Hari-hari yang sunyi di rumah itu perlahan mulai berubah. Tapi perubahan itu bukan datang dari suara atau keramaian—melainkan dari ketegangan yang makin merayap halus, tak kasat mata namun mengikat seperti kabut pagi yang menggigit kulit.
Ana merasakannya pertama kali ketika Kevin mulai sering menyapanya, meski sekadar hal-hal kecil.
Ia akan keluar dari ruang kerjanya hanya untuk menanyakan apakah makan siangnya sudah siap, atau apakah jemuran sudah diangkat, padahal hal-hal itu sebelumnya tak pernah ia pedulikan.
Awalnya Ana hanya menganggap itu sebagai bentuk keramahan. Tapi perlahan, ia mulai menyadari—bahwa Kevin seperti tengah mencari-cari alasan untuk hadir di sekitarnya.
Bahkan ketika tak ada hal penting yang perlu dibahas, pria itu akan tetap berdiri di dekat dapur atau taman belakang, melempar pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang terkesan dipaksakan.
Ana menanggapi semua itu dengan sopan, tapi hatinya mulai tak tenang.
Hingga suatu siang, saat Ana tengah menjemur pakaian, ia mendongak karena merasa ada yang mengawasi. Dan benar saja—dari balkon lantai dua, Kevin berdiri dengan tangan menyentuh pagar besi, menatap ke arahnya tanpa berkedip.
Tatapan itu bukan sekadar memperhatikan, melainkan menelanjangi. Bukan seperti majikan yang memperhatikan pembantunya, tapi seperti laki-laki yang mengagumi sesuatu yang tak seharusnya ia sentuh.
Ana menunduk cepat dan berpura-pura sibuk dengan jemuran. Ia pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak melihat, meskipun hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Sejak saat itu, Ana mulai menjaga jarak. Ia mempercepat pekerjaannya. Tak lagi lama-lama di dapur, tak menatap Kevin saat berbicara. Tapi anehnya, Kevin justru semakin sering hadir, seolah tak ingin memberinya ruang untuk menarik diri.
Pada suatu sore yang lembap, Ana terluka saat memotong bawang. Pisau kecil di tangannya tergelincir dan melukai ujung jempolnya. Darah keluar deras, membuatnya spontan meringis dan berlari ke wastafel untuk membersihkan luka.
Saat itulah Kevin muncul, entah dari mana. "Kamu kenapa, Ana?" tanyanya cepat, melihat darah mengalir di tangan Ana.
Ana menggeleng, berusaha menutupi luka itu dengan tisu. "Tidak apa-apa, Pak. Hanya teriris sedikit."
Namun Kevin melangkah mendekat. "Sini, biar aku lihat."
Ana mundur setengah langkah. "Sa-saya bisa tangani sendiri, Pak," ucapnya dengan gugup.
Namun Kevin tetap menggenggam pergelangan tangannya—lembut, tapi tegas. Jari-jari pria itu hangat, kontras dengan dinginnya air yang masih menetes dari keran.
"Ana," ucapnya pelan, "kamu selalu sibuk mengurus rumah ini. Biarkan sekali saja aku bantu."
Suara itu nyaris seperti bisikan, dan Ana merasakan ketegangan luar biasa saat mata mereka bertemu. Ia ingin menarik tangannya, ingin memecah suasana yang tiba-tiba jadi begitu... intim. Tapi tubuhnya terasa kaku.
Akhirnya, Kevin mengambil kapas dan obat merah dari laci kecil dekat kulkas. Ia mengobati luka Ana dengan cermat, terlalu cermat. Gerakannya lembut, namun perhatiannya terasa berlebihan. Saat ia selesai, jari-jarinya masih menahan tangan Ana lebih lama dari yang seharusnya.
"Sudah selesai, Pak," bisik Ana lirih.
Kevin seolah tersadar dan melepaskan genggaman itu pelan-pelan. "Maaf. Aku hanya... tak suka melihatmu kesakitan."
Ana hanya mengangguk, buru-buru meninggalkan dapur. Di dalam kamarnya yang kecil dan sempit, ia duduk memeluk lutut, berusaha memahami perasaannya sendiri.
