Share

4. Semakin Intim

Author: Nhaya_Khania
last update Last Updated: 2025-06-16 17:56:06

Hujan turun deras malam itu, menghantam atap rumah seperti ketukan jarum yang tiada henti. Kilat sesekali menyambar langit gelap, membuat jendela bergetar ringan. Di dalam rumah yang seharusnya hangat, keheningan justru menyergap seperti kabut yang menyusup perlahan.

Lalu, klik—semua gelap.

Listrik padam.

Ana yang sedang mencuci piring di dapur lantas menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke arah jendela yang mendadak hanya menampilkan bayangan hitam dan kelap-kelip cahaya dari luar. Ia menatap sekeliling, berusaha membiasakan mata pada kegelapan.

Sementara itu, di ruang tamu, Kevin meletakkan ponselnya dan menghela napas. Hujan ini bukan hanya membawa padamnya lampu, tapi juga menambah kelam pada suasana hatinya yang sejak tadi telah sendu.

Tak lama, terdengar langkah pelan. "Ana?" panggil Kevin dari ruang tamu.

"Iya, Pak," jawab Ana dari dapur.

"Lampu emergency di bawah tangga. Bisa tolong ambilkan?"

Ana menjawab, "Saya ambilkan, Pak," dan berjalan menuju arah suara. Dengan cahaya dari ponselnya yang redup, ia menemukan lampu darurat kecil dan menyalakannya.

Cahaya kuning lembut menyinari sebagian ruang keluarga.

"Terima kasih," ucap Kevin, duduk di sofa sambil mengelus pelipisnya. Ia tampak lelah, namun juga tak ingin menyendiri.

"Daripada sendirian di dapur, kamu duduk saja di sini. Sambil tunggu listrik nyala," katanya pelan.

Ana ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk. Ia menarik kursi kecil dan duduk tak jauh dari Kevin. Hujan di luar menjadi latar suara satu-satunya, memecah kesunyian yang entah kenapa tidak terasa asing malam itu.

Sesaat mereka hanya diam. Lalu, Kevin berbicara.

"Setiap kali hujan begini, rumah ini terasa... kosong," katanya, menatap lampu yang redup.

Ana menunduk. "Saya juga kurang suka hujan. Bikin ingat banyak hal."

Kevin menoleh, penasaran. "Seperti apa?"

Ana menghela napas pelan. "Ibu saya sedang sakit. Di kampung. Kalau hujan deras begini, sering banjir. Saya jadi khawatir... takut rumahnya kebanjiran, atau beliau demam karena dingin."

Kevin menatap Ana lekat-lekat, kali ini bukan dengan tatapan mengagumi seperti hari-hari sebelumnya, tapi ada rasa simpati yang tulus. "Kenapa kamu nggak pulang? Temani beliau?"

Ana tersenyum kecut. "Kalau saya pulang, siapa yang kirim uang buat obatnya?"

Hening kembali menyelimuti.

Kevin bersandar, mengusap wajahnya. "Aku juga punya rumah... tapi kadang rasanya seperti bukan rumah."

Ana menoleh. "Maksud Bapak?"

Ia menghela napas dalam. "Clara. Istriku. Kami jarang ngobrol sekarang. Bahkan kalau satu rumah pun, rasanya seperti dua orang asing. Aku tahu dia sibuk, pekerja keras, ambisius. Tapi... kadang aku cuma ingin dia duduk di sampingku dan dengar keluhanku. Tanpa terburu-buru pergi."

Ana menunduk. Tak tahu harus menanggapi apa. Tapi dalam hatinya, ia bisa memahami—tentang rasa sepi, tentang butuh seseorang untuk sekadar mendengar.

"Aku iri sama kamu, Ana," kata Kevin tiba-tiba.

Ana terkejut. "Iri sama saya, Pak?"

Kevin tersenyum miris. "Kamu masih punya sesuatu untuk diperjuangkan. Ibumu. Harapanmu. Sementara aku... aku bahkan nggak yakin masih punya tempat dalam hati istriku."

Suara hujan menjadi semakin deras, seolah menjadi musik latar untuk percakapan jujur mereka malam itu.

Ana menatap Kevin dalam cahaya temaram itu. Wajahnya tidak setampan di siang hari, tapi ada luka yang terlihat jelas di sana. Luka yang tak ditutupi senyum, luka yang jujur.

"Ana," ucap Kevin pelan, "kamu perempuan yang kuat."

Kalimat itu membuat dada Ana terasa aneh. Hangat... dan sekaligus berat. Tak ada rayuan dalam kata itu, hanya pengakuan yang sederhana, dan justru karena itulah terasa begitu dalam.

