Dave duduk di depan sebuah perapian, matanya fokus pada layar laptop ditemani secangkir kopi panas yang masih mengepul. Pria itu terlihat serius dengan pekerjaan.
Awalnya Laura segan untuk menyapa, tetapi tidak mungkin dia berlalu begitu saja seperti orang yang tidak tahu sopan santun.
“Selamat pagi,” kata Laura menyapa suaminya.
Dave masih terdiam tanpa menjawab sapaan istrinya.
Laura menghela napas berat bersikap sabar merespon sikap suaminya, dia berniat meninggalkan Dave yang mungkin sedang tidak mau diganggu.
“Duduklah, ada kopi dan coklat panas yang bisa kamu minum untuk menghangatkan tubuhmu.” Tiba-tiba terdengar suara Dave yang cukup mengejutkan.
Mata Laura melirik ke tempat duduk yang suaminya tawarkan, rasa ragu mengusik karena di situ hanya terdapat satu sofa panjang dengan meja di depannya, tidak ada tempat duduk lain di dekat Dave. Sedangkan beberapa meter di depan meja tersebut terdapat perapian yang hangat.
Sedikit ragu, dia mendekati suaminya dan duduk di sampingnya. Dia mengamati Dave yang masih sibuk dengan pekerjaan, merasa segan untuk memulai pembicaraan, takut kena bentakan Dave lagi.
“Bukalah selimutmu, jika kamu tidak ingin kepanasan. Di sini sudah cukup hangat,” perintah Dave tanpa menatapnya dan masih tetap fokus dengan laptopnya.
Laura kemudian membuka sedikit selimutnya. “Bolehkah aku bertanya?”
“Tentang apa? Kamu sudah tahu batasan apa yang tidak boleh kamu tanyakan,” kata Dave sambil mengetik sesuatu di keyboard laptopnya.
“Apakah kamu tidak lelah terus memakai penutup wajah itu?”
“Tidak,” jawab Dave singkat.
Laura diam sejenak kemudian melanjutkan pertanyaannya. “Apakah rumah ini berada di langit? karena tadi saat aku melihat keluar jendela, aku tidak melihat apa pun kecuali kabut putih dan menutup jarak pandangku.”
Pertanyaan Laura berhasil membuat Dave menghentikan pekerjaannya dan menatapnya dengan tajam. Laura yang mendapat tatapan tersebut menjadi gugup dan merona.
Dalam hati, Laura berkata, ‘Shit! Harusnya aku merasa takut dengan tatapan pria ini, tetapi kenapa wajahku malah memanas dan merona?’
Dia segera menunduk dan menutup pipinya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan rona panas tersebut.
Dave kembali menatap layar laptop tanpa berkomentar, membuatnya bisa bernapas dengan lega.
“Dongeng apa lagi yang ada di kepalamu? Kemarin Putri Cinderella, sekarang rumah di atas langit. Apakah otakmu hanya berisi dengan cerita dongeng yang tidak jelas?” sindir Dave kemudian.
“Tidak juga, tetapi dari kecil aku ingin sekali mempunyai rumah kayu seperti ini. Mamaku sering tertawa jika aku menceritakannya. Pagi ini, aku bangun dan berada di rumah impianku,” kata Laura yang bercerita penuh dengan semangat.
“Apakah kamu menyukai rumah ini?” tanya Dave.
“Tentu saja, bahkan aku hampir menangis saat menjelajahi rumah ini,” Laura berkata jujur.
Perkataan Laura membuat Dave menutup laptopnya dan menaruhnya di meja. Dia mengubah posisi duduknya dan menghadap ke arah istrinya.
Menyadari posisi Dave, Laura cukup terintimidasi sehingga menggeser duduknya sampai ke ujung sofa. Ketika bibir pria itu menyunggingkan senyum ramah, dia bisa bernapas lega dan duduk dengan tenang.
“Ceritakan pendapatmu tentang rumah ini?” tanya Dave.
“Aku sangat menyukai rumah ini, rasanya hangat, ada kesan misterius, elegan dan unik. Apakah kamu bisa mencium baunya?” tanya Laura.