Ada ketakutan. Tapi juga ada simpati. Ia tahu, Kevin adalah pria yang kesepian, yang mungkin sudah terlalu lama merasa sendiri. Tapi apakah itu menjadi alasan untuk bersikap seperti tadi? Apakah kesepian bisa membenarkan pelanggaran batas?
Ana tahu jawaban itu. Tapi rasa iba yang tumbuh perlahan di dalam dirinya justru membuat jawabannya menjadi kabur.
**
Beberapa malam kemudian, ketika Kevin sudah hampir tertidur, notifikasi pesan masuk dari ponselnya yang terletak di meja kecil dekat tempat tidur. Ia membuka mata, mengambil ponsel, dan membaca pesan singkat yang baru saja masuk.
Dari: Clara
“Sayang, maaf. Proyek diperpanjang. Sepertinya aku baru bisa pulang minggu depan. Jaga rumah, ya. Jangan stres.”
“Maaf, Pak… saya tidak bisa. Saya bukan wanita seperti itu.”Kevin diam. Tak ada ekspresi. Hanya kelopak mata yang turun sedikit, dan jemarinya yang mengepal di sisi meja. Detik berikutnya, Ana membalikkan badan dan keluar dari ruangan itu tanpa menoleh lagi.Langkah kakinya bergema di lorong panjang rumah itu. Dadanya sesak—bukan hanya karena takut, tapi karena tahu bahwa setelah ini, hubungan mereka tak akan pernah kembali seperti semula.“Sial! Kamu menolakku, Ana? Lihat saja, aku akan membuatmu bertekuk lutut dan menyesal karena telah menolakku!”**Hari-hari berikutnya menjadi berbeda. Sangat berbeda.Kevin tidak lagi menyapa. Tidak lagi memberi instruksi langsung. Semua permintaan ditulis singkat di kertas atau disampaikan melalui perantara manajer rumah tangga yang kadang datang tiap pekan. Ketika mereka berpapasan di lorong, Kevin hanya melirik dingin, tanpa satu kata pun.Awalnya Ana lega. Tapi lama-kelamaan, keheningan itu justru menekan. Setiap hasil kerjanya, sekecil apa p
“Ana,” ucap Kevin tenang, namun kali ini ada nada berbeda dalam suaranya—seperti nada perintah, tapi dibalut kehati-hatian.Ana menoleh cepat. “Iya, Pak?”Kevin menatap ke luar jendela, lalu kembali pada Ana. “Tolong bersihkan kamarku sekarang, ya.”Ana terdiam sejenak. Permintaan itu sederhana, bahkan wajar untuk seorang asisten rumah tangga. Tapi bagi Kevin, itu adalah wilayah yang selama ini selalu ia jaga ketat—bahkan Rani, pembantu sebelumnya, tidak pernah diizinkan masuk ke kamar itu.“Baik, Pak,” jawab Ana pelan, mencoba tetap tenang meskipun jantungnya berdegup tak karuan.Ana menghela napas pelan saat ia membawa keranjang pembersih ke kamar Kevin—sebuah ruangan yang dulunya pantang ia jamah, tapi kini mulai terasa seperti bagian dari rutinitas barunya.Ia membuka pintu dengan hati-hati, seperti biasa. Aroma khas itu langsung menyergap inderanya: campuran parfum Clara yang masih tergantung di udara, dan aroma maskulin Kevin yang lebih samar—seperti kayu tua, sabun, dan keringa
Hari-hari yang sunyi di rumah itu perlahan mulai berubah. Tapi perubahan itu bukan datang dari suara atau keramaian—melainkan dari ketegangan yang makin merayap halus, tak kasat mata namun mengikat seperti kabut pagi yang menggigit kulit.Ana merasakannya pertama kali ketika Kevin mulai sering menyapanya, meski sekadar hal-hal kecil.Ia akan keluar dari ruang kerjanya hanya untuk menanyakan apakah makan siangnya sudah siap, atau apakah jemuran sudah diangkat, padahal hal-hal itu sebelumnya tak pernah ia pedulikan.Awalnya Ana hanya menganggap itu sebagai bentuk keramahan. Tapi perlahan, ia mulai menyadari—bahwa Kevin seperti tengah mencari-cari alasan untuk hadir di sekitarnya.Bahkan ketika tak ada hal penting yang perlu dibahas, pria itu akan tetap berdiri di dekat dapur atau taman belakang, melempar pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang terkesan dipaksakan.Ana menanggapi semua itu dengan sopan, tapi hatinya mulai tak tenang.Hingga suatu siang, saat Ana tengah menjemur pakaian, ia
