."

Elena ingin menolak, tapi bayangan wajah ayahnya yang terbaring di ruang ICU kembali menghantui. Kalau ia menolak, operasi itu takkan pernah terjadi. Ayahnya bisa kehilangan nyawa.

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air mata perlahan jatuh tanpa bisa ia tahan.

Leon berdiri tegap, menunggu. Ia seolah tahu perempuan ini sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Dan ia tahu, pada akhirnya, keputusasaan selalu menjadi pintu masuk terbaik.

“Elena,” suara Leon merendah, hampir seperti bisikan maut. “Putuskan sekarang. Kamu mau menyelamatkan ayahmu… atau kehilangan dia selamanya?”

Ketika Elena akhirnya mengangkat wajahnya, tatapannya penuh luka. Suaranya gemetar, tapi tegas.

“Kalau saya terima… apa yang akan terjadi pada saya?”

Leon menatapnya lama, lalu mengukir senyum tipis.

“Kamu akan tahu nanti.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Terjebak di Dua Sisi

    Tangan Leon yang masih menodongkan pistol ke arah pria berambut perak itu tidak goyah, tetapi tubuhnya tegang. Ekspresi dingin membeku di wajahnya, jauh lebih pekat daripada keputusasaan yang baru saja ia rasakan bersama Elena.“Kamu,” desis Leon. Bukan sapaan, melainkan kutukan. Aura ruangan sempit itu, yang sebelumnya dipenuhi keintiman yang kacau, kini mendadak dipenuhi bau mesiu dan bahaya yang lebih mematikan daripada peluru di luar.Pria itu melangkah maju. Mantel panjangnya yang gelap nyaris menyentuh kusen pintu. Dia mengangkat tangan kirinya dengan gerakan santai, seolah keberadaan pistol yang diarahkan ke kepalanya hanyalah formalitas.“Sambutan yang kurang hangat, Leon,” balas pria itu dengan nada mengejek, suaranya dalam dan bergetar, mengingatkan pada gema di makam batu.Elena merasakan cengkeraman Leon pada pinggangnya mengerat hingga menyakitkan. Kata-kata dari perkelahian tadi, tentang kehormatan dan pengkhianatan, mendadak terasa dingin dan nyata di tenggorokannya.“J

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Musuh lama

    Hening beberapa detik setelah Sofia berkata, “Sekarang giliranmu,” terasa seperti sesuatu yang runtuh dari dalam dada Elena. Pistol itu masih mengarah ke wajahnya, tapi tatapan Sofia justru lebih dingin daripada moncong senjata itu sendiri. “Jangan buat aku ulangi,” ucap Sofia pelan tapi mematikan. Elena menegang. Tangannya sedikit bergetar. Leon berdiri setengah terseret napas, darah masih menetes dari lengannya yang tadi tertembak. Tapi suaranya tetap stabil. “Sofia… kamu masih seperti dulu,” katanya lirih. “Bahkan setelah kamu menjual tubuh murah mu ke pria brengsek itu!" Rahang Sofia mengeras. Ia kemudian berucap," Kamu tidak punya hak menyebut namanya,” desis Sofia. Leon tertawa kecil, pahit. “Hak? Setelah kamu menusukku dari belakang? Setelah kamu menjual kepercayaan ku, bahkan segala informasi tentang markas kami ke dia? Jangan lupa malam itu, aku yang menjemput mayat-mayat anak buahmu.” Sofia tersentak. Ada kilatan emosi yang cepat—marah, sakit, rindu, sulit dite

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Elena dalam bahaya

    Tapi seakan berubah ketika ia mendengar ada suara yang tengah berteriak keras. "Bos, gadis itu membawa beberapa orang memasuki mansion...." Teriakan terakhir itu dari luar mansion belum benar-benar hilang ketika Leon menutup pintu kamar itu dengan satu hentakan. Brank... Keheningan di dalam ruangan seperti menyerap sisa-sisa kekacauan di luar, membuat jantung Elena berdetak kencang tanpa irama yang jelas. Elena berdiri kaku di dekat jendela besar, kedua tangannya bergetar di samping tubuh. Cahaya jingga sore memantul di pipinya, membuat ketakutannya terlihat lebih nyata, lebih telanjang. Leon menatapnya lama. Lama sekali. Seakan sedang mempelajari reaksi Elena seperti mempelajari kode rahasia. Ia melepaskan jasnya yang berlumur darah, menjatuhkannya begitu saja ke lantai. Elena tersentak melihat bercak merah tua yang masih basah itu. “Terjadi sesuatu di luar, kan?” suara Elena bergetar. “Ada yang kamu siksa?” Leon tidak langsung menjawab. Ia mengambil kain dari