“Ya, aroma woody, wangi, manis dan segar,” jawab Dave.
“Ya, betul sekali. Saat menghirupnya, kamu akan merasa tenang dan nyaman,” sambung Laura.
“Hampir semua perabotan di sini menggunakan kayu cendana,” jawab Dave.
“Benarkah? Berapa banyak uang yang kamu keluarkan untuk membuat rumah ini. Aku dengar, kayu cendana termasuk salah satu kayu termahal di dunia,” kata Laura penuh kekaguman.
“Benarkah?” tanya Dave meskipun dia sudah tahu kenyataan tersebut.
“Tentu saja. Yang membuat aku penasaran, di mana kita berada sekarang?”
“Bukannya kamu sudah mengetahuinya tadi?”
“Apakah benar kita sedang berada di atas langit?” tanya Laura dengan penuh semangat. Dave yang mendengar perkataan istrinya, seketika menjitak kepala wanita itu.
“Sakit!” teriak Laura sambil mengusap bekas jitakan Dave.
“Rumah ini aku bangun di lereng gunung. Jika kabutnya telah hilang, kamu akan melihat pemandangan yang indah dari rumah ini. Di sebelah kanan terdapat gunung yang menjulang tinggi sedangkan di belakang rumah terdapat sebuah danau, kamu bisa menjelajahinya kalau mau,” kata Dave menjelaskan.
“Benarkah? Aku tidak sabar untuk segera menjelajahinya!” kata Luara penuh semangat.
“Sayangnya, tempat ini lumayan terpencil dan jauh dari kota.”
“Tidak masalah, aku menyukainya. Aku tidak butuh tinggal di kota karena tidak ada yang bisa aku lakukan di sana.”
Perkataan Laura, mengejutkan Dave. Banyak wanita tidak ingin hidup di tempat terpencil seperti ini. Mereka lebih suka hidup di perkotaan yang penuh dengan hingar bingar dan berbagai macam tempat hiburan. Klub malam, diskotik, mall dan tempat-tempat hiburan lainnya yang bisa mereka kunjungi, tempat yang penuh dengan kesibukan dan kesenangan.
Cukup aneh baginya ketika wanita di depannya bersikap sebaliknya. Dia malah lebih suka hidup di sini, di tempat terpencil, di tempat yang membuat Dave merasa begitu hangat dan tenang.
“Di sini akan sangat membosankan, Laura,” pancing Dave.
“Dengan pemandangan yang kamu ceritakan tadi? Tentu saja tidak. Aku akan mempunyai banyak inspirasi dan menjadi lebih imajinatif saat menelusuri tempat-tempat di sini.”
“Apa yang kamu sukai?” tanya Dave.
“Hidup di negeri dongeng,” jawab Laura bercanda, yang membuat Dave tersenyum. “Aku suka menulis,” lanjut Laura.
“Good, ini tempat yang cocok untuk mengembangkan hobimu itu,” jawab Dave singkat.
Tiba-tiba Laura merasa udara semakin dingin sehingga dia menaikkan selimutnya kembali. “Dave, apa kamu merasa udara semakin dingin?” tanya Laura.
Dave menoleh ke arah perapian dan melihat kayunya sudah hampir habis sehingga apinya mengecil. “Apinya sudah mulai padam, sepertinya kayunya sudah hampir habis,” kata Dave.
“Apakah perlu aku bantu menambah kayunya?” Laura menawarkan pertolongan.
“Nanti saja, aku belum sempat menyiapkan kayunya. Itu sisa kayu semalam. Sebentar lagi, matahari juga akan menghangat,” jawab Dave.
Dengan sedikit ragu, Laura berkata, “Maukah bergabung denganku? disini lebih hangat.” Laura menawarkan selimutnya agar Dave tidak merasa kedinginan.
“Kenapa tidak? Aku bisa menunggu matahari menghangat bersamamu di dalam selimut itu,” ucap Dave cepat sambil menelusup masuk ke dalam selimut yang Laura pakai. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang istrinya tawarkan.
Jantung Laura berdetak sangat cepat, sepertinya dia melakukan kesalahan dengan menawarkan selimutnya kepada Dave.
