Home / Romansa / Penghangat Ranjang Majikanku / 5. Perhatian yang Mulai Timbul

Share

5. Perhatian yang Mulai Timbul

Author: Nhaya_Khania
last update Huling Na-update: 2025-06-16 17:59:25

Hari-hari yang sunyi di rumah itu perlahan mulai berubah. Tapi perubahan itu bukan datang dari suara atau keramaian—melainkan dari ketegangan yang makin merayap halus, tak kasat mata namun mengikat seperti kabut pagi yang menggigit kulit.

Ana merasakannya pertama kali ketika Kevin mulai sering menyapanya, meski sekadar hal-hal kecil.

Ia akan keluar dari ruang kerjanya hanya untuk menanyakan apakah makan siangnya sudah siap, atau apakah jemuran sudah diangkat, padahal hal-hal itu sebelumnya tak pernah ia pedulikan.

Awalnya Ana hanya menganggap itu sebagai bentuk keramahan. Tapi perlahan, ia mulai menyadari—bahwa Kevin seperti tengah mencari-cari alasan untuk hadir di sekitarnya.

Bahkan ketika tak ada hal penting yang perlu dibahas, pria itu akan tetap berdiri di dekat dapur atau taman belakang, melempar pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang terkesan dipaksakan.

Ana menanggapi semua itu dengan sopan, tapi hatinya mulai tak tenang.

Hingga suatu siang, saat Ana tengah menjemur pakaian, ia mendongak karena merasa ada yang mengawasi. Dan benar saja—dari balkon lantai dua, Kevin berdiri dengan tangan menyentuh pagar besi, menatap ke arahnya tanpa berkedip.

Tatapan itu bukan sekadar memperhatikan, melainkan menelanjangi. Bukan seperti majikan yang memperhatikan pembantunya, tapi seperti laki-laki yang mengagumi sesuatu yang tak seharusnya ia sentuh.

Ana menunduk cepat dan berpura-pura sibuk dengan jemuran. Ia pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak melihat, meskipun hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya.

Sejak saat itu, Ana mulai menjaga jarak. Ia mempercepat pekerjaannya. Tak lagi lama-lama di dapur, tak menatap Kevin saat berbicara. Tapi anehnya, Kevin justru semakin sering hadir, seolah tak ingin memberinya ruang untuk menarik diri.

Pada suatu sore yang lembap, Ana terluka saat memotong bawang. Pisau kecil di tangannya tergelincir dan melukai ujung jempolnya. Darah keluar deras, membuatnya spontan meringis dan berlari ke wastafel untuk membersihkan luka.

Saat itulah Kevin muncul, entah dari mana. "Kamu kenapa, Ana?" tanyanya cepat, melihat darah mengalir di tangan Ana.

Ana menggeleng, berusaha menutupi luka itu dengan tisu. "Tidak apa-apa, Pak. Hanya teriris sedikit."

Namun Kevin melangkah mendekat. "Sini, biar aku lihat." 

Ana mundur setengah langkah. "Sa-saya bisa tangani sendiri, Pak," ucapnya dengan gugup. 

Namun Kevin tetap menggenggam pergelangan tangannya—lembut, tapi tegas. Jari-jari pria itu hangat, kontras dengan dinginnya air yang masih menetes dari keran.

"Ana," ucapnya pelan, "kamu selalu sibuk mengurus rumah ini. Biarkan sekali saja aku bantu."

Suara itu nyaris seperti bisikan, dan Ana merasakan ketegangan luar biasa saat mata mereka bertemu. Ia ingin menarik tangannya, ingin memecah suasana yang tiba-tiba jadi begitu... intim. Tapi tubuhnya terasa kaku.

Akhirnya, Kevin mengambil kapas dan obat merah dari laci kecil dekat kulkas. Ia mengobati luka Ana dengan cermat, terlalu cermat. Gerakannya lembut, namun perhatiannya terasa berlebihan. Saat ia selesai, jari-jarinya masih menahan tangan Ana lebih lama dari yang seharusnya.

"Sudah selesai, Pak," bisik Ana lirih.

Kevin seolah tersadar dan melepaskan genggaman itu pelan-pelan. "Maaf. Aku hanya... tak suka melihatmu kesakitan."

