Dua minggu sudah Hana selalu jaga malam. Dan selama itu, Hana sudah membuat kantung hitam di bawah matanya. Tetapi hari ini Hana senang karena bisa pulang lebih awal. Semua karena Mawar yang menggantikannya karena kasian melihat Hana yang terlihat sangat memprihatinkan.
Hana menghentikan mobilnya di teras rumah. Menarik tuas rem lalu mencabut kuncinya dan turun. Senyum mengembang Hana sematkan di bibirnya. Akhirnya setelah beberapa hari dia bisa bertemu dan menumpahkan rasa rindunya pada Arya. Hana membuka pintu dan mendapati rumah yang sepi.
"Tumben sudah pulang," sindir Aminah pada Hana. Yang membuat Hana terkejut karena ia pikir tidak ada satu orang pun di rumah. Aminah muncul tiba-tiba dari arah kamarnya. Yang mungkin mendengar dia membuka pintu.
"Iya, Ma. Hana digantiin teman buat malam ini." Hana celingukan mencari sesuatu tetapi tidak menemukannya. "Mas Arya belum pulang, Ma?"
"Belum, cari wanita lain mungkin," ketus Aminah.
"Ma!" Hana terkejut mendengar balasan Aminah.
Hana mengusap dadanya mengucapkan istighfar berkali kali. Dia tidak menyangka jika Aminah akan mengatakan kalimat seperti itu padanya.
"Benar, kan? Ngapain di rumah kalau istrinya saja tidak peduli padanya!"
"Tetapi Mama jangan bilang begitu. Hana kan kerja, Ma. Mama tahu sendiri, kan?" timpal Hana. Aminah terlihat tidak senang dengan jawaban Hana.
"Kerja? Kamu itu cuma nyiksa suami kamu." Aminah melenggang pergi dari hadapan Hana dan duduk di sofa di depan televisi.
Hana merasakan matanya panas dan siap menurunkan air. Tetapi dia juga tidak ingin menangis di hadapan mertuanya. Akhirnya Hana memilih pergi dari sana dan masuk ke dalam kamarnya.
Begitu menaruh barang-barangnya, Hana meraih tasnya untuk mengambil ponselnya. Menekan nomor Arya untuk menghubunginya. Ponsel sudah beralih ke telinganya beberapa detik panggilan tersambung tetapi tidak dijawab oleh Arya.
Hana tidak berhenti mencoba, dan pada percobaan ketiga Hana hanya mendapatkan jawaban operator. Tubuh Hana lemas dan menurunkan benda itu perlahan. Pikirannya melayang memikirkan Arya dengan apa yang baru saja Aminah katakan.
"Tidak, Mas Arya tidak begitu," batin Hana yakin.
Dengan keyakinannya, Hana meletakkan ponselnya lalu pergi ke kamar mandi. Membasuh tubuhnya di bawah guyuran air hangat yang menyegarkan tubuh serta menjernihkan pikirannya yang sudah picik pada suaminya.
Lima belas menit berlalu hingga Hana selesai dengan aktivitas mandinya. Dia kira saat keluar dari kamar mandi dia akan mendapati Arya tetapi nyatanya Arya belum juga kembali. Bahkan sampai Hana selesai berganti baju dan memakai pelembab wajahnya suaminya belum juga pulang.
Hana melihat jam dan menurutnya Arya tidak biasanya pulang lebih larut. Sudah pukul delapan malam tetapi Arya belum juga datang. Hana gelisah dan takut terjadi sesuatu pada Arya. Dia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Arya tetapi Hana selalu mendapat jawaban yang sama.
Hana keluar dari kamarnya dan masih mencoba menghubungi Arya. Dia melirik ke arah di mana Aminah tadi berada dan Hana masih menemukan mertuanya itu di sana dengan tontonnya. Hana bergerak gelisah mendial nomor Arya tanpa henti.
"Gimana, sekarang sudah tahu rasanya?" sinis Aminah. "Suamimu pasti sudah memiliki anak di luar sana karena ulahmu sendiri!"
"Astaghfirullah, Ma. Mama kenapa bilang begitu, sih?" kesal Hana.