"Pak Kevin juga..." ucap Ana lirih, "meski kelihatan dingin, saya tahu Bapak orang yang kesepian."

Tatapan mereka bertemu. Ada getar di udara yang tak terlihat, tapi terasa. Emosi yang perlahan tumbuh sejak hari pertama kehadiran Ana, kini menjelma menjadi benih keintiman—bukan karena fisik, tapi karena luka yang saling ditunjukkan tanpa topeng.

Jarak mereka terasa semakin dekat.

Dan tepat saat itu—klik—listrik menyala.

Cahaya putih terang menerangi seluruh ruangan. Seperti realitas yang tiba-tiba menyela mimpi.

Mereka terkejut.

Kevin langsung duduk tegak. Ana buru-buru menunduk, menarik kursinya sedikit menjauh.

Keduanya saling menyadari sesuatu: bahwa mereka telah melangkah terlalu dekat. Bukan dalam sentuhan, tapi dalam hati. Dan itu... bisa lebih berbahaya.

Ana bangkit. “Saya... saya ke dapur dulu, Pak. Mau cek kulkas.”

Kevin hanya mengangguk, tak mampu berkata apa-apa.

Ana berjalan cepat, menunduk, meninggalkan ruang keluarga yang baru saja kembali terang—terlalu terang untuk menyembunyikan apa yang tadi hampir terjadi.

Kevin duduk di sofa, memejamkan mata. Dilema di dalam dirinya makin menjerat. Hatinya tak bisa menyangkal bahwa Ana telah mengisi kekosongan yang tak pernah diisi Clara.

Tapi apakah itu cukup menjadi alasan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penghangat Ranjang Majikanku   7. Ada Cara Lain

    “Maaf, Pak… saya tidak bisa. Saya bukan wanita seperti itu.”Kevin diam. Tak ada ekspresi. Hanya kelopak mata yang turun sedikit, dan jemarinya yang mengepal di sisi meja. Detik berikutnya, Ana membalikkan badan dan keluar dari ruangan itu tanpa menoleh lagi.Langkah kakinya bergema di lorong panjang rumah itu. Dadanya sesak—bukan hanya karena takut, tapi karena tahu bahwa setelah ini, hubungan mereka tak akan pernah kembali seperti semula.“Sial! Kamu menolakku, Ana? Lihat saja, aku akan membuatmu bertekuk lutut dan menyesal karena telah menolakku!”**Hari-hari berikutnya menjadi berbeda. Sangat berbeda.Kevin tidak lagi menyapa. Tidak lagi memberi instruksi langsung. Semua permintaan ditulis singkat di kertas atau disampaikan melalui perantara manajer rumah tangga yang kadang datang tiap pekan. Ketika mereka berpapasan di lorong, Kevin hanya melirik dingin, tanpa satu kata pun.Awalnya Ana lega. Tapi lama-kelamaan, keheningan itu justru menekan. Setiap hasil kerjanya, sekecil apa p

  • Penghangat Ranjang Majikanku   6. Permintaan Gila Kevin

    “Ana,” ucap Kevin tenang, namun kali ini ada nada berbeda dalam suaranya—seperti nada perintah, tapi dibalut kehati-hatian.Ana menoleh cepat. “Iya, Pak?”Kevin menatap ke luar jendela, lalu kembali pada Ana. “Tolong bersihkan kamarku sekarang, ya.”Ana terdiam sejenak. Permintaan itu sederhana, bahkan wajar untuk seorang asisten rumah tangga. Tapi bagi Kevin, itu adalah wilayah yang selama ini selalu ia jaga ketat—bahkan Rani, pembantu sebelumnya, tidak pernah diizinkan masuk ke kamar itu.“Baik, Pak,” jawab Ana pelan, mencoba tetap tenang meskipun jantungnya berdegup tak karuan.Ana menghela napas pelan saat ia membawa keranjang pembersih ke kamar Kevin—sebuah ruangan yang dulunya pantang ia jamah, tapi kini mulai terasa seperti bagian dari rutinitas barunya.Ia membuka pintu dengan hati-hati, seperti biasa. Aroma khas itu langsung menyergap inderanya: campuran parfum Clara yang masih tergantung di udara, dan aroma maskulin Kevin yang lebih samar—seperti kayu tua, sabun, dan keringa

