Home / Romansa / Penghangat Ranjang Majikanku / 6. Permintaan Gila Kevin

Share

6. Permintaan Gila Kevin

Author: Nhaya_Khania
last update Last Updated: 2025-06-16 18:06:14

“Ana,” ucap Kevin tenang, namun kali ini ada nada berbeda dalam suaranya—seperti nada perintah, tapi dibalut kehati-hatian.

Ana menoleh cepat. “Iya, Pak?”

Kevin menatap ke luar jendela, lalu kembali pada Ana. “Tolong bersihkan kamarku sekarang, ya.”

Ana terdiam sejenak. Permintaan itu sederhana, bahkan wajar untuk seorang asisten rumah tangga. Tapi bagi Kevin, itu adalah wilayah yang selama ini selalu ia jaga ketat—bahkan Rani, pembantu sebelumnya, tidak pernah diizinkan masuk ke kamar itu.

“Baik, Pak,” jawab Ana pelan, mencoba tetap tenang meskipun jantungnya berdegup tak karuan.

Ana menghela napas pelan saat ia membawa keranjang pembersih ke kamar Kevin—sebuah ruangan yang dulunya pantang ia jamah, tapi kini mulai terasa seperti bagian dari rutinitas barunya.

Ia membuka pintu dengan hati-hati, seperti biasa. Aroma khas itu langsung menyergap inderanya: campuran parfum Clara yang masih tergantung di udara, dan aroma maskulin Kevin yang lebih samar—seperti kayu tua, sabun, dan keringat yang melekat diam-diam pada selimut dan bantal.

Ana mencoba tak terlalu memikirkan semua itu. Ia bekerja dalam diam. Menyapu, menyeka rak buku, merapikan bantal sofa di dekat jendela. Saat ia sedang membungkuk membersihkan bagian bawah sofa dengan kain lap, suara langkah perlahan mendekat dari belakang.

"Sudah selesai setengahnya, ya?" suara Kevin terdengar.

Ana menoleh cepat dan berdiri. Kevin berdiri di ambang pintu dengan rambut agak berantakan dan mata yang terlihat lelah. Ia tidak mengenakan kemeja seperti biasa, hanya kaus tipis berwarna gelap dan celana pendek rumah.

“Iya, Pak. Masih ada sedikit di dekat jendela,” jawab Ana, mencoba terdengar biasa saja.

Tanpa berkata apa-apa, Kevin melangkah masuk dan langsung duduk di sofa. Ia menunduk sedikit, memegang leher belakangnya, lalu menghela napas berat.

“Ana… bisa minta tolong nggak?” katanya pelan.

Ana diam sejenak, tidak langsung menjawab.

“Punggungku pegal sekali. Sejak kemarin. Bisa kamu bantu pijit sebentar aja?” tanyanya, masih dengan nada letih namun lembut.

Ana menatapnya ragu. “Pak… saya nggak biasa—”

“Sebentar aja, ya?” potong Kevin. “Cuma bagian atas. Aku benar-benar lelah. Nggak akan lama.”

Hening beberapa detik. Dalam hatinya, Ana berperang. Ia ingin menolak. Tapi tatapan Kevin membuatnya seperti tersudut—bukan dengan kekerasan, tapi dengan beban perasaan dan tanggung jawab yang tak kasat mata.

Ana akhirnya melangkah mendekat, dengan tangan gemetar sedikit. Ia berdiri di belakang Kevin dan mulai memijat pundaknya pelan.

Sentuhan pertama terasa aneh. Punggung Kevin hangat di balik kausnya, dan tubuhnya sedikit bergeser saat Ana menekan bagian otot yang kaku. Kevin memejamkan mata, menarik napas panjang.

“Begitu… iya, yang itu agak kenceng, Ana. Di sisi kiri, ya.”

Ana menurut, walau perasaannya berkecamuk. Setiap sentuhan seperti melangkah ke wilayah yang seharusnya tidak ia jamah. Ini bukan lagi tugas rumah tangga. Ini sudah di luar batas. Tapi ia tidak tahu bagaimana menghentikannya tanpa membuat situasi menjadi canggung—atau lebih buruk.

Setelah dua menit yang terasa seperti selamanya, Ana mengurangi tekanan dan berkata pelan, “Sudah, Pak. Cukup, ya?”

Ia hendak menarik diri, tapi tiba-tiba Kevin menggenggam pergelangan tangannya.

Genggaman itu tidak kasar. Tapi juga tidak ringan.

Ana terdiam, matanya menatap tangannya yang kini tertahan. Tubuhnya menegang. Jantungnya berdetak lebih keras dari yang ia inginkan.

“Ana…” suara Kevin lirih, nyaris berbisik.

Ana menelan ludah. Ia tidak berani menjawab.

“Terima kasih. Aku nggak tahu harus bagaimana kalau kamu nggak ada di rumah ini…”

“Pak…” suara Ana nyaris tak terdengar. “Saya harus lanjut bersih-bersih.”