"Kenapa? Kamu enggak terima?" tantang Aminah. "Makanya kalau kerja itu ingat waktu Hana!"
"Ma, ini cita-cita Hana, Ma. Mama sendiri tahu , kan? Sebelum menikah Hana sudah jelaskan kalau Hana mau bekerja dan meraih gelar dokter yang Hana ingin?"
"Dan sekarang Hana sudah mendapatkan apa yang Hana mau. Ini bentuk pengabdian Hana, Ma," tambah Hana.
Aminah tidak menganggap berarti apa yang baru dikatakan Hana. Baginya Hana berada di tempat yang sangat salat hingga berapa kali pun dia memberi penjelasan menurutnya itu masih salat. Aminah hanya menguliti sisi buruk Hana dan menyalahkan dirinya sendiri.
"Kerja ya kerja! Yang mau kamu capai apa? Arya sudah memberimu rumah, uang juga, apalagi?"
"Bukan seperti itu, Ma," timpal Hana. Dia merasa frustasi pada setiap ucapan yang dikeluarkan Aminah untuknya.
"Kamu terlalu keras kepala, Hana! Kalian sudah menikah lima tahun tapi belum sekali pun kamu mengandung. Ini semua karena kamu tidak menyisihkan waktu untuk Arya!" tuduh Aminah dengan menunjuk Hana.
Hana sudah tidak kuasa rasanya menghadapi Aminah. Satu minggu terakhir ini Aminah selalu menyudutkannya. Menyerang dirinya dengan kesalahan yang Hana tahu dirinya tidak kuasa menolaknya dari tuhan.
"Hana juga mau punya anak, Ma. Hana sudah mencoba berbagai cara tapi Allah memang belum percaya pada kami untuk memilikinya. Hana juga sudah mengajak mas Arya memeriksa tapi selalu menolaknya," ungkap Hana dengan pilu.
"Untuk apa periksa? Arya itu tidak mandul, ya!" balas Aminah tidak terima. "Kamu yang mandul! Kamu yang tidak bisa hamil!"
"Bu!" teriak Hana dengan keluar satu persatu bola mata. Dadanya sesak dan matanya sudah tidak kuasa menahan tangisnya.
"Kenapa? Benar kan? Di keturunan keluarga kami tidak ada yang mandul. Saya punya tiga anak, kakak saya punya empat, dan saudara saya ada lima. Apa menurutmu Arya mandul?"
Hana tidak tahan mendengar kata-kata Aminah. Dia tidak mau terus menerus mendengar hal itu yang akan membuatnya merasa sakit. Tidak menjawab apa yang dikatakan Aminah, Hana melenggang pergi ke kamarnya.
Mengunci pintu kamarnya dan merebahkan badannya ke atas tambahan. Menumpahkan segala tangisnya dengan ditutup bantal agar Aminah tidak mendengar. Hatinya sakit dan tidak memiliki tempat melabuhkan isi hatinya.
Dadanya seiring sesak keluar melewatinya air mata yang terasa begitu hangat di sudut matanya. Suaranya yang tertahan membuat nyeri itu semakin terasa dan membuat pilu juga melengkapi tangisannya.
Cukup lama Hana menangis. Satu jam berlalu dan Hana sudah mulai tenang dengan tangisnya tapi tidak dengan hatinya. Dia masih khawatir pada keadaan Arya. Hana mencoba kembali menghubungi nomor suaminya tetapi tidak mendapatkan apa-apa.
Dua jam berlalu dan masih sama. Hana duduk di tepi ranjang sambil melihat selai di dinding kamarnya. Memperhatikan dengan jelas jarumnya yang terus berputar. menolak menolak pandangannya pada pintu dan berharap Arya pulang.
Tiga jam, empat jam, lima jam, enam jam, dan tujuh jam. Sekarang sudah pukul dua dini hari tapi Arya masih belum pulang. Nomor tidak bisa dihubungi bahkan tidak memberi kabar pada Hana. Itu membuat hati Hana serasa kedinginan kuat kuat dan ditahan dengan batu yang besar.
Dia tidak tahu apa yang dilakukan Arya dan kemana perginya. Hana ingin kembali menagis, dia kira kepulangannya kali ini bisa memperbaiki kerusakan yang sedikit renggang akhir akhir ini. Tetapi dia justru tidak bisa membicarakan atau menatap wajah suaminya.
