Share

8. Sahabat Ibunya

Seorang wanita masuk ke dalam rumah, Bu Ami. Ia membawa rantang putih dan memanggil-manggil nama Bu Ami. 

"Ami ...!"

Srini yang mendengarnya bergegas ke keluar untuk menemui orang tersebut. Begitu ia keluar, wanita itu tanpak bingung. 

"Kau siapa?" tanya wanita yang lebih tua dari Bu Ami. Usinya 44 tahun.

Srini tersenyum. "Maaf, aku Srini, sore kemarin bertemu Bu Ami di rumah makan." Srini pun akhirnya menceritakan awal mula ia bisa ada di rumah bu Ami. 

Wanita itu tampak ramah, dia mendengarkan Srini dan mengangguk. "Oh, jadi kau dari Distrik Kates? itu adalah tempat kelahiran kami," kata wanita itu. 

"Iya, tadi aku terbangun karena mencium bau bawang. Saat aku ke dapur, Bu Ami tidak ada, yang ada hanyalah kuali yang mengepul di atas tungku dan bawang goreng yang sudah gosong."

Mendengar itu, wanita tersebut terkejut. "Ami ini dasar ceroboh ...."

"Mbak Ati?" Bu Ami kembali, sembari membawa piring plastik yang penuh dengan cabai.

"Ami, kau dari mana saja. Meninggalkan bawang di kuali sampai gosong!" kata Wanita itu.

Bu Ami langsung menepuk jidatnya. Dia juga kaget, lantaran lupa sudah menyimpan kuali di atas tungku dengan api yang menyala-nyala.

"Astaga! Aku lupa! Akan aku pindahkan dulu."

"Sudah aku angkat, Bu," kata Srini, membuat Bu Ami yang sudah berjalan dua langkah langsung berhenti. 

"Sudah?" 

Srini mengangguk. 

"Aaaah ... terimakasih Srini," kata bu Ami, mengusap dada dengan satu tangan mengusap lengan Srini. 

"Untung saja tamumu ini bangun, kalau tidak bagaimana?!" tegur wanita itu. 

"Iya, Mbak ... iya, aku minta maaf."

Bu Ami melihat Srini dan tersenyum.

"Srini, ini Mbak Ati, Kakak Iparku, alias Kakak ayahnya Pandu."

Srini tersenyum dan mengangguk.

"Ini ada kolak singkong dan pisang, aku membuatnya semalam." Wanita itu memberikan rantang yang sedari tadi ia pegang pada bu Ami. 

"Suro, mana?"

"Kang Suro belum pulang, Mbak."

"Tumben rame-rame, ada apa ini?" 

Semua orang menoleh ke arah suara, dan terlihat laki-laki berusia 40 tahunan berjalan masuk. Pak Suro suami bu Ami pulang.

"Wah ada tamu," kata pak Suro setelah melihat Srini. 

*

*

Bu Ami menceritakan semuanya, awal mula ia bertemu Srini dan Kembang di rumah makan, sampai berakhir bu Ami yang menawari menginap. 

"Jadi begitu, Kang. Aku pikir, Kakang tau siapa teman ibu Srini di distrik ini, Kakang kan asli orang sini," kata bu Ami, mereka semua duduk di kursi kayu. 

"Siapa nama teman ibumu?" tanya pak Suro pada Srini. 

"Kata ibu saya, Latih, Pak."

Semua orang tampak berpikir dan mengingat-ingat. "Siapa Latih di distrik ini, ya?" Pak Suro mengusap janggutnya yang berkumis. 

"Memangnya, nama Ibumu siapa?" Kini kakak ipar bu Ami yang bertanya. 

"Satem, Bu."

Mendengar jawaban Srini tentang nama ibunya, raut wajah wanita itu berubah.

"Satem?!"

Bu Ami dan pak Suro menoleh ke arah wanita itu secara bersamaan, karena suara wanita itu meninggi. 

"Iya," jawab Srini. 

"Apakah nama Ayahmu, Bahar?!"

Srini tampak terkejut, dia mengangguk pelan. 

Greb! 

