Share

Bab 4. Duka

Tubuhku gemetar menahan tulang yang seakan tiba-tiba rapuh. Dada bergemuruh hebat ketika melihat jasad ibu terbujur kaku menjadi mayat. Malam takbiran berubah menjadi lautan tangisan duka. Oh, ibu. Mengapa pergi begitu cepat. Padahal, ingin memberikan hadiah baju gamis untukmu. 

Baju gamis yang sempat tadi dibeli jatuh begitu saja. Tepat di samping jenazah ibu. Tangisan langsung pecah melihat orang yang paling aku sayangi. Menyaksikan ibu yang kucintai harus menghembuskan napas terakhir di malam takbiran. Di saat semua orang merayakan hari bahagia, aku malah berduka. Tak kuasa menahan rasa sesak yang menyeruak. 

"Mas Danu, ibu menghembuskan napas terakhir kali ketika lepas azan magrib berkumandang. Aku tadi sempat memberikan air hangat untuk Ibu berbuka puasa," ucap Wiji. Menundukkan wajah seolah menyesal telat memberi kabar. Bukan salahnya juga bila ibu pergi. Semua yang terjadi sudah takdir.

Selama ini, aku menitipkan ibu pada Wiji. Kebetulan jarak antara rumah dengan kontrakkan tidak terlalu jauh. Hanya bersebelahan. Jadi, kalau ada apa-apa Wiji bisa melihatnya. Dia juga membantu merawat ibu.

"Kenapa kau tak menghubungiku, Wiji? Kalau aku tahu Ibu begini mungkin tidak …." Aku menggantung kalimat. Tidak sanggup untuk mengatakan sepatah kata pun lagi.

"Aku sudah menghubungi Bang mandor tempatmu bekerja, Mas. Mereka bilang kamu sudah pulang bersama Rafa. Maaf, Mas. Aku tidak tahu harus mencarimu ke mana."

Aku tidak menyalahkan Wiji, karena memang bukan salahnya. Dia sudah berusaha untuk menghubungi, tetapi pada saat itu kita sudah pulang semua. Bahkan, proyek tempat pembangunan apartemen ditutup. Akan dibuka setelah Minggu depan.

"Ibu, bangunlah! Jangan tinggalkan aku, Bu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu," ucapku memeluknya.

Tubuhnya yang dingin hanya bergeming. Kuusap wajah keriput ibu yang sudah menua. Senyumnya terlihat di akhir riwayat hidupnya.

Kucium tangannya berkali-kali sebagai tanda permintaan maaf. Namun, tak ada jawaban. Dia tetap bergeming. 

"Ibu, lihatlah! Aku bawa oleh-oleh untukmu," ucapku sembari menunjukkan baju gamis mewah yang dibelikan oleh Naina. "Ibu pasti akan terlihat cantik bila memakainya."

Hening. Hanya suara binatang malam, dan takbir yang terus berkumandang memecah kesunyian mencekam. Aku tidak menyangka kepergian ibu akan secepat ini. Masih kuingat kemarin dulu dia menggendong dan menimang. Kini, tidak akan kulihat lagi senyumannya yang manis kala sedang menghiburku.

"Kamu kenapa, Nak? Kok menangis?" tanya ibu kala itu.

"Ibu, kenapa Ayah pergi? Apa dia tidak sayang kita?"

Ibu menarik napas. Tangannya membelai rambut dan pucuk kepala dengan lembut. Dia memeluk dan menciumku seolah tidak ingin berpisah. Waktu itu, aku ingat saat ayah akan pergi meninggalkan kami. Dia lebih memilih meninggalkan keluarganya daripada harus menghidupi kami.

"Ayah! Danu ikut!"

"Menjauh dari Ayah, Danu! Ayah akan pergi. Jaga ibumu baik-baik!

"Ayah, jangan pergi! Danu sayang sama Ayah. Danu janji tidak akan nakal sama Ayah."

Namun, ayah tetap pergi tak pernah kembali lagi. Sejak saat itu, ibu membesarkanku seorang diri. Dia membawaku kemanapun pergi. Tak pernah sekalipun ibu mengeluh ataupun mengatakan lelah karena telah merawatku.

"Danu, ikhlaskan ibumu. Biarkan dia pergi dengan tenang. Kalau kau terus menangis begini, maka perjalanannya akan menjadi terhambat," ucap Pakde Jarwo. Dia adalah ayahnya—Wiji. Yang tak lain adalah tetangga sebelah rumah.

"Inggih, Pakde."

"Nenek, jangan pergi! Rafa siapa yang jaga nanti?" Rafa langsung memeluk tubuh ibu yang tertidur panjang di depannya.

Dia menangis sembari mengguncang ibu. Namun ibu masih tetap bergeming. Wiji berusaha untuk menghiburnya, tetapi tangis Rafa masih saja tetap pecah.