Laura seketika menjadi salah tingkah saat suaminya masuk ke dalam selimut. Dia berusaha sedikit menjauh agar tubuh Dave agar tidak terlalu menempel pada tubuhnya. Dave yang tahu gelagat Laura, menarik tubuh istrinya dan memeluknya erat.
“Dave!” teriak Laura karena terkejut dengan apa yang suaminya dilakukan.
“Diamlah, ini akan membuat kita sama-sama hangat,” kata Dave sambil menaikkan selimut mereka. Benar saja, posisi mereka sekarang membuat selimut tersebut menutup sempurna tubuh mereka dan rasanya sangat hangat.
Laura yang berada dalam pelukan Dave menjadi kikuk. Apalagi aroma tubuh pria itu memenuhi indra penciumannya, menghilangkan aroma manis rumah kayu yang ditinggalinya. Dia bisa mendengar detak jantung suaminya yang membuat dirinya ikut berdetak seirama dengan detak jantung tersebut.
“Fernando, hentikan! Kamu bisa membunuhnya.” Joselie yang tidak mau pergi dari ruangan tersebut melepaskan diri dari dekapan putranya lalu berlari mendapatkan suaminya, tetapi tegurannya diabaikan oleh Fernando.Tomshon langsung menarik dan memegang tubuh Fernando untuk menahan pria itu.“Lepaskan aku, Tom! Biarkan aku membunuhnya!” geram Fernando diliputi amarah.Tangis Joselie semakin keras mendengar perkataan suaminya. Nicholas langsung menarik dan memeluk Mamanya kembali.Untuk beberapa saat, Joselie menangis di pelukan putranya. Setelah keadaan agak tenang, Nicholas membawa Mamanya menjauh dan pergi ke kamar. Tomshon pun menarik tubuh Fernando dan membawanya pergi dari ruangan tersebut.Saat Tomshon dan Fernando melewati ruang keluarga, Gabriella terkejut karena melihat tangan Fernando berlumuran darah. Susan yang melihatnya langsung berlari mendekati suaminya.“Apa yang terjadi dengan Fernando?” tanya Susan khawatir.“Fernando baik-baik saja. Panggil pengawal dan suruh Gabriella
Pagi harinya dengan muka lelah, Austin dan Gabriella sampai di depan rumah yang sangat besar. Melihat rumah tersebut, Gabriella hanya terdiam dengan mulut ternganga.“Benarkah ini kediaman Pierre?” tanyanya pada suaminya.“Ya, ini adalah kediaman Pierre,” jawab Austin, menyakinkan Gabriella.“Rasanya seperti sedang berada di sebuah istana modern. Aku tidak menyangka ada rumah sebesar ini.” Gabriella masih terkagum dengan rumah di depannya.“Ayo kita masuk!” ajak Austin yang kemudian diikuti oleh Gabriella di belakang.Mereka melangkah memasuki teras rumah keluarga Pierre. Dengan sedikit ragu, Austin mengetuk pintu besar rumah tersebut.Tidak lama kemudian terlihat seorang pelayan membuka pintu. Setelah Austin memperkenalkan diri, pelayan itu berkata, “Tuan Fernando telah menunggu Anda, silakan masuk. Barang-barangnya biarkan di sini saja, nanti saya yang akan mengurusnya.”Austin dan Gabriella mengikuti langkah pelayan tersebut yang membawa mereka ke sebuah ruangan. “Tuan, Nyonya, Tua
Hari berikutnya, Austin dan Gabriella mulai mencari keberadaan Olivia. Mereka pergi menuju ke alamat yang diberikan Grace. Dengan jantung berdebar, Austin berdiri di rumah berwarna putih dengan taman yang cantik yang berada di depan rumah tersebut.“Apakah kamu sudah siap menemuinya?” tanya Gabriella.“Apakah aku mempunyai pilihan? Siap tidak siap, aku harus menemuinya sekarang, agar urusan kita cepat selesai. Semakin kita menundanya, maka beban yang harus aku tanggung semakin berat.”Gabriella mengangguk mengiyakan apa yang suaminya katakan.Austin mengetuk pintu rumah tersebut beberapa kali, tapi rumah tersebut tampak sepi. Dia memutuskan untuk mengetuk terakhir kalinya, jika belum ada juga yang membukakan pintu untuknya, maka besok dia akan datang kembali.Tepat saat Austin menurunkan tangan, pintu di depannya terbuka. Seorang gadis cantik terlihat di balik pintu sambil menatap Gabriella dan Austin dengan heran.“Ada yang bisa aku bantu?” tanya gadis itu.“Apakah benar ini rumah ke
