Tubuhku gemetar menahan tulang yang seakan tiba-tiba rapuh. Dada bergemuruh hebat ketika melihat jasad ibu terbujur kaku menjadi mayat. Malam takbiran berubah menjadi lautan tangisan duka. Oh, ibu. Mengapa pergi begitu cepat. Padahal, ingin memberikan hadiah baju gamis untukmu.
Baju gamis yang sempat tadi dibeli jatuh begitu saja. Tepat di samping jenazah ibu. Tangisan langsung pecah melihat orang yang paling aku sayangi. Menyaksikan ibu yang kucintai harus menghembuskan napas terakhir di malam takbiran. Di saat semua orang merayakan hari bahagia, aku malah berduka. Tak kuasa menahan rasa sesak yang menyeruak.
"Mas Danu, ibu menghembuskan napas terakhir kali ketika lepas azan magrib berkumandang. Aku tadi sempat memberikan air hangat untuk Ibu berbuka puasa," ucap Wiji. Menundukkan wajah seolah menyesal telat memberi kabar. Bukan salahnya juga bila ibu pergi. Semua yang terjadi sudah takdir.
Selama ini, aku menitipkan ibu pada Wiji. Kebetulan jarak antara rumah dengan kontrakkan tidak terlalu jauh. Hanya bersebelahan. Jadi, kalau ada apa-apa Wiji bisa melihatnya. Dia juga membantu merawat ibu.
"Kenapa kau tak menghubungiku, Wiji? Kalau aku tahu Ibu begini mungkin tidak …." Aku menggantung kalimat. Tidak sanggup untuk mengatakan sepatah kata pun lagi.
"Aku sudah menghubungi Bang mandor tempatmu bekerja, Mas. Mereka bilang kamu sudah pulang bersama Rafa. Maaf, Mas. Aku tidak tahu harus mencarimu ke mana."
Aku tidak menyalahkan Wiji, karena memang bukan salahnya. Dia sudah berusaha untuk menghubungi, tetapi pada saat itu kita sudah pulang semua. Bahkan, proyek tempat pembangunan apartemen ditutup. Akan dibuka setelah Minggu depan.
"Ibu, bangunlah! Jangan tinggalkan aku, Bu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu," ucapku memeluknya.
Tubuhnya yang dingin hanya bergeming. Kuusap wajah keriput ibu yang sudah menua. Senyumnya terlihat di akhir riwayat hidupnya.
Kucium tangannya berkali-kali sebagai tanda permintaan maaf. Namun, tak ada jawaban. Dia tetap bergeming.
"Ibu, lihatlah! Aku bawa oleh-oleh untukmu," ucapku sembari menunjukkan baju gamis mewah yang dibelikan oleh Naina. "Ibu pasti akan terlihat cantik bila memakainya."
Hening. Hanya suara binatang malam, dan takbir yang terus berkumandang memecah kesunyian mencekam. Aku tidak menyangka kepergian ibu akan secepat ini. Masih kuingat kemarin dulu dia menggendong dan menimang. Kini, tidak akan kulihat lagi senyumannya yang manis kala sedang menghiburku.
"Kamu kenapa, Nak? Kok menangis?" tanya ibu kala itu.
"Ibu, kenapa Ayah pergi? Apa dia tidak sayang kita?"
Ibu menarik napas. Tangannya membelai rambut dan pucuk kepala dengan lembut. Dia memeluk dan menciumku seolah tidak ingin berpisah. Waktu itu, aku ingat saat ayah akan pergi meninggalkan kami. Dia lebih memilih meninggalkan keluarganya daripada harus menghidupi kami.
"Ayah! Danu ikut!"
"Menjauh dari Ayah, Danu! Ayah akan pergi. Jaga ibumu baik-baik!
"Ayah, jangan pergi! Danu sayang sama Ayah. Danu janji tidak akan nakal sama Ayah."