"Rafa, ayo sama Bibi. Kamu harus istirahat dan tidur. Besok kita akan ke makam untuk menguburkan Nenek."

"Bibi, apa Nenek akan sendirian di dalam tanah?"

"Iya."

"Tapi kata Pak ustaz kalau orang meninggal akan dimakan cacing tanah. Apa benar begitu?" tanya Rafa polos. Matanya yang sayu menatap Wiji.

Sejenak Wiji bergeming. Meski usia Rafa baru satu tahun, namun Rafa—anak yang pintar. Dia sudah paham mana yang baik dan mana yang benar.

Walau Rafa belum sekolah seperti anak yang lainnya, tetapi dia sudah bisa mengaji dan berhitung satu sampai seratus. Setiap hari Rafa akan belajar bersama anak jalanan tiap kali aku membawanya pergi kerja.

Sanjaya mengajar mengaji dan berhitung pada anak jalanan yang tidak pernah duduk di bangku sekolah. Setelah selesai jam makan siang, pria itu masih punya waktu untuk mengajar anak-anak yang kurang mampu.

Sanjaya dulu adalah mantan narapidana. Setelah keluar dia bekerja menjadi buruh bangunan untuk menyambung hidup. Kehidupan yang keras telah mengantarkan dia menjadi pria yang tangguh. Dia dihukum sepuluh tahun penjara karena kasus pembunuhan. Dia hanya dijebak oleh saudaranya. Semua tuduhan mengarah padanya. Hingga Sanjaya harus merelakan masa mudanya hilang selama sepuluh tahun dalam kurungan sel.

"Iya, itu benar. Setiap orang yang hidup akan mengalami kematian. Dan jasadnya akan membusuk kembali ke bumi. Kita berasal dari tanah maka akan kembali ke tanah," ucap Wiji menerangkan.

Walau tidak sepenuhnya Rafa mengerti, namun otaknya cukup pintar untuk mengetahui. Mana yang baik dan mana yang buruk. Orang yang sudah meninggal tidak akan kembali lagi ke dunia. 

Kemudian, Rafa mengikuti Wiji ke kamar. Dia menidurkan Rafa di atas kasur busa yang tipis. Berselimut dengan kain jarik yang sudah lusuh. Kemiskinan telah membuat hidup Rafa menjadi anak yang tumbuh kuat, dan tidak manja. Seperti anak yang lainnya hidup menikmati fasilitas orang tuanya.

Akan tetapi, kehidupan Rafa berbeda. Dia dibesarkan dalam lingkungan yang keras. Tahan hujan ataupun cuaca yang panas. Kulitnya yang putih menjadikan tubuhnya sedikit menghitam karena terbakar matahari.

"Mas Danu, Rafa sudah tidur aku juga sudah menggantikan bajunya. Aku pamit, Mas. Besok aku akan datang ke sini lagi untuk persiapan pemakaman Ibu."

"Iya, makasih, Ji. Kamu sudah banyak membantu hari ini."

"Ndak apa-apa, Mas. Aku seneng kok bisa bantu Ibu. Dia sudah kuanggap Ibu sendiri."

"Iya. Makasih sekali lagi, Ji. Semoga Allah membalas kebaikanmu dua kali lipat."

"Aamiin."

Wiji pamit pulang untuk beristirahat. Sementara, ayahnya masih terlihat berjaga-jaga di luar menemani tamu yang lainnya.

Pak Jarwo bisa dibilang tetangga yang baik dan juga dermawan. Meski dia hanya petani biasa, namun dia pria yang bertanggung jawab.

"Akang, saya juga pamit, ya? Besok saya akan kembali lagi ke sini untuk mengantar Emak dimakamkan ke peristirahatan terakhir."

"Iya, Neng. Makasih sudah mau mengantarkanku selamat sampai di rumah."

"Sama-sama, Akang. Kalau butuh bantuan bilang saja. Nanti saya akan bantu sebisa mungkin."

"Makasih, Neng."

Naina langsung pamit dan menuju ke mobilnya. Tak lama kemudian, mobil sedan itu pergi meninggalkan halaman rumah, lalu menghilang di kegelapan malam.

Di luar para takziah masih berkumpul beberapa orang. Sedangkan aku masih duduk di samping jenazah ibu. Rasa kantuk tak jua memejamkan mata. Meski waktu sudah menunjukkan tengah malam.

Bahkan, baju yang tadi sempat basah telah kering di badan. Perut tak sedikit pun merasakan lapar. Meski sejak tadi belum diisi. Hanya air putih untuk membasahi kerongkongan. Walau tiap hari harus bekerja, namun puasa tetap dijalankan. Sampai akhir bulan bisa menamatkan puasa penuh.

***

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status