Ana hanya mengangguk, buru-buru meninggalkan dapur. Di dalam kamarnya yang kecil dan sempit, ia duduk memeluk lutut, berusaha memahami perasaannya sendiri.

Ada ketakutan. Tapi juga ada simpati. Ia tahu, Kevin adalah pria yang kesepian, yang mungkin sudah terlalu lama merasa sendiri. Tapi apakah itu menjadi alasan untuk bersikap seperti tadi? Apakah kesepian bisa membenarkan pelanggaran batas?

Ana tahu jawaban itu. Tapi rasa iba yang tumbuh perlahan di dalam dirinya justru membuat jawabannya menjadi kabur.

**

Beberapa malam kemudian, ketika Kevin sudah hampir tertidur, notifikasi pesan masuk dari ponselnya yang terletak di meja kecil dekat tempat tidur. Ia membuka mata, mengambil ponsel, dan membaca pesan singkat yang baru saja masuk.

Dari: Clara

“Sayang, maaf. Proyek diperpanjang. Sepertinya aku baru bisa pulang minggu depan. Jaga rumah, ya. Jangan stres.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Penghangat Ranjang Majikanku   15. Maafkan Aku ....

    “Ma-maaf, Pak. Saya hanya mau ambil camilan sama kopi aja. Kebetulan tadi lihat Ana lagi melamun. Makanya saya tegur, Pa,” ujar Rafi terbata-bata, suaranya diselimuti ketegangan.Ia tahu betul aura dingin dari Kevin bukanlah hal sepele—sekali salah langkah, bisa berujung pemecatan.Kevin menatap Rafi datar tanpa berkata apa pun. Matanya kemudian beralih menelusuri ke arah dapur, tepat pada Ana yang kini berdiri kaku di depan kompor.Jemari Ana bergerak gelisah, seperti mencari pelarian dari rasa tidak nyaman yang perlahan menyesakkan dadanya.Ia bisa merasakan tatapan pria itu, seperti pisau tajam yang mengupas lapisan demi lapisan ketenangan palsunya.“Kalau begitu, saya permisi.” Rafi buru-buru mengambil gelas kopi dari meja dan melangkah keluar, tak berani menoleh ke belakang.Begitu pintu tertutup, suasana di dapur mendadak sunyi. Hening. Hanya suara kipas dapur dan detak jantung Ana yang semakin menggila di telinganya sendiri.Ia merasa seperti seekor rusa yang terperangkap di ha

  • Penghangat Ranjang Majikanku   14. Seperti tidak Terjadi Sesuatu

    Keesokan paginya, udara masih terasa lembap oleh embun yang belum sepenuhnya menguap dari dedaunan.Sinar matahari mengintip malu-malu dari celah tirai dapur tempat Ana sedang berdiri. Matanya sembab, namun ada secercah harapan di dalamnya.Ia menekan tombol panggilan di layar ponselnya, menghubungi satu-satunya keluarga yang selama ini bisa ia andalkan—bibinya.Tak lama, suara di seberang terdengar. “Halo, Ana?”Ana menegakkan tubuhnya. Suaranya sedikit bergetar saat berkata, “Bi, aku udah dapat uang buat pengobatan Ibu.”Sejenak sunyi, lalu terdengar suara bibinya yang terdengar terkejut dan heran. “Cepat sekali kamu dapat uangnya. Dapat dari mana, Ana?”Ana sontak menelan ludah. Pertanyaan itu seperti menyentil hatinya. Ia tahu cepat atau lambat seseorang pasti akan bertanya. Dan ia sudah siapkan jawabannya.“Da-dari pinjam, Bi. Aku cari pinjaman dari teman-temanku sampai terkumpul sepuluh juta,” ucap Ana dengan nada setenang mungkin, berusaha terdengar meyakinkan meskipun suaranya

