Share

7. Ke mana Bu Ami

 Kembang berjalan di belakang Pandu yang terus memakan rambutan, meninggalkan banyak kulit rambutan di sepanjang jalan yang sudah mereka lewati. 

Baju Pandu yang besar, mampu menjadi kantong untuk wadah rambutan yang banyak. Anak itu membawanya dengan cara memeluknya di depan perut. 

Di belakang, Kembang hanya diam memerhatikan anak laki-laki gempal yang terus melempar kulit, dan biji rambutan ke sembarang arah.

Pandu dengan sengaja melambatkan langkah kakinya, membuat Kembang tanpa sadar berjalan di belakang Pandu dengan jarak 1 meter. Dekat sekali.

"Apa kau belum kenyang?" Kembang bertanya. 

"Belum, kenapa? Kau mau?" Pandu berhenti dan berbalik, menampakan mulutnya yang sedikit terbuka, juga sebelah pipinya lebih besar sebelah. Itu karena sebiji rambutan langsung dia simpan di sisi gigi, lantaran saat ia akan mengunyahnya Kembang malah bertanya. 

"Tidak. Aku masih kenyang," jawab Kembang. 

Pandu kembali berbalik, dan lanjut berjalan. 

"Apa setiap hari kau selalu mencuri rambutan itu?" 

"Berhentilah menyebutku pencuri, Kembang. Aku hanya membantu pemilik pohon untuk tidak membuang-buang rambutannya yang matang lalu jatuh ke tanah," jawab Pandu. 

Kembang mencebik, dia memutar bola matanya. Mendengar penjelasan Pandu, yang sebenarnya tidak sepenuhnya salah. 

Rumah yang ada di dekat pohon rambutan tadi memanglah tampak kosong, cahaya lampu orange yang menggantung di sisi bilik atas pun tidak terlalu terang. Mungkin pemilik, atau seseorang sengaja memasang supaya tempat itu tidak terlalu gelap saat malam. 

Rambutan sangat banyak tergeletak di tanah, semua itu rambutan busuk yang matang di pohon lalu jatuh. 

Kembang terus diam, mengikuti Pandu tanpa bertanya lagi sampai mereka tiba di rumah Pandu. 

"Kembang, kau dari mana saja? Aku tadi keluar mencarimu, kupikir kalian bermain di sekitar rumah." Srini berdiri di depan pintu yang terbuka, melihat Kembang dan Pandu yang baru saja tiba. 

Tampak wajah Srini sangat khawatir. 

"Maaf, Bu ...," ucap Kembang, tidak enak. 

"Maaf Bibi." Tiba-tiba, Pandu ikut menyaut. "Maaf, karena sudah mengajak Kembang keluar terlalu lama, aku mengajaknya memetik rambutan tadi," ujarnya. 

Srini menatap Pandu, anak itu tampak tidak ada rasa takut kalau-kalau Srini marah karena sudah mengajak Kembamg keluar dengan waktu yang cukup lama. 

Srini berjalan mendekati Pandu, membungkuk menatap wajah anak gempal itu. "Lain kali, anak laki-laki tidak boleh mengajak anak perempuan keluar malam sampai larut, ya. Kau tau kenapa?" 

Pandu menggeleng. 

"Karena laki-laki sangat besar tanggung jawabnya." Srini memberi jawaban, dan Pandu mengangguk. 

Kembang terperangah melihat cara Srini menasehati Pandu. Itu terlihat sangat anggun, terlebih dia jadi merasa benar-benar memiliki sosok ibu setelah 5 tahun hidup lontang-lantung di jalan. Tanpa ia sadari, Kembang tersenyum karena senang. 

"Pandu, kau dari mana saja, Nak?" Suara bu Ami terdengar dari dalam rumah, Srini kembali menegakan tubuh. 

Bu Ami berdiri di sisi Srini, tampaknya jelas bahwa Bu Ami lebih pendek dari Srini. Tinggi wanita itu hanya sampai telinga Srini saja. 

"Maaf, Bu ... aku mengajak Srini memetik rambutan," jawab Pandu. 

Bu Ami melirik tubuh Pandu yang tidak berkain, kemudian beralih pada sesuatu yang di peluk putranya. Setelahnya, bu Ami menggelang, menarik napas panjang. 

"Kau memetik rambutan di halaman rumah Pak De'eng lagi, ya?"

"Iya, Bu," jawab Pandu, tidak takut di marahi. 

"Kenapa kau memetik rambutannya terus? Nanti kalau ada sanak sodaranya yang lihat kau pasti akan di marahi, karena sudah memetik tanpa izin."

"Semua buah itu busuk dan jatuh ke tanah, Bu. Itu sangat di sayangkan, karena rambutan ini sangat manis. Aku pernah bertemu cucu Pak De'eng, dan meminta izin padanya. ia mengizinkannya." Wajah Pandu sedikit berubah, ia tampak kesal. 

Bu Ami kembali menggeleng. "Cucu Pak De'eng yang mana? Siapa?"

"Mahesa," jawab Pandu. 

Bu Ami menggeleng lagi. "Dia anak masih berumur 4 tahun, Pandu."

Kembang langsung menoleh ke arah Pandu, Srini tampak menahan tawa.

"Memang kenapa? Meskipun dia berumur 4 tahun, Mahesa tetap cucunya Pak De'eng, kan?" 

"Jangan terus memetik rambutan itu lagi tanpa izin, ya," kata bu Ami. Pandu hanya diam, sembari sibuk mengigit kulit rambutan, dan memakannya. 

Srini yang mendengar sejak tadi, mulai penasaran. "Memangnya, Pak De'eng ke mana, Bu?"

Bu Ami melihat Srini, kemudian tersenyum simpul. "Beliau sudah meninggal."

Kembang sedikit melebarkan mata mendengar fakta itu. 

"Beliau adalah salah satu orang yang sangat di hormati di sini, banyak yang bilang, Pak De'eng adalah cucu dari orang pertama yang mendirikan rumah di Distrik ini," tutur Bu Ami. 

Srini mengangguk, ia mengerti. 

"Sudah, ayo masuk. Ini sudah jam sembilan lebih," kata Bu Ami, lalu Srini dan Kembang juga Pandu masuk bersama ke dalam rumah. 

Srini dan Kembang, tidur di salah satu kamar. Ranjang yang terbuat dari bambu. Ada tikar yang menjadi alas kasur tipis yang ditiduri Srini dan Kembang. 

*

*

Tepat saat ayam jantan mulai bersahut-sahutan berkokok, Srini terbangun dari tidurnya.

Ia mencium bau bawang di goreng, dan dari luar kamar. Wanita itu mengusap matanya, mencopot ikatan rambut, menyisirnya sebentar, dan kembali mengikat satu di belakang leher. Rambut Srini sangat panjang, sampai melebihi pinggulnya. Lebat, hitam dan tampak sehat. 

Srini duduk di sisi ranjang, menoleh ke arah Kembang yang masih tertidur, lalu mengusap rambut kembang yang juga panjang, dan tipis akan tetapi sangat lurus, juga halus ketika disentuh. 

Srini tersenyum, dan ia berdiri lalu keluar kamar. Menuju salah satu ruangan dari terciumnya aroma bawang goreng, sesampainya di sana. Dia terdiam lantaran tak menemukan Bu Amy. Api di tungku menyala, asap mengepul dari kuali di atasnya, Srini inisiatif mendekati tungku, dan sedikit kaget karena bawang yang ada di kuali itu sudah gosong. Secepatnya dia mencari kain  elap, dan segera mengangkat kuali itu dari sana. 

"Ke mana Bu Ami," gumam Srini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status