“Pak?!”
Vanesha yang hendak mencuci pakaian terkesiap karena suami sang majikan mendadak di belakangnya.
Pria gendut itu tidak memakai baju, hanya memakai celana pendek saja!
Gadis itu lantas berdiri–mengatur jarak dari sang majikan. Namun bukan menjawab, suami sang majikan malah tersenyum tanpa tahu malu dan tanpa merasa bersalah.
“Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Vanesha, kembali. Kali ini, lebih menuntut.
Jujur, ia takut sekali sekarang.
“Pijitin punggungku di kamar, ya.” Pria itu mencoba memijat bahunya dengan tangannya ke belakang, seolah pegal. Namun, Vanesha tahu matanya justru jelalatan ke arah gadis itu. “Nanti aku kasih bonus,” ucapnya kembali sambil mengedipkan mata.
“Ma-maaf Pak, tapi saya sedang mencuci pakaian. Dan ini juga sudah sore, saya takut kalau pekerjaan saya belum selesai, tapi Nyonya pulang atau tuan muda terbangun,” balas Vanesha, beralasan.
Selain sang nyonya yang galak, Vanesha butuh uang untuk membiayai pengobatan sang ayah. Belum lagi, ibu tirinya memaksa Vanesha untuk memberikan uang bulanan rumah dan biaya pendidikan sang adik. Tapi, bukan berarti dia akan bersikap murahan pada atasannya ini!
“Akh… jangan khawatirkan itu, hanya sebentar saja, kok. Lagipula, Dody sudah tidur, jadi tidak ada yang mengganggu.”
Pria itu mencoba menggenggam pergelangan tangan Vanesha, tapi wanita itu menarik tangannya sebelum berhasil disentuh.
“Maaf Pak, tapi saya tidak bertugas untuk melakukan layanan pijatan.”
“Ck, hanya sebentar saja, masa kamu gak bisa sih?"
“Pokoknya saya tidak mau! Anda jangan menghalangi pekerjaan saya! Masih banyak kerjaan yang harus saya selesaikan!” ucapnya tegas, pada akhirnya.
“Apa-apaan ini, Vanesha??”
Mendengar suara sang Nyonya, Vanesha dan pria itu sontak menoleh.
Mereka menemukan Astuti ternyata sudah pulang.
“Bu… ka-kamu sudah pulang?” Suami sang Nyonya lebih dulu mendekatinya. “Ini… si Vanesha lagi cuci pakaian, jadi… aku… aku kasih pakaian kotor lain dari kamar, tapi dia… dia gak mau cuciannya bertambah lagi,” bohongnya.
“Apa?”
Serentak, Vanesha dan Astuti berteriak.
“Vanesha! Berani sekali kamu menolak kerjaan? Kau ‘kan sedang mencuci pakaian, apa salahnya menambah cucian lagi? Toh, kamu akan mengerjakannya juga kan?!”
Astuti berkacak pinggang, sedangkan suaminya sembunyi di belakang tubuh istrinya yang besar.
Tangan Vanesha mengepal. Pria itu takut isterinya mengamuk, tapi berani-beraninya dia menggoda wanita lain, dan menyalahkan Vanesha?
Tiba-tiba Vanesha pun teringat dengan cerita ibu penjual ayam yang mengatakan kalau suami Astuti mata keranjang.
Keterlaluan!
“Bu, maafkan saya. Tapi, bukan karena itu alasannya-”
Vanesha hendak menjelaskan, tapi Suami Astuti sudah berteriak memotongnya, “Vanesh! Kamu tuh ya, kalau dinasehati harusnya nurut! Jangan banyak alasan.”
Tampaknya, dia takut kalau Vanesha mengadu tentang sikapnya pada istrinya yang menakutkan.
Melihat itu, Vanesha merasa muak. Cukup sudah. Dia tak bisa membiarkan ini lagi.
“Bu, Suami Anda yang duluan minta agar saya memijit punggungnya dan saya tidak mau! Bukan karena ada pakaian kotor lagi!” ucap Vanesha, tegas.
Ia bahkan menatap sang Nyonya tanpa ragu.
“Apa?” Astuti melihat suaminya yang gelisah. “Ayah? Kau?!”
Sepasang matanya terbuka lebar, melotot. pada sang suami yang tampak gemetar ketakutan dan menelan salivanya.
Melihat itu, wajah sang Nyonya memerah kala menyadari sesuatu.
Ternyata, suaminya yang kurang ajar!
Tapi, ia tak ingin juga disalahkan.Masa kalah dengan pembantu?"Sudahlah! Kalian berdua sama-sama salah!" ucap Astuti pada akhirnya, "Hey Panesh! mulai sekarang, kau tidak boleh bekerja dirumahku lagi!"