  • Penghangat Ranjang Majikanku   13. Harga yang Harus Dibayar

    Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Sore tadi, Kevin membawakan sebuah lingerie tipis yang harus dia gunakan untuk melayani Kevin malam ini.Ana berdiri di depan cermin kamarnya. Rambutnya ia sisir pelan, meski dengan tangan gemetar. Seragam kerja sudah dia tanggalkan, diganti dengan lingerie berwarna putih tulang—bersih, polos, dan justru membuat tubuhnya terlihat lebih rapuh.Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Kevin:"Kamar tamu lantai dua. Sekarang."Ana menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan hanya soal sepuluh juta saja. Ini tentang harga dirinya. Tentang seluruh garis batas yang selama ini ia jaga.“Maafkan aku, Ibu. Aku harus melakukan ini demi kesembuhanmu,” ucapnya dengan suara lirihnya.Dia kemudian menarik napasnya dalam-dalam dan menatap dirinya sekali lagi di cermin di hadapannya.“Pada akhirnya, ucapan Pak Kevin benar. Aku menyerah dan menyerahkan diriku padanya. Aku benar-benar

  • Penghangat Ranjang Majikanku   12. Tidak ada Pilihan Lain

    Napas Ana berat ketika berdiri di depan pintu ruang kerja majikannya itu.Jujur saja, dia tidak ingin ke ruangan itu. Tidak ingin menatap wajah pria itu lagi setelah malam-malam penuh tekanan dan sindiran.Tapi, sudah tidak ada pilihan lain. Ia sudah mencoba segalanya. Semua kontak telah dia hubungi, tapi tidak ada yang mau meminjamkan padanya karena terlalu besar.Ana berhenti di depan pintu ruang kerja Kevin. Tangannya yang dingin terangkat dan mengetuk pelan dua kali.“Masuk,” terdengar suara pria dari dalam.Ana membuka pintu perlahan dan masuk. Kevin duduk di kursi kerja dengan kemeja santai dan celana panjang kain.Di meja kerjanya, sebuah laptop terbuka, namun perhatiannya langsung terarah pada Ana yang masuk dengan wajah pucat dan mata sembab.Ana berdiri beberapa langkah dari mejanya, menunduk. Tangannya meremas sisi rok seragamnya.Kevin memiringkan kepala sedikit. “Ada apa pagi-pagi begini kamu data

  • Penghangat Ranjang Majikanku   11. Sudah Mulai Buntu

    Setelah menenangkan diri sebisanya, Ana kembali ke kamarnya. Ia duduk di sisi ranjang sempit itu dan menggenggam ponsel dengan tangan gemetar.Napasnya masih berat. Matanya sembab, tapi belum ada waktu untuk menangis lebih lama. Ia harus segera bertindak. Harus mencari bantuan. Ibunya butuh pertolongan—dan waktu berjalan dengan cepat.Dengan jari yang masih sedikit bergetar, Ana membuka kontak di ponselnya.Pertama, Dinda. Teman satu kos saat masih bekerja paruh waktu di kafe dulu. Mereka cukup dekat dan Ana berharap wanita itu mau meminjamkan uang padanya.Telepon tersambung, nada sambung terdengar... satu kali, dua kali, tiga kali...Lalu klik.“Halo, Din, ini Ana.”“Hah? Ana? Ana yang mana ya?”Ana menelan ludah. “Ana... teman sekosmu dulu. Yang bareng-bareng kerja di kafe.”“Oh! Iya iya, Ana. Ya ampun, udah lama banget ya... ada apa, Na?”Ana menar

  • Penghangat Ranjang Majikanku   10. Kabar yang Mengejutkan

    Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Matahari masih malu-malu menyelinap di antara tirai rumah mewah itu.Suasana rumah terasa lengang, hanya terdengar suara gemerisik halus dari dapur yang mulai hidup oleh aktivitas Ana.Ana sudah bangun sejak sebelum fajar, berusaha mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Meski hatinya masih terasa berat sejak percakapan panas malam sebelumnya, ia memilih untuk tetap melakukan tanggung jawabnya seperti biasa.Ia mencuci sayuran, menyiapkan bahan sarapan, dan menyalakan kompor gas dengan tangan yang sedikit gemetar—tapi tetap terkontrol.Langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh tegap muncul di ambang pintu dapur. Kevin.Ia masih mengenakan baju tidur satin berwarna gelap, rambutnya sedikit acak-acakan tapi tetap terlihat rapi dalam kekacauan yang tampak dibuat-buat. Pandangannya langsung tertuju pada Ana—dan tidak berpaling.“Aku pikir kamu akan pergi dari rumah ini karena sudah tidak membutuhkan peke

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status