Hujan turun deras malam itu, menghantam atap rumah seperti ketukan jarum yang tiada henti. Kilat sesekali menyambar langit gelap, membuat jendela bergetar ringan. Di dalam rumah yang seharusnya hangat, keheningan justru menyergap seperti kabut yang menyusup perlahan.
Lalu, klik—semua gelap.
Listrik padam.
Ana yang sedang mencuci piring di dapur lantas menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke arah jendela yang mendadak hanya menampilkan bayangan hitam dan kelap-kelip cahaya dari luar. Ia menatap sekeliling, berusaha membiasakan mata pada kegelapan.
Sementara itu, di ruang tamu, Kevin meletakkan ponselnya dan menghela napas. Hujan ini bukan hanya membawa padamnya lampu, tapi juga menambah kelam pada suasana hatinya yang sejak tadi telah sendu.
Tak lama, terdengar langkah pelan. "Ana?" panggil Kevin dari ruang tamu.
"Iya, Pak," jawab Ana dari dapur.
"Lampu emergency di bawah tangga. Bisa tolong ambilkan?"
Ana menjawab, "Saya ambilkan, Pak," dan berjalan menuju arah suara. Dengan cahaya dari ponselnya yang redup, ia menemukan lampu darurat kecil dan menyalakannya.
Cahaya kuning lembut menyinari sebagian ruang keluarga.
"Terima kasih," ucap Kevin, duduk di sofa sambil mengelus pelipisnya. Ia tampak lelah, namun juga tak ingin menyendiri.
"Daripada sendirian di dapur, kamu duduk saja di sini. Sambil tunggu listrik nyala," katanya pelan.
Ana ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk. Ia menarik kursi kecil dan duduk tak jauh dari Kevin. Hujan di luar menjadi latar suara satu-satunya, memecah kesunyian yang entah kenapa tidak terasa asing malam itu.
Sesaat mereka hanya diam. Lalu, Kevin berbicara.
"Setiap kali hujan begini, rumah ini terasa... kosong," katanya, menatap lampu yang redup.
Ana menunduk. "Saya juga kurang suka hujan. Bikin ingat banyak hal."
Kevin menoleh, penasaran. "Seperti apa?"
Ana menghela napas pelan. "Ibu saya sedang sakit. Di kampung. Kalau hujan deras begini, sering banjir. Saya jadi khawatir... takut rumahnya kebanjiran, atau beliau demam karena dingin."
Kevin menatap Ana lekat-lekat, kali ini bukan dengan tatapan mengagumi seperti hari-hari sebelumnya, tapi ada rasa simpati yang tulus. "Kenapa kamu nggak pulang? Temani beliau?"
Ana tersenyum kecut. "Kalau saya pulang, siapa yang kirim uang buat obatnya?"
Hening kembali menyelimuti.
Kevin bersandar, mengusap wajahnya. "Aku juga punya rumah... tapi kadang rasanya seperti bukan rumah."
Ana menoleh. "Maksud Bapak?"
Ia menghela napas dalam. "Clara. Istriku. Kami jarang ngobrol sekarang. Bahkan kalau satu rumah pun, rasanya seperti dua orang asing. Aku tahu dia sibuk, pekerja keras, ambisius. Tapi... kadang aku cuma ingin dia duduk di sampingku dan dengar keluhanku. Tanpa terburu-buru pergi."
Ana menunduk. Tak tahu harus menanggapi apa. Tapi dalam hatinya, ia bisa memahami—tentang rasa sepi, tentang butuh seseorang untuk sekadar mendengar.
"Aku iri sama kamu, Ana," kata Kevin tiba-tiba.
Ana terkejut. "Iri sama saya, Pak?"
Kevin tersenyum miris. "Kamu masih punya sesuatu untuk diperjuangkan. Ibumu. Harapanmu. Sementara aku... aku bahkan nggak yakin masih punya tempat dalam hati istriku."
Suara hujan menjadi semakin deras, seolah menjadi musik latar untuk percakapan jujur mereka malam itu.
Ana menatap Kevin dalam cahaya temaram itu. Wajahnya tidak setampan di siang hari, tapi ada luka yang terlihat jelas di sana. Luka yang tak ditutupi senyum, luka yang jujur.
"Ana," ucap Kevin pelan, "kamu perempuan yang kuat."