"Apa saya dipecat?"
"Pake tanya lagi, ya iyalah! Sekarang pergi dari rumahku! Kau itu pelakor!" tuduhnya tanpa merasa bersalah.
Vanesha menggelangkan kepala tak percaya.
Jelas-jelas, ia menangkap Bu Astuti menyadari kesalahannya. Tapi, bisa-bisanya malah menuduh Vanesha pelakor?!
Ia tidak ingin lagi lanjut bekerja di sana!
"Baik Bu, saya akan pergi. Tapi sebelumnya, tolong bayar upah kerja saya seharian ini, lalu, suami anda memakai uang saya 20 ribu rupiah untuk membeli ayam untuk santapan anak dan suami anda, jadi saya harap anda bayarkan itu," pinta Vanesha pada akhrinya.
Ya, dia hanya meminta hak miliknya.
Namun siapa sangka, bukannya mendapatkan upahnya, dia malah diusir dan cara tidak hormat!
Astuti berteriak begitu kencang sampai beberapa tetangga datang dan menontonnya bak wanita murahan.
Vanesha mengusap wajahnya kasar mengingat kejadian barusan.
Ia pergi tanpa mendapatkan uang sepeser pun.
Padahal sudah malam, belum lagi bensin motornya habis.
Gadis itu menundukan kepalanya dan terduduk lemas di trotoar, sampai sorot lampu menerpa wajah mungil gadis itu dan membuatnya silau.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Suara bariton terdengar penuh tuntutan padanya diiringi tatapan tajam dari pria yang begitu tampan?!
Deg!
Ada apa ini?Sudah dua minggu sejak Raditya mengutarakan perasaannya pada Vanesha, dan masih tidak berubah pikiran. Malahan, dia semakin manja dan bergantung pada Vanesha, setiap menit.“Permisi, dengan nona Vanesha?” seorang kurir menghampiri Vanesha yang sedang menunggu Raditya syuting.“I-iya? Itu aku?”“Ini, pesanan makanannya. Semuanya sudah dibayar, tinggal diterima saja.”“Oh iya, terima kasih Pak.” Setelah menerima pesanan yang ternyata isinya makanan, Vanesha melihat Raditya. Pria itu, melambaikan tangan dan tersenyum padanya.Karena disuruh untuk istirahat, Raditya datang dan menghampiri Vanesha, duduk disampingnya, dan menyandarkan kepala dibahunya, “Hah…”“Tuan, makanan ini, apa anda mau langsung memakannya?”“Sudah aku bilang jangan panggil aku ‘Tuan’. Aku kan sudah melarangmu.”“Mana bisa saya melakukan itu. Namanya tidak sopan.”“Kan aku yang suruh. Pokoknya, aku akan marah kalau kau melakukan itu lagi.”“Tapi-“Makanannya sudah datang kan? Tapi, kenapa tidak kau makan? Sampai sudah
Keadaan Sulastri sudah semakin membaik. Dia sekarang berbaring diranjangnya, dan Radtiya juga Vanesha masih disana untuk menjaganya. Raditya mulai bisa menyentuh dan dekat dengan ibunya, padahal sebelumnya belum pernah bisa berdiri dengan jarak yang dekat.Karena ibunya sudah tenang dan tidur, Dokter Ivan mengajak mereka berdua untuk pergi dan membiarkan Sulastri beristirahat sendiri.“Saya terkejut, karena hari ini, nyonya Sulastri lebih ramah dari sebelumnya. Walau sempat tadi dia mengamuk dengan pak Surya. Tapi saya tidak menyangka dia akan luluh dengan anda.” Kata dokter Ivan memberi pujian.“Tentu saja dok. Namanya juga hubungan ibu dan anak, darah itu pasti mengalir dan saling mengenal.” Kata Vanesha.“Sayang sekali, pak Surya sudah pergi karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”“Aku tidak perduli!”“Tuan..” Vanesha menegurnya pelan.“Kalau begitu, saya akan meninggalkan kalian dulu, permisi ya.”Sekarang hanya tinggal Vanesha dan Raditya.“Tuan, anda juga harus dioba
Beberapa hari kemudian. Surya merindukan mantan isterinya, Sulastri. Dia pun berniat untuk pergi lagi ke rumah sakit jiwa, padahal sebelumnya dia sudah menemui Sulastri walau mantan isterinya tidak mengetahuinya.“Dimana dokter Ivan?” tanya Surya pada rekan dokter Ivan karena dia tidak menemukan dokter yang biasanya mengurus Sulastri.“Dokter Ivan sedang mengantarkan dua orang untuk menemui pasien.”“Apa? Dua orang? Siapa mereka?”“Maaf Pak, saya tidak tahu. Hanya itu saja pesan dari dokter Ivan.”“Ya sudah, terima kasih.” Tapi, Surya sendiri yang akan pergi menemui Sulastri, juga dia tahu dimana tempatnya.Tap!Langkah kakinya berhenti ketika dekat dengan Sulastri, dan dua orang yang dia kenal, “Raditya?” dia memanggil nama puteranya.“Pak Surya?” tapi Vanesha yang merespon Surya, sedangkan Raditya hanya melihatnya saja.Surya mendekati mereka, disana juga ada dokter Ivan.“Apa yang kau lakukan di sini, Radit?”“Kau sendiri? Kenapa kau datang ke sini?” pertanyaan ketus dari Raditya.