"Mas, kamu kemana?" bisik Hana.
Kantuk Hana tergantikan dengan rasa gelisah yang sangat membahana. Sampai subuh pun dia tidak menutup matanya. Masih berusaha menghubungi nomor Arya meski tidak mendapatkan apa-apa.
Mendengar suara adzan, Hana meletakkan ponselnya lalu pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Mengerjakan shalat subuh lalu bersiap. Dia kira Arya akan pulang pagi ini karena semalam tidak pulang. Tapi nyatanya tidak sama sekali.
Sampai Hana bersiap masuk ke dalam mobilnya setelah menunggu cukup lama, Arya tetap tidak kembali juga. Menahan sesak di dadanya, Hana hanya bisa mengehela napasnya yang panjang. Mengemudikan mobilnya meninggalkan rumah untuk pergi bekerja.
Hallo, selamat datang dan membaca cerita pertama vivi. Semoga terhibur dan betah ke depannya
Lagi, entah keberapa kalinya hidup Arya harus dibelenggu. Pupusnya biduk rumah tangganya dengan Hana telah menjadi satu kegagalannya. Dan sekarang masalah lain di rumah tangganya dengan Susan kembali dalam masalah.Arya tidak ingin perceraian kembali melanda rumah tangganya. Tetapi kata-kata Susan begitu keterlaluan di telinga. bagaimana bisa dirinya yang rela mengakhiri rumah tangganya sebelumnya sekarang harus menerima kenyataan sebagai alat baginya."Ayo," ajak Aminah pergi meninggalkan Susan, "biarkan wanita jalang ini di sini sendiri.""Ya, pergi sana! Aku tidak peduli!"Aminah semakin murka dan menarik tangan anaknya dengan lebih keras. Hingga Arya dengan tatapan kecewanya meninggalkan ruangan Susan. Kesadarannya sementara berada di awang-awang karena belum siap menerima kenyataan."Wanita sialan, berani sekali memperdayai putraku," gerutu Aminah sambil berjalan pergi.Arya menghentikan langkahnya yang membuat Aminah bingung dengannya. Melihat gelagat Arya, Aminah pun hendak men
Pertengkaran tidak terelakkan lagi. Arya bingung harus memilih siapa untuk dibelanya. Di satu sisi ia adalah seorang putra dan di sisi lain dia menjadi seorang suami."Berhenti!" bentak Arya."Kalian bisa diam tidak. Susan kamu masih dalam masa pemulihan jangan seperti ini. Dan Mama jangan seperti ini pada Susan, nanti pasti akan ada waktunya kita kembali normal lagi.""Dengan gaya hidupnya yang mewah apa yang bisa kita pertahankan, Arya?" tanya Aminah setengah menyinggung."Oh, jadi gitu?" tantang Susan, "Mama pikir aku mau menikah cuma buat hidup susah gitu?"Sebagai seorang mama mertua yang selalu memperlakukannya dengan sangat baik, harga diri Aminah sedang dipertaruhkan sekarang. Ia sadar dengan ucapan Susan yang bermaksud pada pernikahannya semata-mata karena harta.Jika Aminah memasang mode waspada, Susan justru terlihat begitu menantang. Entah apa yang diinginkannya sekarang. Mengapa dia begitu terus terang menunjukkan dirinya yang seperti itu. Bukannya itu justru akan membuat
Di kantin rumah sakit, di saat jam makan siang memang selalu ramai. Tidak hanya para dokter dan staf tetapi pasien juga. Tetapi pusat perhatian kali ini adalah Hana.Dokter wanita yang tengah mengandung itu terlihat sedang asik menyantap makanannya. Tidak sendiri Hana bersama dengan dokter Mawar yang juga ikut serta. Keduanya tampak sangat asik bercerita pasal kehamilan."Han," panggil Aji yang tiba-tiba muncul entah dari mana."Heh!" bentak dokter Mawar, "kalau manggil jangan sembarangan, ya!""Ikut campur aja sih, terserahlah aku mau manggil apa," bantah Aji."Yang mesra gitu panggil istrinya. Sayang, my love, honey, sweety gitu. Ini main panggil Han Han aja," tutur dokter Mawar."Kalau itu juga tahu, dokter. Enggak usah protes melulu deh," bantah Aji lagi.Akhirnya Mawar sendiri yang menyerah. Sedangkan Aji sudah duduk lebih dulu di hadapan istrinya yang menertawakan pertengkaran suami dan sahabatnya. "Makannya belepotan banget sih." Aji mengulurkan tangannya mengusap bibir Hana d