Kalimat itu membuat dada Ana terasa aneh. Hangat... dan sekaligus berat. Tak ada rayuan dalam kata itu, hanya pengakuan yang sederhana, dan justru karena itulah terasa begitu dalam.
"Pak Kevin juga..." ucap Ana lirih, "meski kelihatan dingin, saya tahu Bapak orang yang kesepian."
Tatapan mereka bertemu. Ada getar di udara yang tak terlihat, tapi terasa. Emosi yang perlahan tumbuh sejak hari pertama kehadiran Ana, kini menjelma menjadi benih keintiman—bukan karena fisik, tapi karena luka yang saling ditunjukkan tanpa topeng.
Jarak mereka terasa semakin dekat.
Dan tepat saat itu—klik—listrik menyala.
Cahaya putih terang menerangi seluruh ruangan. Seperti realitas yang tiba-tiba menyela mimpi.
Mereka terkejut.
Kevin langsung duduk tegak. Ana buru-buru menunduk, menarik kursinya sedikit menjauh.
Keduanya saling menyadari sesuatu: bahwa mereka telah melangkah terlalu dekat. Bukan dalam sentuhan, tapi dalam hati. Dan itu... bisa lebih berbahaya.
Ana bangkit. “Saya... saya ke dapur dulu, Pak. Mau cek kulkas.”
Kevin hanya mengangguk, tak mampu berkata apa-apa.
Ana berjalan cepat, menunduk, meninggalkan ruang keluarga yang baru saja kembali terang—terlalu terang untuk menyembunyikan apa yang tadi hampir terjadi.
Kevin duduk di sofa, memejamkan mata. Dilema di dalam dirinya makin menjerat. Hatinya tak bisa menyangkal bahwa Ana telah mengisi kekosongan yang tak pernah diisi Clara.
Tapi apakah itu cukup menjadi alasan?
“Ma-maaf, Pak. Saya hanya mau ambil camilan sama kopi aja. Kebetulan tadi lihat Ana lagi melamun. Makanya saya tegur, Pa,” ujar Rafi terbata-bata, suaranya diselimuti ketegangan.Ia tahu betul aura dingin dari Kevin bukanlah hal sepele—sekali salah langkah, bisa berujung pemecatan.Kevin menatap Rafi datar tanpa berkata apa pun. Matanya kemudian beralih menelusuri ke arah dapur, tepat pada Ana yang kini berdiri kaku di depan kompor.Jemari Ana bergerak gelisah, seperti mencari pelarian dari rasa tidak nyaman yang perlahan menyesakkan dadanya.Ia bisa merasakan tatapan pria itu, seperti pisau tajam yang mengupas lapisan demi lapisan ketenangan palsunya.“Kalau begitu, saya permisi.” Rafi buru-buru mengambil gelas kopi dari meja dan melangkah keluar, tak berani menoleh ke belakang.Begitu pintu tertutup, suasana di dapur mendadak sunyi. Hening. Hanya suara kipas dapur dan detak jantung Ana yang semakin menggila di telinganya sendiri.Ia merasa seperti seekor rusa yang terperangkap di ha
Keesokan paginya, udara masih terasa lembap oleh embun yang belum sepenuhnya menguap dari dedaunan.Sinar matahari mengintip malu-malu dari celah tirai dapur tempat Ana sedang berdiri. Matanya sembab, namun ada secercah harapan di dalamnya.Ia menekan tombol panggilan di layar ponselnya, menghubungi satu-satunya keluarga yang selama ini bisa ia andalkan—bibinya.Tak lama, suara di seberang terdengar. “Halo, Ana?”Ana menegakkan tubuhnya. Suaranya sedikit bergetar saat berkata, “Bi, aku udah dapat uang buat pengobatan Ibu.”Sejenak sunyi, lalu terdengar suara bibinya yang terdengar terkejut dan heran. “Cepat sekali kamu dapat uangnya. Dapat dari mana, Ana?”Ana sontak menelan ludah. Pertanyaan itu seperti menyentil hatinya. Ia tahu cepat atau lambat seseorang pasti akan bertanya. Dan ia sudah siapkan jawabannya.“Da-dari pinjam, Bi. Aku cari pinjaman dari teman-temanku sampai terkumpul sepuluh juta,” ucap Ana dengan nada setenang mungkin, berusaha terdengar meyakinkan meskipun suaranya