“Mmm… Tuan, apa yang kita lakukan di dapur ini?” Vanesa curiga.‘Apa sebentar lagi dia akan mencumbuku di sini? Selera yang aneh. Tapi… ah, biarkan sajalah. Yang penting hutangku berkurang dan dia tidak marah-marah.’“Buatkan nasi goreng untukku.”“Ya saya akan melakukan selera aneh anda…. Eh? Ma-maksudnya…. Nasi goreng?”‘Maksudnya gaya ‘Nasi goreng’ kah? Ba-bagaimana gaya itu ya?’Cetak!“Auuchh…” Vanesha memegang keningnya yang dijentik pelan oleh Raditya.“Apa yang kau pikirkan? Aku bilang, buatkan aku nasi goreng. Kau sudah banyak makan kan? Apa kau pikir aku tidak lapar?” Raditya berpangku tangan menunggu pergerakan Vanesha.“Nasi goreng… beneran nasi goreng kan? Beras yang sudah jadi nasi, lalu di goreng di penggorengan pakai garam-“Iya! Bawel banget sih. Cepat buatkan aku nasi goreng, dan harus enak. Telurnya dua, yang di mata sapi kan satu, lalu yang di orak-orek satu. Pedasnya sedang, dan jangan terlalu banyak minyak dan garamnya.”Vanesha masih bingung, “Dengar gak?” tanya
Padahal tadinya, suasana sedang hangat dan ramah. Tapi, entah apa yang Andre bisikan padanya, raut wajah Surya jadi murung bercampur kesal. Terasa sekali perubahannya.“Maafkan saya, sepertinya hari ini cukup di sini dulu. Lain waktu, mari kita berkumpul dan mengobrol seperti ini. Vanesha, kau juga harus tetap ikut ya.” Surya berdiri dari kursinya dan tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada mereka.“Iya Pak, terima kasih. Tapi, anda belum makan loh.”“Saya bisa makan nanti. Karena ada urusan yang sangat mendesak sekali hari ini. Radity, Ayah pergi dulu. Jaga kesehatanmu.”Tapi Raditya tidak menjawabnya.‘Yah.. paling tidak, Tuan Radity tidak marah.’Buru-buru, Andre dan Surya pergi meninggalkan mereka.“Ya, kalau begitu, aku juga harus pergi.”“Anda mau ke mana, Pak Hendrik?”“Mau pulang menemui calon kakak iparmu. Sebentar lagi kan, kami akan menikah. Oh ya, mungkin selama aku menikah, Vanesha pasti akan semakin banyak kerjaan dan kerepotan. Mohon bantuannya ya. Nanti, kamu akan ak
“Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?”‘Pertanyaan jebakan ini. Kalau jujur sih, enggak mau. Apalagi tempremental anda yang tinggi ini.’“Ah, sudahlah. Kau hanya diam saja, berarti memang tidak mau.” Raditya kembali melihat kedepan lagi.Vanesha tidak mau membahasnya lagi. Pokoknya, dia mau segera sampai di tujuan agar dia bisa lega.“Sekarang, kau tidak mau. Tapi, ketika mengetahui masa laluku, kau pasti semakin tidak mau, dan mungkin kau akan pergi jauh.”“Mm… Tuan? Memangnya.. ada masa lalu apa?”Raditya kembali melihat Vanesha, kau dengar kan tadi, kalau ibuku berada di rumah sakit jiwa.”“Ya saya tauh… ups…” dengan tangan kanannya ia menutup mulutnya.‘Astaga, kenapa aku tidak bisa mengontrol omongan yang keluar dari mulutku sih?“Apa? Kau tahu kalau ibuku ada di rumah sakit jiwa?” caranya melihat Vanesha seperti menangkap basah akan kesalahan Vanesha.“Itu… kan anda bilang tadi. Juga, disana, mulut anda sendiri yang bicara dan kebetulan saya mendengarnya-“Tidak. Dari cara re