“Mandilah dahulu, aku akan memesan makanan untuk kita,” kata Austin pada Gabriella setelah mendapatkan kamar.“Baiklah aku akan mandi terlebih dahulu,” Gabriella mengiyakan perkataan suaminya.Dia masuk ke kamar mandi dan melepas semua pakaian, mengatur suhu air sehingga menjadi hangat. Saat air hangat itu membasahi tubuhnya, semua rasa lelahnya terasa menguap dan tubuhnya terasa segar kembali.Gabriella terlonjak kaget saat tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang.“Astaga Austin, kamu mengagetkanku. Jantungku serasa mau copot,” tegur Gabriella.Bukannya meminta maaf, Austin malah sibuk mengendus tengkuk Gabriella. Dengan sigap, dia membalikkan tubuh istrinya sehingga berhadapan dengan dirinya.Mata Gabriella terbelalak saat tahu jika Austin tidak memakai apapun seperti dirinya. Dia yakin setelah ini mandinya pasti akan terganggu.Austin mendorong tubuh Gabriella dan menghimpitnya ke tembok kamar mandi. Dengan cepat dia melumat bibir istrinya.Gabriella menyambut lumatan bibir Aus
Gabriella menatap Austin seakan ingin berkata jika jangan mengharapkannya. Dia kemudian menceritakan tentang keadaan dirinya saat itu.“Setelah Olivia diadopsi aku harus tinggal di asrama dan mengikuti pendidikan. Selama di asrama, aku jarang pulang ke panti karena peraturan asrama sangat ketat. Aku ke panti jika ada libur panjang. Setelah menyelesaikan pendidikan, aku langsung bekerja dan hidup di rumah kost. Terakhir kali aku melihat Olivia adalah saat dia berumur 7 tahun dan sampai sekarang aku tidak pernah melihatnya lagi.”“Apa yang kamu ceritakan, sangat berarti bagiku, aku memiliki harapan baru untuk menemukannya. Bagaimana jika hari ini kita pergi ke panti asuhan tempatmu tinggal dan dibesarkan,” ajak Austin membuat Gabriella cukup terkejut.“Tetapi itu cukup jauh, kita harus keluar kota dan belum menyiapkan penerbangan serta apa saja yang dibutuhkan untuk ke sana,” ujar Gabriella.“Aku akan mencari penerbangan paling awal hari ini, bantu aku untuk berkemas.”Tidak tega menola
Setelah menceritakan apa yang mengganjal di hati, Austin terlihat sangat rapuh. Itu adalah kesalahan besar yang tidak termaafkan. Gabriella yang melihat betapa rapuh suaminya, langsung mendekapnya dengan erat. Bahkan saat dulu Austin menceritakan tentang pelecehan yang dia alami, dia tidak serapuh ini.Dengan lembut Gabriella mengusap punggung Austin. “Kita harus memberitahu Fernando dan Joselie. Seberat apa pun hukuman yang akan mereka berikan, mereka berhak tahu kebenarannya dan kita harus menerima segala konsekuensi.”“Apakah kita harus memberitahukan hal ini secepatnya pada mereka?” tanya Austin terlihat keberatan dan butuh waktu, dia tidak akan sanggup menatap wajah kecewa dan sedih Fernando dan Joselie terhadap dirinya.“Jika kamu belum siap, kita bisa menundanya dan mencari tahu terlebih dahulu apakah anak itu masih hidup atau sudah meninggal sehingga saat kita bertemu dengan keluarga Pierre, kita memiliki sedikit informasi.”“Tapi dari mana kita mencarinya? Itu sama saja menca