  • Penghangat Ranjang Majikanku   5. Perhatian yang Mulai Timbul

    Hari-hari yang sunyi di rumah itu perlahan mulai berubah. Tapi perubahan itu bukan datang dari suara atau keramaian—melainkan dari ketegangan yang makin merayap halus, tak kasat mata namun mengikat seperti kabut pagi yang menggigit kulit.Ana merasakannya pertama kali ketika Kevin mulai sering menyapanya, meski sekadar hal-hal kecil.Ia akan keluar dari ruang kerjanya hanya untuk menanyakan apakah makan siangnya sudah siap, atau apakah jemuran sudah diangkat, padahal hal-hal itu sebelumnya tak pernah ia pedulikan.Awalnya Ana hanya menganggap itu sebagai bentuk keramahan. Tapi perlahan, ia mulai menyadari—bahwa Kevin seperti tengah mencari-cari alasan untuk hadir di sekitarnya.Bahkan ketika tak ada hal penting yang perlu dibahas, pria itu akan tetap berdiri di dekat dapur atau taman belakang, melempar pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang terkesan dipaksakan.Ana menanggapi semua itu dengan sopan, tapi hatinya mulai tak tenang.Hingga suatu siang, saat Ana tengah menjemur pakaian, ia

  • Penghangat Ranjang Majikanku   4. Semakin Intim

    Hujan turun deras malam itu, menghantam atap rumah seperti ketukan jarum yang tiada henti. Kilat sesekali menyambar langit gelap, membuat jendela bergetar ringan. Di dalam rumah yang seharusnya hangat, keheningan justru menyergap seperti kabut yang menyusup perlahan.Lalu, klik—semua gelap.Listrik padam.Ana yang sedang mencuci piring di dapur lantas menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke arah jendela yang mendadak hanya menampilkan bayangan hitam dan kelap-kelip cahaya dari luar. Ia menatap sekeliling, berusaha membiasakan mata pada kegelapan.Sementara itu, di ruang tamu, Kevin meletakkan ponselnya dan menghela napas. Hujan ini bukan hanya membawa padamnya lampu, tapi juga menambah kelam pada suasana hatinya yang sejak tadi telah sendu.Tak lama, terdengar langkah pelan. "Ana?" panggil Kevin dari ruang tamu."Iya, Pak," jawab Ana dari dapur."Lampu emergency di bawah tangga. Bisa tolong ambilkan?"Ana menjawab, "Saya ambilkan, Pak," dan berjalan menuju arah suara. Dengan cahaya dar

  • Penghangat Ranjang Majikanku   3. Hati Kevin yang Bimbang

    Di dapur, Ana mengatur nampan dengan hati-hati. Di atasnya ada secangkir kopi yang baru diseduh, sebuah piring kecil berisi roti panggang, dan secangkir teh hangat untuk dirinya sendiri. Setelah selesai menyiapkan, Ana melangkah ke ruang kerja Kevin.Saat ia membuka pintu, Kevin sedang duduk di kursinya, tampak tenggelam dalam layar laptop. Di bawah cahaya meja yang redup, wajahnya tampak serius. Ketika Ana mendekat dan menyajikan kopi di atas meja, suasana yang tadinya biasa saja tiba-tiba berubah.Tangan mereka bersentuhan sebentar—perasaan hangat itu seperti menyebar ke seluruh tubuh Ana. Seketika itu, ada sesuatu yang menggetarkan dalam dirinya. Kevin juga merasakannya, terlihat sedikit terkejut meskipun ia segera mencoba untuk tetap tenang."Maaf," ujar Ana cepat lalu menarik tangan dengan sedikit terburu-buru. "Kopi sudah siap, Pak."Kevin mengangguk pelan, namun matanya tetap tertuju pada Ana, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya kelu. Ada ketegangan dalam suasana,

  • Penghangat Ranjang Majikanku   2. Hanya Melakukan Tugas

    "Ti-tidak, Pak. Saya akan membawakannya ke kamar Bapak," ucap Ana dengan gugup. Kevin tak lagi menanggapi ucapan Ana dan langsung melangkahkan kakinya memasuki kamarnya. Sementara Ana bergegas pergi ke dapur dan membuatkan kopi untuk tuannya itu. Lima menit kemudian, Ana menaiki anak tangga, nampan di tangannya berisi secangkir kopi hangat. Ia menatap lurus ke depan, menjaga keseimbangan dan kehati-hatian. Meski terlihat tenang di luar, dadanya berdebar kencang.Sampai di depan kamar Kevin, ia mengetuk dua kali pelan."Masuk," terdengar suara Kevin dari dalam.Ana membuka pintu dengan sopan, menundukkan kepala singkat, lalu masuk perlahan.Kevin duduk di kursi malas dekat jendela, wajahnya setengah tenggelam dalam cahaya lampu tidur. Ia menatap Ana sesaat, lalu melirik ke kopi yang dibawa pelayan barunya itu.Ana menghampiri dengan langkah ringan. Dengan sopan, ia menaruh cangkir kopi itu di atas nakas kecil di samping kursi Kevin. "Silakan diminum, Pak. Sudah saya buatkan seperti y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status