Namun, ayah tetap pergi tak pernah kembali lagi. Sejak saat itu, ibu membesarkanku seorang diri. Dia membawaku kemanapun pergi. Tak pernah sekalipun ibu mengeluh ataupun mengatakan lelah karena telah merawatku.
"Danu, ikhlaskan ibumu. Biarkan dia pergi dengan tenang. Kalau kau terus menangis begini, maka perjalanannya akan menjadi terhambat," ucap Pakde Jarwo. Dia adalah ayahnya—Wiji. Yang tak lain adalah tetangga sebelah rumah.
"Inggih, Pakde."
"Nenek, jangan pergi! Rafa siapa yang jaga nanti?" Rafa langsung memeluk tubuh ibu yang tertidur panjang di depannya.
Dia menangis sembari mengguncang ibu. Namun ibu masih tetap bergeming. Wiji berusaha untuk menghiburnya, tetapi tangis Rafa masih saja tetap pecah.
"Rafa, ayo sama Bibi. Kamu harus istirahat dan tidur. Besok kita akan ke makam untuk menguburkan Nenek."
"Bibi, apa Nenek akan sendirian di dalam tanah?"
"Iya."
"Tapi kata Pak ustaz kalau orang meninggal akan dimakan cacing tanah. Apa benar begitu?" tanya Rafa polos. Matanya yang sayu menatap Wiji.
Sejenak Wiji bergeming. Meski usia Rafa baru satu tahun, namun Rafa—anak yang pintar. Dia sudah paham mana yang baik dan mana yang benar.
Walau Rafa belum sekolah seperti anak yang lainnya, tetapi dia sudah bisa mengaji dan berhitung satu sampai seratus. Setiap hari Rafa akan belajar bersama anak jalanan tiap kali aku membawanya pergi kerja.
Sanjaya mengajar mengaji dan berhitung pada anak jalanan yang tidak pernah duduk di bangku sekolah. Setelah selesai jam makan siang, pria itu masih punya waktu untuk mengajar anak-anak yang kurang mampu.
Sanjaya dulu adalah mantan narapidana. Setelah keluar dia bekerja menjadi buruh bangunan untuk menyambung hidup. Kehidupan yang keras telah mengantarkan dia menjadi pria yang tangguh. Dia dihukum sepuluh tahun penjara karena kasus pembunuhan. Dia hanya dijebak oleh saudaranya. Semua tuduhan mengarah padanya. Hingga Sanjaya harus merelakan masa mudanya hilang selama sepuluh tahun dalam kurungan sel.
"Iya, itu benar. Setiap orang yang hidup akan mengalami kematian. Dan jasadnya akan membusuk kembali ke bumi. Kita berasal dari tanah maka akan kembali ke tanah," ucap Wiji menerangkan.
Walau tidak sepenuhnya Rafa mengerti, namun otaknya cukup pintar untuk mengetahui. Mana yang baik dan mana yang buruk. Orang yang sudah meninggal tidak akan kembali lagi ke dunia.
Kemudian, Rafa mengikuti Wiji ke kamar. Dia menidurkan Rafa di atas kasur busa yang tipis. Berselimut dengan kain jarik yang sudah lusuh. Kemiskinan telah membuat hidup Rafa menjadi anak yang tumbuh kuat, dan tidak manja. Seperti anak yang lainnya hidup menikmati fasilitas orang tuanya.
Akan tetapi, kehidupan Rafa berbeda. Dia dibesarkan dalam lingkungan yang keras. Tahan hujan ataupun cuaca yang panas. Kulitnya yang putih menjadikan tubuhnya sedikit menghitam karena terbakar matahari.
"Mas Danu, Rafa sudah tidur aku juga sudah menggantikan bajunya. Aku pamit, Mas. Besok aku akan datang ke sini lagi untuk persiapan pemakaman Ibu."
"Iya, makasih, Ji. Kamu sudah banyak membantu hari ini."