Hujan turun deras malam itu, menghantam atap rumah seperti ketukan jarum yang tiada henti. Kilat sesekali menyambar langit gelap, membuat jendela bergetar ringan. Di dalam rumah yang seharusnya hangat, keheningan justru menyergap seperti kabut yang menyusup perlahan.Lalu, klik—semua gelap.Listrik padam.Ana yang sedang mencuci piring di dapur lantas menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke arah jendela yang mendadak hanya menampilkan bayangan hitam dan kelap-kelip cahaya dari luar. Ia menatap sekeliling, berusaha membiasakan mata pada kegelapan.Sementara itu, di ruang tamu, Kevin meletakkan ponselnya dan menghela napas. Hujan ini bukan hanya membawa padamnya lampu, tapi juga menambah kelam pada suasana hatinya yang sejak tadi telah sendu.Tak lama, terdengar langkah pelan. "Ana?" panggil Kevin dari ruang tamu."Iya, Pak," jawab Ana dari dapur."Lampu emergency di bawah tangga. Bisa tolong ambilkan?"Ana menjawab, "Saya ambilkan, Pak," dan berjalan menuju arah suara. Dengan cahaya dar
Di dapur, Ana mengatur nampan dengan hati-hati. Di atasnya ada secangkir kopi yang baru diseduh, sebuah piring kecil berisi roti panggang, dan secangkir teh hangat untuk dirinya sendiri. Setelah selesai menyiapkan, Ana melangkah ke ruang kerja Kevin.Saat ia membuka pintu, Kevin sedang duduk di kursinya, tampak tenggelam dalam layar laptop. Di bawah cahaya meja yang redup, wajahnya tampak serius. Ketika Ana mendekat dan menyajikan kopi di atas meja, suasana yang tadinya biasa saja tiba-tiba berubah.Tangan mereka bersentuhan sebentar—perasaan hangat itu seperti menyebar ke seluruh tubuh Ana. Seketika itu, ada sesuatu yang menggetarkan dalam dirinya. Kevin juga merasakannya, terlihat sedikit terkejut meskipun ia segera mencoba untuk tetap tenang."Maaf," ujar Ana cepat lalu menarik tangan dengan sedikit terburu-buru. "Kopi sudah siap, Pak."Kevin mengangguk pelan, namun matanya tetap tertuju pada Ana, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya kelu. Ada ketegangan dalam suasana,
"Ti-tidak, Pak. Saya akan membawakannya ke kamar Bapak," ucap Ana dengan gugup. Kevin tak lagi menanggapi ucapan Ana dan langsung melangkahkan kakinya memasuki kamarnya. Sementara Ana bergegas pergi ke dapur dan membuatkan kopi untuk tuannya itu. Lima menit kemudian, Ana menaiki anak tangga, nampan di tangannya berisi secangkir kopi hangat. Ia menatap lurus ke depan, menjaga keseimbangan dan kehati-hatian. Meski terlihat tenang di luar, dadanya berdebar kencang.Sampai di depan kamar Kevin, ia mengetuk dua kali pelan."Masuk," terdengar suara Kevin dari dalam.Ana membuka pintu dengan sopan, menundukkan kepala singkat, lalu masuk perlahan.Kevin duduk di kursi malas dekat jendela, wajahnya setengah tenggelam dalam cahaya lampu tidur. Ia menatap Ana sesaat, lalu melirik ke kopi yang dibawa pelayan barunya itu.Ana menghampiri dengan langkah ringan. Dengan sopan, ia menaruh cangkir kopi itu di atas nakas kecil di samping kursi Kevin. "Silakan diminum, Pak. Sudah saya buatkan seperti y