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Sore tadi, Kevin membawakan sebuah lingerie tipis yang harus dia gunakan untuk melayani Kevin malam ini.Ana berdiri di depan cermin kamarnya. Rambutnya ia sisir pelan, meski dengan tangan gemetar. Seragam kerja sudah dia tanggalkan, diganti dengan lingerie berwarna putih tulang—bersih, polos, dan justru membuat tubuhnya terlihat lebih rapuh.Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Kevin:"Kamar tamu lantai dua. Sekarang."Ana menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan hanya soal sepuluh juta saja. Ini tentang harga dirinya. Tentang seluruh garis batas yang selama ini ia jaga.“Maafkan aku, Ibu. Aku harus melakukan ini demi kesembuhanmu,” ucapnya dengan suara lirihnya.Dia kemudian menarik napasnya dalam-dalam dan menatap dirinya sekali lagi di cermin di hadapannya.“Pada akhirnya, ucapan Pak Kevin benar. Aku menyerah dan menyerahkan diriku padanya. Aku benar-benar
Napas Ana berat ketika berdiri di depan pintu ruang kerja majikannya itu.Jujur saja, dia tidak ingin ke ruangan itu. Tidak ingin menatap wajah pria itu lagi setelah malam-malam penuh tekanan dan sindiran.Tapi, sudah tidak ada pilihan lain. Ia sudah mencoba segalanya. Semua kontak telah dia hubungi, tapi tidak ada yang mau meminjamkan padanya karena terlalu besar.Ana berhenti di depan pintu ruang kerja Kevin. Tangannya yang dingin terangkat dan mengetuk pelan dua kali.“Masuk,” terdengar suara pria dari dalam.Ana membuka pintu perlahan dan masuk. Kevin duduk di kursi kerja dengan kemeja santai dan celana panjang kain.Di meja kerjanya, sebuah laptop terbuka, namun perhatiannya langsung terarah pada Ana yang masuk dengan wajah pucat dan mata sembab.Ana berdiri beberapa langkah dari mejanya, menunduk. Tangannya meremas sisi rok seragamnya.Kevin memiringkan kepala sedikit. “Ada apa pagi-pagi begini kamu data
Setelah menenangkan diri sebisanya, Ana kembali ke kamarnya. Ia duduk di sisi ranjang sempit itu dan menggenggam ponsel dengan tangan gemetar.Napasnya masih berat. Matanya sembab, tapi belum ada waktu untuk menangis lebih lama. Ia harus segera bertindak. Harus mencari bantuan. Ibunya butuh pertolongan—dan waktu berjalan dengan cepat.Dengan jari yang masih sedikit bergetar, Ana membuka kontak di ponselnya.Pertama, Dinda. Teman satu kos saat masih bekerja paruh waktu di kafe dulu. Mereka cukup dekat dan Ana berharap wanita itu mau meminjamkan uang padanya.Telepon tersambung, nada sambung terdengar... satu kali, dua kali, tiga kali...Lalu klik.“Halo, Din, ini Ana.”“Hah? Ana? Ana yang mana ya?”Ana menelan ludah. “Ana... teman sekosmu dulu. Yang bareng-bareng kerja di kafe.”“Oh! Iya iya, Ana. Ya ampun, udah lama banget ya... ada apa, Na?”Ana menar
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Matahari masih malu-malu menyelinap di antara tirai rumah mewah itu.Suasana rumah terasa lengang, hanya terdengar suara gemerisik halus dari dapur yang mulai hidup oleh aktivitas Ana.Ana sudah bangun sejak sebelum fajar, berusaha mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Meski hatinya masih terasa berat sejak percakapan panas malam sebelumnya, ia memilih untuk tetap melakukan tanggung jawabnya seperti biasa.Ia mencuci sayuran, menyiapkan bahan sarapan, dan menyalakan kompor gas dengan tangan yang sedikit gemetar—tapi tetap terkontrol.Langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh tegap muncul di ambang pintu dapur. Kevin.Ia masih mengenakan baju tidur satin berwarna gelap, rambutnya sedikit acak-acakan tapi tetap terlihat rapi dalam kekacauan yang tampak dibuat-buat. Pandangannya langsung tertuju pada Ana—dan tidak berpaling.“Aku pikir kamu akan pergi dari rumah ini karena sudah tidak membutuhkan peke