"Ndak apa-apa, Mas. Aku seneng kok bisa bantu Ibu. Dia sudah kuanggap Ibu sendiri."
"Iya. Makasih sekali lagi, Ji. Semoga Allah membalas kebaikanmu dua kali lipat."
"Aamiin."
Wiji pamit pulang untuk beristirahat. Sementara, ayahnya masih terlihat berjaga-jaga di luar menemani tamu yang lainnya.
Pak Jarwo bisa dibilang tetangga yang baik dan juga dermawan. Meski dia hanya petani biasa, namun dia pria yang bertanggung jawab.
"Akang, saya juga pamit, ya? Besok saya akan kembali lagi ke sini untuk mengantar Emak dimakamkan ke peristirahatan terakhir."
"Iya, Neng. Makasih sudah mau mengantarkanku selamat sampai di rumah."
"Sama-sama, Akang. Kalau butuh bantuan bilang saja. Nanti saya akan bantu sebisa mungkin."
"Makasih, Neng."
Naina langsung pamit dan menuju ke mobilnya. Tak lama kemudian, mobil sedan itu pergi meninggalkan halaman rumah, lalu menghilang di kegelapan malam.
Di luar para takziah masih berkumpul beberapa orang. Sedangkan aku masih duduk di samping jenazah ibu. Rasa kantuk tak jua memejamkan mata. Meski waktu sudah menunjukkan tengah malam.
Bahkan, baju yang tadi sempat basah telah kering di badan. Perut tak sedikit pun merasakan lapar. Meski sejak tadi belum diisi. Hanya air putih untuk membasahi kerongkongan. Walau tiap hari harus bekerja, namun puasa tetap dijalankan. Sampai akhir bulan bisa menamatkan puasa penuh.
***
Bersambung.
Rintik hujan turun membasahi bumi. Mengiringi pemakaman ibu. Selesai salat idul fitri beberapa warga menunaikan kewajiban fardhu kifayah. Mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.Air mataku kembali turun membasahi pipi. Kala melihat tubuh wanita yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengasuh, dan menemani. Kini, dia terbaring kaku di dalam tanah. Oh, ibu maafkan anakmu yang belum bisa membuatmu bahagia."Danu, azankan ibumu untuk yang terakhir kali," ucap Pakde Jarwo."Inggih, Paman."Suara azan menggema di tengah kuburan. Disertai cairan bening yang terus menetes membasahi pipi. Tak kuasa melihat jasad wanita yang begitu kucintai telah kembali pada yang Maha Kuasa.Selesai azan, jasad ibu ditutup dengan tanah. Perlahan gundukan membentuk seperti gunung. Kutaburi bunga dan daun pandan di atas pusara makam ibu. Aroma wanginya tercium cuping hidung. Di dalam sana ibu tidur untuk selama lamanya."Mas Danu, ayo pulang! Pemakaman sudah selesai.""Sebentar, Wiji. Aku masih in
Dari kemarin harinya, hujan lebat mengguyur desaku. Mulai dari pagi sampai pagi lagi, air terus turun membasahi bumi. Aku pun tidak bisa mencari botol bekas seperti biasa. Kulirik Rafa yang tertidur dengan pulas, saat meringkuk memeluk bantal guling butut. Wajahnya terlihat tampan meski memakai baju kumal.Aku tahu, anakku itu tidur sambil menahan lapar. Dari sore kami belum makan apa pun. Bukannya tidak ingin memasak, tetapi aku tidak punya uang untuk membeli bahan pokok. Bahkan, sebutir beras pun tidak ada di rumah. Jadi, bagaimana aku bisa membuatkan makanan? Rafa masih terlalu kecil untuk mengetahui beban berat apa yang menimpa ayahnya. Andai, dia sudah dewasa. Mungkin akan tahu sulitnya hidup jika tidak punya penghasilan tetap. Hanya mengandalkan hasil mulung. Biasanya, ibu akan meminjam beras dari tetangga, atau paling tidak bisa mencabut singkong yang ada di belakang rumah. Namun, beberapa hari sesudah dia pergi sangat terasa. Jika kehadiran beliau sangat berpengaruh. Kini, ak