Srini terkejut, termasuk bu Ami dan suaminya ketika tiba-tiba kakak iparnya itu langsung memeluk Srini. 

Kemudian, terdengarnya suara isakan tangis darinya. 

"Mba Ati," ucap bu Ami bingung. Ia dan suaminya saling ada pandang, karena tidak tahu apa yang terjadi. 

"Ya Gusti! Kau sudah besar, Srini! Bagaimana kabar Ibumu?" tanyanya, memegang kedua lengan Srini, menatapnya sambil menangis.

"Mba Ati, ada apa? Mba kenal sama teman Ibunya Srini?" tanya bu Ami. 

"Latih, Ati ... ooooohhh ...!" Pak Suro berseru, "Mba Ati itu Latih, nama Mba Ati kan Latih, cuma dipanggil Ati saja," lanjutnya. 

Bu Ami terkejut, ia juga lupa, memang benar nama asli kakak iparnya itu adalah Latih. 

Srini tercengang, ia menatap wanita yang menangis di hadapannya dan kemudian hatinya menjadi lega. Dia sudah menemukan orang yang dicarinya. Terungkaplah, kalau Ati adalah Latih. Sahabat ibunya Srini. 

*

*

Srini membeli tanah milik bu Latih dan suaminya, pak Bejo. Dengan harga yang sangat murah. Bu Latih sengaja menjual murah pada Srini, karena sebagai balas budi pada sahabatnya, Satem. Bukan hanya itu, bu Latih bahkan membantu membelikan semua keperluan Srini dan Kembang untuk tinggal di sana. 

"Ibumu adalah sahabat yang sangat baik, dia sangat berjasa dengan keberhasilanku, meminjamkan aku uang untuk membeli tanah, meminjamkan aku uang untuk membeli bibit tanaman dan sawah. Hutang yang kumiliki pada Ibumu sangat besar, aku sudah berusaha membayarnya dan ketika tersisa sedikit, Ibumu berkata agar aku tidak usah membayarnya lagi. Dia hanya meminta aku berjanji, untuk menjadi sahabatnya yang baik, dan berjanji akan menolongnya saat ia butuh pertolongan. Dan aku mengiyakannya, karena kupikir itulah caraku membalas kebaikannya."

Srini tersenyum, mengangguk.

"Ibu sangat beruntung memiliki sahabat baik seperti Bu Latih, karena mau menolongku menyiapkan segalanya untuk tinggal di sini." 

"Akulah yang beruntung, Srini. Tanpa bantuan Ibumu, aku tidak akan seperti ini."

Srini dan Bu Latih duduk sambil meminum teh di rumah bu Latih, menunggu pembangunan rumah Srini selesai. 

Selama semuanya disiapkan, Srini dan Kembang tinggal di rumah bu Latih. 

Bu Latih dan suaminya adalah salah satu orang kaya di Distrik itu, memiliki sawah banyak, lahan tanah luas dan memiliki perkebunan pohon pepaya satu-satunya yang sengaja di tanam di sana. Alasannya, karena agar ia bisa terus mengingat tempat lahirnya juga pada sahabatnya, Satem.

Berbeda dengan adiknya, pak Suro. Dia hidup sederhana, bersama bu Ami dan Pandu. Meski begitu, pak Suro adalah laki-laki yang pekerja keras, rajin dan lembut.

Saat itu, Srini diceritakan banyak hal, termasuk, kalau semua hasil dan kekayaan bu Latih adalah hasil murni kerja kerasnya bersama suaminya, karena aslinya ia juga berasal dari keluarga yang kurang berkecukupan. Berbeda dengan ibu Srini yang memang dari kecil, sudah terlahir dari keluarga kaya. 

"Bahkan, saat Ibumu menikah, dan kau lahir. Aku dan suamiku masih belum memutuskan untuk punya anak, aku yang tidak ingin anak-anakku merasakan apa yang aku rasakan saat kecil, dan beruntungnya saat itu. Suamiku mengerti."

Srini diam sembari mendengarkan semua cerita bu Latih, dan dia mengagumi wanita itu, kisah bu Latih sangat menginspirasinya. 

"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status