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Aturan sang penguasa

    Ia terbangun oleh ketukan keras di pintu kamar, bukan suara alarm mungil di apartemennya. Ranjang empuk dan selimut mewah justru membuat dadanya sesak. Ruangan terlalu besar, terlalu sunyi, seolah menelan dirinya. Di kursi, jas hitam Leon terlipat rapi; pemiliknya hilang begitu saja, seperti bayangan yang bergerak sendiri. Elena menghela napas dan membasuh wajahnya di wastafel marmer. Refleksinya sendiri tampak lelah: mata sembab, wajah pucat, senyum yang dipaksa. “Aku harus kuat,” bisiknya pada bayangan itu. Di ruang makan, aroma roti panggang dan kopi hitam menyambutnya. Tidak ada kehangatan di sana. Hanya meja panjang penuh makanan mewah dan para pria bertubuh besar yang menoleh menilai. Di ujung meja, Leon duduk seperti penguasa dunia kecilnya, kemeja putih dengan lengan digulung menampilkan lengan kokohnya. “Elena,” panggilnya. “Duduk di sini.” Ia menurut, meski tangan gemetar. Salah satu pria berwajah penuh luka tiba-tiba terkekeh. “Bos, sejak kapan kita mengundang t

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Gerbang kehidupan baru

    Di malam berikutnya, ketika langit Jakarta masih diselimuti mendung. Hujan turun tipis, membuat jalanan berkilau basah diterpa cahaya lampu. "Baiklah, ini semua demi biaya pengobatan ayahku." Elena mulai menjalankan tugasnya, dia berdiri menunggu jemputan dan benar saja, saat sebuah mobil melintas, ia segera masuk dan kini duduk di kursi penumpang mobil mewah milik Leon itu. Kedua tangannya saling menggenggam erat, jemari dingin berkeringat. Pikirannya kalut, hatinya penuh tanda tanya. Mobil melaju tenang, dikendarai sopir pribadi Leon. Suasana di dalam begitu hening, hanya suara mesin yang terdengar. Leon yang duduk di sampingnya, hanya bersikap tenang dengan tatapan yang fokus ke luar jendela. Sesekali, Elena melirik pria itu. Setiap detailnya memancarkan aura kekuasaan seperti jas hitam rapi, jam tangan mewah yang berkilau, dan sorot mata yang dingin bagai batu. Ia seperti pria yang tak bisa disentuh, apalagi dipahami. Elena menggigit bibir, lalu memberanikan diri. “Ayah

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Kontrak yang mengikat

    Suasana ruang rawat itu dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung, begitu kuat hingga membuat dada Elena terasa kencang. Monitor di samping ranjang berdetak pelan, teratur, seperti menghitung detik-detik penting yang menentukan nyawa ayahnya. Setiap bunyi bip seakan memukul batinnya. Elena duduk di kursi plastik kecil, tubuhnya condong ke depan. Jemarinya menggenggam tangan ayahnya yang dingin dan lemah. Tulang-tulang di tangan itu tampak begitu menonjol, seakan waktu menggerogotinya tanpa ampun. Elena menyusuri tangan lemah itu dengan jari-jarinya yang gemetar. “Bertahanlah, Yah… tolong bertahan,” bisiknya parau. " Demi aku Yah...." Tanpa terasa air matanya luruh, ia menjadi sangat lemas dan tak berdaya. "Yah...." Suara itu pecah berkali-kali, seperti tidak sanggup menahan beban yang menekan dari segala arah. Air mata jatuh tanpa diminta. Rasanya ia ingin berteriak, membuat langit-langit rumah sakit runtuh, menghentikan semua penderitaan. Tapi kenyataan terlalu keras,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status