Di rumah sakit itu siapa yang tidak mengenal Hana? Hampir semua kenal dengannya termasuk pasiennya yang selalu menjadi prioritasnya. Sebab itulah di dalam toilet sekarang ini ada yang tengah membicarakannya.Suaranya sedikit terdengar sampai Aminah yang lewat pun mendengar. Menghentikan langkahnya begitu nama Hana disebut. Memperhatikan dengan baik bagaimana seseorang membicarakan mantan menantunya itu di dalam sana."Iya, dokter Hana itu sekarang sedang hamil. Sudah dua bulan dan dia masih bekerja dengan baik.""Benar, aku jadi iri dengannya. Selain mual parfum sepertinya dokter Hana tidak terganggu dengan yang lain.""Lucu sekali kalau mengigit itu, suaminya sampai minta diganti partner karena tidak mau didekati karena bau parfum perempuan."Terdengar kekehan setelah itu. Sekaligus menjadi saat untuk Aminah pergi dari sana. Sambil berjalan menyusuri lorong, orang tua itu terus berpikir. Tentunya tentang apa yang didengarnya tadi."Bagaimana Hana bisa hamil?" tanya Aminah pada diriny
Begitu notifikasi masuk ke ponsel Hana dan dia membacanya. Wanita yang baru mengandung itu sontak melebarkan kedua matanya. Melihat nominal yang dikirimkan Aji membuatnya syok."Ji, kenapa dikirim ke aku semua?" tanya Hana bingung."Kok tanyanya begitu?" Aji merengkuh tubuh istrinya dan melihat ponsel Hana yang diarahkan padanya."Ya, kamu kenapa dikirim semuanya ke aku?" ulang Hana penuh penekanan."Di sini yang jadi istri aku 'kan kamu, sayang. Kalau enggak ke kamu terus ke siapa?""Tapi, Ji ... kenapa harus semuanya? Emangnya kamu enggak pegang?" tanya Hana masih protes.Sekarang Aji yang bingung. Kenapa istrinya malah bertanya perihal nominal yang diberikan padanya. Dan masalahnya apa sampai membuatnya terus bertanya.Aji memegang kedua pundak Hana dan membuat mereka berhadapan. Dia menatap istrinya dalam dan teduh tentunya. Membuat Hana merasakan cinta yang Aji berikan seutuhnya padanya."Han, aku itu suami kamu. Jadi mulai sekarang yang akan memegang keuanganku ya kamu. Kamu eng
"lagi?" Arya seolah tidak percaya mendengar perkataan Aminah.Aminah sendiri sampai tidak bisa menahan keterkejutannya. Wajah Arya pun membuat Aminah seperti kebingungan."Iya, memangnya kenapa kamu sampai terkejut seperti itu?""Ma, bukannya kemarin sudah Arya berikan, ya?" tanya Arya."Yang kemarin sudah habis, Nak. Kamu tahu sendiri 'kan istrimu bahkan tidak mau makan makanan yang murah," jelas Aminah.Benar, Arya tahu satu hal itu. Dia juga tidak menyangka jika setelah menikah Susan telah banyak berubah. Gaya hidupnya yang terlihat sekarang begitu wah.Mulai dari makanan saja harus sekelas makanan di hotel. Gaya berpakaiannya juga tidak main-main, sebelum kandungannya sebesar sekarang ini dia sering menghamburkan uang untuk pergi belanja keperluan yang tidak perlu.Kalau Arya tidak melarangnya pasti Susan masih melakukannya sampai sekarang. Berhubung sekarang Arya memiliki tabungan yang sedikit menipis, ia melarang Susan untuk berfoya-foya."Kalau kamu tidak bisa mengirimkan uang,