Kevin menatapnya—mata mereka bertemu dalam hening yang menyiksa. Tapi pada akhirnya, genggaman itu dilepaskan.

**

 “Ana, ke ruang kerja sebentar.”

Ana menyeka tangannya dengan handuk kecil, lalu berjalan perlahan masuk. Jantungnya sedikit berdebar. Selama ini, Kevin jarang memanggilnya langsung ke ruang kerja. Ruangan itu biasanya hanya dia pakai untuk bekerja dan membaca, tempat paling pribadi selain kamar tidur.

Ana mengetuk pintu pelan.

“Masuk,” sahut Kevin dari dalam.

Ia melangkah masuk. Kevin duduk di balik meja kerjanya, memakai kemeja lengan panjang warna gelap, dengan beberapa kancing atas dibiarkan terbuka.

Di mejanya ada secangkir kopi yang belum disentuh, dan sebuah bingkai foto pernikahannya dengan Clara yang menghadap ke bawah.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Ana dengan nada datar, mencoba menjaga jarak formal.

Kevin tak langsung menjawab. Ia menatap Ana lama, seperti sedang menimbang kata.

Lalu dengan suara datar namun dalam, ia berkata: “Aku sudah lama ingin bicara langsung, tanpa basa-basi.”

Ana hanya diam.

Kevin berdiri perlahan, melangkah ke sisi meja, kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Kamu wanita yang cantik, Ana.”

Ana menegang. Kata-kata itu seperti percikan api di ruangan yang dipenuhi uap bahan bakar.

Kevin melanjutkan, suaranya tenang, tapi tatapannya dalam, tak berkedip. “Aku laki-laki yang kesepian. Istriku tidak pernah di rumah. Bulan ini saja, aku bisa hitung dengan jari berapa kali dia telepon. Kamu tahu, rumah ini terlalu sepi.”

Ana mundur setengah langkah, mencoba membaca arah pembicaraan.

“Pak Kevin…”

“Aku tidak akan memaksamu,” potong Kevin cepat. “Tapi aku ingin kamu tahu—kalau kamu bersedia… memuaskan kebutuhanku…”

Ana menahan napas.

“…kamu tidak akan kekurangan apa pun. Apa pun yang kamu mau. Uang, tempat tinggal, kenyamanan. Bahkan perlindungan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penghangat Ranjang Majikanku   15. Maafkan Aku ....

    “Ma-maaf, Pak. Saya hanya mau ambil camilan sama kopi aja. Kebetulan tadi lihat Ana lagi melamun. Makanya saya tegur, Pa,” ujar Rafi terbata-bata, suaranya diselimuti ketegangan.Ia tahu betul aura dingin dari Kevin bukanlah hal sepele—sekali salah langkah, bisa berujung pemecatan.Kevin menatap Rafi datar tanpa berkata apa pun. Matanya kemudian beralih menelusuri ke arah dapur, tepat pada Ana yang kini berdiri kaku di depan kompor.Jemari Ana bergerak gelisah, seperti mencari pelarian dari rasa tidak nyaman yang perlahan menyesakkan dadanya.Ia bisa merasakan tatapan pria itu, seperti pisau tajam yang mengupas lapisan demi lapisan ketenangan palsunya.“Kalau begitu, saya permisi.” Rafi buru-buru mengambil gelas kopi dari meja dan melangkah keluar, tak berani menoleh ke belakang.Begitu pintu tertutup, suasana di dapur mendadak sunyi. Hening. Hanya suara kipas dapur dan detak jantung Ana yang semakin menggila di telinganya sendiri.Ia merasa seperti seekor rusa yang terperangkap di ha

  • Penghangat Ranjang Majikanku   14. Seperti tidak Terjadi Sesuatu

    Keesokan paginya, udara masih terasa lembap oleh embun yang belum sepenuhnya menguap dari dedaunan.Sinar matahari mengintip malu-malu dari celah tirai dapur tempat Ana sedang berdiri. Matanya sembab, namun ada secercah harapan di dalamnya.Ia menekan tombol panggilan di layar ponselnya, menghubungi satu-satunya keluarga yang selama ini bisa ia andalkan—bibinya.Tak lama, suara di seberang terdengar. “Halo, Ana?”Ana menegakkan tubuhnya. Suaranya sedikit bergetar saat berkata, “Bi, aku udah dapat uang buat pengobatan Ibu.”Sejenak sunyi, lalu terdengar suara bibinya yang terdengar terkejut dan heran. “Cepat sekali kamu dapat uangnya. Dapat dari mana, Ana?”Ana sontak menelan ludah. Pertanyaan itu seperti menyentil hatinya. Ia tahu cepat atau lambat seseorang pasti akan bertanya. Dan ia sudah siapkan jawabannya.“Da-dari pinjam, Bi. Aku cari pinjaman dari teman-temanku sampai terkumpul sepuluh juta,” ucap Ana dengan nada setenang mungkin, berusaha terdengar meyakinkan meskipun suaranya