Di luar hujan masih saja turun dengan deras. Seolah langit sedang menangis menumpahkan segala kesedihannya. Sejak ibu meninggal aku tak punya hasrat untuk hidup. Ditambah harus membesarkan Rafa seorang diri. Bekerja keras membanting tulang pun uang tak cukup. Hanya bisa untuk makan sehari. Esok atau lusa harus mencari lagi. Bulan depan Rafa sudah mulai sekolah TK. Aku tak punya biaya untuk membuat pendidikannya lebih layak. Uang sekolah masuk TK membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara, pekerjaanku sebagai buruh bangunan, dan pengumpul botol bekas tidak cukup untuk makan. Bagaimana bisa menyekolahkan Rafa ke nol besar. "Eh, Pak. Duduk sini! Kenapa berdiri saja di sana?" tanya wanita yang sedari tadi membicarakan Pak Anton."Makasih, Bu. Saya di sini saja. Baju saya basah," jawabku agak sungkan. Perhatian para ibu-ibu langsung tertuju padaku."Tak apa-apa, Pak. Mari makan gorengan saat cuaca hujan begini. Cocok untuk situasi yang dingin. Perut terisi dan badan menjadi hangat."
"Ayah, Rafa lapar," ucap Rafa memegangi perutnya yang kempes.Aku menatap wajah putra semata wayangku iba. Merasa bersalah pada anak sendiri yang baru berumur empat tahun. Seharusnya, masa kecil Rafa dihabiskan dengan penuh kebahagian. Bermain dan tertawa bersama teman-temannya. Namun, harus menderita bersamaku di sini. Hidup miskin dalam tekanan ekonomi.Pekerjaanku masih menumpuk. Belum selesai mengaduk bahan bangunan. Masih ada sisa sepuluh menit lagi untuk waktu istirahat. Namun, Rafa tak mungkin menahan lapar sampai waktu itu tiba. Jatah makanan untuk para pekerja sebentar lagi akan datang. Akan tetapi, Rafa sudah merengek minta makan."Bang, bisakah aku minta jatah makan duluan untuk anakku?" tanyaku pada Bang Furqon. Dia kepala mandor yang baru tempatku bekerja di sini."Nih makan nasi sisa kemarin!" Bang Furqon meletakan nasi berwarna kuning di atas meja dengan kasar."Bang, nasinya sudah basi dan berbau. Tidak layak lagi untuk dimakan.""Emang kalau makan nasi yang sudah kuni
Aku terkejut ketika melihat wajah Sakira berada di berita televisi. Saat sedang menikmati makan siang dengan para pekerja lainnya. Tanpa sengaja aku menjatuhkan gelas. Menimbulkan bunyi yang sangat keras. Membuat mata Bang Mandor mertua membulat sempurna menatapku."Danu!" Seru Bang Mandor. Matanya langsung melotot ke arahku.Pandanganku masih menatap layar televisi berukuran 14 inch. Sakira Farida Safira sedang diwawancarai sebagai bintang tamu. Kini, dia bekerja sebagai model tabloid wanita, dan juga model butik terkenal. Wanita yang namanya masih terukir indah dalam hati. Walau dia sudah bersuami.Meskipun sempat kecewa pada Sakira, tetapi sampai detik ini, aku masih menyimpan rasa pada dia. Terlebih Sakira Safira adalah ibu dari anakku. Wanita yang sudah membawa Rafa ke dunia. Salahkan aku bila masih mencintainya?"Dasar anak buah bodoh! Apa kau tidak punya mata ha!" Hardik Bang Mandor.Bang Mandor seketika menampar pipiku. Hingga menimbulkan bercak merah. Hampir saja aku terjatuh
Tanganku membelai rambut Rafa dengan lembut. Dia sedang memeluk foto ibunya yang kurobek dari sebuah majalah wanita. Wajah Sakira Safira saat diwawancarai oleh wartawan. Salah satu dari berita gosip di stasiun televisi. Memakai gaun sebatas lutut tanpa lengan terlihat cantik. Maklumlah Sakira adalah artis papan atas. Semua penampilannya menjadi sorotan media sosial. Bahkan, menjadi perbincangan hangat sekitar kariernya yang sedang naik daun. Ketika melihat wajah ibunya untuk pertama kali, Rafa tersenyum lebar dengan mata yang berbinar. Kata Rafa, 'atah, aku tidak sabar ingin segera bertemu dengan ibu.'' Sobekan majalah dipeluk dengan erat. Seperti menumpahkan kerinduan yang memuncak. Melebihi rasa rinduku pada wanita yang telah lama tidak ditemui. Entah seperti apa dia kini, bila saling bertatapan muka. Mungkin Sakura masih ada rasa cinta padaku?Dalam hatiku berpikir. Apakah reaksi Sakira nanti saat bertemu denganku. Apakah dia akan menerima Rafa? Kuharap begitu. Sebagai anak yang t
"Ibu!" Teriak Rafa. Dia segera berlari ke arah ibunya yang tidak lain adalah Sakira.Kubiarkan Rafa memeluk kaki Sakira dengan erat. Seolah tak ingin melepaskan. Sakira Safira terkejut. Tiba-tiba saja seorang bocah kecil memeluk lututnya sambil tersenyum."Eh, siapa kamu? Kenapa memanggilku Ibu? Berani sekali memanggilku dengan sebutan, 'ibu.' Dasar anak tidak sopan!" Bentak Sakira.Sakira bertanya sambil menatap Rafa. Wajah Rafa mirip dengannya, bak pinang dibelah dua. Hidung mancung, kulitnya juga putih bersih. Plek-ketiplek mirip dengan Sakira Farida Safira.Aku mendekat ke arah Sakira dengan langkah ragu. Kemeja yang kukenakan terlihat melambai-lambai tertiup angin. Tubuhku gemetar seperti terkena arus listrik tegangan tinggi. Menatap wanita yang pernah singgah di hatiku sekian tahun lalu.Mencoba mengembangkan senyum. Pada wanita yang sudah lama tak kutemui. Dia tidak banyak berubah. Walau sudah sekian tahun tidak pernah muncul. Seakan lenyap ditelan bumi. "Kamu lupa kalau punya
Rafa tersenyum ketika melihat makanan yang disediakan Naina di atas meja dengan lengkap. Berbagai menu terhidang serta lauk pauk yang sangat lezat. Begitu menggoda selera. Dia memegangi sendok sambil menggoyangkan kaki duduk di kursi. Sekilas aku mencuri pandang ke wajah Naina. Dia cantik dan menawan. Mungkin karena ayahnya orang kaya, dan punya segalanya. Hingga Naina tak pernah kekurangan apa pun dalam hal materi.Berbagai menu sehat tersedia. Ada juga sayur dengan aneka seafood dan juga ayam goreng KFC. Cuci tangan sudah, kaki juga sudah bersih. Melihat kentucky tepung bumbu, perut Rafa menjadi lapar dan keroncongan. Pasti dia tidak sabar ingin segera menikmati.Sesekali aku menangkap basah ke arah Rafa, lalu melirik ke arah Naina yang sedang menyiapkan minuman. Aku jadi teringat dengan keponakan—Bang Furqon yang setiap hari digendong oleh pria itu. Ketika keponakannya sedang disuapi ibunya makan. Saat itu, aku bisa merasakan Rafa bersedih. Mungkin timbul rasa iri pada diri Rafa.