  • Penghangat Ranjang Majikanku   13. Harga yang Harus Dibayar

    Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Sore tadi, Kevin membawakan sebuah lingerie tipis yang harus dia gunakan untuk melayani Kevin malam ini.Ana berdiri di depan cermin kamarnya. Rambutnya ia sisir pelan, meski dengan tangan gemetar. Seragam kerja sudah dia tanggalkan, diganti dengan lingerie berwarna putih tulang—bersih, polos, dan justru membuat tubuhnya terlihat lebih rapuh.Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Kevin:"Kamar tamu lantai dua. Sekarang."Ana menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan hanya soal sepuluh juta saja. Ini tentang harga dirinya. Tentang seluruh garis batas yang selama ini ia jaga.“Maafkan aku, Ibu. Aku harus melakukan ini demi kesembuhanmu,” ucapnya dengan suara lirihnya.Dia kemudian menarik napasnya dalam-dalam dan menatap dirinya sekali lagi di cermin di hadapannya.“Pada akhirnya, ucapan Pak Kevin benar. Aku menyerah dan menyerahkan diriku padanya. Aku benar-benar

  • Penghangat Ranjang Majikanku   12. Tidak ada Pilihan Lain

    Napas Ana berat ketika berdiri di depan pintu ruang kerja majikannya itu.Jujur saja, dia tidak ingin ke ruangan itu. Tidak ingin menatap wajah pria itu lagi setelah malam-malam penuh tekanan dan sindiran.Tapi, sudah tidak ada pilihan lain. Ia sudah mencoba segalanya. Semua kontak telah dia hubungi, tapi tidak ada yang mau meminjamkan padanya karena terlalu besar.Ana berhenti di depan pintu ruang kerja Kevin. Tangannya yang dingin terangkat dan mengetuk pelan dua kali.“Masuk,” terdengar suara pria dari dalam.Ana membuka pintu perlahan dan masuk. Kevin duduk di kursi kerja dengan kemeja santai dan celana panjang kain.Di meja kerjanya, sebuah laptop terbuka, namun perhatiannya langsung terarah pada Ana yang masuk dengan wajah pucat dan mata sembab.Ana berdiri beberapa langkah dari mejanya, menunduk. Tangannya meremas sisi rok seragamnya.Kevin memiringkan kepala sedikit. “Ada apa pagi-pagi begini kamu data

  • Penghangat Ranjang Majikanku   11. Sudah Mulai Buntu

    Setelah menenangkan diri sebisanya, Ana kembali ke kamarnya. Ia duduk di sisi ranjang sempit itu dan menggenggam ponsel dengan tangan gemetar.Napasnya masih berat. Matanya sembab, tapi belum ada waktu untuk menangis lebih lama. Ia harus segera bertindak. Harus mencari bantuan. Ibunya butuh pertolongan—dan waktu berjalan dengan cepat.Dengan jari yang masih sedikit bergetar, Ana membuka kontak di ponselnya.Pertama, Dinda. Teman satu kos saat masih bekerja paruh waktu di kafe dulu. Mereka cukup dekat dan Ana berharap wanita itu mau meminjamkan uang padanya.Telepon tersambung, nada sambung terdengar... satu kali, dua kali, tiga kali...Lalu klik.“Halo, Din, ini Ana.”“Hah? Ana? Ana yang mana ya?”Ana menelan ludah. “Ana... teman sekosmu dulu. Yang bareng-bareng kerja di kafe.”“Oh! Iya iya, Ana. Ya ampun, udah lama banget ya... ada apa, Na?”Ana menar

  • Penghangat Ranjang Majikanku   10. Kabar yang Mengejutkan

    Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Matahari masih malu-malu menyelinap di antara tirai rumah mewah itu.Suasana rumah terasa lengang, hanya terdengar suara gemerisik halus dari dapur yang mulai hidup oleh aktivitas Ana.Ana sudah bangun sejak sebelum fajar, berusaha mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Meski hatinya masih terasa berat sejak percakapan panas malam sebelumnya, ia memilih untuk tetap melakukan tanggung jawabnya seperti biasa.Ia mencuci sayuran, menyiapkan bahan sarapan, dan menyalakan kompor gas dengan tangan yang sedikit gemetar—tapi tetap terkontrol.Langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh tegap muncul di ambang pintu dapur. Kevin.Ia masih mengenakan baju tidur satin berwarna gelap, rambutnya sedikit acak-acakan tapi tetap terlihat rapi dalam kekacauan yang tampak dibuat-buat. Pandangannya langsung tertuju pada Ana—dan tidak berpaling.“Aku pikir kamu akan pergi dari rumah ini karena sudah tidak membutuhkan peke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status